Until We Meet Again, Papa

Those special memories of you will always bring a smile. If only i could have you back for just a little while then we could sit and talk again, just like we used to do. You always meant so very much and always will do too. The fact that you are no longer here will always cause me pain, but i hold you tightly within my heart and there you will remain. You are forever in my heart.

I can’t thank you enough for all that you’ve done for the love of my life, is the one who’s your son. As a father you loved him and taught him to find the best in himself. Thank you for raising a wonderful son.

Today is the day we will let you go. Thank you for letting me be part of your family. Thank you for being such an inspiration.

Until we meet again, Papa

April 18, 1935 – March 12, 2015

 

-Den Haag, March 18 2015-

Farewell to my dad

Afscheid van mijn vader
Me and daddy in the early stage of our journey through life

In sad circumstances my beloved father passed away last Thursday. His passing will leave a big feeling of emptiness in our lives. Besides his most friendly nature and an ultimate love for the ones around him, I will remember him as an exceptionally talented musician.

I feel very much blessed being born as his son and the opportunity of making with him this wonderful travel through life.

Pengalaman Berlari – Bromo Marathon 2014

Tulisan ini dalam rangka dibuang sayang. Cerita tahun lalu saat saya dan suami mengikuti Bromo Marathon tanggal 7 September 2014, penutupan rangkaian bulan madu kami. Iya, bulan madu salah satunya ikut lomba lari :D. Dan tulisan ini juga sebagai penyemangat karena dalam beberapa hari lagi saya dan suami akan ikut lomba lari di Den Haag. Buat saya, lomba lari kali  ini sangat spesial, karena akan menjadi lomba lari pertama di Belanda.

Saya memang suka lari sejak kecil. Olahraga yang saya tekuni sejak kecil adalah lari dan karate. Berenang baru 10 tahun kebelakang sejak didiagnosa dokter bahwa saya ada kelainan tulang punggung, yaitu Skoliosis yang sudah sangat parah, dan operasi adalah jalan keluar penyembuhannya. Tetapi saya tidak mau, akhirnya dokter menyarankan saya untuk berenang sebagai terapi. Akhirnya 3 olahraga yang saya tekuni yaitu lari, karate, dan berenang. Meskipun suka berlari, tetapi saya sangat jarang ikut lomba-lomba lari. Bromo Marathon ini sepertinya race pertama yang saya ikuti lagi setelah entah berapa tahun terakhir tidak pernah aktif berlomba lari. Rutinnya, saya selalu lari 2 kali seminggu. Tapi jika sedang malas ya sekali seminggu. Paling tidak, seminggu sekali saya pasti lari. Meskipun suhu sering dibawah 5 derajat dalam sebulan ini, berangin, hujan tiba-tiba, tetapi saya memaksakan diri untuk tetap berlari. Sekalinya malas, maka malas seterusnya. Kalaupun saya malas, pasti digeret sama suami. Dia ini raja tega kalau masalah olahraga. Tidak ada kata malas untuk berolahraga dikamusnya.

Kembali ke Bromo Marathon, awalnya saya yang mendaftar. Waktu itu posisinya kami belum menikah, bahkan tanggalnyapun belum ditetapkan. Setelah tanggal pernikahan ditetapkan dan ijin cuti dari kantor suami keluar, dia akhirnya ikut mendaftar. Saya yang 10km, dia yang half Marathon 21km. Kalau suami memang rajin ikut race yang 21km sejak lama. Medalinya saja sampai bertumpuk dirumah. Sehari sebelum hari H, kami berangkat dari Surabaya rame-rame tujuh orang bersama kakak kelas saya dikampus. Menginap dirumah penduduk yang tempatnya sangat bersih dan nyaman dengan makanan berlimpah

Pagi harinya saat hari H, kami menggunakan mobil bak terbuka menuju ke tempat pemberangkatan (start). Full marathon (42km) berangkat terlebih dahulu, disusul yang half marathon (21km), kemudian yang terakhir adalah 10km. Rute yang ditempuh awalnya sama untuk ketiga tetapi dititik tertentu menjadi terpisah. Pada saat Bromo Marathon ini kondisi saya sedang sangat tidak fit. Sinusitis saya kambuh sejak beberapa hari sebelumnya. Ketika awal-awal berlari, udara dingin, semakin membuat hidung saya sakit, napas tersengal. Ditambah lagi medan lari yang aduhai sangaaattt melelahkan. Tanjakan lebih dari 50 derajat kemiringannya, berdebu, semakin membuat saya tersiksa. Ditengan jalan, hampir saja saya menyerah karena hidung sudah mengeluarkan darah. Tapi pada saat itu sudah lebih dari 5km, sayang juga kalau tidak diteruskan. Meskipun lari saya tidak kencang, tapi saya selalu usahakan ritmenya selalu sama, tidak pernah berhenti. Sekalinya berhenti, biasanya saya malas untuk berlari kembali. Mengambil beberapa foto juga saya lakukan sambil berlari. Yang menjadi menyenangkan adalah pemandangan yang dilalui sepanjang jalan sangat menghibur, serta sorak semangat yang diberikan oleh penduduk setempat dan sapaan hangat sesama peserta. Senangnya lagi, saya tanpa sengaja bisa bertemu dengan beberapa teman dari Jakarta yang saya kenal dari organisasi maupun beberapa kegiatan sosial, bahkan teman sesama penyuka olahraga lari.

Akhirnya dengan segenap perjuangan sampailah saya di finish dengan waktu 1:58:41 dan suami dengan waktu 2:49:32. Ternyata suami mengalami sedikit kecelakaan. Nyungsep saat jalan menurun karena kemiringan yang terlalu tajam, mungkin juga karena dia sudah kelelahan. Medan yang 21km dari ceritanya lebih mengerikan lagi susahnya. Saya sampai finish dengan keadaan baik-baik saja sudah sangat bersyukur dengan catatan waktu yang sudah disebutkan. Bromo Marathon memberikan pengalaman yang sangat berharga bagi kami. Banyak kejadian lucu yang bisa membuat kami tertawa terbahak bahak kalau sedang mengingatnya

Keterangan lebih lengkap tentang Bromo Marathon, langsung bisa klik di website nya. Pendaftaran untuk tahun 2015 akan segera dibuka.

Nah, beberapa hari lagi kami akan mengikuti NN CPC Loop 2015 Den Haag. Saya konsisten ikut yang 10km, suami yang 21km. Antusias sekali karena race ini akan diikuti oleh ribuan peserta juga. Namun juga ada rasa grogi, kuat apa tidak sampai finish. Buat saya, dicoba saja dulu sampai batas maksimal kemampuan, yang penting sudah berusaha :). Kalau ada kesempatan, dan kesehatan memungkinkan, akhir tahun 2015 saya ingin ikut yang 21km. Membayangkan bisa berlari bersama suami pasti sangat menyenangkan.

Yuk, Olahraga biar badan seger 🙂

-Den Haag, 4 Maret 2015-

Foto-foto yang ada disini adalah dokumentasi pribadi

Pesertanya 1500an dari 39 Negara
Pesertanya 1500an dari 39 Negara
Sepanjang jalan diberi semangat oleh penduduk setempat
Sepanjang jalan diberi semangat oleh penduduk setempat
Kalau bisa melihat titik-titik merah diatas sana, itu jalur yang akan saya lalui. Pffhhh napas tersengal-sengal
Kalau bisa melihat titik-titik merah diatas sana, itu jalur yang akan saya lalui. Pffhhh napas tersengal-sengal
Medannya benar-benar edyaan. 10km serasa 40km
Medannya benar-benar edyaan. 10km serasa 40km
Suami nyungsep di jalan menurun
Suami nyungsep di jalan menurun
Daann inilah kami dengan pose noraknya hahaha
Daann inilah kami dengan pose noraknya hahaha
Senang menjadi finisher di Bromo Marathon 2014. Pengalaman yang sangat berharga
Senang menjadi finisher di Bromo Marathon 2014. Pengalaman yang sangat berharga

Dan inilah yang akan saya ikuti beberapa hari lagi. 10km di NN CPC Loop Den Haag. Mudah-mudahan sampai finish dengan aman sentausa sehat jiwa raga 🙂

Nomer dada. Antusias!
Nomer dada. Antusias!

 

Belanja ke Pasar – Haagse Markt Den Haag

Minggu pertama ketika baru sampai di Den Haag, saya sudah bertanya ke Suami dimana pasarnya. Saya juga tidak ada bayangan pasar di Belanda (atau bahkan di Eropa) itu bentuknya seperti apa. Imajinasi saya pasarnya pasti dalam ruangan tertutup dan bersih. Suami sempat menyebutkan satu tempat, tapi saya tidak ingat persis namanya. Akhirnya pada minggu lalu saya membaca tulisan Yayang tentang Pasar Kaget di Rotterdam. Wah, saya semakin bersemangat ingin menjelajah pasar.

Akhirnya kesempatan itu datang ketika Ibu Wiwiyk, kenalan yang bekerja di Toko Indonesia didekat rumah mengirim pesan, mengajak saya ke pasar di Den Haag, namanya Haagse Markt. Dengan semangat 45 saya bilang  ke Suami, yang saya tau pasti dia setuju karena dia senang sekali kalau saya keluyuran sendiri :D. Akhirnya sabtu 21 Februari 2015 untuk pertama kalinya saya pergi ke pasar di Den Haag. Saya berangkat sendiri dari rumah naik trem dan janjian dengan Bu Wiwiyk di Haarenstraat kemudian kami pergi bareng ke pasar. Sesampainya di pasar, mungkin karena saya terlalu antusias karena pada akhirnya menginjakkan kaki di pasar, sepanjang jalan saya senyum lebar ke setiap orang hahaha norak.

Jadi, menurut pengamatan saya, Haagse Markt ini adalah pasar terbuka, luar ruangan, yang bersih (ya karena saya membandingkannya dengan pasar di Situbondo tentunya). Konon katanya menurut pak dhe Google, Haagse Markt adalah salah satu pasar luar ruangan yang terbesar di eropa dengan lebih dari 500 kios yang menjual segala macam jenis kebutuhan, dari sayur mayur, pakaian, buah, ikan, daging, keju, roti, bunga, suvenir, camilan, oleh-oleh, penjual jilbab, baju muslim, sampai kerajinan tangan. Pokoknya komplit. Saat ini terlihat beberapa ruas pasar yang sedang direnovasi. Haagse Markt ini terletak di Herman Coesterstraat di distrik Schilderswijk, bukanya hari Senin, Rabu, Jumat, dan Sabtu dari Jam 9 pagi sampai jam 5 sore. Untuk lebih lengkapnya bisa langung cek di website Haagse Markt

Tentu saja sisi pasar yang paling antusias saya datangi adalah bagian makanan, sayur mayur, buah, dan ikan. Saya terkaget-kaget beberapa sayuran yang saya beli harganya 1 euro-satu bak (bak disini maksudnya wadah satu tempat yang tidak terlalu kecil tapi tidak terlalu besar juga. Bukan bak besar untuk mencuci baju :D). Mungkin kalau dirupiahkan masih terhitung mahal ya kalau perbandingannya dengan Indonesia, tapi disini sudah sangat murah untuk ukuran Belanda dengan perbandingan belanja di supermarket. Dan ada beberapa sayuran yang jauuh lebih murah harganya dibandingkan di Indonesia, contohnya Paprika-1 euro isinya 506 paprika merah, dan alpukat mentega ukuran sedang 1 bak isi 3 buah juga harganya 1 euro. Tempat jual ikannya juga bersih dan ikannya segar-segar. Buah-buahnya juga saya beli yang 1 euro-an. Mangga (2 buah ukuran besar), alpokat, pisang (isi 7 pisang), kiwi (isi 10 buah), lemon (8 buah)-semuanya 1 euro. Raddish, timun (4 timun besar), paprika, tomat (6 tomat ukuran besar), cabe, jamur Champignon, kecambah besar, ikan asin, brokoli (isi 2 brokoli besaarr sekali), wortel (isinya segambreng banyaknya), pare semuanya satu bak 1 euro. Dan masih banyak lagi sayuran dan buah yang hitungannya 1 euro. Keadaan buah dan sayurnya juga masih segar. Ahhh, senang sekali. Kalau tidak ingat bahwa saya harus membawa hasil belanja sendiri yang sangat berat, ingin rasanya saya beli semua sayuran dan buah yang segar-segar itu. Untuk ikan, karena saya membeli salmon, hitungannya tidak berbeda jauh dengan supermarket, walaupun tetap lebih murah. Tetapi untuk ikan beku, jika beruntung bisa membeli seharga 5 euro, bahkan salmon beku juga saya beli seharga 5 euro. Pada dasarnya saya tidak bisa dan sangat tidak jago menawar, karenanya saya senang di Haagse Markt ini sistemnya tidak usah menawar. Ya apanya yang mau ditawar kalau kebanyakan yang dijual hitungannya sudah satu euro.

Ketika pulang kerumah, saya pamerkan hasil “buruan” ke Suami, dia terkaget-kaget senang. Kaget karena dia memang tidak pernah masuk pasar sebelumnya, sehingga tidak menyangka kalau barang-barang yang saya beli hampir semua seharga 1 euro. Tentu saja dia senang karena otomatis jadi hemat belanja 😀 (maklum, karena saya belum bekerja, yang bisa dilakukan untuk membantu suami adalah bersikap hemat, bijak terhadap pengeluaran :))

Dan, rabu 25 Februari 2015 kemarin, saya berangkat lagi ke pasar (kecanduan ke pasar haha), karena beberapa persediaan sayur juga udah habis. Kali ini saya berangkat sendiri saja, tidak ditemani lagi oleh Bu Wiwiyk karena beliaunya sedang bekerja. Naik trem sendiri, tidak susah. Dari tempat saya, naik tram 15 (dari pemberangkatan Nootdorp) turun di halte Rijswijkseplein/Station HS, setelah itu menyeberang jalan, lanjut naik tram 11 (jurusan Scheveningen haven) atau tram 12 (jurusan Duindorp) turun di halte Hoefkade. Kembali lagi kerumah saya juga menggunakan transportasi yang sama.

Untuk tempat jual ikan, daging, sayur mayur, buah, dan beberapa kios makanan berpusat di area Hoefkade. Sedangkan untuk tempat jualan baju, bunga, tas, suvenir, barang-barang antik, dan yang lainnya berpusat di area Hobbemaplein. Berdasarkan pengalaman, untuk membeli buah dan sayur, jangan tergoda langsung membeli karena melihat harganya yang sangat miring. Berputar lebih dahulu, karena banyak kios yang menjual dengan barang sama, tapi bisa jadi harganya lebih miring. Jadi, anggap saja jalan-jalan santai sambil cari yang lebih murah meriah. Untuk kios makanan, saya senang sekali membeli ikan goreng seharga 1,75 euro, besar ikannya, sekali makan langsung kenyang (ya kebangetan kalau sampai tidak kenyang haha). Kios ini selalu dipadati pembeli, karena antriannya panjang dan memang ikannya sangat yummy. Selain itu, favorit saya yang lain untuk oleh-oleh suami adalah pizza vegetarian di kios pizza turki. Kios ini juga ramai pembeli. Untuk kios-kios makanan yang lainnya juga menggugah selera untuk dicoba, tapi saya harus memilih kios yang halal.

Hati-hati dengan barang bawaan dan dompet serta Hp, karena kondisi pasar yang sangat ramai. Banyak polisi disekitar pasar ini karena konon katanya banyak sekali pencopet. Jadi kalau ke pasar, lebih baik uangnya langsung disiapkan ditempat yang mudah dijangkau, misalkan saku jaket, sehingga tidak perlu buka tutup dompet yang bisa riskan akibatnya. Jika ingin ke pasar tidak terlalu ramai, hari senin dan rabu dan dipagi hari. Pengalaman saya selalu kepasar siang hari sudah penuh berdesakan. Bagaimana jika belum lancar berbahasa Belanda seperti saya, apakah akan mengalami kendala jika berbelanja di Haagse Markt? jangan khawatir, penjualnya bisa berbicara menggunakan bahasa Inggris. Jadi kemarin saya berbelanja menggunakan bahasa campuran, Belanda dan Inggris. Mereka juga sangat ramah, mengenali saya dari Indonesia, dan beberapa dari mereka mengajak berbincang saya sepatah dua patah kata menggunakan bahasa Indonesia.

Itulah pengalaman saya pergi sendiri berbelanja di Haagse Markt – Den Haag, mengobati kerinduan akan pasar tradisional Indonesia. Menyenangkan? tentu saja. Saya sangat senang karena setelah ini bisa selalu berbelanja ke pasar. Pasar tradisional selalu mempunyai segudang cerita dibaliknya dengan beragam orang didalamnya.

-Den Haag, 26 Februari 2015-

Segala foto yang ada disini adalah dokumentasi pribadi

Bagian pasar yang menjual baju, sepatu, tas dan barang lainnya
Bagian pasar yang menjual baju, sepatu, tas dan barang lainnya

IMG_0419 

Kios Bunga

  

Toko yang menjual ayam dan daging yang sudah bersih kondisinya, juga ada beberapa bumbu Indonesia, juga kurma dan kue-kue hidangan puasa dan lebaran
Aneka Ikan Segar
Paprika 1 bak 1 euro
Paprika 1 bak 1 euro
Ikan super lezat segede gaban kenyang untuk makan siang
Ikan super lezat segede gaban kenyang untuk makan siang
Berpose dengan Bu Wiwiyk didepan kios ikan goreng yang antriannya super panjang, dengan hasil belanja segambreng, kenyang setelah makan ikan super lezat.
Berpose dengan Bu Wiwiyk didepan kios ikan goreng yang antriannya super panjang, dengan hasil belanja segambreng, kenyang setelah makan ikan super lezat.
Salah satu kios makanan
Salah satu kios makanan
Salah satu hasil perburuan - 1 euro
Salah satu hasil perburuan – 1 euro
Salah satu hasil perburuan - 1 euro. Jaih lebih murah dari Indonesia
Salah satu hasil perburuan – 1 euro. Jauh lebih murah dari Indonesia
Salah satu hasil perburuan - 1 euro
Salah satu hasil perburuan – 1 euro

Menyusuri Leiden

Hari minggu kemarin rencananya tidak pergi kemana-mana. Ingin baca-baca buku dirumah sambil menemani Suami yang sedang mengerjakan tesis. Tiba-tiba sabtu malam Suami mengutarakan niat untuk mengajak saya ke Leiden hari minggunya karena ada beberapa literatur yang harus dipinjam dari perpustakaan. Wah saya senang sekali karena bisa napak tilas jejak Lintang salah satu tokoh dibuku Negeri Van Oranje. Karena buku inilah obsesi saya untuk melanjutkan kuliah di Belanda semakin menjadi. Ternyata jalan cerita berubah, ke Belanda bukan karena kuliah, tetapi menikah 🙂

Hari minggu 15 Februari 2015, cuaca cerah, 6 derajat celcius, matahari bersinar terang, tetapi angin masih membawa hawa dingin yang menggigit. Kami tiba di Leiden Centraal jam 1 siang. Rencananya makan dulu, karena belum ada makanan masuk perut pada saat siang. Apa daya restoran yang ingin dituju belum buka. Akhirnya kami memutuskan langsung menuju perpustakaan sambil jalan-jalan menyusuri beberapa tempat yang sering dikunjungi wisatawan. Kincir angin tempat Museum De Valk. Kami tidak masuk kedalamnya, hanya melewati sepintas. Museum De Valk juga merupakan salah satu icon Leiden. Kemudian kami juga berkunjung ke de Burcht, benteng yang menyerupai kastil dibangun pada tahun 1150 sebagai tempat pertahanan warga Leiden dari bahaya banjir pada saat itu (menurut informasi yang tertera dipapan pintu masuknya). Dari atas de Burcht kita juga bisa melihat keindahan sekeliling kota Leiden dan melihat dengan jelas objek-objek wisata penting ko­ta itu mulai dari gedung Balai Kota, Gereja Pieterkerk, St Pancras­kerk, Museum Windmill, Morrspoort, Academy Building sampai Hortus Botanicus. Bahkan ada yang menyebutkan, jika singgah ke Leiden tetapi belum ke de Burcht, sama saja belum berkunjung ke Leiden.

Setelahnya kami menyusuri jalan disebelah kanal melihat gedung pemerintahan, Gereja dan Universitas Leiden. Karena saya tidak mempunyai kartu anggota jadi tidak boleh masuk kedalam perpustakaan (bisa masuk setelah mengisi form, tapi kemarin saya belum melakukannya. Mungkin kunjungan berikutnya), maka saya jalan-jalan sekitaran kampus saja. Leiden juga terkenal sebagai kota kelahiran Rembrandt van Rijn, dan kemarin begitu ketemu dengan rumahnya malah lupa difoto. Ada museum yang terkenal lainnya juga di Leiden yaitu Rijksmuseum van Oudheden (kami tidak masuk, hanya lewat didepannya saja). Selain itu, di Leiden juga terkenal dengan dinding-dinding yang bertuliskan puisi sastrawan terkenal dunia. Saya juga menjumpai masjid di lingkungan Universitas Leiden.

Hortus Botanicus merupakan tempat yang kami kunjungi terakhir. Jadi, menurut keterangan yang ada di papan pintu masuknya, Hortus Botanicus ini adalah kebun raya tertua di Belanda dan salah satu yang tertua didunia. Hortus Botanicus mempunyai hubungan sejarah dengan Kebun Raya Bogor yang didirikan oleh C.G.L Reindwart pada tahun 1817 yang dikemudian hari manjadi salah satu pejabat di Hortus Botanicus. Karena masih musim dingin, tidak banyak bunga yang bisa kami temui. Satu yang berkesan yaitu rumah kaca yang beriklim tropis mengingatkan saya akan tegalan rumah mbah didesa. Masuk kedalam Hortus Botanicus ini membayar 7 euro atau gratis jika mempunyai kartu tanda mahasiswa di Universitas Leiden.

Dibawah ini beberapa foto hasil jalan-jalan di minggu siang 🙂

Kincir angin tempat Museum De Valk
Kincir angin Museum De Valk

IMG_0247

Kantor pemerintahan Leiden. Sedang proses Renovasi
Kantor pemerintahan Leiden. Sedang proses Renovasi
Karena hari minggu kemarin matahari sedang cerah ceria, banyak yang mencari kehangatan sambil ngobrol-ngobrol. Meskipun udara tetap dingin, tetapi lumayan dapat sinar matahari
Karena hari minggu kemarin matahari sedang cerah ceria, banyak yang mencari kehangatan sambil ngobrol-ngobrol. Meskipun udara tetap dingin, tetapi lumayan dapat sinar matahari
de Burcht. Benteng di Leiden yang dibangun pada tahun 1150 sebagai tempat pertahanan warga Leiden dari bahaya Banjir
de Burcht. Benteng di Leiden yang dibangun pada tahun 1150 sebagai tempat pertahanan warga Leiden dari bahaya Banjir
Pemandangan kota yang bisa dilihat dari atas benteng De Burcht
Pemandangan kota yang bisa dilihat dari atas de Burcht
De Burcht. Burcht sendiri artinya adalah Benteng
de Burcht. Burcht sendiri artinya adalah Benteng

IMG_0301

Hortus Botanicus Universiteit Leiden
Hortus Botanicus Universiteit Leiden
Rumah kaca yang beriklim tropis. Asli mirip banget dengan tegalan mbah di Jember
Rumah kaca yang beriklim tropis. Asli mirip banget dengan tegalan mbah di Jember
Bunganya masih kecil
Bunganya masih kecil
Disekitar Hortus Botanicus
Disekitar Hortus Botanicus
Karena tidak boleh masuk kedalam perpustakaannya, akhirnya saya muter-muter diseputar kampusnya.
Karena tidak bisa masuk kedalam perpustakaannya, akhirnya saya muter-muter diseputar kampusnya.
Lingkungan kampus Universitas Leiden
Lingkungan kampus Universitas Leiden
Lingkungan kampus Universitas Leiden
Lingkungan kampus Universitas Leiden
Terdapat Masjid dilingkungan kampus Universitas Leiden : Masjid Al Hijra
Terdapat Masjid dilingkungan kampus Universitas Leiden : Masjid Al Hijra
Gerbang Leiden sebelah barat. Lambang dari Leiden adalah dua kunci merah yang saling menyilang dengan latar belakang putih. Leiden disebut sebagai "Sleutelstad" ("kota kunci")
Gerbang Leiden sebelah barat. Lambang dari Leiden adalah dua kunci merah yang saling menyilang dengan latar belakang putih. Leiden disebut sebagai “Sleutelstad” (“kota kunci”)
Jalan setapak menuju Gereja
Jalan setapak menuju Gereja
Gereja sekaligus menjadi tempat berlangsungnya beberapa kegiatan pemerintahan
Gereja sekaligus menjadi tempat berlangsungnya beberapa kegiatan pemerintahan
Menurut Suami, ini pompa air letaknya disamping Gereja
Menurut Suami, ini adalah pompa air yang usianya sudah sangat tua, letaknya disamping Gereja
Bangunan sebelah kiri Rijksmuseum van Oudheden
Bangunan sebelah kiri Rijksmuseum van Oudheden

IMG_0238

Kapal yang bersandar di Kanal pada aliran sungai Rijn
Kapal yang bersandar di Kanal pada aliran sungai Rijn

KULINER :

SELERA ANDA

Setelah puas berjalan-jalan, juga karena sudah sangat lapar, maka selanjutnya adalah makan. Pilihan jatuh di Restoran Indonesia Selera Anda. Letaknya dekat sekali dengan Leiden Centraal, sekitar 5 menit jalan kaki. Restoran ini menyediakan makanan yang langsung bisa dipilih dari etalase, kemudian dipanaskan menggunakan microwave. Paketnya juga bermacam. Secara rasa, menurut kami standar, tidak ada yang istimewa, dan tidak ada rasa khasnya. Ruangannya bersih terdiri dari 5 meja. Dari pengamatan, yang datang ke Selera Anda kebanyakan membeli dibawa pulang. Pelayanannya ramah, sempat berbincang juga dengan bapak-bapak yang menunggu didepan restoran.

Selera Anda
Selera Anda
Variasi makanannya
Variasi makanannya
Nasi, 2 jenis lauk, 2 jenis sayur dan telur = 10.75 Euro
Salah satu paketnya : Nasi, 2 jenis lauk, 2 jenis sayur dan telur = 10.75 Euro
Suasana dalam restorannya
Suasana dalam restorannya

ES KRIM

IMG_0357

"Forget Love... I'd rather fall in Chocolate!"
“Forget Love… I’d rather fall in Chocolate!”
Pilihan Es Krimnya
Pilihan Es Krimnya
Yummmyy!!
Yummmyy!!

Dan jalan-jalan 4 jam hari itu ditutup dengan es krim coklat yang lezat. Kami berdua memang penggemar es krim. Jadi bisa dipastikan kalau sedang jalan-jalan yang dicari es krim.

Semoga foto-foto yang tersajikan tidak membosankan meskipun ceritanya hanya sekilas saja.

Semua foto yang ada disini adalah dokumentasi pribadi

-Den Haag, 18 Februari 2015-

Cerita Adaptasi – Kenalan Baru – Belajar Hal Baru

Sudah dua minggu saya berada di Belanda. Tidak terasa, seperti baru beberapa hari lalu tiba. Malah kata suami saya, seperti sudah bertahun-tahun tinggal bersama. Selama dua minggu itu juga banyak hal-dari lebih banyak hal-yang saya pelajari. Beberapa kebiasaan baru, beberapa tempat baru yang saya kunjungi, maupun bertemu beberapa kenalan baru yang bukan hanya dari Indonesia. Sejauh ini menyenangkan, meskipun ada beberapa kejadian yang memang diluar dugaan, tetapi saya selalu mengambil sisi positifnya dan menjadikan pelajaran supaya kedepannya bisa menjadi lebih baik.

Suami adalah tipe yang mendorong saya untuk selalu mandiri. Selalu memberi kesempatan saya seluasnya untuk dapat keluar rumah, tidak hanya duduk diam didalam rumah. Maksudnya baik tentu saja, agar saya lebih mengenal sejauh mungkin lingkungan baru, mengenal beberapa orang baru, dan melihat sendiri tentang kebiasan-kebiasan yang ada disini sebagai bagian dari proses adaptasi.

Seperti halnya saat beberapa waktu lalu saya akan melakukan pendaftaraan pernikahan dan lapor diri tentang keberadaan saya di Den Haag supaya dicatat di Gemeente Den Haag, berangkat sendiri tanpa didampingi suami karena dia pada waktu yang bersamaan sedang ada jadwal kuliah. Awalnya saya cemas tentu saja, apakah saya bisa melakukan sendiri atau tidak. Banyak pertanyaan “bagaimana jika” ketakutan yang tentu saja manusiawi datang bertubi ketika pertama kali harus mengurus sendiri sesuatu yang penting dan berhubungan dengan pemerintah Belanda. Tapi Suami saya berkata kalau saya selalu didampingi kemanapun pergi, lalu saya tidak akan pernah bisa belajar sesuatu, akan selalu merasa bergantung pada orang. Saya pikir, benar juga. Tidak ada yang perlu saya takutkan karena meskipun saya jauh dari kata lancar dalam berbahasa Belanda, tapi saya masih bisa berkomunikasi dengan orang-orang yang saya temui menggunakan bahasa Inggris. Akhirnya saya berangkat dengan gagah berani, membawa semua dokumen yang sudah dipersiapkan sehari sebelumnya. Setelah turun dari kereta di Stasiun Den Haag Central, saya mulai ragu dan lupa arah. Apakah harus mengambil pintu keluar sebelah kiri atau kanan. Saya gambling, mencoba yang sebelah kanan, ternyata salah. Saya kembali dengan mengambil arah sebaliknya. Kali ini ternyata benar arahnya. Dalam perjalanan ke gedung Gemeente, tiba-tiba ada yang berseru “dari Indonesia?” saya menoleh mencari sumber suara. Ternyata yang menyapa seorang bapak yang awalnya saya pikir berusia masih sekitar akhir 50 tahun. Pada akhirnya beliau sendiri yang menyebutkan kalau usianya sudah 70 tahun. Awet muda rupanya. Kami saling berkenalan, berjabat tangan dan menyebut nama masing-masing. Bapak Arthur sangat ramah, menuntun sepedanya, menjajari langkah saya sampai ke gedung. Selama perjalanan yang sangat pelan beliau bercerita banyak hal, termasuk menerangkan bahwa sudah tinggal selama 60 tahun di Belanda karena beliau berdarah campuran Nias-Belanda. Karenanya, beliau tidak terlalu lancar bahasa Indonesia. Jadi saya berbicara menggunakan bahasa Indonesia, beliau menggunakan bahasa Belanda. Entah bagaimana ceritanya, tapi kami mengerti satu sama lain apa yang dimaksudkan. Beliau menyemangati saya untuk bisa beradaptasi dengan cepat dan tidak gampang menyerah. Diakhir perbincangan, kami saling bertukar alamat email. Beliau ingin mengundang saya dan suami ke rumahnya untuk sekedar ngobrol santai saat makan malam. Katanya akan dimasakkan rendang. Saya sempat bercanda “Opa, saya tidak makan daging, kalau ada gulai kepala ikan, boleh juga” yang langsung disambut tertawa keras renyahnya. Menurut beliau, saya menyenangkan dan termasuk mandiri karena baru beberapa hari di Belanda sudah kesana sini sendiri *langsung pengen terbang karena dipuji*. Setelahnya kami saling mengucapkan salam perpisahan. Hari itu menjadi sangat menyenangkan, mengenal seseorang baru, yang tiba-tiba menyapa saya dengan ramahnya, dan membuat saya berpikir bahwa semua (mudah-mudahan akan selalu) baik-baik saja.

Dilain waktu, saya mendapati sepeda yang baru beberapa hari dibeli mengeluarkan suara aneh. Saya laporkan pada suami, berharap akan diantarkan ke tempat reparasi sepeda. Suami bilang, saya bisa pergi sendiri kesana, karena gampang dan tidak perlu didampingi. Saya kembali was-was. Jaraknya memang tidak terlalu jauh dari rumah, dan saya masih hapal rute menuju kesananya. Kembali muncul pertanyaan “bagaimana jika”. Tapi kembali saya berpikir, kalau harus menunggu suami, saya tidak bisa pergi berbelanja ke Delft karena sepeda tidak nyaman dikendarai. Kalau harus menunggu suami menemani untuk sesuatu yang bisa saya lakukan sendiri, lalu semua ikut tertunda karena dia bisanya hanya akhir pekan saja ketika libur bekerja. Lebih baik saya berangkat dan melupakan semua ketakutan. Pada akhirnya saya berangkat ke toko reparasi sepeda dan begitu sampai disana, lelaki yang melayani kami membeli sepeda mengenali saya dengan menyapa ramah “Hai Madam, an Indonesian with nice red bicycle”. Saya tersenyum lebar, kemudian mengatakan keluhan tentang sepeda. Dia melakukan pengecekan dan langsung mengerjakan. Tidak berapa lama kemudian sepeda saya sudah kembali benar, tanpa ada suara-suara yang membuat tidak nyaman untuk dikendarai. Kembali saya belajar satu hal, bahwa seringkali saya merasa terlalu ketakutan yang berlebihan. Seringkali meragukan kemampuan bahwa saya bisa melakukan sesuatu yang pada awalnya saya ragukan. Mengalahkan ketakutan diri sendiri itu tidak mudah, tetapi bukan tidak mungkin untuk dilalui. Dan setelahnya, ketika melintasi toko sepeda tersebut beberapa kali, saya bertemu kembali dengan lelaki ramah tersebut, dia selalu berseru memanggil nama saya dengan ramah “Hai Deny, an Indonesian woman”, Dennis nama lelaki itu karena disuatu kesempatan kami berkenalan satu sama lain dan berbincang sebentar dengannya.

Dalam hal urusan belanja makanan, sayuran, buah, Suami sudah mempercayakan pada saya. Karenanya saya sudah diberitahu beberapa tempat biasanya dia berbelanja. Awalnya saya juga tidak percaya diri ketika pergi berbelanja sendiri. Tapi saya sudah tidak punya alasan lagi untuk menghindar. Saya sudah punya sepeda, artinya berbelanja bukan lagi sebuah halangan. Ketika di Den Haag, sepulang dari Gemeente, saya memutuskan untuk sekalian berbelanja di Ming Kee Supermarket karena disana lengkap bumbu-bumbu Indonesia juga beberapa sayuran. Ketika saatnya membayar, wanita muda yang menjadi kasirnya mengatakan sesuatu dalam bahasa Belanda. Karena terlalu cepat, saya tidak menangkap dia berbicara apa. Hanya ada satu kata yang saya tangkap “^$^$^%#@@ Gratis(**%&$$^” Ya, kata Gratis terdengar jelas buat saya. Saya pikir apanya ya yang gratis. Saya jawab saja “Ja, ok”. Ternyata saya disuruh mengambil satu lagi jamur enoki karena kalau beli satu gratis satu. Ah, begitu rupanya. Setelah itu dia mengucapkan kalimat dengan cepat lagi, dan kembali saya mencoba menebak, mungkin disuruh memasukkan kartu. Akhirnya saya memasukkan kartu dan menekan PIN. Dia tidak berbicara lagi. Berarti tebakan saya benar. Kemudian saya berlalu, setelah mengucapkan terima kasih. Masih ada beberapa sayuran lagi yang belum saya dapatkan karena di Ming Kee tidak ada persediaan. Saya berkeliling mencari Ekoplaza. Setelah berjalan beberapa blok, akhirnya saya menemukan gedungnya. Pada saat membayar, wanita yang menjadi kasirnya berbicara sesuatu “^%%#% Bon **(%$?”. Saya hanya menangkap kata Bon. Saya menaksir yang ditanyakan adalah “Apa bonnya mau dicetak?” lalu dari hasil kira-kira tersebut saya menjawab “Nee hoor”. Rupanya jawaban kira-kira saya tadi benar, karena wanita tersebut tidak berkata apa-apa lagi. Setelah mengucapkan terima kasih, lalu saya pergi dengan senyuman. Wah, lumayan juga saya sudah mengerti beberapa hal disini, meskipun bahasa Belanda masih merangkak tidak jelas dan susah menerka apa yang dibicarakan. Intinya modal nekad saja. Bisa karena terpaksa. Bisa saja saya bilang kalau belum bisa bahasa Belanda dan berbicara menggunakan bahasa Inggris, tapi hal tersebut tidak saya lakukan karena memang niat awalnya hari itu ingin belajar berinteraksi. Ketika saya ceritakan hal ini pada suami, kami berdua sama-sama tertawa. Tentang saya yang tebak-tebak kata. Semakin memotivasi untuk segera belajar serius bahasa Belanda.

Minggu lalu, tiba-tiba saya ngiler ingin makan sambal terasi. Saya ingat kalau dulu Ibu pernah menitipkan trasi pada suami ketika dia kembali ke Belanda setelah kami menikah. Saya mulai mencari dan terus mencari ke seluruh dapur, tapi tidak kunjung ketemu. Wah, ditaruh dimana ya terasinya pikir saya. Dan saya tidak mungkin berkirim pesan ke dia yang sedang kerja hanya sekedar ingin menanyakan terasi. Padahal terasi itu enak sekali, diberi oleh teman ibu asli dari Lombok. Saya memutuskan untuk menggoreng saja karena ada terasi 1kg yang saya bawa ketika 2 minggu lalu berangkat ke Belanda. Tapi masih dalam keadaan mentah, belum digoreng atau dikukus. Tapi saya juga khawatir bagaimana cara menggoreng terasi yang aman disini tanpa harus mengganggu tetangga sekitar dengan baunya yang menggelegar. Saya ingat cerita teman yang tinggal di Jepang. Awal dia pindah, saat menggoreng terasi, tiba-tiba pintu rumahnya ada yang mengetuk. Nampak 2 polisi berdiri disana karena mendapat laporan dari tetangganya kalau ada bau bangkai keluar dari rumah teman saya itu. Tetangga tersebut khawatir ada sesuatu yang terjadi, sehingga lapor pada polisi. Pada saat teman saya bercerita, dia tertawa terbahak-bahak. Tidak mengira bahwa terasi akan berbuntut pada polisi. Lain lagi cerita seorang teman yang tinggal di Adelaide. Pada saat menggoreng terasi, pintu rumahnya digedor kencang, setelah dibuka ternyata tetangganya sangat tidak suka dengan bau yang datang dari rumah teman saya. Pada akhirnya teman saya meminta maaf dan mencoba mengirim hasil masakannya yang menggunakan terasi. Tetangga tersebut menyukai masakan teman saya, dan terasi yang menjadi biang keladinya, dan pada akhirnya mereka menjadi akrab. Teman saya bilang bahwa tidak seharusnya dia mengusik kenyamanana orang lain diatas kesenangannya akan terasi.

Berkaca dari pengalaman teman-teman tersebut, saya akhirnya menggoreng terasi dengan api kecil sekali, wajan ditutup, semua blower dinyalakan, semua jendela saya tutup. Setengah jam setelah menggoreng, tidak terjadi apa-apa, artinya aman. Baru saya tenang. Tapi ketika suami datang, dia mencium bau terasi di seantero rumah “Terasi, honey?” saya tertawa. Mungkin saya aman dari protes tetangga, tapi suami tak bisa diperdaya. Toleransi itu mudah sebenarnya, mencoba menempatkan posisi kita pada posisi orang lain. Kalau di Indonesia ketika menggoreng terasi seluruh kampung bisa mencium baunya, tapi disini saya tidak bisa berlaku yang sama. Tidak semua orang akan suka apa yang saya lakukan, jadi sebisa mungkin menjaga tingkah laku sebagai orang baru.

Begitulah cerita panjang saya tentang proses adaptasi disini. Tidak mudah dan akan berlangsung panjang. Tapi saya sangat senang malakukan itu semua. Mempelajari hal baru pasti akan menimbulkan rasa penasaran dan antuasias yang tinggi. Semoga semuanya tetap berjalan lancar sesuai harapan. Pelan tapi pasti.

Selamat hari Jumat, selamat berakhir pekan dengan Keluarga, Teman, dan Orang-orang tersayang. Semoga selalu ada cerita seru diakhir pekan teman-teman.

-Den Haag, 13 Februari 2015-

Trasi sebotol kecil yng menggorengnya dengan penuh perjuangan. Yang ada sekarang dieman-eman :D
Trasi sebotol kecil yang menggorengnya dengan penuh perjuangan. Yang ada sekarang disayang-sayang 😀

Kencan Dan Nyasar

Tadi malam ceritanya kencan buat merayakan 6 bulan pernikahan. Iya, 6 bulan dimana kami merasa seperti baru kemarin menikah. Ya iya pastinya. Setelah 5 bulan pisah dan baru berkumpul kembali 10 hari ini, jadi merasa baru 🙂 Bukan merayakan juga sih tepatnya, hanya ingin makan malam lanjut nonton film. Karena kami berdua pencinta Sushi, akhirnya diputuskan sejak minggu kemarin kalau makan malamnya all you can eat Sushi. Sejak minggu kemarin Mas Ewald sudah pesan tempat untuk hari senin 9 februari 2015. Dia juga sudah memberi tahu kalau tempatnya, Restaurant Yuniku ini dekat dengan kantor, tinggal jalan kaki. Saya bertanya apakah halal? dan menurutnya saat itu yang namanya restaurant Sushi pasti tidak menjual makanan yang diharamkan. Saya menegaskan, apakah ada tulisan halalnya? dia tidak bisa memastikan. Beberapa hari lalu saya mencoba mencari tahu dari websitenya. Tidak melihat ada tulisan Halal. Saya mulai was-was, kemudian bilang ke Suami kalau ternyata nanti tidak ada tulisan Halalnya, pindah restaurant saja. Jadi kami sudah mempunyai alternatif tempat makan. Ternyata ketika sampai disana, di daftar makanannya tercantum tulisan Halal. Jadi makan dengan lahap akhirnya.

Jadi ada semacam “drama” sebelum kami mulai berkencan. Seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya kalau beberapa kali saya sudah bisa dan biasa naik angkutan umum disini, tanpa nyasar. Sejak hari minggu, Mas Ewald juga sudah beberapa kali memberi petunjuk harus naik apa sampai ke Zoetermeer, tempat restaurant tersebut berada. Saya juga sudah hapal luar kepala. Bahkan senin paginya, saya dikirim lewat email hasil google map untuk menuju kesana. Jadi rutenya : Saya akan naik bis dari halte di Ypenburg jam 16:18 (nama haltenya Weidevogellan), lalu setelah 3 halte saya harus berhenti di Station Leidschenveen. Setelahnya saya harus lanjut dengan trem nomer 3 atau 4 menuju ke Stadhuis Zoetermeer. Nah, saya harus turun disitu karena Mas Ewald akan menjemput saya. Simpel kan. Jadi saya sudah siap-siap sejak jam 2 siang. Berdandan poles ini itu, maklum kalau dirumah tidak berdandan. Tampil cantik dengan berdandanan untuk suami kan salah satu ibadah :). Jam 4 sore saya sudah keluar rumah, berjalan sekitar 5 menit menuju halte. Menunggu sekitar 12 menit disana, duduk kedinginan. Saya berpikirnya lebih baik menunggu daripada terlalu mepet waktunya atau ketinggalan. Setelah bisnya datang, saya duduk dekat pintu, dekat mesin check in/out. Setelah menghitung sampai 3 halte, saya berpikir setelah ini saya turun. Tapi saya lihat dilayar, kok yang tertera bukan Station Leidschenveen melainkan Leidschenveen Centrum. Wah, berarti bukan ini, pikir saya waktu itu. Akhirnya saya tetap duduk, tidak keluar. Bis terus berjalan sampai melewati 3 halte. Perasaan saya sudah tidak enak, ada yang aneh ini, sepertinya saya nyasar. Kemudian saya menelepon Suami, setelah saya beritahu nama stasiun berikutnya, dia bilang memang saya seharusnya turun di Leidschenveen Centrum. Lha wong namanya beda dengan petunjuk, makanya saya tidak turun. Benar kata pepatah nih, malu bertanya sesat dijalan, nyasar :). Saya berusaha tidak panik, nada bicara saya atur senormal mungkin, supaya Suami juga tidak panik. Untungnya (masih untung, Indonesia sekali hehe) langsung ada bis kearah sebaliknya menuju Leidschenveen Centrum. Sesampainya disana saya menuju keatas untuk ganti naik trem. Ternyata trem nomer 3 datang ketika saya baru sampai diatas. Dan keretanya berhenti sekitar 50 meter didepan saya. Walhasil saya langsung berlari kencang. Beruntungnya ada mas mas yang baik hati untuk menahan pintu keretanya. Ketika saya sudah masuk ke trem, saya mengucapkan terima kasih ke mas mas tersebut, baik sekali. Oh iya, Mas Ewald selalu mengingatkan saya agar jangan sampai lupa check in/out ov-chipkaart apapun keadaannya, karena sering ada pemeriksaan mendadak didalam bis, trem atapun kereta. Bersyukurnya kemarin masih ingat untuk check in/out ov-chipkaart, karena kemarin di trem saya terkena pemeriksaan. Petugasnya menyapa saya dengan tersenyum sambil berbicara sedikit bahasa Indonesia “Terima Kasih”, “Selamat Jalan”, dan “Sama-Sama”. Kok ketahuan ya saya dari Indonesia (berharap banget ada yang mengira dari Yunani haha Yuk Deny sih ini bukan Yunani *kriikk krikkk).

Perjalanan selanjutnya lancar sampai Mas Ewald menjemput saya di Stadhuis Zoetermeer. Dia terkejut melihat saya berdandan. Cantik katanya. Ya iyaa, istri sendiri dipuji. Tidak sia-sia juga poles sana sini meskipun ya hasilnya tidak jauh berbeda dengan sehari-hari :D. Selalu ada pengalaman pertama, termasuk nyasar, supaya belajar jangan lagi mengulang kesalahan yang sama. Entah dikemudian hari nyasar ditempat yang berbeda haha. Ya mudah-mudahan lain kali lebih pintar. Entah karena efek nyasar atau memang sudah waktunya makan, sesampainya di Yuniku, saya lapar sekali. Kami sampai jam 5 sore, masih sepi, baru ada 2 meja yag terisi. Pertama lihat langsung suka dengan dekorasinya dan tata letak mejanya. Kemarin tidak sempat foto-foto ruangannya, tapi bisa langsung dilihat di website pada link diatas. Pelayanannya ramah dan cepat. Saking ramahnya, kami meminta tolong foto beberapa kali dilayani dengan penuh senyuman. Jadi all you can eat ini sistemnya ada 5 kali pemesanan. Masing-masing pesan 5 jenis makanan per orang. Awalnya seperti biasa masih makan dengan kalap. Sampai pemesanan ke 5 saya sudah menyerah. Tidak sanggup lagi, hanya memesan buah dan udang. Mas Ewald bertahan sampai terakhir. ada sebanyak 130 menu kalau tidak salah. Secara menyeluruh puas makan disini, Suasana tidak terlalu ramai, tempat nyaman, penyajian cepat, rasa enak sekali, dan pelayanan ramah dan cepat. Sangat merekomendasikan Yukiniku ini. Hanya satu saya merasa sup rasanya terlalu asin.

Setelah hampir 2 jam makan, perut kekenyangan, kami langsung bergegas menuju bioskop Utopolis untuk menonton film The Theory Of Everything, yang diadaptasi dari memoir Jane Hawking, mantan istri Stephen Hawking, yang berjudul Travelling to Infinity : My Life with Stephen. Hawking adalah seorang Professor dibidang Fisika yang terkenal dengan penemuannya yang bernama Hawking Radiation, menderita amytrophic lateral sclerosis (ALS) yang divonis dokter hanya mempunyai kesempatan hidup 2 tahun pada saat umur 21 tahun, dimana kenyataannya disebutkan difilmnya pada saat diputar tahun 2014 sudah berumur 72 tahun dan tetap produktif dengan beberapa penemuan yang lainnya. ALS adalah penyakit yang mempengaruhi sel-sel saraf di otak dan sumsum tulang belakang yang menyebabkan kelemahan otot dan atrofi. Penyakit ini menyebabkan kematian neuron motorik, yang berarti otak kehilangan kemampuan untuk mengendalikan gerakan otot. Ketika otot dalam diafragma dan dinding dada gagal, penderita akan kehilangan kemampuan untuk bernapas tanpa bantuan ventilasi. Kebanyakan orang dengan ALS hanya bertahan 2 sampai 5 tahun setelah diagnosis. Lebih jauh tentang film ini dapat dibaca disini. Secara garis besar, The Theory Of Everything merupakan bentuk penghargaan tertinggi yang dapat diberikan industri perfilman untuk Stephen dan Jane Hawking. Melalui gaya narasi yang membuat penonton hanyut secara emosional, wajar saja jika film ini akan menjadi salah satu contender kuat di ajang penghargaan 87th Academy Awards pada tanggal 22 Februari 2015 mendatang. Saya dan Suami puas selesai menontonnya karena akting dari Eddie Redmayne sebagai Stephen Hawking dan Felicity Jones sebagai Jane Hawking sangat total. Saya juga suka karena film ini berlatar belakang Inggris, jadi kental dengan aksen British. Saya suka dengan aksen British, terdengar seksi :). Oh iya, kemarin disela film diputar, tiba-tiba ada jeda dan ada tulisan Pauze dilayar. Saya tanya ke Mas Ewald apakah biasa seperti ini, dia bilang belum pernah nonton film ada pauzenya. Karena satu ruangan hanya ada 8 orang, maka mereka memanfaatkan untuk keluar membeli makanan atau ke kamar mandi. Jedanya lumayan lama, 10 menitan.

Begitulah sekelumit cerita saya tadi malam berkencan dengan suami yang diwarnai dengan acara nyasar. Pulang dari bioskop suasana menuju stasiun sudah sangat sepi, kami berjalan bersenda gurau mentertawakan kejadian nyasar saya. Terkadang, yang membuat kita sedih, kecewa, ataupun terluka disuatu masa, suatu saat ketika mengingatnya kembali, kita sudah mampu mentertawakannya. Begitulah hidup, seperti roda berputar yang tidak pernah diam dan selalu bergerak. Karenanya, sangat perlu untuk memanfaatkan sebaik mungkin untuk hal-hal berguna waktu yang tidak akan pernah bisa diputar ulang, kecuali pintu doraemon muncul menjadi nyata 🙂

-Den Haag, 10 Februari 2015-

semua foto disini adalah dokumentasi pribadi

http://restaurantyuniku.nl/
http://restaurantyuniku.nl/
Logo Halal
Tulisan Halal

IMG_0179

IMG_0181

IMG_0182

Muka bahagia karena perut kenyang hatipun senang riang gembira haha
Muka bahagia karena perut kenyang hatipun senang riang gembira haha

Pecel dan Cerita Akhir Pekan

Sunset yang muncul disaat masih ada es dimana-mana. Lovely

Mengapa judulnya Pecel? Ceritanya setelah lari pagi bareng suami, saya tiba-tiba kangen makan pecel dengan segala sayur-sayuran yang direbus plus ikan asin dan tahu goreng serta lodeh tewel. Saya kangen makan sambel pecel buatan Ibu yang pedasnya super dan rasanya tidak ada duanya enaknya (ya bagi siapapun, masakan ibu kita pasti tidak ada yang bisa mengalahkan kenikmatan rasanya). Hari minggu saya lari jam 8 pagi dengan Mas Ewald, udaranya dingin sekali dan berangin. Target lari saya kali ini 5km. Ditengah-tengah sedang berlari, tiba-tiba saya lapar dan entah kenapa terpikir ingin makan pecel dengan laut pauk komplitnya. Kemudian saya ingat, sebelum berangkat ke Belanda, ada teman SMA yang tinggal di Jakarta mengirimkan sambel pecel kepada saya. Buat tombo kangen kalau sudah di Belanda, katanya. Yiaayyy terima kasih Nuril untuk sambel pecelnya!! Berarti saya bisa makan pecel untuk makan siang. Saya selesaikan lari dengan sangat bersemangat 🙂

Untung saja Jumat malam kami sudah berbelanja aneka macam sayuran. Saya dan Mas Ewald memang wajib makan sayur disetiap makan siang dan malam. Kalau pagi saya sarapan buah, sementara Mas Ewald makan roti dan keju, seperti umumnya orang Belanda. Dalam rentang seminggu kemarin juga menjadi ajang pengenalan saya ke beberapa tempat belanja yang biasa didatangi Mas Ewald. Karena saya sekarang sudah punya sepeda, maka sudah tidak ada alasan untuk tidak pergi berbelanja ke tempat yang agak jauh. Selama ini saya berbelanja di Toko Indonesia dekat rumah, di Nootdorp, karena bisa saya jangkau dengan berjalan kaki. Selain alasan dekat, saya sudah kenal dengan Ibu yang ada di Toko tersebut, sering berbincang pengalaman beliau sukses lulus ujian NT2 serta memberi semangat serta selalu meyakinkan saya bahwa saya bisa melalui ujian dengan baik, dan ujung-ujungnya Ibu tersebut sering memberi saya bonus-bonus dan diskon harga. Yang saya sebutkan terakhir tersebut adalah alasan tambahannya, yang terpenting adalah saya sudah punya kenalan dan tempat untuk berbelanja.

Saya ceritanya loncat-loncat tidak masalah ya. Karena saya terbangun jam 1 dini hari,  tidak bisa tidur lagi, dan mati gaya, akhirnya memutuskan untuk bercerita seputaran akhir pekan saja. Iya, jam tidur saya masih kacau. Hanya bisa tidur sekitar 3-4 jam saja. Mungkin masih beradaptasi.

Sabtu sore saya dan Mas Ewald pergi ke Zoetermeer, 10 menit berkendara dari tempat kami tinggal, untuk melihat Dance Competition. Senang sekali rasanya berbaur dengan masyarakat sekitar, dari segala jenis umur, segala kalangan. Malah saya sempat berbincang dengan beberapa orang, menggunakan bahasa Belanda yang belum lancar dicampur dengan bahasa Inggris tentunya. Bersyukurnya mereka mengerti bahwa saya baru pindah dan sedang berusaha keras untuk belajar bahasa Belanda dan sedang bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Hal tersebut yang juga menjadi tujuan Mas Ewald menyuruh saya untuk mandiri, pergi kesana sini sendiri. Karena saya orangnya tidak bisa diam, maka saya sering sekedar jalan-jalan untuk mengerti lingkungan sekitar bagaimana. Sudah beberapa kali pergi sendiri naik kereta, trem ataupun bus. Pergi sendiri paling jauh ke Utrech, mengunjungi seorang teman. Saya juga sudah familiar dengan aplikasi Reisplanner dan Google Map yang mempermudah saya untuk mengetahui dan mendapatkan info tentang kendaraan umum apa yang harus digunakan untuk pergi kesuatu tempat serta jadwalnya. Mertua saya selalu mencemaskan, takut kalau saya kesasar. Tapi saya selalu mengatakan kepada beliau bahwa saya bisa survive dengan segala angkutan umum di Jakarta dan di Surabaya yang jauh lebih tidak teratur dibandingkan dengan Belanda, mestinya saya juga bisa survive di Belanda 🙂

Hari minggu sore, setelah sibuk beres-beres rumah, kami memutuskan untuk bersepeda ke Delft, menunjukkan rute tempat berbelanja yang lainnya. Sebelum ke Delft, kami mampir ke rumah mertua, ingin menunjukkan ke Pappa dan Mamma kalau saya sudah punya sepeda dan akan sering-sering mengunjungi mereka meskipun tidak dengan Mas Ewald karena saya sudah tahu rute bersepedanya. Pappa dan Mamma sangat senang melihat saya dengan sepeda baru, juga senang mendapatkan kunjungan dari anak dan menantunya. Pappa dan Mamma juga sangat disiplin mengajari saya berbahasa Belanda. Meskipun mereka bisa berbahasa Inggris, bahkan Mamma bisa berbahasa Indonesia, karena pernah tinggal lama di Jakarta, tapi mereka selalu mengajak saya untuk berkomunikasi menggunakan bahasa Belanda. Mamma bahkan sangat telaten selalu membimbing saya untuk memperlancar kemampuan berbicara. Jadinya, mau tidak mau setiap hari saya harus memperbanyak kosakata dan pelan-pelan mempraktekkan dengan Suami meskipun porsinya masih sering menggunakan bahasa Inggris. Setelah dari rumah Mertua, kami melanjutkan bersepeda menuju Delft. Sore yang dingin dan berangin. Membutuhkan waktu 20 menit untuk sampai ditempat kami berbelanja. Sepanjang jalan, Mas Ewald menerangkan berbagai macam rambu bersepeda. Pemandangan yang sangat mengagumkan sepanjang bersepeda, membuat saya sering menghentikan kayuhan sejenak untuk mengabadikannya. Setelah selesai berbelanja sayuran dan roti, saya juga menyempatkan untuk jalan-jalan disekitar Stadhuis. Entah kenapa, saya selalu suka dengan suasana Delft.

Kambali ke Pecel, ternyata ini kali pertama Mas Ewald merasakan makan dengan menggunakan sayuran yang diguyur Sambal Pecel. Awalnya sempat berkerut dan sayurnya hanya dimakan sedikit. Tapi lama kelamaan dihabiskan, malah nambah bumbu pecelnya. Sayur yang saya gunakan juga seadanya dikulkas. Dan semuanya mentah (kacang panjang, wortel, timun, rucula kecuali bimi yang saya celup sebentar di air mendidih). Saya sendiri puas dengan makan lalapan sambal trasi. Meskipun tidak memenuhi pakem pecel sesuai aslinya, saya senang Mas Ewald menikmati pengalaman pertamanya makan pecel. Walaupun tidak ada ikan asin ataupun sayur lodeh tewel yang saya inginkan, tapi sudah cukup puas makan dengan tahu goreng.

Dari cerita gado-gado tentang akhir pekan saya, senang rasanya kembali mempelajari hal-hal yang baru. Senang juga orang-orang disekitar saya mendukung proses adaptasi, dari Mas Ewald yang selalu mengajarkan saya untuk mandiri, mengenalkan saya kepada kegiatan-kegiatan baru dan rute-rute perjalanan yang baru, Mertua yang selalu berusaha untuk memperlancar komunikasi bahasa Belanda saya, sampai saya sendiri yang memang bertekad kuat untuk mengalahkan segala kekhawatiran yang ada. Selalu ada sesuatu yang baru, dan setiap hari akan ada hal-hal baru yang bisa kita pelajari sebagai bagian dari perjalanan hidup. Mungkin akan banyak hal yang tidak sesuai yang kita harapkan, tapi itulah hakikat beradaptasi, menyesuaikan diri dengan keadaan yang ada.

Hari ini tepat 6 bulan usia pernikahan kami. Memang masih seumur jagung dan kami menyadari bahwa proses pengenalan menjadi pembelajaran yang tidak akan pernah berakhir, selalu terjadi setiap saat, menemukan hal-hal baru dari pasangan, sampai kapanpun juga. Seperti halnya pecel yang terdiri dari beberapa sayuran, dan tidak lengkap jika hanya satu sayuran saja, maka kami selalu berdoa, apapun perbedaan yang ada diantara kami, mampu saling melengkapi satu sama lain, saat ini dan nantinya.

Selamat Hari Senin, dan semoga cerita akhir pekan kalian juga menyenangkan ^^

-Den Haag, 9 Februari 2015-

Beruntung dikirim sambel pecel oleh teman SMA yang di Jakarta. Mengobati kangen makan pecel pas makan siang di Surabaya
Beruntung dikirim sambel pecel oleh teman SMA yang di Jakarta sebelum saya berangkat ke Belanda. Mengobati kangen makan pecel ketika makan siang di Surabaya
Menuju Delft naik sepeda bareng suami, meskipun dingin banget dan berangin, tapi tetap senang karena pemandangannya menyenangkan
Menuju Delft naik sepeda bareng suami, meskipun dingin banget dan berangin, tapi tetap senang karena pemandangannya menyenangkan
Setelah belanja sayuran selesai, jalan-jalan sebentar diseputaran Stadhuis Delft
Setelah belanja sayuran selesai, jalan-jalan sebentar diseputaran Stadhuis Delft
Bangunan ini apa ya namanya. Dua kali datang kesini lupa terus mau cari tahu tentang namanya. Nanya Suami katanya Gereja
Bangunan ini apa ya namanya. Dua kali datang kesini lupa terus mau cari tahu tentang namanya. Nanya Suami katanya Gereja

Pict1

Pict2

Februari 2015 – Kehidupan Baru

Tidak terasa sudah satu minggu saya berjibaku dengan hawa dingin di Belanda, melihat hamparan es yang selama ini hanya saya ketahui melalui film-film hollywood, merasakan cuaca yang berubah secara tiba-tiba (satu saat matahari bersinar cerah, sesaat kemudian awan mendung dan hujan turun dengan derasnya), serta angin dingin yang membuat pipi dan tangan saya seperti mati rasa. Pergi belanja berjalan kaki dengan memakai pakaian berlapis, lengkap dari ujung kepala sampai ujung kaki, untuk mengusir dingin yang menggigit. Maklum saja, saya berasal dari kota yang terletak dipesisir pantai, kemudian tinggal lama dikota yang panasnya luar biasa, tidak pernah mengalami hawa dingin yang menurut saya ekstrim ini. Belum lagi tingkah saya yang norak karena tiba-tiba ada hujan es, menengadahkan telapak tangan seperti tidak percaya bahwa yang turun dari langit bukan air biasa melainkan air yang berubah menjadi serpihan es.

Seminggu yang lalu, saya masih sibuk menata barang, memampatkan ini itu supaya semua bisa muat ke koper dan beberapa tas yang akan dibawa, sibuk berpamitan kesana kemari. Sorenya dengan menggunakan Taksi, saya menuju Bandara Juanda dengan perasaan senang. Gembira karena 18 jam kedepan bisa bertemu dengan suami yang hampir 5 bulan terpisah karena urusan kuliah dan administrasi kepindahan. Dilain hal juga sedih karena harus meninggalkan keluarga, teman-teman, dan segala kenyamanan yang sudah ada. Saya sadar harus beradaptasi lagi dari awal ditempat yang baru dengan kebiasaan yang baru. Seperti yang pernah saya bilang, bahwa pindah membuat saya belajar banyak hal. Pindah membuat saya terus bergerak agar selalu ingat bahwa ada banyak mimpi yang perlu saya wujudkan, termasuk menjemput impian yang tertunda. Saya akan memulai hidup baru disini, bersenang-senang dan berjuang bersama Suami yang selalu tahu bahwa saya punya sejuta cita-cita, sejuta rasa ingin tahu, dan tak terhitung berapa banyak kemauan untuk selalu ingin maju. Disinilah rumah saya sekarang, tempat dimana hati saya berada.

Saya tahu bahwa semua tidak mudah. Tapi saya juga sangat percaya bahwa tidak ada yang tidak mungkin didunia ini selama kita yakin bahwa kita mampu dengan usaha keras dan doa. Jadi, saya sudah siap dengan petualangan dan rangkaian cerita-cerita baru. Dan hey, saya selalu antusias menyambut hal-hal yang luar biasa dengan segala suka dukanya.

Setahun lalu, saya pertama kali bertemu muka dengan Suami. Setahun setelahnya, kami sudah tinggal satu rumah dengan perjuangan panjang dibaliknya. Siapa yang tahu akan menjadi apa hidup kita kedepannya, kalau tidak kita sendiri yang memperjuangkannya.

Apa yang sudah kamu perjuangkan untuk hidupmu?

-Ypenburg, 5 Februari 2015-

Mungkin saking kasihannya mereka sama saya yang pergi sendirian, akhirnya teman-teman kuliah ini menyususl ke Bandara :) Thanks Girls
Mungkin saking kasihannya mereka sama saya yang pergi sendirian, akhirnya teman-teman kuliah ini menyusul ke Bandara Juanda 🙂 Thanks Girls
Bawa rendang 2kg dari Surabaya, dan yang punya usaha teman SMA, minta tolong buat diambilkan gambar di tempat yang berbau Belanda untuk promosi. Akhirnya si Rendang berpose diatas Es. Kata Suami Rendangnya enak banget
Bawa rendang 2kg dari Surabaya, dan yang punya usaha teman SMA, minta tolong buat diambilkan gambar di tempat yang berbau Belanda untuk promosi. Akhirnya si Rendang berpose diatas Es. Kata Suami Rendangnya enak banget
Mukanya lusuh, dapat kembang senyumnya maksa gitu haha. Ini Bunga pertama selama mengenal suami. Nampaknya setelah ini ga kan ada bunga-bunga lagi. Dia ga suka kasih bunga
Mukanya lusuh, dapat kembang senyumnya maksa gitu haha. Ini Bunga pertama selama mengenal suami. Nampaknya setelah ini tidak akan ada bunga-bunga lagi. Dia tidak suka kasih bunga
Barang bawaan segambreng, pantas saja over 10kg hahaha *ketawa pait
Barang bawaan segambreng, pantas saja over 10kg hahaha *ketawa pait. Bersyukur tidak kena denda, karena bantuan petugas Garuda Indonesia
Hari pertama sudah lapor ke Imigrasi (IND dan langsung dapat Kartu Identitas yang berlaku 5 tahun. Yiaayy!!
Hari pertama sudah lapor ke Imigrasi (IND) dan langsung dapat Kartu Identitas yang berlaku 5 tahun. Yiaayy!!
Lari pagi pertama setelah pindah. Jam setengah 8, masih gelap gulita, suhu 5 derajat, licin karena sisa es masih dimana-mana
Lari pagi pertama setelah pindah. Jam setengah 8, masih gelap gulita, suhu 5 derajat, rintik hujan, licin karena sisa es masih dimana-mana
Jam setengah 9 pagi, jalan sendiri menuju perpustakaan kota, mendaftar jadi anggota
Jam setengah 9 pagi, jalan sendiri menuju perpustakaan kota, mendaftar jadi anggota
Masih suka takjub dengan es yang menutupi semuanya
Masih suka takjub dengan es yang menutupi semuanya
Dulu lihat pemandangan seperti ini difilm-film. Sekarang bisa lihat sendiri didepan mata hamparan es dimana-mana
Dulu lihat pemandangan seperti ini difilm-film. Sekarang bisa lihat sendiri didepan mata hamparan es dimana-mana