Akhirnya, Kencan Berdua!

Jam 11 malam makan Gelato dan Granita rasa Semangka

“Nanti malam kencan yuk, berdua aja”

—– hening, saya yang sedang khusyuk membaca twitter dari Hp, menatap dia, kirain mengigau. Maklum, jam 7 pagi dan di luar masih gelap. Sabtu pagi biasanya kami beranjak dari kasur agak siang, sekitar jam 8. Leyeh-leyeh dulu.

“Gimana?” memastikan kalau dia tidak mengigau

“Iya, kencan nonton bioskop nanti malam. Jam 8 malam gitu berangkat dari rumah. Kan ceritanya malam mingguan. Sudah lama kita tidak kencan berdua kan?”

Saya langsung memiringkan badan menatap dia, tersipu-sipu seperti anak gadis diajak kencan pacarnya. Duh saya beneran senang sekali pagi itu. Sampai senyum simpul saya tidak lepas dan tetap tersipu-sipu. Sampai saya merasakan ada sensasi kupu-kupu di dalam perut. Rasa senangnya sampai membuat bingung harus menjawab apa.

“Nanti kita nonton film yang jam 9. Tram terakhir masih ada sampai jam 12, jadi ga usah khawatir kita bisa pulang naik tram. Gimana? Nanti aku bilang Lisa untuk datang jaga di rumah. Kamu kok dari tadi senyum-senyum terus” —Lisa ini anak tetangga sebelah rumah persis.

“Duh aku ini grogi lho sampai bingung mau jawab apa. Senang rasanya seperti awal kita ketemu, trus kamu mengajak aku nonton film di Galaxy Mall. Film yang entah apa aku ga ingat ceritanya, tapi sampai sekarang aku ingat betapa aku senang sekali dan sepanjang film tidak berhenti tersenyum. Perutku sekarang ini lho seperti ada yang menggelitik, rasanya banyak kupu-kupu terbang di sana”

—– Dia tersenyum mengerti.

Dia tahu sekali bahwa kami memang setahun belakang ini tidak pernah pergi hanya berdua. Memang kondisi yang belum memungkinkan. Bahkan saya ingat sekali, terakhir kami nonton bioskop berdua itu saat adik saya ke Belanda tahun kemarin. Jadi hitungannya juga bukan hanya berdua tapi bertiga haha. Film yang kami tonton terakhir di bioskop di Rotterdam waktu itu adalah Dunkirk, itupun 1.5 tahun lalu. Nah karena sekarang kondisinya sudah mulai stabil dan memungkinkan, jadi kami coba-coba juga sih ini sebenarnya.

Sepanjang hari, saya senyum-senyum terus membayangkan nanti malam mau pakai baju apa ya, mau dandan ah. Rasanya benar-benar panas dingin gitu lho seperti diajak kencan pas jaman usia 20 an haha. Suami menghubungi anak tetangga apakah nanti malam bisa jaga di rumah kami. Bayar sih ini, bukan gratisan. Hitungannya perjam. Kalau di Belanda namanya Oppassen, Lisa namanya Oppas. Karena sudah kenal dekat sekali dengan Lisa dan keluarganya, jadi kami nyaman menitipkan ke dia. Lisa belum bisa memberikan jawaban karena masih kerja. Baru sore hari, dia memberikan jawaban bisa. Yiaay! langsung suami beli tiket lewat Hp, yang ternyata nyaris seluruh kursinya sudah penuh. Kami dapat kursi nomer 5 dari depan. Tidak apalah daripada depan sendiri.

Setelah makan malam, kami nonton TV. Tidak berapa lama saya bilang mau ke atas dulu, mau siap-siap. Dia menatap saya, buat apa katanya. Saya bilang, “Kita ini kan mau kencan berdua. Pertama kali setelah berapa lama lalu. Jadi aku mau dandan, biar kayak dulu waktu awal-awal kamu ke Surabaya itu lho, ngajak aku nonton. Kan kamu nungguin aku di kos, siap-siap dulu sebelum pergi.” —haha nulis gini saya kok jadi ketawa sendiri. Trus suami nanya, dia perlu “dandan” juga ga. “Ga usah, lha wong kamu sudah siap gitu.

Setelah menyelesaikan urusan dalam negeri, setengah delapan saya turun, nonton TV sama suami sambil menunggu Lisa datang. Jam delapan persis, Lisa datang. Kami lalu menjelaskan hal-hal yang perlu Lisa lakukan kalau misalkan ada apa-apa. Kami tanya, Lisa mau tidur di kamar yang kosong di atas atau di sofa depan TV, dia pilih yang kedua. Bahkan dia sudah bawa bantal dan selimut sendiri haha, mentang-mentang rumah sebelahan. Padahal saya sudah menyiapkan bantal dan selimut di sofa.

Kami lalu pamitan pergi. Sepanjang jalan dari rumah menuju halte tram yang hanya sekitar 8 menit, kami bergandengan tangan. Saya tetap senyum-senyum (ga jelas haha), jantung kok rasanya dag dig dug. “Kamu berbunga-bunga juga ga sih kita akhirnya bisa kencan berdua gini, malam-malam pula.” Suami ternyata juga senyum-senyum simpul, “Iya, ternyata sensasinya menyenangkan ya bikin gembira acara “melarikan diri” berdua selama beberapa jam ke depan.” Lalu kami tertawa terbahak.

Mungkin hal tersebut terjadi karena euforia kami terhadap bulan November. Ada banyak hal menyenangkan terjadi di bulan ini. Salah satunya adalah, kami pertama kami kenal, 60 bulan lalu pada bulan ini. Dan karena merasa tanggal tersebut istimewa, kami jadikan jumlah uang untuk mas kawin. Dan beberapa hari lalu, kami baru melewati 51 bulan pernikahan. Benar, kami selalu mengingat dan menghitung setiap tanggal kami menikah setiap bulannya. Selalu menyenangkan ketika tahu sudah berapa bulan kami berada dalam satu rumah tangga.

Di tram, kami duduk bersisian sambil membicarakan dan mengingat kejadian-kejadian sebelum kami menikah. Mengingat kembali bagaimana suami melamar saya langsung ke Ibu, mengingat betapa nekatnya kami yang beda benua ini memutuskan menikah dalam waktu singkat, mengingat bagaimana saya sempat tidak memberikan jawaban beberapa bulan setelah dia melamar saya, dan ingatan-ingatan lainnya. Kami terkekeh, terbahak dan tersenyum simpul mengingat banyak hal yang telah kami lewati selama ini. Dan juga membicarakan hal-hal yang akan terjadi di depan. Lalu saya meminta dia memfotokan saya, supaya terabadikan momen sedikit dandan haha padahal cuma pakai lipstik aja. Bedakanpun tidak. Akhirnya tram sudah sampai di halte dekat bioskop.

Bermodalkan polesan bibir aja, sudah nampak sumringah haha
Bermodalkan polesan bibir aja, sudah nampak sumringah haha

Kami datang lebih awal. Ternyata bioskopnya rame sekali dan antrian menuju studio yang kami tuju sudah mengular. Jadi mikir, ini orang-orang “melarikan diri” sejenak seperti kami jugakah haha. Begitu sudah waktunya masuk dan kami menemukan nomer tempat duduk, saya cepat-cepat mengeluarkan Hp, cekrek foto berdua haha. Benar-benar mengabadikan waktu berdua  secara maksimal lah ini pokoknya. Sebelum film mulai, suami kirim pesan ke Lisa apakah keadaan aman terkendali. Kata Lisa, aman.

Muka bahagia bisa berduaan di luar rumah 4.5 jam :)))
Muka bahagia bisa berduaan di luar rumah 4.5 jam :)))

Filmnya super keren. Tidak terasa 2.5 jam berlalu. Saking menikmati film ini, saya sampai merasa sepertinya tidak sampai 1 jam. Saat kembali ke rumah naik tram jam 12 malam, di dalam tram banyak sekali para remaja. Kami berasa seperti ABG yang baru pulang pacaran :))). Setelah turun dari tram, saat jalan kaki menuju rumah, saya bilang terima kasih ke suami sudah membuat acara kencan secara spontan ini benar-benar indah. Terima kasih sudah mengajak saya kencan berdua. “Kapan-kapan yuk diulangi lagi.” Haha dia ketagihan.

Sampai di rumah jam setengah satu dini hari, Lisa ternyata tidur nyenyak. Setelah kami memberikan uang, dia pulang dengan mata masih mengantuk, susah melek.

Sampai saat saya menuliskan cerita ini, masih saja saya tersenyum simpul mengingat pengalaman tadi malam. Bahagianya masih terasa.

Kalian, kapan terakhir kencan berdua dengan pasangan dan melakukan kegiatan apa?

BOHEMIAN RHAPSODY

Film yang kami tonton tadi malam judulnya Bohemian Rhapsody. Terus terang saya bukan penggemar Queen. Hanya tahu lagu-lagunya saja. Itupun saya tahunya karena teman kos jaman SMA selalu muter lagu Queen setiap hari. Sewaktu film ini sudah ada di bioskop, saya nanya suami yang penggemar berat Queen apakah ada rencana nonton. Dia bilang iya. Saya bilang, ya sudah nonton saja pas akhir pekan, saya di rumah. Dia mengajak, tapi saya males. Takut ga paham ceritanya. Nah, sampai ajakan kencan itu datang lalu saya mengiyakan. Demi sebuah kencan.

Ternyata dari awal film sampai akhir saya sangat menikmati ceritanya dan baru tahu banyak tentang Freddie Mercury, darimana nama itu, nama aslinya, latar belakang keluarganya dan sebagainya. Dan ternyata juga, saya tidak asing dan banyak tahu lagu-lagu sepanjang film.  Saking fokus dengan ceritanya, saya sampai memperhatikan detail lainnya seperti : drummernya ganteng menggemaskan haha, kaki Rami Malek jenjang dan cara jalannya keren saya suka, saya naksir semua sneakers yang dipakai Rami Malek haha apalagi yang akhir-akhir cerita, badan Rami Malek bagus ternyata sewaktu pakai kaos kutang di konser, dan masih banyak lainnya hal-hal yang saya perhatikan. Kurang kerjaan :))) Bagian yang luar biasa ya sewaktu konser terakhir. Duh beneran seperti melihat secara langsung konsernya. Apalagi lagu terakhir, saya sampai ga sadar nangis. Nyesek karena mikir banyak hal tentang vokalisnya. Berpikir ternyata dibalik kesuksesannya, dia mencari sesuatu yang kosong dalam hidupnya dan baru bertemu saat-saat terakhir sebelum meninggal, berpikir bahwa bagaimanapun cara orangtua membesarkan anak-anaknya, pada akhirnya mereka sendiri yang akan memutuskan hidupnya akan seperti apa, banyak hal lagi yang saya pikirkan sewaktu mendengarkan lagu terakhir itu, makanya jadi menangis (cuma beberapa tetes saja).

Film ini luar biasa. Saya suka dan terkesima. Awalnya tidak menaruh harapan tinggi (bahkan sempat khawatir saya akan jatuh tertidur saat menontonnya karena biasanya jam segitu saya sudah tidur), eh ternyata suka sekali. Keren!

Ada yang sudah nonton film ini? bagaimana kesannya?

-Nootdorp, 11 November 2018-

Menua Bersama

Ini salah satu tempat favorit kami nongkrong di dekat rumah. Duduk-duduk pinggir danau sambil lihat angsa berenang dan membawa bekal seperti piknik

Pada tanggal 9 setiap bulan, kami selalu menghitung sudah berapa lama ya kami menikah. Sudah berapa bulan suka dan duka yang terlewati sejak ijab kabul. Ada kesenangan tersendiri mengetahui : oh sudah sekian bulan nih, wah banyak juga ya. Lalu biasanya kami akan sedikit kilas balik apa saja yang sudah terlewati, kisah baik dan buruknya. Apa yang perlu dibenahi kedepan, apa yang perlu ditinggalkan di belakang, apa yang perlu diambil sebagai bahan pembelajaran. Selalu menyenangkan diskusi pada tanggal 9 setiap bulan.

Minggu lalu, pernikahan kami genap berusia 4 tahun. Usia yang masih sangat muda tentu saja. Sampai sekarang kami kadangkala seringnya tak percaya bisa bertahan sejauh ini mengingat rentang perbedaan yang sangat lebar diantara kami. Bukan hanya sifat dan kebiasaan, cara berpikir dan keyakinan akan banyak hal pun banyak sekali bedanya. Namun kami selalu menyadari bahwa pernikahan bukanlah untuk menjadikan sama dua hal yang berbeda, tetapi menyelaraskan perbedaan itu sehingga daya bentroknya bisa diperkecil. Saudara kembar pun mempunyai perbedaan yang banyak, apalagi kami yang dibesarkan ditempat yang saling berjauhan dan membawa banyak hal yang berbeda dalam hidup.

Empat tahun yang terasa sangat cepat karena kami sangat menikmati setiap detik kebersamaan. Kebersamaan yang tidak hanya dilewati dengan tawa bahagia, senda gurau tapi juga terselip pertengkaran, amarah, dan air mata kecewa. Empat tahun, semoga akan menjadi empat puluh tahun kemudian atau lebih. Semoga kami bisa diberikan banyak kesabaran dan saling pengertian yang lebih satu sama lain. Banyak hal baik yang suami contohkan dan akhirnya bisa saya serap, begitu juga sebaliknya. Setiap hari kami belajar banyak hal. Mengenal dia selama empat tahun pernikahan membuat saya banyak bersyukur bahwa Tuhan memberi jodoh seperti dia. Mudah-mudahan dia pun merasa seperti itu. Kami saling mencukupkan, tapi tidak mencoba untuk saling menyempurnakan. Itu saja sudah lebih dari yang saya tuangkan dalam doa selama ini.

Semoga kami selalu dilimpahi kebahagiaan dan kesehatan yang baik kedepannya. Semoga kami bisa mendidik anak-anak kami dengan baik, melihat mereka bertumbuh, sehat, dan bahagia dengan apapun pilihan mereka yang membuat mereka bahagia dan tidak menimbulkan kerusakan dan kerugian bagi siapapun serta apapun, terutama bagi mereka sendiri. Semoga kami tetap saling bergandengan tangan, menatap dengan penuh cinta seperti saat pertama kami saling jatuh cinta, dan menyandarkan kepala pada bahu  jika salah satunya sedang butuh sandaran, dan mempunyai rejeki yang cukup untuk bisa mewujudkan impian kami melangkahkan kaki dan melihat dunia yang lebih luas. Semoga kami dapat menua bersama dengan penuh rasa syukur. Semoga.

Ini salah satu tempat favorit kami nongkrong di dekat rumah. Duduk-duduk pinggir danau sambil lihat angsa berenang dan membawa bekal seperti piknik
Ini salah satu tempat favorit kami nongkrong di dekat rumah. Duduk-duduk pinggir danau sambil lihat angsa berenang dan membawa bekal seperti piknik

-Nootdorp, 12 Agustus 2018-

Tiga Tahun

Tiga tahun berjalan sangat cepat. Menjelang tiga tahun pernikahan, hampir setiap hari kami membahasnya kalau tiga tahun yang kami lalui ini benar-benar tidak terasa. Dan kami suka membahas sambil cekikikan kalau diantara kami tuh sebenarnya banyak sekali perbedaan. Kalau dibuat daftar, banyak bedanya dibanding samanya.

Zaanse Schans
Zaanse Schans

 

– Yang satu tukang ngegombal setiap detik setiap saat, yang satu cuma senyum-senyum saja sambil lempeng bilang thank you.

– Yang satu selalu ribet nyari kunci (apapun) di pagi hari, yang satu selalu gemes ngelihatnya dan mengulang omongan kalo kunci musti ditaruh tempat yg disediakan setiap nyampe rumah.

– Yang satu suka banget pakai sepatu dan sandal di dalam rumah tapi nyeker kalau ke luar rumah, yg satu tukang ngomel dan kayak kaset rusak ngomong setiap masuk rumah alas kaki harus dicopot dan suka geli kalau kaki sendiri basah dan kotor jadi harus cepat-cepat dibersihkan.

– Yang satu suka banget makan kue yang manis-manis, yang satu suka banget makan camilan yang banyak micinnya meskipun setelahnya pasti sakit tenggorokan.

– Yang satu hobi banget naik kendaraan umum, yang satu ga bisa hidup tanpa ngayuh sepeda setiap hari.

– Yang satu suka banget nanya ini dimana itu ditaruh mana dan kalau nyari ga ketemu, yang satu entah kenapa kayak punya kekuatan bulan selalu menemukan yang dicari.

– Yang satu tukang beberes dan paling tidak bisa lihat rumah berantakan, yang satu bagian ngeberantakin dan selalu komentar “ini kan rumah bukan museum, jadi ga usahlah terlalu bersih”

– Yang satu sukanya makan tempe, yang satu doyannya makan tahu.

– Yang satu bisa ngunyah buah sampai 4 jenis berbeda setiap harinya, yang satu suka banget sama sayuran mentah.

– Yang satu suka sekali dengan sejarah dan ga suka matematika, yang satu hobi utak atik rumus matematika kayak kurang kerjaan dan ga terlalu mudeng dengan geografi dan sejarah.

– Yang satu jago dan rapi sekali kalau pasang seprei, yang satu mending nyetrika daripada masang seprei.

Kalau mau dijabarkan perbedaan yang ada, bisa lebih panjang dari novel-novel yang beredar di pasaran. Bagaimanapun juga, kami menjalankan pernikahan ini atas nama perbedaan dan bukan untuk menyamakan yang beda tapi mengharmonikan hal-hal yang tidak sama.

Satu yang pasti, banyak perubahan yang terjadi termasuk perasaan kami tidak lagi sama seperti tiga tahun lalu atau getaran itu tidak lagi sama seperti 3.5 tahun lalu saat pertama kali bertemu. Perasaan dan getaran yang ada semakin hari semakin menguat. Selalu ada pipi yang menghangat dan kupu-kupu yang beterbangan di perut saat ucapan tulus terlontarkan atau celutukan-celutukan manis walau cuma selewat. Kadang-kadang kalau lama tidak bertengkar, yang satu suka iseng cari gara-gara tapi kalau salah paham beneran ngambeknya susah hilang.

Bersyukur atas tiga tahun yang terlewati. Semua yang hadir dalam tiga tahun ini datang pada waktu yang tepat, tidak terlalu cepat pun tidak lambat. Perbedaan atau persamaan, bukanlah hal yang besar buat kami saat ini. Karena sejak awal, kami sama-sama yakin bahwa kami dipertemukan untuk bisa saling belajar dan menjadi yang terbaik bagi satu sama lain.

Doa setiap tahun, semoga kami terus bersama dalam keadaan sehat dan bahagia, saling menguatkan dalam susah dan tidak takabur dalam senang, diberikan umur panjang yang barokah agar bisa saling beriringan berjalan dalam pernikahan sampai berpuluh tahun kemudian.

Di Leuven, Belgia
Di Leuven, Belgia
Biar agak romantis gitu, tiga tahunan di Paris. Tapi gelap fotonya 😅
Biar agak romantis gitu, tiga tahunan di Paris. Tapi gelap fotonya 😅

-Nootdorp, 9 Agustus 2017-

Semua Tentang Pilihan

Yang namanya orang hidup, masih bernafas, bisa berpikir dan bertindak pasti akan banyak sekali menghadapi pilihan. Ya, macam saya yang setiap sarapan pagi sudah mikir nanti siang mau makan apa ya. Kalau sedang tidak bekerja, enak saya bisa makan lalapan sama sambel. Kalau sedang bekerja, ya makannya disesuaikan dengan apa yang disediakan di tempat kerja. Masalah mengisi perut saja, saya harus berpikir untuk memutuskan diantara beberapa menu. Masih bersyukur saya punya pilihan menu karena banyak orang yang tidak seberuntung saya. Jangankan berpikir menu, bisa makan saja sudah sangat bersyukur sekali. Hal-hal seperti ini sering membuat saya melipatgandakan syukur yang luar biasa.

Dulu, saat gejolak jiwa muda masih bergelora (tetap berjiwa muda sih sampai kapanpun, kan forever young :D) dan sudah mengenal yang namanya media sosial, segala sesuatu pasti saya bagikan di akun media sosial yang saya punya. Apapun itu, dari hal-hal remeh sampai status yang memang ada muatan informasinya. Dari foto liburan sampai foto yang (saat ini saya mikirnya) tidak terlalu penting seperti foto tentang materi kuliah yang isinya angka-angka dengan caption “duh susah sekali tugasnya.” Mbok ya kalau susah dicari tahu penyelesaiannya, jangan nyetatus, kan tidak menyelesaikan masalah tho yo. Rasanya senang saja kalau bisa eksis setiap saat. Bahkan hal-hal yang tidak terlalu penting untuk dibagikan secara maya pun saya unggah fotonya, secara sadar. Berharap akan banyak reaksi yang menyanjung dan mendapatkan “like” sebanyak mungkin. Walaupun memang tidak semua menyukai foto-foto yang saya unggah, dilihat dari komentar yang dituliskan “gini aja kok diunggah” atau ada selentingan yang terdengar alias rasan-rasan kalau saya terlalu berlebihan dalam mengunggah foto atau menuliskan status. Waktu itu saya berpikir “ihh sirik aja, wong akunku ini, yo sak karepku tho yo mau nulis opo.” Maklum, prinsip saya kan semua orang harus tahu. Padahal waktu itu saya sibuk banget lho kerja sebagai mbak-mbak kantoran yang selalu lembur bareng bos, tapi selalu ada waktu untuk bermedia sosial. Mungkin karena multitasking itu ya jadinya selalu lembur, kebanyakan main medsos. Tanpa main medsos pun ya tetap aja lembur sebenarnya. Waktu kuliahpun begitu, sedang dikejar-kejar revisi tugas, tetap aja lho ada waktu unggah foto di FB atau minimal nyetatus, meskipun mengumpulkan revisi sesuai jadwal walaupun mepet waktunya. Intinya saya dulu eksis sekali lah. Tiada hari tanpa ber FB dan IG. Kalau twitter  saya buka dan seringnya ikut kuis-kuis, makanya dulu saya sering menang kuis di twitter *haha kurang gawean.

Sampai akhirnya saya mengenal Suami. Waktu awal dia ke Surabaya, saya memperhatikan ini orang kok jarang banget ya pegang HP nya. Jadi kalau bersama saya, dia sama sekali tidak menyentuh Hp nya. sedangkan saya, sibuk jeprat jepret sana sini lalu unggah di FB. Trus beberapa menit sekali mengecek, kalau-kalau ada yang komentar atau menekan tombol suka. Sampai waktu itu dia nanya, kok saya sering cek Hp ada apa. Apakah dosen pembimbing mencari saya. Lalu saya jawab dengan santai “nggak, lagi ngecek FB saja.” Dan juga dia heran, kenapa setiap makan harus difoto dulu. Bukannya langsung dimakan. Lalu saya dengan cuek bilang “harus difoto dulu, untuk diunggah ke FB atau IG.” Entah saya tidak ingat reaksi mukanya seperti apa waktu itu, karena fokus saya pada makanan. Kebiasaan menjepret makanan tetap saya lakukan sampai sekarang, kecuali kalau makan sama mertua atau acara makan formal. Malah suami jadi suka mengingatkan “sudah difoto belum makanannya?”

Sebelumnya saya sudah tahu kalau dia tidak punya FB dan IG. Saya berpikir kok bisa ya orang ini tidak punya FB dan IG. Alasannya : karena tidak perlu dan cukup twitter saja. Lalu saya mbatin kok bisa ya hidup tanpa FB dan IG. Yang dikemudian hari saya tahu jawabannya, ya bisa saja karena memang media sosial itu digunakan sesuai kebutuhan. Kalau tidak ada kebutuhannya ya bisa-bisa saja. Seperti saya tidak pernah punya Path, ya karena memang saya tidak butuh makanya tidak punya. Suami saya ini akhirnya punya Instagram setelah satu tahun kawin dengan saya dan ikut-ikutan membuat akun, padahal jarang diisi. Setelah saya tidak punya IG lagi, akunnya ikut terbengkalai tidak pernah ditengok. Ohhh jangan-jangan punya akun IG untuk memantau saya *manggut-manggut *tatapan mata tajam *zoom in zoom out *istri suudzon *lalu minta maaf. Kalau mengingat masa itu, ada sedikit rasa sesal. Kenapa saya terlalu memperhatikan “penghargaan” orang di dunia maya (baca : sibuk bermedsos) yang tidak semuanya saya kenal dengan baik. Kenapa saya tidak fokus dengan orang yang ada di depan atau sekitar saya. Waktu tidak bisa diputar kembali, sesal juga jadi tidak berarti. Sekarang saya mencoba untuk lebih memperhatikan penghargaan orang-orang terdekat saya dan sebaliknya menghargai mereka secara nyata.

Sebelum menikah, saya dan suami sama-sama punya blog. Jadi kami memang dasarnya suka menulis. Bedanya, blog pribadi saya isinya puisi patah hati dan cerpen putus cinta. Ya maklum, dulu kesehariannya kalau tidak patah hati ya putus cinta. Akhirnya daripada linglung, mending saya tuangkan dalam bentuk puisi dan cerpen. Lumayanlah akhirnya dibukukan. Sedangkan blog suami isinya kalau tidak tentang sejarah, politik, musik, ya kritikan dia tentang ini dan itu. Lalu suami mengusulkan, bagaimana kalau kami membuat blog bersama, jadi ya diisi bersama. Dia bilang waktu itu “daripada kamu menulis status ga jelas di FB, mendingan kamu menulis di blog, jadi sekalian bisa melatih menulis panjang semacam artikel.” Akhirnya jadilah blog ini. Walaupun pada akhirnya saya yang dominan dalam mengisi. Tahun kemarin, saya rajin memperhatikan search terms  blog ini. Banyak yang lucu-lucu tetapi tidak sedikit juga yang ternyata mencari informasi detail tentang kami seperti kami menikah secara apa, apakah betul kami menikah, apakah kami sudah punya anak, mencari tahu masa lalu saya dan suami, kami bertemunya di mana, sampai ada yang mencari tahu kami ini agamanya apa (khusus ini, menyusul akan saya tuliskan secara terpisah). Wah, sedap-sedap ngeri juga ya banyak yang mencari tahu secara detail informasi tentang kami.

Pada awal membuat blog ini, saya sudah memberi batasan pada diri sendiri dan saya diskusikan dengan suami apa yang bisa ditulis dan apa yang harus kami simpan sendiri. Bukan berarti ketika kami mempunyai blog bersama terus semuanya bisa diumbar cerita ini dan itu. Banyak hal yang memang selayaknya tidak perlu semua orang tahu misalkan tentang hal-hal yang terjadi dalam RT (we keep our dirty laundry at home), kegiatan secara detail, cerita yang kami pikir tidak perlulah untuk dibagikan ataupun cerita tentang bagian rumah. Syukurlah keputusan itu tepat karena pada akhirnya ternyata memang ada orang-orang di luar sana yang mencari informasi tentang kami. Kami berpikir bahwa kami ini bukan orang terkenal. Jadi tidak perlulah semuanya diceritakan di blog karena tidak semua yang baca blog kami juga butuh cerita detail. Kami tidak bisa mengontrol siapa yang bisa membaca blog ini, jadi yang kami lakukan adalah mengontrol diri sendiri untuk berbagi cerita seperlunya saja, sewajarnya dengan batasan yang telah kami sepakati.

Saat masa-masa bulan madu (kalau tidak salah seminggu setelah menikah), suami pernah bertanya apakah jika kami punya anak, saya akan memajang foto anak dan mengunggahnya secara rutin di media sosial yang saya punya. Saya menjawab dengan haqul yakin “Iya donk!. Dunia harus tahu anak berdarah Jatim dan Belanda,” kira-kira seperti itu jawaban saya. Waktu itu membayangkan pasti bangga sekali saya kalau punya anak berdarah campuran, jadi ya wajiblah dipamer dengan catatan dalam batas wajar ya. Bukan pas mandi atau tidak memakai baju trus diunggah karena terus terang dari dulu saya paling anti dengan orang tua yang mengunggah foto bayinya yang sedang telanjang atau tidak memakai baju secara lengkap. Biasanya saya kasih tahu secara baik. Dan seringnya saya malah kena semprot balik, “ini anak saya, jadi saya tahu mana yang boleh apa tidak. Kamu kan belum punya anak, jadi ga tahu rasanya kalau punya anak yang sedang lucu-lucunya semua orang harus tahu.” Oh ya wes lah, mungkin memang saya yang terlalu rese ya, sok ngasih tahu (padahal saya membayangkan beberapa tahun lagi kalau anak itu melihat fotonya yang telanjang dan setengah telanjang ada di internet dan yang mengunggah orangtuanya sendiri, bagaimana perasaannya. Saya membayangkan, pasti malu). Ok, kembali lagi ke pembahasan foto. Suami lalu menyarankan untuk dipikirkan lagi apakah yang saya akan lakukan itu cukup bijaksana kedepannya untuk anak kami bahkan untuk kami sendiri. Tujuan lainnya selain rasa bangga apa? karena menurut dia justru yang paling berbahaya adalah kejahatan internet yang kami tidak bisa tahu kapan datangnya. Bisa datang cepat atau saat anak sudah beranjak besar. Mungkin dia sudah mengendus nantinya saya akan jadi Ibu yang over share. Waktu itu cuma saya dengarkan lalu menguap tak bersisa sarannya.

Lalu sewaktu saya rajin BW dan berkenalanlah dengan Mbak Yoyen dan mulai membaca satu persatu tulisannya sampai mata saya terantuk pada tulisan tentang SharentSaya membaca sambil mencerna. Lalu perlahan mulai merenung dan menyambungkan apa yang suami saya pernah katakan dan tulisan Mbak Yoyen serta beberapa artikel yang ada di postingan tersebut. Tapi belum masuk ke hati, dibaca, dicerna, lalu hilang lupa. Sampai saatnya saya pindah ke Belanda.

Ketika sampai di Belanda, cara pandang saya terhadap media sosial perlahan namun pasti menjadi berubah. Saya tidak se aktif sebelumnya ketika mengunggah foto ke FB atau IG (yang dikemudian hari akun IG saya malah tidak terdeteksi saking lamanya deactive). Malah ketika saya menghilang dari FB, salah seorang dosen dan teman-teman saya mengirim email, menanyakan kok lama tidak melihat saya di FB (karena dulu terlalu aktif, menghilang pun sampai bisa terdeteksi). Saya menjadi pemilih mana yang harus dibagikan mana yang saya simpan. Semuanya terjadi secara alami, tidak ada paksaan melainkan keinginan sendiri. Saya merasa untuk apa ya terlalu banyak berbagi ini dan itu. Iya kalau berguna, kalau ga berguna kan nyampah jadinya. Lalu saya membaca beberapa tulisan di blog ataupun beberapa artikel di internet tentang media sosial untuk anak. Ya yang berkaitan dengan topik itulah. Lama merenung, mempertimbangkan, berbicara dengan hati sendiri, menurunkan ego, dan melatih diri. Kemudian suatu hari disekitar awal tahun 2016 saya bilang pada suami bahwa saya memutuskan nantinya tidak akan bercerita apapun tentang kehamilan (pernah bercerita tentang keguguran tahun 2015), proses kehamilan, melahirkan proses tumbuh kembang anak dan tidak mengunggah foto anak, sampai mereka bisa menentukan sendiri dan berpendapat bahwa fotonya atau ceritanya bisa dibagikan kepada orang banyak. Bahkan waktu itu saya bilang pada suami bahwa saya tidak akan mengunggah foto hasil USG karena anak pun punya  hak untuk dilindungi privasinya sejak dalam kandungan. Terdengar berlebihan? mungkin iya untuk banyak orang. Tapi buat kami (khususnya saya) lebih baik mencegah dan lebih baik berhati-hati di awal daripada ada sesuatu yang tidak diharapkan terjadi dikemudian hari. Kami bisanya mengontrol sesuai kemampuan kami dan beginilah yang bisa kami lakukan. Kami (terutama saya) tidak paranoid, hanya lebih kepada berhati-hati sebelum bertindak.  Tidak ada alasan buat saya untuk paranoid dengan media sosial. Kami akan membagikan cerita dan informasi hanya pada keluarga dekat dan teman-teman yang kami kenal dengan baik. Kembali lagi, kami tidak bisa mengontrol siapa yang bisa membaca blog ini dan mengakses media sosial kami, tapi kami berusaha untuk mengontrol diri sendiri. Berharapnya sih satu : semoga selalu konsisten dalam pelaksanaannya.

Selain daripada yang saya sebutkan di atas, rasa tidak nyaman (lebih tepatnya resah) lainnya muncul ketika membaca tulisan Mbak Yo yang Respect Your Kids Online dan ada sepenggal kalimat yang selalu saya ingat sampai sekarang : Sharents or not what you put on the net stays forever. Waktu itu saya agak tidak percaya sampai saya bertanya ke suami dan dijelaskan secara gamblang olehnya, ditambah saya mencari informasi yang terpercaya tentang hal ini dan akhirnya menjadi percaya setelah membuktikan sendiri. Saya mencoba googling foto dan status lebih dari 10 tahun yang lalu dan saya ingat betul sudah saya hapus ketika memutuskan menggunakan jilbab (jadi ketika memutuskan menggunakan jilbab, semua foto-foto sebelum berjilbab sudah saya hapus semua dari FB dan tidak akan saya munculkan lagi dengan alasan apapun), ternyata masih ada yang muncul. Padahal sudah saya hapus lho dulu. Akhirnya saya percaya kalimat di atas : Sharents or not what you put on the net stays forever. Hal ini berlaku bukan hanya foto, bahkan status-status pun masih bisa terlacak. Ya sudah, anggap saja karena dulu minim sekali pengetahuan tentang internet, jadinya memang tidak tahu dan karena sekarang sudah agak pintar dan sudah belajar mencari tahu kesana kemari, jangan sampai saya mengulangi kecerobohan masa lalu. Semoga kedepannya semakin bijaksana dalam bermedia sosial.

Saya sangat senang sekali dengan keberadaan internet (terutama media sosial), mempermudah hampir semuanya, menguntungkan (jika dipakai secara benar), mendekatkan yang jauh bahkan bisa menjauhkan yang dekat juga. Apa yang terjadi dalam kehidupan saya saat ini, selain karena campur tangan Tuhan juga karena campur tangan internet. Saya tidak bisa sampai pada titik ini tanpa adanya internet. Namun, saat ini saya lebih memilih mengontrol diri dan jari tangan. Berbagi yang sewajarnya, seperlunya, dan tidak berlebihan (meskipun batas berlebihan ini subjektif sifatnya). Memilih lebih berpikir banyak langkah ke depan sebelum mengunggah atau nyetatus di twitter atau menulis di blog. Saya belajar banyak hal dari dunia blog. Banyak ilmu baru dan hal-hal baru yang sangat berguna saya dapatkan dari blog. Karenanya saya suka sekali dengan dunia blog.

Memang benar bahwa namanya media sosial kan wadah untuk berbagi ya. Tapi saya memilih berbagi yang menyamankan hati, tidak merugikan kedepannya untuk saya sendiri maupun keluarga. Kalau saya dan suami masih bisa berpikir dan memilah mana yang bisa untuk diunggah dan dibagikan. Tapi yang belum bisa berpendapat dan menentukan keputusan sendiri kan masih belum tahu apa-apa. Saya suka sekali dengan pujian atau sanjungan, tapi jangan sampai karena terlena dengan sanjungan komentar dan banyaknya like yang didapat, malah menjerumuskan saya untuk melakukan sesuatu yang berlebihan. Saya jadi teringat kata-kata Ibu tempo hari “anak dan orangtua kan tidak bisa saling memilih, anak tidak bisa memilih dilahirkan oleh orangtua mana begitupun sebaliknya. Tapi begitu anak lahir, maka kewajiban orangtua untuk bertanggungjawab penuh melindungi anak sampai mereka bisa melindungi mereka sendiri.” Kalau kata suami, “biarlah mereka nanti ngetop dengan cara mereka sendiri, ga usah nebeng ngetop orangtuanya.” hahaha yang ini minta dijitak.

Semua memang tentang pilihan. Masing-masing orang (atau keluarga) pasti berbeda pilihan dan penyikapan tentang hidup dalam era media sosial ini. Saya tidak bisa menghakimi atau memberi label ini itu jika pilihan orang berbeda dengan pilihan saya dan berharap juga sebaliknya, meskipun pelabelan atau penghakiman pun tanpa sadar ataupun dalam keadaan sadar pernah saya lakukan. Hanya yang selalu saya ingat adalah membuka hati dan pikiran menerima pendapat dan berpikir jauh kedepan, tidak egois berpikir tentang diri sendiri karena saat ini saya hidup tidak lagi sendiri tetapi sudah membangun sebuah keluarga. Untuk saat ini (dan mudah-mudahan kedepannya juga) saya merasa nyaman dengan pilihan ini karena disetiap pilihan yang diambil pasti selalu ada konsekuensi baik buruknya. Saya mencoba untuk lebih bertindak bijaksana dan lebih hati-hati kedepannya hidup di era media sosial karena what you put on the net stays forever.

Film pendek ini membuat saya lebih berhati-hati untuk “nyampah” di media sosial. Di youtube, banyak sekali dokumenter tentang media sosial atau internet. Membuat lebih melek informasi dan lebih berhati-hati.

Ini juga mengingatkan saya pada diri sendiri

-Nootdorp, 21 Maret 2017-

Pelangi Musim Gugur

Hawa sudah mulai dingin, meskipun matahari tetap bersinar. Satu persatu baju-baju musim panas di lemari berganti dengan baju hangat dan kalau keluar rumahpun jaket tidak lupa dikenakan. Antara rela dan tidak rela juga dari yang biasanya keluar rumah tanpa bertumpuk baju yang dikenakan, sekarang bersepeda di pagi haripun mulai mengenakan sarung tangan karena dinginnya menusuk kulit, sakit. Setiap musim pasti punya cerita tersendiri, setiap musim punya keindahannya masing-masing, dan setiap musim punya kejutan yang sudah menanti. 

Tahun ini adalah musim gugur kedua untuk saya. Selalu suka melihat perubahan warna daun. Cerita musim gugur tahun lalu pernah saya tuliskan di sini. Akhir pekan kali ini kami menyempatkan untuk bersepeda bersama, berjalan-jalan di hutan dan taman. Kalau matahari sedang bersinar, harus dimanfaatkan semaksimal mungkin berkegiatan di luar rumah. Karenanya tidak mengherankan akan dijumpai banyak sekali orang yang berjalan kaki di hutan, duduk di taman, bersepeda saat cuaca sedang cerah. 

Bersepeda menuju taman
Bersepeda menuju taman
Tahun lalu kamipun ke tempat ini saat permulaan musim gugur. Ini adalah kawasan yang terdiri dari hutan dan taman. Kami sering berkunjung ke sini .
Tahun lalu kamipun ke tempat ini saat permulaan musim gugur. Ini adalah kawasan yang terdiri dari hutan dan taman. Kami sering berkunjung ke sini .

Karena hawanya yang dingin, kami rasanya selalu ingin makan yang berkuah atau paling tidak makanan yang bisa menghangatkan badan. Nah akhir pekan ini saya masak yang gampang saja. Sop gambas (oyong) dan Risotto Ai Funghi. Sudah sejak lama ingin makan sop gambas, baru terlaksana sekarang karena memang sengaja beli di toko oriental. 

Sop gambas dengan wortel, bihun, dan telur puyuh
Sop gambas dengan wortel, bihun, dan telur puyuh

Nah sewaktu masak sop gambas, saya membuat kaldu sayuran dalam jumlah banyak karena akan digunakan juga untuk membuat Risotto. Resep Risotto ini saya mencontek dari blog Mbak Yo yang Lofoodie, hanya saja ada sedikit penyesuaian karena saya tidak menggunakan wine dan kaldu yang saya pakai adalah kaldu sayur. Ini kali pertama saya membuat Risotto dan rasanya sesuai dengan yang saya harapkan. Enaakk! Saya sampai rebutan dengan suami menghabiskan sisa yang ada di panci. Antara lapar dan enak memang bedanya tipis haha! Ternyata membuat Risotto itu tidak seruwet yang saya bayangkan, asal diaduk berkala, bisa menyambi pekerjaan lainnya.

Risotto Ai Funghi
Risotto Ai Funghi
Kembali lagi ke cerita bersepeda. Saat kami berangkat cuacanya cerah. Saat kami pulang, hujan sepanjang perjalanan menuju rumah. Seringkali saat hujan tidak hanya nampak langit gelap dan basah yang terasa. Coba tengok ke arah yang berbeda. Siapa tahu ada pelangi yang tampak di sana. Saya berkeyakinan, selalu ada yang berwarna diantara yang kelam. Akan selalu ada harapan di dalam kesukaran. Dan saat melihat pelangi, saya selalu percaya ada berita baik yang akan datang.

Pelangi yang kami lihat ditengah perjalanan
Pelangi yang kami lihat ditengah perjalanan

-Den Haag, 9 Oktober 2016-

Rottemerenloop 2016 – 10KM

Pecah telur juga tahun ini bisa ikutan lomba lari. Setelah dari awal tahun ada saja halangan mau ikut race ini dan itu tapi terhalang satu dan lain hal. Sudah daftar jauh-jauh hari eh ternyata dekat hari H tidak bisa. Hangus jadinya uang pendaftaran. Beruntung yang kali ini tidak gagal lagi, meskipun 2 jam sebelum pelaksaan lomba nyaris gagal lagi karena hujan deras.

Jadi hari minggu 2 Oktober 2016, saya dan Mas Ewald ikut lomba lari 10 Km di Rotterdam. Nama lombanya adalah Rottermerenloop. Ada tiga kategori yaitu 1.5 km untuk anak-anak, 10 km dan half marathon (21.1 km). Dua kategori terakhir untuk dewasa. Biasanya Mas Ewald ikut yang kategori 21.1 km kalau ada lomba lari. Tapi kali ini dia ingin ikut yang 10 km. Akhirnya bisa satu kategori sama suami setelah dua kali lomba lari bersama, kami selalu beda (Pertama waktu Bromo Marathon dan kedua waktu CPC Loop di Den Haag). Niatnya sih tahun ini saya bisa pecah telur naik kelas ke 21.1 km. Apa daya selain halangannya ada saja, latihan juga masih kurang maksimal, ditambah kurang nekat. Mudah-mudahan tahun depan bisa.

Ikut lomba yang pagi inipun sebenarnya dadakan. Daftarnya baru seminggu lalu. Rencananya kami justru akan ikut lomba yang akhir Oktober 2016. Ternyata ada yang lebih dulu meskipun tempatnya agak jauh, akhirnya kamipun sepakat ikut. Hitung-hitung sebagai pemanasan karena sudah lama tidak ikut lomba. Nah, pagi tadi hujan pun turun. Kami ragu-ragu berangkat atau tidak ke lomba. Kalau dilihat dari prakiraan cuaca, ada saat-saat yang tidak hujan meskipun secara keseluruhan sepanjang hari akan turun hujan. Tapi menjelang jam 10, matahari bersinar terang. Akhirnya kami putuskan berangkat saja, toh kami bawa jaket yang anti air. Jadi kalau hujan tinggal jaketnya dipakai.

Para peserta 10km
Para peserta 10km

Ternyata waktu jam 11 mataharinya bersinar terang meskipun hawanya tetap dingin. Wah, syukurlah jadi bisa lari tanpa khawatir hujan. Saya lupa kalau ini Belanda, artinya 4 musim bisa terjadi dalam satu hari. Pada saat menjelang km ke 7, saya melihat dari kejauhan mendungnya tebal. Benar saja, saat memasuki km ke 7, hujan deras langsung mengguyur dan angin kencang tiba-tiba datang. Saya yang sejak start sampai km ke 7 terus lari, tiba-tiba langsung berhenti tidak kuat kena angin kencang dan hujan deras. Saya berjalan sampai saya melihat peserta HM (Half Marathon = 21.1 km) melintas, akhirnya saya ikutan lari lagi sampai finish. Hujannya deras sejak km ke 7 sampai km ke 9. Jadi selama 2km saya menguatkan diri lari ditemani hujan deras dan angin kencang.

Ditengah lari, mendungnya tebal sekali. Ini moto sambil lari, makanya miring. Setelah moto ditegur panitia, katanya ga usah moto, nanti lambat larinya. Lah lari memang sudah lambat dari sananya :D
Ditengah lari, mendungnya tebal sekali. Ini moto sambil lari, makanya miring. Setelah moto ditegur panitia, katanya ga usah moto, nanti lambat larinya. Lah lari memang sudah lambat dari sananya 😀

Lomba kali ini sangat istimewa untuk saya karena saya menjadi peserta terakhir yang sampai finish. Saya memang tidak bisa cepat kalau lari, meskipun untuk 10 km saya pasti lari terus tanpa berhenti (kalau pas tidak hujan). Mungkin kalau dilatih bisa untuk sedikit cepat, tapi saya saja yang memang agak bebal selalu beralasan kalau suami berencana melatih lari dengan metode interval. Kalau dua lomba sebelumnya saya boleh jumawa karena tidak menjadi peserta terakhir yang sampai finish, karena dua lomba sebelumnya pesertanya jauh lebih banyak dan lebih beragam dibanding yang kali ini. Nah tadi pagi pesertanya orang Belanda semua, mereka kan tingginya menjulang (alasan :p), jadi pasrah sejak awal kalau akan lambat sampai finish. Buat saya, 2km awal dan 2km akhir itu adalah jarak kritis. Jadi harus pintar-pintar mengatur strategi nafas dan ritme kaki.

Begitu sampai finish, semua bersorak sambil menyebut nama saya. Sementara saya senyum-senyum simpul haha! Makanya saya menyebut lomba kali ini istimewa, karena punya pengalaman jadi peserta terakhir yang sampai finish. Ah tak mengapa, yang penting sampai juga dengan keadaan sehat karena ada dua peserta ditengah-tengah jarak tidak melanjutkan, karena kakinya kram. Jadi suami catatan waktunya 49 menit, sementara saya 1 jam 25 menit. Catatan waktu saya lebih lama dibanding yang tahun lalu. Sampai finish saya lalu minum dua gelas dan makan jeruk. Saking laparnya saya sampai nambah berkali-kali jeruk yang disediakan panitia. Setiap peserta diberi Flash Disk ketika sampai finish, sebagai kenang-kenangan.

Finisher 10 Km
10 Km Finisher

Saya suka baca buku di bawah ini, bercerita kisah orang orang yang tergerak untuk lari dengan tempo masing-masing sesuai kemampuan. Mengingatkan akan tempo saya sendiri.


Jadi itulah pengalaman lomba lari hari ini. Menyenangkan karena banyak kejadian yang bisa membuat senyum-senyum sendiri kalau diingat.
Cerita Akhir Pekan

Numpang sedikit tentang cerita akhir pekan selain lomba lari. Jadi hari sabtu, saya tiba-tiba kepengen klepon (lagi). Akhirnya saya buat klepon dalam porsi banyak karena untuk dikasih ke Mertua juga. Selain buat klepon, saya juga buat serundeng untuk persediaan. Lumayan bisa jadi teman makan atau ditabur pas makan salad. Saya kasih juga Serundeng ke Mama mertua karena Beliau suka sekali dengan Serundeng dan Klepon

Klepon
Klepon
Serundeng
Serundeng

Lalu makan siang kami, saya masak yang cepat saja. Tumis kangkung dan tempe penyet. Kami berdua suka sekali sambel penyet tempe. Tempenya dipanggang soalnya males goreng-goreng. Saking malesnya saya dengan goreng-goreng, minyal 1L selama 4 bulan masih ada separuh botol.

Penyetan tempe, tumis kangkung plus pete, serundeng, dan quinoa
Penyetan tempe, tumis kangkung plus pete, serundeng, dan quinoa

Pulang dari rumah Mama, kami mampir sepedahan di hutan dan tiduran sebentar di pinggir danau mumpung cuaca cerah dan matahari bersinar meskipun dingin. Anggap saja sedang menabung vitamin D.

Tidur pinggir danau.
Tidur pinggir danau.


Begitulah cerita akhir pekan kami. Minggu depan dari ramalan cuaca mengatakan kalau matahari bersinar sepanjang minggu. Yiayy!

Bagaimana cerita akhir pekan kalian? Semoga juga menyenangkan. Selamat hari Senin, selamat mengawali minggu dengan keceriaan. Semoga sepanjang minggu keberkahan selalu menyertai kita semua.

-Den Haag, 2 Oktober 2016-

Two years married!

Deny Ewald were at lake como

Today marks the two year anniversary of our marriage: on August 9th 2014 we tied the knot on that beautiful day in Situbondo, East-Java. Last year it was Deny who wrote on this blog to commemorate this our first year anniversary, this year I will take the opportunity for some reflection.

First of all I feel blessed to have Deny because of her patience with me and her relentless dedication as my wife. I will never think lightly of all the steps Deny made by giving up so much from her life in Indonesia to follow me all the way to the Netherlands.

In our two year marriage, we, like any other couples, experienced so many positive things and sometimes negative things. The sum of these experiences made the bond between us stronger and we still have many things to look out for in life.

Sometimes Deny asks ‘Why don’t we meet each other earlier in life?’. And then I usually have some logical response, like ‘Be glad, we did meet each other…” Of course it would have been wonderful too meet earlier, but maybe in life we open our sensors for love and meeting when we are ultimately ready for the experience so the time we met is the perfect time.

As my late Dad once replied per mail to our congratulations for my parents marriage anniversary: ‘if it is up to us we hope you two will witness many more anniversaries to come’. Sadly for them it turned out to be their last marriage anniversary as my Dad passed away a few months later. Needless to say that Deny and I intend to celebrate many, many more anniversaries and in the meantime enjoy our time in life together…

Deny Ewald were at lake como
Deny and Ewald were at lake como, Italy

-Den Haag, 9 Agustus 2016-

2015 – Tahun Pembelajaran

Senangnya kalau akhir tahun begini membuat tulisan tentang rekapan perjalanan yang sudah dilalui dalam satu tahun. Awalnya membuat tulisan seperti ini karena ikut GA Lia tahun 2014 dimana waktu itu menulisnya setelah mendapat kepastian visa saya ke Belanda sudah turun. Tahun 2014 adalah tahun penuh kejutan. Nuansa ditahun lalu seperti permainan Halilintar di Dufan. Turun naik dan sangat cepat ritmenya. Tidak disangka tidak dinyana pada tahun tersebut bertemu jodoh dan beberapa bulan kemudian menikah, padahal lagi ruwet dikejar dosen pembimbing karena tesis belum selesai. Eh, si mas jodoh ini muncul, Alhamdulillah. Awalnya yang niat hanya fokus ke tesis, harus mikir kawinan dan mengurus dokumen bolak balik Jakarta. Bukan hanya mengurus dokumen, tapi belajar bahasa Belanda juga, menyempatkan ke Belanda juga meskipun hanya 2 minggu karena dosen pembimbing tetap dengan setia meminta laporan perkembangan tesis. Kalau sekarang dipikir, kok bisa ya melewati tahun 2014 dengan segala hingar bingarnya sampai ngos-ngosan sendiri kalau dingat-ingat.

Tahun 2015 hampir bertolak belakang karena lumayan agak santai ritmenya. Tahun 2015 saya sebut sebagai tahun pembelajaran buat kami berdua, terutama buat saya. Kenapa? karena hampir setiap saat isinya belajar dalam arti sesungguhnya maupun belajar secara filosofi. Belajar bahasa Belanda lebih dalam, suami belajar bahasa Indonesia, belajar saling memahami dengan suami karena baru tahun ini kami berkumpul kembali setelah menikah dan LDM hampir selama 6 bulan, belajar sabar, belajar berdamai dengan masa lalu supaya perlahan bisa menghilangkan trauma, belajar memasak dan membuat kue, belajar bersosialisasi dengan lingkungan baru, belajar beradaptasi dengan cuaca Belanda, belajar dunia perbloggingan, belajar menerima kenyataan kalau ada yang menggosipkan dibelakang padahal saya bukan orang terkenal, dan belajar beberapa hal lainnya. Banyak sekali ilmu baru yang saya dapatkan ditahun ini, terutama ilmu sabar yang memang tidak ada batas waktu untuk ditekuni. Selain itu, tahun ini juga saya belajar untuk mengenal orang-orang baru, kenalan dari blog ataupun kenalan dari Instagram. Dan hey, belajar itu memang selalu menyenangkan meskipun dalam prosesnya kadang terasa pahit juga, tapi belajar selalu membawa manfaat. Postingan dibawah ini agak panjang karena isinya rekapan.

Januari 2015

Awal Januari, bertepatan dengan 5 bulan usia pernikahan, akhirnya saya lulus kuliah! Setelah drama molor satu semester dan harus ganti topik tesis sebanyak 3 kali, akhirnya lulus juga. Leganya luar biasa karena selain bebas menyandang gelar alumni, juga bisa segera menyusul suami. 2 minggu setelah sidang tesis dan dinyatakan lulus, saya berangkat ke Belanda (akhirnya tidak ikut wisuda dan sampai saat ini Ijazah masih disimpen bagian administrasi Institut). Pindah untuk memulai kehidupan baru dinegara baru. Karena terlalu grogi akan bertemu suami setelah 6 bulan terpisah, saya sampai tidak mengenali sewaktu dia jemput dibandara. Baru sadar ketika dia memanggil nama saya sambil bawa bunga. Bulan Januari belajar untuk tidak takut akan segala sesuatunya. Menanggalkan kekhawatiran tentang masa depan dinegeri orang maupun kekhawatiran meninggalkan Ibu dan adik-adik di Indonesia. Semua akan baik-baik saja, itu mantra yang sering saya ucapkan.

Barang bawaan segambreng, pantas saja over 10kg hahaha *ketawa pait *Tapi ga kena denda
Barang bawaan segambreng, pantas saja over 10kg hahaha *ketawa pait *Tapi ga kena denda

Februari 2015

Bulan ini isinya tentang adaptasi awal. Mengenali transportasi di Belanda dengan belajar kesana sini sendiri sampai sering nyasar. Pertama kali tahu kalau ada pasar murah meriah di Den Haag namanya Haagse Markt. Bulan Februari adalah belajar adaptasi. Bahkan baru melihat dengan mata kepala hujan es dan hamparan es. Senangnya adalah saya ikut CPC loop Den Haag untuk jarak 10km. Race kedua saya yang 10km setelah Bromo Marathon tahun 2014. Sedangkan suami mengikuti yang jarak 21km. Ini kali kedua kami ikut race yang sama meskipun berbeda jarak tempuh. Semoga 2016 kami bisa sama-sama ikut race 21km.

Dulu lihat pemandangan seperti ini difilm-film. Sekarang bisa lihat sendiri didepan mata hamparan es dimana-mana
Dulu lihat pemandangan seperti ini difilm-film. Sekarang bisa lihat sendiri didepan mata hamparan es dimana-mana

Maret 2015

Nuansa dibulan Maret campur aduk antara senang dan sedih. Papa mertua meninggal dunia setelah satu minggu sakit. Kepergian yang mendadak karena sebelumnya beliau tidak pernah sakit serius. Kami belajar mengikhlaskan. 22 Maret 2015 saya pertama kali merasakan yang namanya kopdar blogger. Karena masih baru dalam dunia blog, jadinya waktu ketemu blogger-blogger lainnya agak sedikit gugup diawal. Namun setelah bercakap-cakap akhirnya malah kami lupa waktu, ngobrol berjam-jam. Akhir bulan saya berulangtahun yang dirayakan dengan mengunjungi Giethoorn, desa cantik di Belanda yang dijuluki Venesia di utara. Sudah lama saya ingin kesini sejak melihat foto-foto cantik Giethoorn bersliweran di Instagram. Akhirnya kesampaian. Selain kado ulangtahun ke Giethoorn dan beberapa tempat lainnya dari suami, ada kado lain juga dari Yang Kuasa : saya hamil!. Ketika tahu kalau hamil, jujur perasaan pertama langsung sedih karena saya merasa belum siap hamil secepat ini. Harapan saya hamil tahun 2016 meskipun kami juga tidak sengaja menunda. Jadi sedikasihNya, Alhamdulillah dikasih cepat. Kalau suami tentu saja senang saya hamil. Jadi perasaan ketika hamil campur aduk, antara sedih dan senang, bingung dan gembira karena masih banyak rencana ini dan itu yang ingin direalisasikan. Dari yang saya rasakan, hamil itu butuh kesiapan mental. Dan karena saya tipe yang tertutup untuk hal-hal tertentu, jadi begitu tahu hamil, beritanya disimpan saja. Yang tahu hanya keluarga inti. Teman-teman tidak ada yang tahu. Bulan maret ini saya belajar untuk menerima keadaan akan beberapa hal yang terjadi, senang maupun susah.

Giethoorn
Giethoorn

April 2015

Akhirnya dibulan ini saya masuk sekolah bahasa Belanda selama 6 bulan kedepan. Senang karena belajar bahasa baru dan bertemu dengan orang-orang baru. Entah kenapa sejak dulu saya selalu senang suasana belajar disekolah meskipun benci ketika ujian tiba. Ya, saya belajar bahasa Belanda, memenuhi kewajiban ujian untuk memperpanjang masa tinggal di Belanda. Selain itu tentunya supaya bisa bersosialisasi dengan masyarakat menggunakan bahasa Belanda, (Insya Allah) meneruskan kuliah, maupun mencari kerja. Yang berkesan dibulan ini adalah Koningsdag yaitu hari dimana raja berulangtahun dan ini menjadi libur nasional, seluruh rakyat Belanda bersuka cita merayakan dengan menggunakan baju berwarna oranye, ada beberapa live music gratis juga vrijmarkt yaitu pasar second hand diseluruh Belanda. Bulan ini saya mulai belajar banyak mengenal budaya di Belanda dan bahasanya.

Totalitas di Koningsdag, kostum oranye. Kata teman tinggal dibelah terus dimakan (Dipikir jeruk :D)
Totalitas di Koningsdag, kostum oranye. Kata teman tinggal dibelah terus dimakan (Dipikir jeruk :D)

Mei 2015

Kami mendatangi Tong-Tong Fair 2015, bazar produk asia yang konon terbesar di Eropa. Mungkin lebih tepatnya ini bazar produk Indonesia ya, karena sebagian besar yang dijual adalah barang-barang dari Indonesia termasuk kulinernya. Bulan Mei suami mengikuti 2 event lari yaitu Brandgrens Run 2015 dan Royal Ten. Dibulan ini kami mendapatkan musibah yaitu saya keguguran. Tidak dapat dipungkiri sedih pastinya kehilangan bayi dalam kandungan. Tapi saya ambil hikmahnya bahwa semua sudah rencanaNya. Mungkin karena memang saya yang belum siap atau mungkin memang belum saatnya untuk diberikan amanah. Saya baru menuliskan ceritanya diblog 2 bulan lalu karena ingin berbagi bahwa disetiap musibah Insya Allah ada hikmahnya. Semua akan indah pada saat yang tepat, tidak terlalu cepat maupun tidak terlalu lambat. Bulan ini kami belajar untuk ikhlas.

Ada becak di Tong Tong Fair 2015
Ada becak di Tong Tong Fair 2015

Juni 2015

Ramadhan pertama di Belanda dengan durasi 19 Jam. Untungnya cuaca di Belanda tidak terlalu panas jadi tidak terlalu masalah. Penyesuaian yang lumayan berat untuk urusan sholat dan sahur. Sempat keteteran diawal tapi setelah berjalan beberapa waktu akhirnya sudah mengenal ritmenya. Sebelum Ramadhan tiba, kami sempat berkunjung ke Arnhem untuk melihat Sonsbeekmarkt dan Bronbeekmuseum. Tidak ketinggalan, kami juga nonton konser Duran Duran dan UB40 (haha jadul ya). Sebenarnya yang suka Duran Duran itu saya, suami sebagai pengawal setia saja. Tapi dia menikmati konser ini juga karena kami memang suka datang ke konser musik bersama. Nonton konser penuh perjuangan menahan haus karena sudah masuk Ramadhan. Bulan ini kami belajar lebih sabar karena puasa Ramadhan.

Duran Duran
Duran Duran

Juli 2015

Awal bulan Juli akhirnya suami lulus S2 dari Leiden University bertepatan dengan ulangtahunnya. Jadi syukurannya dirayakan berbarengan dengan makan nasi tumpeng seluruh keluarga dan teman-teman dia. Saya menunggu sampai adzan Maghrib lalu dengan sigap dan lahap makan nasi tumpeng. Bulan Juli ini juga untuk pertama kali saya muncul di TV Nasional Indonesia (karena networking Beth) dalam acara Live berbagi pengalaman puasa di Belanda. Selain itu saya juga dijadikan narasumber salah satu project menulis Mbak Emiralda. Nampaknya sewaktu bulan puasa saya menjadi artis dadakan. Lebaran pertama di Belanda saya lalui dengan makan gratisan diacara KBRI bersama suami. Lumayan mengobati sedih karena tidak bisa kumpul dengan keluarga. Bulan ini kami belajar arti silaturrahmi.

IMG_3018.JPG

Agustus 2015

Ulangtahun pernikahan yang pertama. Kami merayakan di Texel dan kebetulan ada festival hasil laut tahunan disana. Bulan Agustus rupanya salah satu bulan yang banyak festival di Belanda. Kami berkesempatan melihat Gay Pride di Amsterdam dan suami mengikuti Sail Amsterdam 2015 lalu kami juga melihat festival kembang api Internasional di Scheveningen. Senang karena festival-festival disini gratis. Jadi selama bulan Agustus kami rajin nonton festival. Kabar tidak menyenangkannya adalah salah satu kenalan yang kami kenal dengan baik ternyata memfitnah kami (terutama saya) dibelakang. Ternyata kami tidak cukup baik mengenal dia karena terbukti dia mengumbar omongan jelek yang dia karang sendiri. Entahlah, mungkin dia iri. Bulan ini kami belajar tentang arti kepercayaan.

IMG_3651.JPG

September 2015

Rasanya seperti mimpi saya bisa bertemu dengan Pak Ahok dan foto bersama (rame-rame maksudnya). Saya sudah mengidolakan beliau semenjak pertama beliau muncul bersama Pak Jokowi. Gaya beliau bicara membuat saya terpana. Maklum saja, saya penyuka lelaki yang kalau bicara apa adanya tanpa basa basi seperti beliau, ceplas ceplos. Tidak akan lupa rasanya berjabat tangan dengan beliau. Ada dua acara dibulan ini yang berhubungan dengan kulineran yaitu acara KBRI Pesta Rakyat dan Food Truck Festival. Selain kami suka nongkrong dikonser musik, kami juga hobi datang ke acara kulineran, apalagi gratisan *ini harapan semua orang juga kaliii 😀. Bulan ini saya belajar bahwa yang namanya mimpi tidak pernah salah. Mimpi saja setinggi langit, siapa tahu suatu saat semesta akan berkonspirasi mewujudkannya, seperti ketika saya akhirnya bertemu Pak Ahok.

Ibu yang dibelakang dong, Juara ngajak Pak Ahok Selfie :D
Ibu yang dibelakang dong, Juara ngajak Pak Ahok Selfie 😀

Oktober 2015

Salah satu mimpi saya yang lain terkabulkan. Saya bisa bertemu Dewi Lestari dan berfoto bersama serta tidak lupa minta tanda tangan dua bukunya yaitu Gelombang dan Partikel di Frankfurt Book Fair (FBF) 2015 dimana Indonesia menjadi Guest of Honor. Semua teman dekat sudah tahu bagaimana saya tergila-gila dengan Dee sejak dia masih tergabung dengan Rida Sita Dewi (RSD). Bulan Oktober ini adalah bulan penuh mewujudkan impian ceritanya karena sejak 7 tahun lalu saya ingin sekali bisa datang ke FBF. Diacara ini saya juga bertemu Mindy dan Febi pertama kali. Dan satu lagi saya berfoto bersama Andrea Hirata serta meminta tanda tangan dibukunya yang berjudul Ayah. Bulan ini saya kembali belajar untuk tidak takut bermimpi.

Akhirnya kesampaian juga foto bersama
Akhirnya kesampaian juga foto bersama idola

Nopember 2015

Kami lupa pastinya kapan blog ini berulangtahun. Tapi dibulan Nopember saya membuat satu tulisan tentang ulangtahun pertama blog. Ternyata menyenangkan punya blog. Jadi mengetahui blog-blog lainnya yang memberikan banyak pengetahuan baru, menyambung silaturrahmi juga dengan kopdar. Saya bertemu beberapa blogger yang berkunjung ke Den Haag kemudian kami kopdar. Sejak Nopember saya bertekad untuk mulai belajar lebih serius tentang dunia blog, segala ilmu dibaliknya serta istilah-istilah yang saya tidak mengerti sebelumnya. Saya juga mulai melebihkan frekuensi untuk blogwalking dan mengenal lebih banyak blogger supaya ilmu yang didapat juga bertambah. Bulan ini kami berkesempatan menghadiri dua acara musik gratis yang diadakan oleh KBRI. Tidak tanggung-tanggung yang mengisi acara adalah Dira Sugandi, Dwiki Darmawan, Tohpati, dan Saung Angklung Udjo. Saya juga mulai mengikuti beberapa kegiatan volunteer disekitar Den Haag salah satunya TWIYC.

image4

Desember 2015

Pasar Natal di Köln-Jerman menjadi tujuan kami dibulan Desember ini sekaligus mengunjungi beberapa tempat disana. Kesampaian juga akhirnya datang ke Köln dan berkeliling ke beberapa Christmas Market serta Katedral dan juga Museum. Dibulan ini saya merasakan suasana Natal pertama di Belanda bersama bersama suami dan keluarga. Bulan ini kami belajar tentang arti perbedaan. Bahwa perbedaan bukan untuk diperdebatkan melainkan disyukuri. Beda itu indah.

Oh iya, saya menulis satu artikel diblog Mamarantau tentang Frankfurt Book Fair 2015 dan kemarin sudah tayang 🙂

Pohon dan hadiah-hadiah dibawahnya. Rasanya saya ingin menjejerkan pot kemangi disana, kado untuk suami :D
Pohon dan hadiah-hadiah dibawahnya. Rasanya saya ingin menjejerkan pot kemangi disana, kado untuk suami 😀

Ternyata selain menjadi tahun penuh pembelajaran, 2015 merupakan tahun yang penuh pengalaman pertama buat kami. Ya karena baru tahun ini kami melewati segala sesuatunya bersama sebagai suami istri. Banyak suka duka yang sudah terlewati. Yang baik kami ambil manfaatnya, yang tidak menyenangkan kami ambil hikmahnya.

Semoga ditahun 2016 langkah kami lebih bermanfaat. Target kami tahun depan tidak muluk-muluk : semoga kami bisa makin lebih banyak bersyukur, makin bisa memberikan manfaat kepada yang membutuhkan dalam bentuk apapun, hidup lebih sehat, dan beberapa rencana baik kami diijabah Allah sehingga bisa terwujud nyata. Kalau target pribadi saya : 2016 lebih sibuk didunia nyata (karenanya sudah 2 bulan ini sedang deactive FB dan cuti IG), lulus ujian bahasa Belanda dan target membaca minimal 50 buku terpenuhi (karena tahun 2015 lebih banyak membaca buku pelajaran bahasa Belanda saja). Semoga keberkahan, kebahagiaan, dan kesehatan yang baik selalu menyertai langkah kami dan keluarga, juga teman-teman semua di tahun 2016. Selebihnya seperti biasa, kami persilahkan tahun 2016 datang dengan segala kejutan yang sudah dipersiapkanNya.

Hidup itu seperti berlari marathon, tak ada tempat pemberhentian dan selalu butuh perjuangan sampai pada satu titik bernama impian

-Ninit Yunita-

PicsArt-1

Fakta Dalam Rumah Tangga

Judulnya ngeri-ngeri sedap ya :). Tenang, ini tulisan santai dan tidak dalam kapasitas membicarakan rumah tangga orang lain. Saya mau membicarakan kehidupan rumah tangga sendiri. Saya sering sekali mendapatkan pertanyaan tentang hal-hal yang berkaitan dalam rumah tangga kami yang lamanya baru bisa dihitung dengan jari tangan plus jari kaki (dalam bulan). Pertanyaan ini bukan hanya datang dari keluarga dan teman, bahkan juga orang yang baru dikenal. Beberapa hal yang mereka ingin tahu karena saya menikah dengan lelaki yang tidak sebangsa. Suami saya tetap seorang manusia biasa, hanya berbeda warna kulit, warna rambut dan kewarganegaraan, itu yang selalu saya tegaskan kepada siapapun yang melihat suami saya dengan pandangan yang luar biasa. Awalnya mungkin karena penasaran, walaupun tidak dapat dipungkiri juga beberapa menanggapi dengan suara sumbang. Setiap rumah tangga berbeda dalam cara mengelolanya karena masing-masing punya kebutuhan yang tidak sama. Berharap dengan tulisan ini saya tidak perlu lagi menjelaskan panjang lebar dan tinggal copy link ketika ada yang bertanya.

PEMBAGIAN TUGAS KERJA

Kami mengibaratkan rumah tangga ini adalah teamwork, dimana kekompakan dan kata sepakat perlu dikedepankan. Tapi hal tersebut juga tidak berlaku saklek, semuanya bisa didiskusikan. Maklum saja semua harus dikerjakan sendiri, jadi perlu adanya pembagian tugas, kalau tidak ya legrek kalau semua harus dipusatkan pada satu orang. Kapan waktunya bersenang-senang kalau misalkan semua printilan dibebankan kepada salah satu pihak, simpelnya seperti itu. Suami sebelum menikah dengan saya juga sudah terbiasa mengerjakan semuanya sendiri, saya juga mantan anak kos yang apa-apa dikerjakan sendiri.  Dalam pembagian kerja, pada pos-pos tertentu memang sudah ada kesepakatan siapa mengerjakan apa. Misalkan kamar mandi dan wc itu tugas suami dalam membersihkan karena saya tidak suka berkutat didua tempat tersebut dan dia mengajukan diri sejak awal akan mengambil tugas disana. Tetapi jika suami sedang sibuk dan waktunya membersihkan, mau tidak mau akhirnya saya yang mengerjakan (daripada kotor kan ya). Menyeterika baju saya juga tidak terlalu suka, akhirnya kami membagi tugas menyetrika 50%-50%. Kami menyetrika setiap tiga minggu sekali ketika baju yang siap disetrika sudah menggunung. Tetapi ketika saya sedang capek atau repot memasak, suami dengan senang hati akan menyetrika semuanya. Begitu juga kalau suami tidak sempat, saya yang akan melaksanakan tugas menyetrika. Semua tanpa paksaan karena melihat siapa yang longgar ya dia yang mengerjakan pekerjaan yang belum sempat tersentuh.

Dalam urusan makan ada waktu-waktu tertentu kami berbeda keyakinan. Ketika sarapan, kami menyiapkan menu masing-masing. Saya bangun tidur langsung minum perasan jeruk hangat dilanjutkan setengah jam kemudian makan buah (pisang, apel, jeruk, apapun itu yang tersedia dikulkas) lalu menyiapkan bekal suami makan siang untuk dibawa ke kantor (tinggal menata di kotak). Sedangkan suami menyiapkan menu sarapannya sendiri : roti, telur rebus (terkadang diganti keju), yoghurt, dan ketimun. Jadi selama ini saya memang tidak pernah menyiapkan sarapannya. Kalau makan siang saya yang menyiapkan perbekalannya, giliran makan malam dia yang menyiapkan untuk kami berdua sepulangnya bekerja. Makan malam kami cukup simpel yaitu sayuran segar (salad) dengan dressing dan lauk yang tersedia (tahu, tempe, perkedel atau apapun itu. Kecuali hari rabu lauknya adalah salmon. Kami menyebutnya salmon dating :D). Suami lebih telaten dan lebih banyak ide dalam membuat padu padan sayuran, dibanding saya tentunya.

Saya masak besar untuk lauk pada hari minggu untuk persediaan selama 5 hari kedepan. Misalkan membuat perkedel, dadar jagung, mendol, sambel goreng tempe tahu ataupun menu lainnya buat bekal suami, makan siang saya dan lauk makan malam kami. Suami suka sekali makanan Indonesia jauh sebelum menikah dengan saya. Karenanya memudahkan saya juga dalam menyiapkan masakan dan dia juga tidak rewel tentang makanan. Saya tidak pernah membuat dua jenis masakan. Satu masakan untuk dimakan bersama, beruntungnya dia juga suka pedes. Setiap hari minggu saya memasak dua macam lauk. Kalau memasak sayur senin pagi sebelum saya berangkat sekolah dan kamis pagi. Sedangkan pada hari sabtu dan minggu kadang kami makan diluar atau memasak sekadarnya. Karena saya memang suka memasak, jadi pos memasak ini juga bagian saya. Sementara saya memasak, suami sibuk membersihkan rumah, membersihkan karpet, menjemur baju dan terkadang juga mengepel. Sesekali suami juga membantu mencuci panci dan peralatan masak lainnya kalau dia melihat saya kecapaian, karena yang masuk dishwasher hanya peralatan pecah belah, sendok, garpu. Dengan pembagian seperti itu kami masih punya banyak waktu untuk me time. Dia dengan hobi bermusiknya sibuk dalam ruangan musiknya, saya juga punya kesibukan sendiri. Lagipula kalau rumah kotor dan berantakan, yang merasakan tidak nyaman tentu saja kami berdua, bukan hanya salah satu pihak saja. Jadi segala sesuatu yang terjadi di rumah adalah tanggungjawab kami berdua.

http://courageouscolleen.blogspot.nl/2013_09_01_archive.html
http://courageouscolleen.blogspot.nl/2013_09_01_archive.html

BERDISKUSI, BUKAN MEMINTA IJIN

Entah karena mempunyai persamaan pandangan atau dasarnya memang kami tidak suka saling mengekang, karenanya semua yang berlangsung selama ini adalah cenderung berdasarkan hasil diskusi bukan hasil meminta ijin. Misalkan ketika dia akan membeli suatu barang “aku mau beli X nih, gimana menurut kamu?” setelahnya kami akan berdiskusi penting tidaknya, skala prioritasnya, kegunaannya dan sebagainya. Ataupun ketika saya akan pergi ke suatu tempat bersama seorang teman “aku nanti mau ketemu A di stasiun jam 12 sepulang sekolah dan setelahnya kami mau jalan-jalan sampai jam 5, jadi dinner aku sudah ada dirumah,” tanpa harus menambahkan kata-kata “boleh ga?” kalau saya terlambat, cukup berkirim pesan bahwa saya akan terlambat berapa lama sampai di rumah. Hal tersebut juga berlaku sebaliknya pada suami. Kalau salah satu dari kami keberatan, bisa disampaikan mengapa tidak sepaham. Semuanya bisa didiskusikan. Bagaimanapun kami adalah individu yang mempunyai kehidupan masing-masing sebelum menikah. Karenanya kami juga butuh waktu untuk bersama teman masing-masing tidak harus selalu runtang runtung sepanjang waktu. Toh kami juga tahu sejauh mana batasannya. Ada saatnya kami menghabiskan waktu berdua, ada saatnya juga kami ingin punya waktu sendiri.

PENDAPAT YANG DITERIMA

Ketika saya menjelaskan semua yang tertulis diatas saat ada yang bertanya, reaksi positif dan negatif yang saya terima. Pendapat positif  ketika mereka memuji pembagian kerja yang kami terapkan ataupun mengedepankan diskusi dalam banyak hal. Tetapi tidak sedikit juga komentar negatif yang saya terima.

Saya dikatakan sebagai istri yang tidak berbakti dan mengabdi ketika melibatkan suami dalam pekerjaan rumah tangga. Menurut mereka adalah tugas istri dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Saya selalu malas berdebat kusir kalau ujung-ujungnya selalu melibatkan dalil-dalil agama. Saya selalu menjawab bahwa suami ridho, ikhlas, senang dan penuh suka cita mengerjakan itu semua. Tidak ada satupun diantara kami dipaksa mengerjakan apapun. Yang penting adalah senang. Kalau kami sedang ingin leyeh-leyeh saja seharian, ya kami akan melakukan itu seharian. Dan saya tetap tidak paham dibagian mana letak salahnya, sampai saya dituduh istri yang tidak berbakti. Lebih baik mengerjakan secara bersama-sama diiringi rasa senang daripada menyanggupi untuk mengerjakan semua sendiri tapi mengeluh yang ujung-ujungnya cemberut sepanjang hari karena kecapaian. Ada satu teman di sekolah yang menyelutuk kenapa saya tidak bisa menjadi istri seutuhnya dan tega membiarkan suami menyiapkan makan malam kami berdua padahal dia sudah kerja seharian. Saya sampai terperanjat ketika dia bilang seperti itu, speechless tidak tahu bagaimana harus menanggapinya. Toh saya juga tidak harus menjawab semua pertanyaan atau pernyataan, apalagi yang menurut saya tidak terlalu masuk akal.

Lalu masalah keluar rumah, mereka bilang bahwa seyogyanya istri harus meminta ijin ketika keluar rumah, bukan hanya memberitahukan. Sebelum suami memberikan ijin, istri tidak bisa keluar rumah.  Menurut pendapat saya, kenapa harus seperti itu, apakah selalu kewajiban istri untuk selalu meminta ijin suami, bagaimana dengan suami, apakah tidak mempunyai kewajiban yang sama? Ketika jawaban yang seperti itu saya lontarkan, penghakiman selanjutnya yang keluar adalah saya dikatakan terlalu menjunjung feminisme, yang kemudian diakhiri dengan dalil-dalil agama (lagi). Tenang saja, saya mengetahui dengan pasti ajaran-ajaran agama yang saya anut. Sejauh mana boleh atau tidaknya suami istri memperlakukan satu sama lain. Patuh tidaknya seorang istri pada suami bukan hanya dilihat pada saat ingin keluar rumah dengan meminta ijin. Memberitahukan juga salah satu bentuk penghargaan bahwa salah satu pihak dilibatkan.

Masing-masing rumah tangga mempunyai “dapur” yang berbeda. Masing-masing dapur dikelola sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan. Kita tidak bisa memaksakan dapur kita harus serupa dengan milik orang lain ataupun memberikan komentar bahwa dapur yang ideal adalah milik kita. Manajemen dalam rumah tangga tercipta karena kedua belah pihak ada kesanggupan bersama. Semua rumah tangga mempunyai kondisi idealnya masing-masing dengan segala suka duka didalamnya. Yang harus kita pahami adalah tidak ada alasan apapun untuk menghakimi satu perkara itu baik ataupun buruk hanya karena tidak sama dan tidak sesuai dengan apa yang kita lakukan. Saling menasehati untuk menuju kebaikan itu sangat dianjurkan. Tetapi terkadang antara menasehati dan menghakimi tidak nampak terlihat jelas batasannya. Rumah tangga adalah kerjasama. Ridho suami adalah ridho istri, begitu juga sebaliknya ridho istri adalah ridho suami, bukan berlaku hukum sepihak. Saya suka menganalogikan bahwa setiap rumah tangga itu seperti proses membuat permodelan (ini agak matematika sedikit bahasanya). Model terbaik yang dihasilkan tidak bisa diterapkan pada kasus yang lain karena ada syarat dan ketentuannya, yang biasa disebut teorema. Sebuah model terbaik untuk satu rumah tangga belum tentu menjadi model terbaik untuk rumah tangga lainnya.

Mudah-mudahan ini juga menjadi catatan tersendiri buat saya bahwa yang namanya masih hidup pasti akan selalu ada pro dan kontra. Dan pada dasarnya juga saya tipe orang yang i don’t care what other people said as long as i’m happy dan masih dalam jalur yang benar dan tidak membuat rugi sekitar. Saya akan menerima segala macam komentar, disaring, diambil yang terpenting. Sesimpel itu.

image1-6

-Den Haag, 15 November 2015-

The Vow – One Year Marriage Life

“I have given you my hand to hold, so i give you my life to keep. I promise to support, to honor, and to always respect you because it’s your heart that moves me, your head that challenges me, your humor that delights me, and i wish to hold your hands until the end of my days”

-August 9, 2014-

Setahun yang lalu tepat hari ini, janji ini terucap. Setahun kemudian, kami sudah mengalami pahit manis kehidupan pernikahan. Masih balita memang, tapi orang bijak mengatakan bahwa matang tidaknya sebuah pernikahan tidak diukur dari lamanya berjalan, tapi pengalaman yang mengisi didalamnya. Semoga kami selalu bisa tetap berjalan beriringan dengan cinta mengisi didalamnya, saling bergandengan tangan penuh rasa syukur, berpelukan, ataupun merebahkan kepala ketika salah satu dari kami membutuhkan bahu sebagai sandaran. Semoga langkah kami kedepan menjadi lebih barakah.

 
-Texel, 9 Agustus 2015-