“Andaikan … “

Saat tahun pertama menikah, beberapa kali terlontar ucapan “Andaikan ya kita bertemu lebih awal,” yang lalu ditanggapi oleh suami “Andaikan bertemu lebih awal, keadaan kita tidak akan sesiap saat kita dipertemukan pada waktu yang tepat. Bersyukurlah bahwa pada akhirnya kita bertemu.” Saya mengamini ucapan tersebut (dia pernah menuliskan tentang hal ini pada saat ulangtahun pernikahan kami yang kedua. Membaca kembali tulisan dia, kok jadi mrebes mili sendiri, terharu). Andaikan dipertemukan lebih awal, kami masih ruwet dengan masa lalu masing-masing yang perlu diselesaikan. Kami masih sibuk mengurus ini dan itu. Memang betul, semua sudah sesuai rencanaNya bahwa kami dipertemukan saat semua dari masa lalu tidak lagi menjadi halangan kami untuk melangkah. Setelah itu, saya tidak pernah lagi berandai-andai perihal bagaimana dan saat kami bertemu. Saya percaya, semua yang sudah digariskan adalah skenario yang terindah.

Minggu lalu, saya menuliskan komentar pada tulisan Nana yang berjudul “Kembali ke Masa Lalu.”Komentar saya tersebut ada hubungannya dengan cerita di awal tadi. Saya mulai berhenti berandai-andai kembali ke masa lalu saat saya mulai belajar arti bersyukur yang sesungguhnya, tepatnya saat hidup dengan sadar saya jalani dan jauh dari kebisingan. Proses belajar yang bahkan masih berlangsung sampai saat ini dan sampai kapanpun selama masih ada nafas dalam tubuh. Seperti halnya dengan pelajaran Ikhlas yang selalu ada seumur hidup, pun dengan rasa syukur. Saya berhenti berucap atau berpikir : andaikan bisa kembali ke masa lalu, ketika melihat apa yang sudah saya jalani selama ini dan apa yang ada di kehidupan saat ini dan berpikir tentang masa depan.

Jika tidak ada masa lalu, saya tidak akan pernah belajar untuk menjadi lebih baik dan lebih baik setiap harinya. Masa lalu buat saya seperti kaca spion yang fungsinya untuk mengintip ke belakang, tapi tidak melihat ke belakang bahkan kembali ke belakang. Sebagai tempat untuk mengintip, supaya tidak terjungkal ataupun melakukan kesalahan yang sama saat melangkah ke depan. Jika ada hal yang baik, masa lalu juga bisa jadi motivasi untuk melakukan yang lebih baik saat ini dan ke depan.

Jika saya terus berpikir tentang andaikan yang biasanya adalah pengalaman yang tidak nyaman, saya akan selalu membawa bara dalam hati dan pikiran, yang malah membuat hidup menjadi tidak tenang. Andaikan 3 tahun lalu saya tidak keguguran dan memaksakan tetap hamil, mental saya tidak akan sesiap saat ini. Saya tidak akan pernah belajar yang namanya kehilangan dan belajar mempersiapkan jiwa dan raga sebagai seorang Ibu. Andaikan saya tetap mencari-cari kesalahan dan membawa penyesalan itu sampai sekarang, saya akan menjadi orang yang merugi karena mengingkari rencana yang sudah digariskanNya. Andaikan saya tidak mau menerima penjelasan dokter bahwa keguguran tidak bisa dicari penyebabnya, tidak bisa dicegah karena hal tersebut adalah proses alami jika janin dan badan Ibu tidak satu tujuan, maka saya akan tetap tertimbun penyesalan dan mencari kambing hitam atas kejadian tersebut. Saya ikhlas menerima bahwa pada fase hidup, harus melewati proses kehilangan bayi dalam kandungan. Dia akan tetap jadi anak kami yang pertama dan akan kami ceritakan pada adik-adiknya bahwa mereka mempunyai kakak yang belum sempat mereka lihat dan hanya sesaat dititipkan dalam kandungan Ibunya. Yang sudah diambil, akan selalu kami kenang dalam hati dan doa. Tidak perlu kami menoleh ke belakang.

Jika terus mengingat tentang indahnya msuim panas, maka saya tidak akan bisa melihat keindahan dari musim gugur. Warna daun yang mulai berubah dan langit yang masih cerah
Jika terus berandai-andai bisa selalu hidup pada musim panas, maka saya tidak akan bisa melihat keindahan dari musim gugur. Warna daun yang mulai berubah dan langit yang masih cerah

Jika saya berpikir andaikan saya kembali pada saat hidup dengan karir yang saya inginkan dan melanjutkan kuliah sampai setinggi-tingginya, saya tidak akan bisa menerapkan ilmu saya pada hal lain yang juga berguna saat bekerja diluar bidang keilmuan dan latar belakang pengalaman kerja. Saat bekerja di rumah untuk para Oma dan Opa, saya tetap bisa menerapkan apa yang sudah saya dapatkan di masa lalu meskipun dengan cara berbeda. Saya mengambil kesempatan belajar banyak hal baru dan hati saya lebih tenang ketika bekerja tanpa harus membuktikan kepada khalayak ramai apa yang sudah saya capai, seperti yang saya lakukan di masa lalu. Saya lebih menghargai setiap detik tarikan nafas saat para Oma dan Opa bercerita tentang kehidupan mereka, tentang keluarga mereka, tentang sakit mereka, dan tentang kehidupan mereka di rumah tersebut. Karenanya, saya tidak mau berandai tentang kembali pada masa lalu.

Jika saya tidak melewati kegagalan beberapa kali akan menikah, saya tidak belajar yang namanya kecewa dan memaafkan. Jika saya terus terpaku pada kekecewaan masa lalu, saya lalu lupa untuk bersyukur bahwa saya diberikan kesempatan untuk kecewa supaya di masa depan, saya lebih berhati-hati untuk melangkah agar tidak membuat kecewa diri sendiri maupun orang-orang yang saya sayangi. Pun belajar untuk memaafkan hal-hal yang memang diluar kuasa. Terbaca terlalu sempurna, mungkin iya. Tapi dengan banyak hal yang sudah saya lewati, banyak hal juga yang akhirnya jadi guru dalam hidup saya, termasuk kegagalan dan rasa kecewa.

Jika ada yang bertanya pada saya, andaikan kamu bisa kembali ke masa lalu, apa yang ingin kamu perbaiki? saya jawab, tidak ada. Masa lalu adalah masa lalu yang tidak akan bisa dikembalikan lagi. Dan saya tidak mau terpaku pada hidup mengingat hal-hal yang sudah berlalu. Masa lalu menjadi bahan pembelajaran untuk saat ini dan masa depan supaya lebih baik dan makin baik lagi. Segala kecewa dan luka pada masa lalu, sudah saya letakkan, tinggalkan, dan saya jadikan pelajaran supaya tidak terulang di masa sekarang maupun masa depan. Segala hal yang menyenangkan pada masa lalu akan saya jadikan motivasi supaya saya menjadi orang yang makin baik kedepannya. Saya tidak mau membawa penyesalan dan bara apapun dari masa lalu. Semakin bertambah umur, banyak mengalami naik turun ritme kehidupan, maka makin banyak pula saya belajar tentang kehidupan. Saya ingin hidup sebaik-baiknya pada saat ini, bersyukur tentang apa yang ada sekarang, dan benar-benar menikmati setiap momen bersama mereka yang saya cintai maupun dengan orang-orang berlaku positif.

-Nootdorp, 10 Oktober 2018-

17 thoughts on ““Andaikan … “

  1. T___T Ya Allah mbak deeen. Aku nulis tentang masa midlife crisis di usia 25-30 dan sekarang aku sedang dalam tahap itu, mencemaskan segala hal, gelisah, dan jadi suka berandai-andai. Padahal kan ga boleh :”( Untuk sampai pada pemahaman yang matang kayak mbak, pasti udah melalui banyak ujian dan peristiwa. Aku merasa menyesal atas hidupku yang sebelumnya saat SMA, saat kuliah. Andai bisa kuulang (tuh berandai lagi huhu). Pengen banget ketemu mbak den dan ngobrol banyaaaak jadinya 🙁

    1. Setiap fase umur pasti ada masa2nya resah. Akupun mengalami krisis di rentang 20. Wajar saja. Tergantung bagaimana menyikapi. Nikmati dan hadapi

  2. Kadang aku walau sudah setua gini masih suka menghayal yg ga mungkin dan hanya disimpan di hati saja. Tapi bukan menghayal masa lalu.
    Kini semakin bertambahnya usia kian menyadari bahwa dengan banyak bersyukur membuat hati jadi damai.

  3. ihh..pantesan geli eh ternyata aku dicolek. hahaha.

    mbak den, pemikiran sampean iki bijak lho. tak woco woco maneh, dan ya, memang seharusnya sudah digariskan seperti itu. tapi aku kadang sek ono secuil perasaan : seandainya biyen gak ngene, tapi ngunu, mungkin saiki uripku dadi ngono. karena aku menyadari, aku iki wong e impulsif banget. dadi kadang melakukan sesuatu tanpa pikir panjaaaaang.

    yaaa…pikiran pikiran semacam itulah.

    harus belajar banyak lagi. memang.

    1. Sebenare bukan pemikiran iki Na tapi ya yang memang sudah kulakukan selama ini. Kalau aku sekarang mikir lebih simpel aja, mungkin karena umur juga ya. Jadinya ga mau dalam keseharian membawa keresahan masa lalu. Ga akan ada habisnya. kalau mikirnya semua ini sudah ada garisnya, nanti ikhlas akan datang dan ujung2nya akan banyak bersyukur. Semakin nambah umur apa sih yang dicari kalau bukan ketenangan dalam hidup.

  4. lovely post.. thanks..

    baca pagi2 di kantor jadi bahan renungan.. aku paham kedudukan masa lalu, namun juga paham nikmatnya ber-andai2 saat membayangkan kesulitan di kemudian hari gara2 jalan yang dipilih – apalagi kesulitan itu bukan diriku yang akan mengalaminya melainkan orang-orang terdekat..

    1. Suwun!

      Iya kadang2 juga mikir gitu. Tapi semakin bertambah umur, aku semakin menyederhanakan apa yang ada dalam pikiranku. Mungkin memang sudah lelah terlalu sering mencampurkan masa lalu dan hidup saat ini. Akhirnya lebih baik ikhlas saja dan banyak2 bersyukur supaya hidup lebih tenang

  5. Bijak Aku jujur belum bisa berpikir bijak begini. Kalo kata suamiku, ku masih duniawi. Makanya aku terua belajar apapun. Biar gak keblinger ngerasa paling bener. Menurutku ada rasa sesal manusiawi, gimana kita menyikapinya. Mudah-mudahan apapun jalannya tetap diridhoi Yang Maha Kuasa.

    1. Terima kasih Fran! Sebenarnya ini bukan pemikiran tetapi apa yang sudah kulakukan selama ini. Kalau aku sudah dalam taraf melihat bahwa semua yang sudah digariskanNya adalah yang terbaik. Aku tidak mau berburuk sangka apalagi sampai menyalahkan orang lain untuk sebuah musibah yang pernah kuhadapi. Ga ada gunanya malah akan membuat jalan ditempat. Semakin nambah umur, semakin banyak belajar, semakin meletakkan ego supaya hidup lebih tenang dan banyak bersyukur. Sekarang lebih fokus pada diri sendiri dan keluarga dan mengurangi menghakimi apa yang jadi pilihan oranglain yang tidak satu jalan denganku. Jika aku belajar sesuatu, aku akan mengosongkan diri sehingga yang kupelajari bisa kudapatkan manfaatnya sebanyak2nya. Aku ga lebih baik dari orang lain, makanya aku ga berani bilang bahwa orang lain lebih buruk dariku.

Thank you for your comment(s)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.