Tentang Penerimaan Diri

Beberapa waktu lalu rame tantangan 10 tahun banyak dilakukan dengan cara memasang foto dalam rentang 10 tahun tersebut.  Saya tidak ikut memasang foto. Alasannya sederhana : karena 10 tahun lalu saya masih belum memakai jilbab. Ya sejak memutuskan memakai jilbab pada tahun 2010, segala foto-foto yang belum menggunakan jilbab jadi koleksi pribadi saja. Bahkan saya juga sudah menghapus foto-foto tanpa jilbab yang ada di media sosial, meskipun saya tahu bahwa jejak digital tidak segampang itu menghapusnya. Mungkin itulah tantangan saya yang sesungguhnya :)).

Walaupun tidak ikut meramaikan memasang foto, tapi saya ikut meramaikan dengan bercerita apa sih perbedaan saya yang sekarang dibanding 10 tahun lalu. Apa saja hal-hal yang terjadi dulu dan sekarang. Tidak semua saya tuliskan di twitter, jadinya cerita yang singkat padat jelas saja.

10 tahun lalu, saya masih bekerja di Jakarta, sampai 7 tahun lamanya. Tahun 2009, berarti baru sekitar 4 tahun bekerja di perusahaan tersebut. Lembur sampai dini hari lalu paginya sudah harus siap presentasi. Dulu semangat banget ya, ambisi juga karena ingin mencapai satu posisi dalam departemen yang saya incar. Bersyukur ketika saya berhenti bekerja, jabatan terakhir sesuai dengan yang saya incar. Berasa kerja super keras (dan agak tidak cerdas) ada hasilnya. Membayangkan saya yang dulu, rasanya tidak ingin kembali ke masa itu haha. Kok ya saya kuat dulu hidup seperti itu. Benar-benar capek lho. Belum lagi jadwal  perjalanan bisnis yang padat merayap. Dalam waktu sebulan, 3 minggu saya perjalanan bisnis dan satu minggu di kantor. Ah masa-masa itu, memang nikmat untuk dikenang tapi jujur saya tidak ingin kembali ke masa itu. Walaupun saya bersyukur dalam rentang umur 20an digunakan secara maksimal. 10 tahun lalu saya bahagia dalam kondisi tersebut karena itulah yang saya inginkan. Meskipun mungkin bahagianya lebih ke arah duniawi. Mengejar ambisi.

10 tahun kemudian, siapa yang menyangka bahwa saya akan hidup di Belanda, melewati 4 tahun dengan banyak cerita. Saya dengan pilihan hidup saat ini, bahagia lebih ke arah spiritual. Lebih sadar dengan setiap langkah yang saya jalani. Lebih banyak bersyukur dengan segala apa yang ada dengan emosi yang lebih tertata. Jika dibandingkan 10 tahun lalu, saat ini saya lebih merasa bahagia.

Popeye Village, Malta
Popeye Village, Malta

Pencapaian yang saya raih lebih ke arah dalam. Tidak ada rasa ingin menonjolkan apapun. Sekarang terasa bahwa segala perjalanan yang telah saya tempuh selama ini benar-benar mendewasakan dalam arti sebenarnya. Segala keluh kesah, emosi, rasa gembira, suka cita lebih tau cara mengelolanya. Dulu selalu menggebu-gebu dalam hal apapun, bahkan menuangkan di media sosial. Segala apa yang ada di pikiran, dari caci maki, nyinyir sampai hal yang menggembirakan tumpah ruah di media sosial. Sekarang saya lebih tahu diri. Buat apa meluapkan hal-hal yang tak menguntungkan, hanya emosi sesaat. Lebih baik saya pergunakan energi untuk sesuatu yang membuat saya gembira.

Penerimaan terhadap diri sendiri juga membuat perjalanan hidup selama 10 tahun terakhir menjadi berwarna. Menerima bahwa tidak semua hal harus sesuai pengharapan. Jatuh bangun, segala air mata dan tawa yang menghiasi langkah kaki membuat saya saat ini bisa menerima sesuatu yang kadang sudah direncanakan dengan baik tapi meleset sampai tak nampak lagi jejaknya. Badan yang tak lagi sama seperti dulu, namun jiwa yang lebih bahagia dibandingkan 10 tahun lalu.

Mereka yang mengenal saya dengan baik sering bilang saat ini saya lebih tertutup. Ada benarnya, karena hidup saya pun saat ini sudah berbeda. Lebih tepat jika dikatakan saya sengaja membuat dan menjaga jarak. Tak mengapa jika ada bisik-bisik tetangga yang mengatakan saya lupa akar. Apapun yang orang katakan diluar sana, selama tidak mengganggu keluarga saya, silahkan.

Jika ada yang bertanya, mana yang lebih saya pilih. Saat ini atau saya yang 10 tahun lalu? Saya memilih untuk tidak memilih. Saya yang saat ini adalah hasil dari perjalanan 10 tahun lalu. Masing-masing fase hidup saya jalani dengan penuh kesadaran. Tubuh yang tak lagi sama bentuknya, pun saya jalani dengan rasa gembira dan penuh sadar. Nanti, jika memang waktunya sudah tiba, tubuh ini akan kembali seperti yang saya inginkan. Namun, penerimaan diri bahwa rasa bahagia melalui banyak pembelajaran, itu yang lebih utama. Tak lagi membandingkan pencapaian diri dengan hal lain diluar sana. Sebagai motivasi, boleh. Namun bukan sebagai hal yang malah membuat diri merasa jauh dibelakang.

Saya tidak pernah berangan-angan untuk kembali lagi seperti 10 tahun lalu. Disetiap fase hidup, saya selalu berusaha untuk menjadi pribadi paling baik menurut versi saya. Bukan untuk memuaskan orang lain, karena akan capek pada akhirnya. Saat ini saya bahagia dengan apa yang telah saya lalui dan apa yang terjadi saat ini. Semoga saya dapat menjadi versi terbaik yang saya bisa.

-Nootdorp, 14 Maret 2019-

 

12 thoughts on “Tentang Penerimaan Diri

  1. Saat lihat foto 10 tahun lalu dan sekarang, oh rasanya cepat sekali waktu berlalu. Jadi memikirkan apa yang aku lakukan saat dulu di umur segitu. Jadi melihat ke belakang dan bersyukur ada di keadaan sekarang. Apapun yang terjadi di belakang, baik buruknya membentuk kita yang sekarang.
    Btw ini tulis komennya lewat kolom komen yang ada di preview blog. Kalau di blognya langsung masih ga bisa 🙁

    1. Setuju! Apapun yang terjadi sekarang juga hasil campur tangan masa lalu.

      Wah makasih ya akhirnya nemu cara untik komen di sini

  2. seiring umur ya:) tapi saya setuju juga ttg perubahan diri, apalagi ketika kita memutuskan berhijab, kmrn itu sampe geleng2 sendiri, melihat tebaran foto 10 thn challange.., dr yang skrg sudah tertutup, tdk malu menunjukan foto lama-khusus untuk muslimah- pilihan bijak mbe deny.

    1. Iya. Semoga kita istiqomah ya. Ketika memutuskan untuk berjilbab semoga tidak tergoda menampakkan foto dulu ketika sebelum berjilbab.

  3. Memang semua punya alasan dan kondisi masing-masing, ya. Jujur, rata-rata teman Indonesia yang kami kenal di luar makin menutup diri (kecuali yang sudah akrab benar). Kalau dari ceritanya mereka kesulitan dalam menyamakan pola pikir dengan kondisi Indonesia sekarang. Baru mulai open setelah ketemuan langsung dan ngerti kami itu nggak usil, nggak ekstrim kiri atau kanan. Saya sendiri punya kecenderungan geek yang bisa bahaya kalau dituruti. Makanya ada urgensi untuk bergaul. Nggak gampang, ilmu sabar harus dilatih sampai level up. Nilai plusnya lebih punya rem dan pertimbangannya jauh lebih dewasa lah dari saat masa-masa labil hahaha…

    1. Iya, salah satu faktor menjaga jarak karena memang ingin privasi tetap terjaga dan tidak terlalu sering mendapatkan komentar yang tidak penting

  4. Nice writing, Den..Aku pun kalau disuruh memilih antara 10 tahun yang lalu dgn yang sekarang, aku gak bakal milih. Karena aku bersyukur dgn apa yang terjadi di kehidupanku 10 tahun yang lalu dan juga sekarang

  5. Setuju sekali dengan tulisan mbak Deny di 2 paragraf terakhir. Aku bersyukur mengalami fase 10 tahun lalu, karena mengantarkan aku dengan pemikiran dan kondisi aku saat ini. Tulisan yang menyenangkan dan menentramkan mbak

  6. Ternyata faktor bertambahnya usia, sangat berpengaruh yaa buat pola pikir, gaya hidup dan gimana kita jalanin hidup… 10 tahun itu waktu yang bisa lama bisa cepet…. jadi inget pepatah Learn from yesterday, live for today, hope for tomorrow””.. that’s what we become now….

    1. Iya betul Shin. Usia buatku memang berpengaruh besar terhadap perubahan pola pikir dan kestabilan emosi

Thank you for your comment(s)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.