Ramadan dan Penghormatan, Haruskah?

Ramadan akan tiba dalam hitungan hari. Bulan yang saya nanti atau mungkin dinantikan oleh seluruh umat muslim di seluruh dunia. Kenapa saya katakan mungkin dinantikan? ya karena saya tidak tahu jumlah umat muslim yang menantikan Ramadan, apakah semuanya memang menantikan atau ada yang biasa-biasa saja. Jadi lebih baik saya tuliskan dengan kata “mungkin” saja. Namun mari berbaik sangka saja bahwa semua umat muslim di seluruh dunia memang selalu menantikan datangnya bulan Ramadan.

Tahun ini adalah Ramadan kedua (Insya Allah jika diberikan umur yang barakah) saya jauh dari keluarga di Indonesia, merasakan rindu berburu menu buka puasa bersama teman-teman, merasakan rindu suasana tarawih bersama di musholla atau masjid dekat rumah, memendam rindu berbuka puasa dan sahur bersama Ibu dan adik-adik. Banyak hal yang selalu saya rindukan ketika jauh seperti ini terutama menjelang Idul Fitri.

Selain menantikan datangnya bulan Ramadan dengan penuh suka cita, ada hal yang selalu meresahkan saya menjelang Ramadan tiba. Saya selalu membaca entah di twitter, di Facebook (dulu saat masih aktif) ataupun di portal berita tentang seruan untuk menghormati orang yang berpuasa. Seruan tersebut tidak saja datang dari perorangan tetapi juga diucapkan oleh para pemuka agama. Sungguh, hal ini benar-benar meresahkan saya sampai akhirnya saya memutuskan untuk menuliskan di blog kami saja, mengeluarkan uneg-uneg sebagai bentuk opini pribadi yang selama ini saya pendam, coba saya kaji sendiri dan mencari sambungan logikanya disebalah mana antara puasa Ramadan dan penghormatan.

Saya tidak tahu pasti entah sejak kapan fenomena seruan untuk menghormati orang yang sedang berpuasa itu muncul. Kenapa saya katakan fenomena? karena seingat saya (mudah-mudahan ingatan saya tidak terlalu buruk ya) saat masih kecil sampai masa kuliah tidak pernah mendengar “suara” lantang seruan ataupun himbauan untuk menghormati orang yang berpuasa. Bahkan seingat saya saat itu tidak pernah ada huru hara kegaduhan ataupun marah-marah, menuntut menutup dan mengobrak abrik warung dan tempat makan yang masih tetap beroperasi menjalankan usahanya saat bulan Ramadan, oleh mereka yang katanya mengaku beragama. Disini letak tidak paham saya dengan kelakuan orang yang mengatasnamakan umat beragama.

Sejak kapan seseorang yang berpuasa Ramadan butuh dihormati? Kenapa kalau menjalankan puasa Ramadan menuntut untuk dihormati? Puasa itu adalah ibadah yang hubungannya antara seseorang yang menjalankan dengan Allah, jadi fokusnya disana. Kenapa harus melibatkan orang lain yang terkesan memaksa dan diucapkan dengan kalimat “menghimbau”? Puasa maupun bentuk ibadah yang lainnya adalah sifatnya personal, perorangan. Puasa itu adalah rahasia antara yang berpuasa dengan Allah, maka Dia yang akan memberikan ganjarannya, bukan sesama manusia, bukan minta dihormati ataupun menuntut untuk dihormati.

Kita kembalikan lagi sebenarnya esensi puasa itu apa? menahan diri. Dalam hal ini bisa dijabarkan menahan diri dari makan, minum, tidak berhubungan suami istri dari terbit fajar sampai tenggelam matahari. Bisa juga dipanjangkan dengan menahan diri dari segala hawa nafsu dan hal-hal yang membatalkan puasa. Hawa nafsu disini termasuk tidak marah-marah, memaki, berprasangka buruk, bergunjing dan segala hawa nafsu lainnya. Jadi sudah jelas bahwa puasa itu adalah bentuk ibadah seseorang kepada Allah yang tujuannya adalah menahan diri. Nah, kalau sudah paham bahwa hakikat berpuasa adalah kita harus menahan diri, kenapa kita harus marah-marah kalau misalkan ada orang yang makan didepan kita? kenapa kita harus geram kalau ada yang minum es degan didepan kita? Yang harus kita tahan adalah hawa nafsu kita, bukan menyuruh orang lain untuk memahami kita yang berpuasa. Kalau memang sudah niat, yakin, nawaitu untuk beribadah puasa, apapun godaan diluar sana tidak akan menggoyahkan niat kita dalam beribadah. Itu adalah ujian keimanan kita. Masak iya, iman kita langsung goyah hanya karena ada yang makan rujak cingur atau lontong balap didepan kita. Kalau memang iya, harusnya kita menanyakan kepada diri sendiri niat berpuasanya apa, bukan malah menyalahkan mereka yang sedang makan atau minum atau hal-hal lainnya. Tidak usah mencari kambing hitam atau pembenaran dengan dalil ayat Al-Qur’an, lihat dulu kedalam diri sendiri sebelum menuding sana sini, bersihkan dulu niat kita dalam berpuasa, kuatkan niat kita. Kalau memang akhirnya goyah dan batal berpuasa, ya salahkan diri sendiri kenapa niatnya tidak kuat, kenapa iman kita selemah itu, kenapa tujuan kita berpuasa bisa kalah hanya karena melihat orang lain makan dan minum disekitar kita. Lihat kedalam diri sendiri sebelum menyalahkan siapapun.

Tidak perlulah sampai mengobrak abrik warung atau tempat makan yang tetap beroperasi selama Ramadan atau meminta mereka menutup warungnya. Mereka mencari nafkah, jangan sampai mematikan usaha orang lain dengan dalih penghormatan terhadap yang berpuasa, masak iya agama mengajarkan hal tersebut dan keimanan kita sedangkal itu. Agama tidak mengajarkan untuk berbuat kerusakan. Yang butuh makan kan bukan hanya umat Islam saja. Bahkan ada umat Islam yang tidak diwajibkan puasa (seperti orang yang sudah tua, Ibu hamil, Ibu yang sedang menyusui) juga tetap butuh makan dan minum. Kalau marah-marah sampai mengobrak abrik tempat makan dan menuntut mereka untuk menutup usaha selama Ramadan, kembali lagi, sudah benar belum niat puasa yang marah-marah itu. Puasa kok marah-marah bertamengkan ayat Al-Qur’an. Lihat lagi kedalam diri sendiri, kalau imannya kuat, niatnya benar, ujian seberapa beratpun Insya Allah ibadah puasa tetap lancar .

Islam itu sudah mayoritas di Indonesia, mbok ya ndak usah minta dihormati segala apalagi sampai gila hormat. Seseorang akan dihormati itu kan bukan atas dasar pemaksaan ataupun himbuan. Rasa hormat itu akan timbul dengan sendirinya jika seseorang memang layak dihormati, sesederhana itu. Rasa hormat itu bukan timbul karena himbauan “hai, aku puasa nih, kamu harus hormatin aku dong yang puasa. Jangan makan didepanku.” ya kan itu ga bener. Kalau memang niat kita puasa tapi merasa tidak kuat kalau melihat ada yang makan minum disekitar kita, ya kita yang menjauh, bukan koar-koar kalau sedang puasa dan marah-marah sama mereka. Kembali lagi, puasa itu adalah ibadah antara perorangan dengan Allah, tidak perlu juga semua orang tahu bahkan minta dihormati segala.

Saya tidak akan menceritakan panjang lebar pengalaman berpuasa selama di Belanda pada tulisan ini, karena sudah pernah saya tulisankan tahun lalu disini. Yang pasti saya senang menjadi minoritas disini, ibadah tetap khusyuk meskipun tetap ada penyesuaian di sana sini. Saya juga tidak akan menghimbau mereka yang menjadi mayoritas di Indonesia untuk merasakan menjadi minoritas di tempat lain, itu juga terlalu jauh langkahnya. Tidak usah jauh-jauh melihatnya. Kembali lagi saya tuliskan berkali-kali, lihat diri sendiri. Ini bukan masalah menjadi mayoritas atau minoritas, tetapi niat dalam beribadah. Menjadi Islam yang mayoritas ataupun minoritas disuatu tempat kalau berpuasa dengan niat yang benar dan kuat, segala hal yang ada disekeliling, baik itu hal yang menyenangkan ataupun tidak menyenangkan adalah sama-sama ujian keimanan. Hasil ibadah selama Ramadan selama satu bulan selayaknya tercermin selama 11 bulan setelahnya. Apakah kita menahan nafsu hanya selama Ramadan saja atau kita tetap menjalankan hakikat Ramadan dalam kehidupan sehari-hari pada sebelas bulan setelahnya, semua memang pilihan kita. Mudah-mudahan yang menjadi pilihan kita bisa membawa kebaikan untuk kita dan sekitar serta membawa berkah untuk hidup kita.

Mari luruskan niat untuk puasa Ramadan, niatkan beribadah untuk Allah, pergunakan sebaik mungkin bulan yang penuh barakah untuk beribadah dan berbuat baik kepada sesama, berdakwah dengan cara baik dan benar serta tidak merugikan. Dakwah yang dilakukan dari hati, sampainya juga akan ke hati. Mari hormati diri sendiri dengan berpuasa secara baik, benar, ikhlas serta sesuai ajaran agama, tidak usah mencari penghormatan dari orang lain. Orang lain akan hormat kalau memang kita layak dihormati, sesederhana itu. Wes ndak usah ribetlah itu intinya, puasa ya puasa saja. Kalau puasa sunnah biasa saja kenapa kalau Ramadan kok mendadak gila penghormatan. Semoga kita bisa memanfaatkan waktu sebaik mungkin selama bulan Ramadan, yang datang hanya satu tahun sekali.

Selamat puasa Ramadan bagi yang menjalankan.

-Den Haag, 2 Juni 2016-