Tahun Ketujuh

Setiap tahun terasa seperti baru beberapa saat lalu. Tidak pernah terlupa sedikitpun detil setiap peristiwa sebelum dan sesudahnya. Seperti film yang selalu terputar lagi dan lagi dikepingan kenangan. Selalu ada rasa sesal, kenapa saya tidak di sana, bahkan sampai sekarangpun rasa itu tetap ada. Lalu selanjutnya saya pun berandai-andai, yang semestinya hal itu tak perlu saya lakukan. Hanya akan menambah sedih dan luka lama muncul kembali, walaupun sampai sekarang sebenarnya tak pernah tertutup, selalu menganga.

Setiap menjelang Ramadan terlebih lebaran, segala rasa berkecamuk di dada. Sedih dan pilu, itu yang pasti. Tetesan air mata selalu mengalir jika teringat hari itu. Terlebih jika saya melihat anak kecil sedang menghabiskan waktu dan bersenda gurau dengan Opa mereka. Ada yang terasa kosong di hati. Andaikan saja.

Konon katanya waktu yang akan menyembuhkan. Tapi saya selalu percaya bahwa sayalah yang harus berusaha keras untuk ikhlas dan menyembuhkan diri sendiri, bukan waktu. Sejak saat itu, hari di mana jadi titik balik kehidupan, saya mulai mempertanyakan segalanya-bahkan sampai saat ini. Harusnya saya lelah dan mengambil jeda untuk bernafas lalu berhenti. Tak perlu menggugat apa yang sudah tertuliskan. Saya hanya butuh waktu lebih untuk mengerti semua ini.

Tahun ini adalah tahun ketujuh saya tetap belajar apa namanya ikhlas. Entah butuh berapa tahun, saya tak terburu waktu. Menikmati prosesnya, bergulat dengan sakitnya dan berkawan dengan lelahnya. Banyak yang ingin saya ceritakan pada satu-satunya orang yang dulu selalu menjadi nomer satu untuk tahu saat saya sedih maupun senang.

“Bapak, tak perlu khawatirkan saya. Walaupun tak ada secara nyata, saya selalu percaya bahwa Bapak tak pernah benar-benar pergi, selalu ada disekitar saya. Dan saya yakin, tanpa perlu bercerita, Bapak pasti selalu tersenyum saat ini melihat apa yang dulu selalu Bapak doakan sudah dikabulkan. Tabungan doa untuk saya tentang sebuah keluarga. Saya butuh waktu untuk ikhlas, semoga itu tidak menghambat langkah Bapak.”

-Nootdorp, 6 Mei 2018-

16 thoughts on “Tahun Ketujuh

  1. Hugsss Deny…
    ikhlas memang selalu terus diusahakan, ga pernah mudah mau berapa tahun pun sudah berlalu tapi usaha terus tanpa putus asa karena yg meninggalkan kita sudah tenang disana. Aku udah 16th ditinggal oma yg udah kayak orang tua aja rasanya tiap keinget masih nyess, masih aja kata what if itu berputar dikepala…

  2. ini juga tahun ke tujuh tanpa bapak,
    yg setahun penuh titin sll ada di sebelahnya, pas bapak gda, titin baru masuk kerja dan usah di bandung.

    sedihnya iya itu, kalo liat opa2 ngbrol sama cucunya..

    semoga ayah kita husnul khatimah ya, mb den.
    smoga kita berkumpul di jannah-Nya kelak. aamiin.

  3. I feel you mb Deni… Papa saya meninggal tahun 2008, yang katanya waktu akan menyembuhkan itu g ada.. ikhlas itu sudah diupayakan, tapi rindu ke papa itu makin hari makin kuat… al fatihah buat mereka yuk mbak.. semoga kelak kita dikumpulkan di surga-Nya, aamiin

Thank you for your comment(s)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.