Empat Tahun di Belanda : Tentang Perkembangan Bahasa Belanda

Saat menulis ini, persis empat tahun sejak kedatangan saya di Belanda, untuk pindah dan menetap. Empat tahun berlalu, rasanya seperti baru beberapa bulan lalu saya sampai Schiphol, membawa hampir 60kg koper dan tas dari Indonesia. Memantapkan hati memulai hidup baru di negara yang hanya pernah saya kunjungi sekali sebelumnya, sebagai turis, selama hanya dua minggu. Kedatangan empat tahun lalu berbeda, bukan lagi sebagai turis tetapi sebagai seseorang yang memutuskan meletakkan semua yang ada di Indonesia. Berniat tidak akan menoleh lagi apa yang sudah dirintis, didapat, dan apapun yang sudah dipunya. Memulai segalanya dari nol. Meminimalisir segala keluh kesah jika memang ternyata kenyataan tidak sesuai harapan karena keputusan pindah datang dari diri sendiri. Hidup dan menikmati waktu bersama suami tercinta walaupun saat itu tidak terpikir untuk membangun keluarga lengkap dengan menghadirkan anak. Tidak tercetus keinginan punya anak, pada saat itu.

Empat tahun berlalu. Apakah terasa? satu tahun pertama, sangat terasa. Bukan karena perkara jauh dari keluarga di Indonesia atau rindu akan makanan Indonesia. Saya sudah jauh dari keluarga saat merantau pertama kali sejak umur 15 tahun. Jadi jauh dari keluarga sudah biasa. Kangen dengan makanan Indonesia juga bukan permasalahan utama karena di kota tempat saya tinggal waktu itu, restoran Indonesia tinggal tunjuk jari saja asal bayar setelahnya dan menemukan bahan untuk memasak makanan Indonesia segampang menjentikkan jari tangan. Kendala utama saat itu adalah perbedaan bahasa dan cuaca yang bisa berubah 4 musim dalam satu hari.

Meskipun orang Belanda banyak yang bisa berbahasa Inggris, tapi buat saya belajar dan bisa berkomunikasi dengan bahasa Belanda adalah harus. Kenapa saya bilang harus? ya karena saya tinggal di sini, sehari-hari bertemu dan melakukan aktivitas dengan penduduk setempat (misalkan ke Supermarket, ke dokter, atau sekedar jalan-jalan ke taman kalau berpapasan saling mengucapkan salam). Selain itu, karena saya harus menyelesaikan ujian integrasi yang hanya diberi waktu 3 tahun sejak kedatangan. Dan tujuan lain kedepannya tentu saja untuk membuka kesempatan mendapatkan pekerjaan seluas mungkin.

Mempelajari bahasa di mana kita tinggal itu banyak keuntungannya. Ya paling nggak kita jadi bisa membaca koran (jadi bisa tahu berita lokal), menonton berita di TV, membaca panduan obat dari dokter, dan tentu saja untuk komunikasi sehari-hari. Itulah kenapa saya benar-benar fokus dan giat memperlancar kemampuan bahasa Belanda saya dengan menggunakan apapun medianya dalam berbagai kesempatan.

Selama sembilan bulan, saya mengikuti kursus bahasa Belanda, setiap hari di rumah berbicara dengan suami menggunakan bahasa Belanda -meskipun belum 100%- (walaupun selama dua tahun terakhir, kami di rumah menggunakan dua bahasa aktif yaitu bahasa Belanda dan bahasa Indonesia. Bahasa Inggris hanya sesekali saya gunakan kalau kepepet males mikir atau kalau lagi pengen ngomel haha), kalau ke luar rumah tidak takut memulai percakapan dengan bahasa Belanda. Setiap ada yang mengajak saya berbicara menggunakan bahasa Inggris (biasanya orang Belanda akan ganti menggunakan bahasa Inggris kalau tahu ada yang kesusahan berbicara menggunakan bahasa Belanda), saya selalu jawab : Ik kan alleen mijn moeder taal en Nederlands spreken. Ik kan niet Engels spreken. Artinya : Saya hanya bisa berbicara menggunakan bahasa Ibu dan bahasa Belanda. Saya tidak dapat berbicara menggunakan bahasa Inggris.

Kenapa saya tidak mau menggunakan bahasa Inggris meskipun saya bisa? Supaya saya tidak terlena dan lebih memacu semangat saya supaya bisa lebih lancar berkomunikasi menggunakan bahasa Belanda. Selain itu, setahun pertama saya isi dengan sering mengikuti kegiatan sukarelawan yang komunikasinya menggunakan bahasa Belanda, sering mendatangi forum-forum diskusi yang menggunakan bahasa Belanda, dan memasuki tahun kedua saya diterima bekerja di tempat yang komunikasinya dengan bahasa Belanda. Dengan cara-cara yang saya sebutkan di atas, lumayan dalam waktu satu tahun saya merasa sudah lumayan berani kapanpun dan dimanapun berkomunikasi menggunakan bahasa Belanda -kecuali jika berhubungan dengan tenaga medis, dua tahun pertama saya selalu memilih menggunakan bahasa Inggris untuk menghindari kesalahpahaman- dan bisa menyelesaikan ujian bahasa Belanda level B1 dan KNM. Kecuali satu ujian baru selesai tiga tahun kemudian (yaitu ONA. Perihal ujian ONA, saya pernah ceritakan di sini).

PERKEMBANGAN BAHASA BELANDA SAYA SAAT INI

Jadi apakah selama 4 tahun bahasa Belanda saya sudah sangat fasih? oh ya tentu belum haha pembaca kecewa. Bahasa Belanda itu susah kawan, setidaknya buat saya pribadi yang merasa lebih gampang mengerjakan penurunan rumus kalkulus dibandingkan mempelajari rumus tata bahasa Belanda. Bukan hanya tata bahasanya tapi juga kosakatanya yang agak tricky. Meskipun banyak juga kosakatanya yang sama atau mirip dengan kosakata bahasa Indonesia (ini bagian yang memudahkan dalam belajar bahasa Belanda), tetapi lebih banyak lagi kosakata baru yang harus dipelajari. Belajar bahasa itu memang butuh waktu, ketekunan, berkesinambungan, dan banyak praktek tentunya. Belajar bahasa tidak bisa hanya sekedar dihapal rumus tata bahasanya tapi minim praktek, percayalah itu tidak akan berhasil. Belajar bahasa butuh praktek yang banyak. Praktek, praktek, dan praktek. Dari membaca, menulis, mendengarkan, serta berbicara. Jika tidak diasah secara rutin, kapan lancarnya, ya kan?

Nah, bagaimana perkembangan bahasa Belanda saya sekarang ini? Di awal sudah saya tuliskan kalau saya sudah menggunakan bahasa Belanda nyaris di setiap lini kehidupan, kecuali jika berhubungan dengan medis. Bahasa Belanda yang saya gunakan dulu ya levelnya masih tingkatan tawar menawar di pasar, ngobrol dengan tetangga dan kolega kerja, melakukan aktivitas sehari-hari, membaca koran dan majalah dan resep dokter, menulis email, dan wawancara kerja. Tapi sejak dua tahun terakhir, sejak saya mulai sering bersinggungan dengan tenaga medis (dari pihak rumah sakit, dokter, bidan, perawat, pekerja di posyandu), secara tidak sadar saya mulai berani perlahan menggunakan bahasa Belanda. Padahal di sistem yang ada, sudah tertulis kalau saya lebih suka menggunakan bahasa Inggris. Karena itulah, dulu jika saya ada urusan dengan medis, otomatis mereka menggunakan bahasa Inggris karena sudah tertulis di sistem. Tapi sejak dua tahun terakhir, saya perlahan mulai memberanikan diri untuk berkomunikasi menggunakan bahasa Belanda ketika berhubungan dengan tenaga medis baik saat bertemu muka maupun ditelepon. Saya sudah tidak ragu dan takut lagi. Sampai suami ketika mendengar saya berbicara dengan dokter di telepon, kaget sendiri, kok mendadak jadi canggih katanya haha. Ya sebenarnya belum canggih-canggih banget. Cuma sekarang jadi berani. Kalau benar-benar ada penjelasan yang sudah berulangkali dijelaskan tapi saya tetap tidak paham dalam bahasa Belanda, baru saya minta tolong untuk dijelaskan dalam bahasa Inggris. Jadi intinya, level perkembangan bahasa Belanda saya sekarang sudah mulai merambah ke level medis. Lumayanlah buat saya, jadi makin percaya diri meskipun ya masih harus terus belajar mengasah kemampuan dengan tetap belajar dan praktek yang banyak.

Kenapa saya jadi punya keberanian? Karena saya mikirnya sederhana, kalau tidak mulai diniatkan belajar berani, ya kapan beraninya. Lagipula, tidak setiap kesempatan bertemu dengan tenaga medis suami bisa mendampingi. Dari dulu memang saya ini istri lepasan, nyaris dari awal kedatangan, urusan apapun saya urus sendiri. Ya pendeknya, kalau apapun menggantungkan ke suami, malah rugi ke diri sendiri. Jadi tidak berkembang kan kemampuannya.

Dan satu lagi, saya sudah lulus semua ujian integrasi dan sudah menerima diploma. Leganya, empat tahun sudah tanpa tanggungan ujian lagi. Saya mempunyai niat tahun depan ingin ikut ujian bahasa Belanda level B2. Semoga tahun ini bisa khusyuk belajar sehingga niat bisa terealisasikan dan bukan hanya sebatas wacana (seperti biasanya haha).

Bagaimana dengan urusan cuaca? semakin hari saya dan cuaca semakin berteman akrab. Meskipun kalau sedang musim dingin seperti sekarang, ada saja yang bikin saya agak “konslet” haha. Sepet rasanya kalau melihat langit setiap hari warnanya abu-abu. Walaupun jika sedang turun salju, ya saya masih norak lah melihatnya. Khusus hari pertama saja. Hari selanjutnya hati kembali empet karena jalanan jadi super licin. Nah, kalau musim dingin begini harus pintar-pintar memanfaatkan keadaan. Jika cuaca sedang cerah dan langit biru, pasti kami manfaatkan untuk jalan kaki meskipun suhu ya paling banter 3ºC. Satu jam jalan kaki lumayan lho bisa membuat hati gembira.

Jalan kaki satu jam menjelang makan siang. Lalu makan soto (di rumah, bukan abang gerobak) dilanjutkan leyeh-leyeh baca buku menuju waktu tidur siang
Jalan kaki satu jam menjelang makan siang. Lalu makan soto (di rumah, bukan abang gerobak) dilanjutkan leyeh-leyeh baca buku menuju waktu tidur siang
Setelah bangun tidur siang, ngemil sebentar lalu lanjut jalan sore selama satu jam. Sayang kalau cuaca cerah cuma di rumah saja, meskipun dingin.
Setelah bangun tidur siang, ngemil sebentar lalu lanjut jalan sore selama satu jam. Sayang kalau cuaca cerah cuma di rumah saja, meskipun dingin.

Diantara suka duka dengan cuaca, saya selalu bersyukur karena masih punya rumah yang hangat untuk berteduh, persediaan makanan sehat yang cukup serta keluarga yang berkumpul dalam keadaan sehat.

Empat tahun yang sebenarnya tidak sebentar tapi terasa sebentar karena saya menikmati setiap prosesnya, jatuh bangun, suka duka dan apapun yang terjadi selama ini. Empat tahun belum berkesempatan untuk bertemu kembali dengan teman-teman dan keluarga di Indonesia. Empat tahun yang penuh perjuangan dan suka cita. Tadi siang (pada tanggal saat menulis), saya memandangi salju yang turun tipis di kampung tempat saya tinggal, sambil berucap syukur atas empat tahun yang terlewati dan berdoa semoga kedepannya makin berkah dengan apa ada sekarang ini. Kesehatan yang baik, keluarga yang mudah-mudahan selalu sehat dan bahagia, dan semoga setiap langkah kedepannya selalu membawa manfaat dan hal-hal positif minimal untuk diri sendiri dan keluarga, syukur-syukur bisa untuk orang banyak.

-Nootdorp, 30 Januari 2019-

15 thoughts on “Empat Tahun di Belanda : Tentang Perkembangan Bahasa Belanda

  1. Hebat mba bisa bertahan empat tahun, gak kebayang kalau musim dingin gimana. Saya kesana akhir November tiap hari langit kelabu dan berkabut aja uda stress pengen cepet2 pulang padahal lagi liburan hihihi…

    1. Kalau menggunakan kata bertahan kayaknya ga tepat ya haha lha wong memang aku sudah hidup di sini. Ga ada pilihan untuk ga bertahan, keluarga ada di sini :)))

      Iya, November memang kelabu. Sekarang lumayan mataharinya sering muncul

      1. Iya mba, maksudnya kan masih suka pulang ke Indonesia gitu atau udah jadi citizen disana? Kayak aku juga suami orang Australia kadang betah kadang juga nggak di sini hehhe soalnya di Indonesia juga masih punya keluarga 🙂

        1. Selama 4 tahun di Belanda, aku masih belum pernah pulang sama sekali. Punya kartu ijin tinggal di sini, semacam KTP gitu.

    1. Terima kasih! itu memang pas langitnya sedang bagus birunya makanya fotonya nampak bagus, pake Hp saja.
      Iya, cuaca memang lah adaptasi yang butuh kesabaran.

  2. Hai mbak Deni. Meminimalisir segala keluh kesah, itu juga yang aku lakukan. Ini pilihanku untuk beremigrasi dan sebagai orang dewasa juga belajar lebih baik untuk menerima konsekuensi. Toh mengeluh terus tidak menyelesaikan masalah. Sukses dengan belajar untuk ujian B2 mbak, semangat! Jij kunt het!

    1. Hai Mbak Dede, suwun wes mampir 🙂
      Betul sekali Mbak. Apapun yang sudah diputuskan atas kehendak sendiri, harusnya memang dihadapi. Keluh kesah tak akan menyelesaikan apapun malah bikin ruwet.
      Thanks Mbak! semoga tahun ini bisa curi2 waktu belajar biar tahun depan bisa ikut ujian B2 🙂

  3. Selamat 4 tahunan di Belanda, Deny ☺ Mengenai belajar bahasa yang harus banyak praktek, aku setuju banget tuh. Makanya dari lulus kuliah Sastra Jepang ngotot kerja yang bisa praktek bahasa Jepangnya karena aku ga mau udah capek capek belajar, eh lupa semua bahasanya ☺☺☺

    1. Terima kasih Inong!
      Iya, karena bahasa itu bukan sekedar hafalan kan, tapi kebiasaan. Macam musti diasah setiap saat. Aku dulu seneng banget belajar bahasa dari bahasa Arab, Jepang, sampai Mandarin. Dulu sih lancar ya. Pas ga pernah dipake, ya bubar jalan ga ada yang nyantol haha.

    1. Terima kasih Nis, semoga tahun ini bisa curi2 waktu belajar sendiri, kalau ga ngantuk pas ada waktu senggang malah milih tidur haha.
      Wah kamu sih sudah lewat level B1, di rumah pake bahasa Belanda aktif kan. B1 gampang itu buatmu, sukses yaaa ujiannya!

Thank you for your comment(s)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.