Perjalanan Berjilbab

Loji, Bogor

Sepuluh tahun lalu, saya memutuskan untuk menggunakan jilbab. Tulisan kali ini, berisi kilas balik sebelum dan setelah berjilbab.

Disclaimer : Tulisan ini tidak membahas dari sisi perjalanan religi. Jadi, sebelum membaca sampai selesai lalu kecewa tidak ada bahasan religinya, saya tuliskan catatan dulu di awal.

  • LATAR BELAKANG KELUARGA

Orangtua saya biasa saja pengetahuan agamanya. Menjalankan kehidupan beragama juga sewajarnya, tidak yang ketat sekali juga tidak yang longgar. Sesuai porsinya lah kalau saya menyebut. Ibuk saya baru bisa mengaji beberapa tahun sebelum naik haji. Kalau Bapak bisa mengaji sejak kecil karena memang di desa Beliau, mengaji di langgar itu wajib setelah sholat Maghrib.

Setelah Bapak dan Ibuk naik haji sekitar 9 tahun lalu, mereka juga tetap biasa – biasa saja. Tidak lantas menjadi orang yang merasa lebih dari tetangga-tetangga. Tidak juga lantas menjadi paling mulia atau paling alim. Tidak minta ditinggikan kedudukannya juga. Para tetangga juga biasa saja, tidak lantas yang memanggil Bu Hajjah atau Pak Haji ke Bapak dan Ibuk. Kepada anak-anaknya, mereka tidak lantas yang memaksa untuk berjilbab misalkan (Adik saya belum berjilbab waktu itu). Santai saja mereka. Tetap ikut tahlilan, sholawatan. Jaman dulu tidak ada yang sibuk bid’ah-bid’ah, setidaknya di kota saya tumbuh besar. Kehidupan beragama menjadi urusan masing-masing.

Yang berbeda adalah intensitas beribadah. Ibu dan Bapak menjalankan ibadah semakin khusyuk. Tetap menjalankan yang wajib dan menambah dengan amalan yang sunnah. Adakalanya Ibuk kasak kusuk sih memberi tahu saya kok kayaknya si A ga sholat ya, atau si B ga puasa Ramadhan ya. Lalu saya ingatkan, “wes Buk, ayok kembali ke rel semula. Ga usah ngurusi agama orang lain. Kita fokus saja dengan urusan masing-masing. Beragama dan melaksanakan ibadah itu sudah masuk ke area pribadi. Ga perlu ikut campur.”

  • MASA SD

Meskipun orangtua santai dalam urusan beragama, namun mereka menginginkan anak-anaknya punya bekal yang cukup dalam agama. Saya dan adik-adik dimasukkan madrasah dan diikutkan mengaji setelah Maghrib. Saya Madrasah Ibtidaiyah sampai lulus. Jadi kalau pagi sekolah SD Negri, sorenya di Madrasah Ibtidaiyah. Jadi saya punya dua ijazah. Setelah sholat Maghrib, saya pergi ke rumah  tetangga untuk belajar mengaji dengan anak-anak tetangga lainnya. Tidak lama, hanya setengah jam seingat saya. Sebelum Isya, saya sudah di rumah lagi, lanjut belajar atau kalau tidak ada PR ya main-main di halaman dengan anak-anak tetangga. Yang saya ingat, sewaktu madrasah sangat menyenangkan. Saya bisa belajar tentang sejarah Islam, Fiqih, membaca huruf gundul, ikut lomba Qiro’ah, bahkan menang lomba kaligrafi tingkat kecamatan. Senang saya ikut lomba-lomba sewaktu di Madrasah. Sementara di SD Negri, saya juga sering dikirim lomba misalkan cerdas cermat, murid teladan, sampai lomba bidang studi. Kayaknya masa SD saya isinya dari lomba satu ke lomba yang lain.

Saat sekolah Madrasah, murid – murid lainnya menggunakan jilbab. Saya tidak mau. Saya menggunakan kerudung yang hanya mau saya pakai saat di kelas saja. Di luar kelas, saya buka kerudung, gerah. Kota pesisir sis, panas. Guru-guru tidak ada yang mempermasalahkan. Tidak ada paksaan. Saat mengaji malam pun saya tidak pernah mau berjilbab. Cuma pakai mukena. Untuk informasi, saya tinggal di kota kecil yang terdapat dua organisasi Islam yang kuat, yaitu NU dan Muhammadiyah. Tapi seingat saya NU lebih kuat di sana. Saya sekolah Madrasah di Muhammadiyah, tapi guru ngaji di rumah orang NU. Jadilah dalam tubuh saya ini berjiwa campuran haha. Keluarga saya juga tidak fanatik ke kubu tertentu. Biasa saja. Dulu kalau ada yang bertanya, saya NU atau Muhammadiyah? Saya menjawab : saya Islam.

  • MASA SMP

Sewaktu di SMP, saya mulai tertarik menggunakan Jilbab. Melihat beberapa teman kok rasanya kece kalau memakai jilbab. Yang menggunakan jilbab waktu itu cuma beberapa gelintir manusia saja dan kok ya semuanya parasnya cantik. Memang alasan saya waktu SMP ingin berjilbab secetek itu sih, biar nampak kece haha. Saya lalu mengutarakan ke orangtua tentang keinginan untuk berjilbab. Sudah bisa saya duga, tidak diijinkan. Bapak Ibu memang tidak mau kalau keputusan berjilbab hanya untuk ikut-ikutan teman, supaya nampak kece, ataupun ingin menutupi suatu kekurangan. Bapak bilang, “Berjilbab itu keputusan besar. Kamu harus punya alasan kuat, punya pijakan agama yang sudah kokoh, dan harus datang dari diri sendiri. Bukan karena disuruh, bukan karena ikutan tren, dan bukan karena alasan manusia lainnya. Cukup agama saja yang kami turunkan. Berjilbab, kamu harus memutuskan kalau sudah siap. Kalau belum, ya tidak usah terburu-buru. Kamu masih muda. Banyak waktu. Nikmati saja semuanya dulu.”  Saya disuruh menemukan alasan kuat dulu.

Seiring berjalannya waktu, saya lalu lupa keinginan berjilbab. Waktu SMP saya pernah masuk pondok pesantren, sebentar. Sewaktu libur panjang sekolah. Nah, di pesantren memang jilbab diwajibkan. Walhasil saya pakai jilbab hanya kalau ada kegiatan di luar saja. Jilbab yang asal ditali kebelakang. Selebihnya, saya copot. Ga koaatt akuuhh. Sumuk Men! Panasnya kotaku rasanya tak ada duanya. Intinya, saya lupa keinginan berjilbab.

  • MASA KULIAH

Saya loncat cerita ke masa kuliah. Sewaktu SMA, saya tidak terpikir sama sekali dengan jilbab. Sedang menikmati hidup penuh kebebasan karena tinggal ngekos jauh dari orangtua (mulai ngekos sejak umur 15 tahun). Bebas dalam artian, ya bebas haha. Masa-masa nakal lah saya menyebutnya. Nakal tapi saya tidak menyesal pernah melakukan kenakalan-kenakalan masa SMA.

Awal masuk kuliah, untuk yang muslim, diwajibkan ikut kegiatan mentoring. Ini saya agak samar-samar ingat sebenarnya apa ya waktu itu kegiatan mentoring. Saya banyak mbolos haha. Kalau tidak salah kajian Al-Qur’an dan pembahasan Fiqih. Tidak patut dibanggakan karena mbolos tapi saya punya alasan kuat kenapa sering mbolos. Saya sering disindir oleh mbak mentor kenapa tidak pakai jilbab. Saya seringnya pakai kerudung kan, lalu sering disindir. Walhasil saya pakai mukena saja, sekalian sholat Ashar di Masjid kampus.

Jaman kuliah, ini masa di mana saya haus sekali belajar agama. Saya sering ikut kajian-kajian. Inginnya bisa masuk ke komunitas-komunitas tertentu. Intinya saya ingin banyak belajar tentang Islam. Tapi, saya terkecewakan oleh : seringnya ditolak secara tidak terang-terangan karena saya tidak berjilbab, “Maaf lebih baik ditutup dulu auratnya baru bisa bergabung dengan kajian kami.” Coy! saya kan ga pakai bikini ke kampus. Masa sih sampai segitunya. Sungguh, saya kecewa sekali. Sempat mutung kenapa ya ada yang ingin belajar agama Islam secara serius tapi kok malah ditutup jalannya hanya karena saya tidak berjilbab. Dan yang menutup jalan justru dari mereka yang paham agama. Ga jalan logika saya dibagian itu. Mereka seperti mengeksklusifkan diri. Saya sempat agak dendam kalau melihat perempuan dengan jilbab yang menjuntai lebar. Jilbab taplak dulu saya menyebutnya karena saking lebarnya kayak ukuran taplak. Dan sejak itu, saya merasa antipati dengan yang namanya kajian agama Islam atau belajar Islam oleh komunitas tertentu. Bagaimana mau merangkul kalau sudah mengeksklusifkan diri. Saya lalu belajar sendiri dan mencoba mencari sumber-sumber belajar lainnya. Masa kelam dalam hal belajar tentang Islam pada saat kuliah itu.

Loji, Bogor
Loji, Bogor
  • MASA KERJA

Setelah lulus kuliah, saya bekerja 9 bulan di Surabaya. Lalu pindah ke Jakarta dan bekerja di sana selama 7 tahun. Di dua perusahaan tersebut, karyawan yang beragama Islam sedikit sekali jumlahnya, minoritas. Ya tidak masalah juga karena perusahaan tidak pernah menganggap beda, yang penting berprestasi dan hasil dari pekerjaan yang baik.

Saya sampai lupa perihal berjilbab, sibuk bekerja. Cemerlanglah karir saya selama total 8 tahun itu walaupun ada saja cobaan hidup. Meskipun tidak terpikir tentang Jilbab, tapi belajar agama tetap jalan terus. Saya selalu ikut ceramah agama yang diadakan di Musholla kantor, seminggu sekali. Saya menjalani kehidupan sehari-hari ya seperti biasa. Mencoba menyeimbangkan urusan kantor dan pribadi.

Sampai suatu ketika, setelah acara liburan kantor ke Bali, saya mendadak terpikir tentang ingin menggunakan Jilbab. Di malam itu, di kamar kos, saya berpikir dan merasa terpanggil. Saat itu, saya sudah punya alasan kuat  dan sudah lebih mantab. Saya sudah bisa memutuskan sendiri dan pasti bisa bertanggungjawab dengan keputusan yang dibuat. Saya telepon Bapak, menyampaikan niat tersebut. Kali ini, Bapak dan Ibuk menyerahkan semuanya pada saya. Waktu itu, Ibuk belum berjilbab. Jadi, Ibuk tidak bisa berkomentar banyak tentang keputusan yang saya ambil.

Waktu itu, saya tidak tahu kapan akan mulai berjilbab. Saya tidak punya jilbab, bahkan baju lengan panjang saja hanya punya satu pasang. Celana dan kaos. Selebihnya, rok pendek dan kemeja lengan pendek. Nah, beberapa hari kemudian, saya ditugaskan ke Surabaya. Lalu saya ingat, punya teman sekelas waktu SMA yang berjilbab. Saya hubungi dia, bisa tidak mengajarkan saya bagaimana cara menggunakan jilbab. Ya, sampai menggunakan Jilbab saja saya tidak tahu caranya. Teman yang sangat berjasa pada awal mula saya berjilbab itu bernama Halimatuz. Saya panggil Tuz. Dia sekarang tukang rias terkemuka di seantero Surabaya (dan Jatim kayaknya). Akun IG nya @RiasJilbab (bukan testimoni berbayar ini).

Saat itu, dia masih bekerja di bank. Kami janjian malam hari di McD Basrah, Surabaya. Dia diantar oleh suami, datang dengan anaknya. Saya ditemani adik. Di sana, saya diajari cara menggunakan Jilbab yang rapi, masang peniti, bagaimana cara melipatnya, bagaimana membuatnya rapi. Dia yang bawa jilbabnya, karena saya tidak punya Jilbab. Lalu dia memberi saya dua jilbab dan penitinya. The Best lah Halimatuz ini. Suwun ya, Wes 10 tahun lalu Tuz.

Singkat cerita, akhirnya saya berjilbab tepat dihari ulangtahun yang ke 29. Ya ini memang saya sengaja, biar gampang mengingatnya haha. Wah, heboh satu ruangan, semua langsung datang ke kubikel. Bukan untuk menyelamati, tapi terbengong rasa tidak percaya bagaimana bisa seorang Deny kok jadi berjilbab. Bagaimana bisa. Seharian itu, ruangan yang isinya 25 orang jadi gaduh. Bahkan saya dipanggil bos besar, bukan ditegur. Beliau menanyakan apakah saya punya masalah. Saya bilang tidak, baik-baik saja semua. Beliau bertanya seperti itu karena sebelum ke Surabaya selama seminggu, saya menangis di ruangan karena stress dengan urusan budget kantor yang ruwet. Dipikirnya saya berjilbab karena stress haha. Lha menghilang seminggu, lalu balik ke kantor sudah beda tampilan.

Setelah berjilbab, perlahan saya mulai menghilangkan foto-foto yang diunggah ke media sosial saat belum berjilbab. Saya berpikir, setelah berkomitmen berjilbab, seharusnya saya tidak perlu lagi menampilkan foto-foto tanpa Jilbab. Membuka lembaran baru, tutup yang lama. Walaupun apa yang diunggah ke Internet akan selamanya ada, setidaknya saya berusaha menghapus yang di halaman media sosial. Makanya sekarang saya sangat berhati-hati dalam mengunggah foto diri.

Beruntung saat itu saya berjilbab karena keputusan yang datang dari diri sendiri, dari kemauan sendiri, dan tidak dalam keadaan terpaksa.

  • SETELAH 10 TAHUN BERJILBAB

10 tahun kemudian, saya tetap berjilbab, tetap haus dengan ilmu agama, dan tetap belajar sebanyak mungkin tentang Islam. Semakin saya banyak belajar, semakin saya merasa saya ini tidak ada apa-apanya. Tidak ada yang berubah sama sekali dari saya. Tidak lalu tiba-tiba menjadi tukang dakwah, tidak lantas menyuruh teman atau sahabat untuk berjilbab. Saya masih tetap dengan apa yang orangtua ajarkan : Agama dan beribadah itu urusan masing-masing. Sudahlah tak perlu ikut campur. Saya tidak lantas merasa lebih dari mereka yang tidak berjilbab atau memandang sebelah mata yang memutuskan melepaskan Jilbab. Sama sekali tidak.  Setiap orang punya pergulatan hati masing-masing, sayapun demikian. Saya tidak memandang berbeda mereka yang berjilbab berdasarkan lebar atau kecilnya jilbab. Tidak ada yang beda buat saya.

Perjalanan berjilbab selama 10 tahun ini juga tidak selalu riang gembira. Sewaktu di Indonesia, sering dipandang sebelah mata oleh mereka yang jilbabnya lebar sedangkan jilbab saya ya cukupan lebarnya, yang penting terjulur sampai dada. Belum lagi di Belanda, ada saja ujiannya. Dari yang pernah jilbab dijambak, dikatain kalau saya ini bawa kuman penyakit dengan menggunakan jilbab, sampai diteriakin saya harus kembali ke negara asal karena dia benci lihat perempuan berjilbab, dan masih ada beberapa cerita lainnya. Di mana-mana, ada saja ujiannya. Cerita senangnya, untungnya lebih banyak. Salah satunya tentang keluarga suami. Sejak berkenalan, keluarga di sini tidak mempermasalahkan tentang jilbab yang saya kenakan. Malah Mama mertua memberikan saya dua Jilbab sebagai hadiah waktu berkunjung pertama kali ke Belanda. Saya berbeda di keluarga, tapi mereka memperlakukan saya dengan sangat baik.

Saat pasang pohon Natal di rumah lalu saya unggah fotonya di media sosial, seorang mantan sahabat bertanya,“Kamu masih pakai Jilbab, Den?” Lalu saya jawab, “Kalau memang kita pernah bersahabat, kamu tidak akan menanyakan hal ini.

Saya ingat betul pernah berbincang seperti ini dengan Bapak,“Pak, nanti kalau misalkan saya lepas jilbab atau pindah agama, bagaimana menurut Bapak?” Lalu Bapak menjawab,“Apa yang sudah kamu putuskan, pasti sudah kamu pikirkan masak-masak. Bapak sebagai orangtua hanya sebatas memberikan pandangan. Selebihnya, apapun itu, jadi tanggungjawabmu sendiri.” Beruntung sekali saya mempunyai Bapak yang tidak memaksakan apapun pada anak-anaknya, sampai urusan agamapun. Bapak memang berbeda dengan Ibuk tentang penyikapan.

Begitulah kisah panjang saya tentang perjalanan berjilbab. Setiap orang punya perjalanan religi dan spiritual masing-masing. Begitupun saya yang sampai saat ini masih meraba dan tertatih untuk semakin baik dari hari ke hari.

-16 Februari 2020-