Lupa Bahasa Ibu, Apakah Mungkin?

Tulisan semacam ini sudah ada beberapa blogger yang membahas. Karena saya mempunyai pengalaman sendiri, maka saya juga (ikut) membahas disini.

Beberapa hari lalu, seseorang menyapa saya ketika sedang berbelanja disalah satu Supermarket dekat rumah. Lalu kami berbincang sebentar setelah memperkenalkan diri satu sama lain. Saya tinggal di Den Haag sehingga bertemu dengan orang Indonesia bukan sesuatu yang luar biasa disini karena banyak Imigran dari Indonesia. Jadi tidak mengherankan kalau tiba-tiba saya sering disapa sesama imigran dari Indonesia juga. Kalau saya memang jarang menyapa terlebih dahulu orang yang tidak saya kenal :). Singkat cerita ditengah pembicaraan, Mbak Z, sebut saja begitu namanya, melontarkan ucapan “Mbak, dari Jawa Timur ya? Medhok Surabayanya kelihatan.” Saya spontan tertawa sambil menjawab “Darah yang mengalir ditubuh saya ini darah Jawa Timur, jadi sampai kapanpun lidah tidak akan mungkin bisa hilang logat asal.”

Pembicaraan tersebut melemparkan kembali ingatan pada memori satu tahun lalu. Bulan Mei 2014 pertama kali saya menginjakkan kaki di Belanda untuk berkunjung selama dua minggu. Disuatu sore saya berbelanja sendiri di Supermarket yang sama. Tiba-tiba ada yang menepuk pundak dan bertanya apakah saya berasal dari Indonesia, tapi bertanya dengan menggunakan Bahasa Inggris. Pada saat itu saya berpikir dia berasal dari Malaysia atau Vietnam atau Thailand atau negara Asia lainnya. Saya kembali bertanya dengan menggunakan Bahasa Inggris juga darimana asalnya. Ternyata dia dari Indonesia juga. Pada saat itu saya senang sekali karena (awalnya berpikir) bisa berbincang menggunakan Bahasa Indonesia dengan dia. Tapi saya cegek (apa ya Bahasa Indonesianya cegek ini, ungkapan Jawa Timuran) ketika dia mengatakan sudah tidak lancar lagi dan agak lupa berbicara menggunakan Bahasa Indonesia. Kembali saya bertanya sudah berapa lama tinggal di Belanda, saya berpikir pasti sudah puluhan tahun, meskipun dari segi penampakan usianya sepertinya tidak jauh berbeda dengan saya. Dia menjawab sejak 2 tahun menikah dengan Nederlander. Hah?? Saya ternganga tidak percaya. Apa benar 2 tahun tinggal di Belanda menjadi lupa Bahasa Indonesia. Tingkat keingintahuan bertambah, saya bertanya lagi asalnya darimana. Ternyata sama-sama Jawa Timur. Oh iya, sejak tahu dia dari Indonesia, saya langsung menggunakan Bahasa Indonesia, dan dia tetep kekeuh menggunakan Bahasa Inggris (yang menurut saya samalah tingkatannya dengan saya, Bahasa Inggris standar). Satu yang saya tidak suka ketika dia berujar (ini sudah saya terjemahkan) “Kita ngobrol pakai Bahasa Inggris saja ya, saya sudah tidak lancar lagi dan agak lupa ngomong Bahasa Indonesia karena dirumah berbicara dengan suami seringnya pakai Bahasa Belanda dan sesekali Bahasa Inggris. Kamu kan pasti belum bisa Bahasa Belanda, jadi kita ngobrol inggrisan aja.” Duh rasanya saya kesal sekali. Saya memang pada saat itu belum bisa sama sekali Bahasa Belanda (dan pada saat ini juga masih dalam taraf belajar lebih lanjut), tetapi tidak elok juga asal menuduh seperti itu. Kebetulan saja tuduhannya benar, kalau ternyata saya sudah lancar Bahasa Belanda, kan bisa senjata makan tuan untuk dia.

Pada saat itu saya masih mempunyai pikiran positif. Mungkin saja dia sudah lama tidak tinggal di Indonesia sehingga beberapa kata dalam Bahasa Indonesia lupa. Saya bertanya kembali sebelum tinggal di Belanda dia tinggalnya dimana. Jawabannya sungguh mencengangkan, ternyata dia tidak pernah kemana-mana sebelumnya. Tinggal hanya seputaran Jawa Timur saja, kemudian pindah ke Belanda. Saya akhirnya mengajak berbicara memakai Bahasa Jawa, ya mungkin saja memang dia tidak lancar menggunakan Bahasa Indonesia sejak di Indonesia. Dia bilang kalau Bahasa Jawa juga sudah lupa. Ok, saya langsung angkat tangan. Saya merasa tidak nyaman bertemu orang Indonesia, sama-sama Jawa Timur dan harus berbicara sepanjang waktu menggunakan Bahasa Inggris.

Saya juga pernah bertemu seseorang dari Indonesia dalam sebuah acara. Kami berbicara santai, tapi dia bicaranya campur-campur dengan menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Belanda. Jadi terlihat sekali kesulitan dalam memilah memilih kata. Kemudian saya dengan kalem berujar “Mbak, pakai Bahasa Indonesia saja yuk ngobrolnya, biar enakan. Kalau campur-campur saya jadi bingung, mbak juga jadi ga lancar ngobrolnya,” dimana beberapa menit kemudian saya tahu kalau dia baru beberapa bulan tinggal di Belanda, tetapi sudah sangat susah berbicara Bahasa Indonesia, asalnya dari Jakarta.

Satu lagi selingan cerita (bisa juga dibuat sebagai pembanding). Mama mertua yang memang berdarah Belanda (kedua orangtua Beliau asli Belanda), lahir di Jakarta dan tinggal sampai umur 15 tahun, kemudian baru pindah ke Belanda. Ceritanya pernah saya tulis disini. Sampai sekarang Beliau masih ingat kata-kata dan masih bisa berbicara lancar menggunakan Bahasa Indonesia ketika sesekali berbincang dengan saya. Padahal itu sudah berpuluh tahun lalu aktif menggunakan Bahasa Indonesia. Mama masih mengingat Bahasa Indonesia karena pada saat itu diasuh oleh Ibu sambung yang memang asli Indonesia, dan sehari-hari berkomunikasi menggunakan Bahasa Indonesia sejak kecil sampai umur 15 tahun.

Saya kelahiran Jember, dari Bapak yang berasal dari Jember dan Ibu dari Nganjuk. Tetapi sejak kecil saya tinggal di Situbondo, 6 tahun tinggal di Jakarta, dan 13 tahun tinggal di Surabaya. Ibu dan Bapak sehari-hari menggunakan Bahasa Jawa kepada anak-anaknya. Lingkungan Situbondo mayoritas suku Madura, sehingga saya menjadi lancar juga berbicara Bahasa Madura karena selalu menggunakannya diluar rumah untuk berbicara dengan teman-teman maupun tetangga. Bahasa Indonesia saya pelajari disekolah. Jadi, buat saya sampai kapanpun tidak pernah akan lupa Bahasa Jawa, Bahasa Madura, dan Bahasa Indonesia karena sampai detik ini dan sampai nanti saya akan selalu menggunakannya ketika berbicara dengan saudara-saudara, Ibu, dan adik-adik yang ada di Indonesia. Bagaimana mungkin akan lupa, kalau setiap berbicara ditelepon dengan Ibu, adik-adik, dan tetangga saya masih menggunakan Bahasa Jawa dan Bahasa Madura. Dan yang pasti, logat saya masih medhok Jawa, bahkan ada seorang kawan menyebutkan seperti logat Bungurasih, saking mendhoknya (Bungurasih ini nama terminal di Surabaya).

Tulisan ini juga akan menjadi pengingat saya ketika mungkin nanti (berencana sok-sok akan) lupa menggunakan tiga bahasa yang saya sebutkan sebelumnya.

Saya tidak mau menuduh, hanya heran sekaligus bertanya saja apakah mungkin seseorang akan lupa dengan Bahasa Ibu?

CaMbah (Catatan tambahan, iya ini mengarang singkatan) = Sebenarnya pertanyaan diatas sudah terpatahkan oleh pengalaman saya ketika Kopdar dengan Mbak Yoyen yang tinggal 20 tahun di Belanda dan Indah yang tinggal sekitar 10 tahunan di Belanda (mohon koreksinya kalau salah). Mbak Yoyen, seorang yang Multilingual (Bahasa Inggris, Belanda, Perancis, Spanyol juga ya Mbak, apalagi ya?) dan Indah yang juga pasti sangat fasih berbahasa Belanda, Inggris, tetapi mereka masih sangat lancar menggunakan Bahasa Indonesia ketika berbicara dengan kami yang hadir dikopdar waktu itu. Bahkan Mbak Yo beberapa kali menimpali  obrolan dengan menggunakan Bahasa Jawa. Saya tidak terlalu punya banyak kenalan yang tinggal diluar negeri dalam waktu yang lama. Tapi mengenal Mbak Yoyen dan Indah, sudah sangat cukup untuk menjawab pertanyan retorika yang saya tuliskan sendiri diatas.

Ada tulisan Mbak Yoyen yang sangat bagus untuk disimak, direnungi, dan diresapi : Berbahasa Satu dan Bahasa Ibu

Bahasa Ibu
Bahasa Ibu

-Den Haag, 15 April 2015-

Gambar dipinjam dari sini