Kebiasaan Membaca Buku di Era Digital

Buku yang membahas tentang ketergantungan terhadap teknologi dan internet

“Kami main Twitter, Instagram, sesekali ikut arus perdebatan yang tidak perlu, tapi kami juga tidak berhenti membeli buku. Kami generasi digital masih membaca buku, hanya saja dengan cara yang baru. Kami pegang handphone tiap hari, tapi kami masih membaca. Kami main twitter, sesekali ikut debat tak perlu, tapi kami tak berhenti beli buku. Handphone kami bukan cuma untuk ribut, tapi juga menggali ilmu. Kami generasi digital, kami masih membaca buku.”

-Bernard Batubara-

Berawal dari obrolan antara saya, Maya, dan Ryan di Twitter tentang pertanyaan Ryan mengenai “Banyak baca akan menambah wawasan. Tul? Gimana kalau malas baca lagi muncul?”, saya jadi punya ide untuk menuliskan topik ini. Sebenarnya yang awal-awal ngobrol hanya Ryan dan Maya. Namun karena topiknya cukup menarik karena sudah menyinggung tentang penyebab kemalasan membaca yang salah satunya adalah aktif di media sosial, maka saya ikut nimbrung.

Memang kalau mau dituruti ya, scrolling-scrolling itu tidak akan ada habisnya. Apalagi kalau punya akun di beberapa media sosial. Niatnya ingin buka A, terus selesai lanjut B, selesai lanjut C, eh tiba-tiba ada yang terlupa kembali lagi membuka A, lanjut lagi membuka D, lanjut begitu seterusnya sampai Indonesia masuk piala dunia. Beneran, kalau tidak membatasi diri bisa-bisa 2 jam waktu terbuang hanya dengan duduk manis sambil memelototi Hp. Ngaku kan sebenarnya yang kita buka dan baca itu seringnya ya tidak berfaedah, kadang membaca akun gosip, kadang membaca pertengkaran di twitter, atau membaca komen-komen tidak jelas di Instagram atau YouTube. Lah trus setelahnya apa yang kita dapat? malah kadang sering membuat nggrundel. Meskipun dari sana kadang ide untuk menulis di blog muncul. Mungkin misalnya dari dua jam berkutat dengan Hp, hanya 15 menit yang kita sisihkan untuk membaca hal yang bermanfaat, misalkan artikel, berita atau jurnal. Ini saya tidak dalam rangka menggeneralisir ya. Hanya pengamatan receh lingkungan sekitar, termasuk saya dahulu kala. Ini lain cerita kalau pekerjaannya memang mengharuskan berkutat dengan media sosial.

Saat ini terus terang saya tidak bisa lagi berlama-lama menatap layar entah itu laptop atau Hp atau tablet. Paling lama 20 menit itupun tidak terus-terusan, mata saya cepat lelah. Mungkin total dalam satu hari saya memelototi Hp tidak lebih dari 1.5 jam. Setiap keluar rumah, jika tidak ada janjian dengan siapapun dan tidak membutuhkan google maps, internet pasti saya matikan. Hp saya pergunakan jika ingin memotret makanan ataupun pemandangan. Selebihnya masuk tas. Saya setiap hari tetap aktif di media sosial terutama Twitter. Waktu aktif saya dalam bermedia sosial seringnya adalah pagi hari saat belum memulai beraktifitas dan malam saat sudah selesai semua. Tengah hari saat makan siangpun saya juga sesekali muncul, kalau situasi memungkinkan. Nah apa hubungannya aktif di media sosial dengan kebiasaan membaca?

Dari kecil saya memang suka sekali membaca buku (selain menulis), sampai saat ini. Jadi, karena memang kebiasaan membaca buku sudah mendarah daging, rasanya ada yang aneh kalau sehari saja tidak membuka buku. Oh ya, saya membacanya masih buku kertas, belum beralih ke buku elektronik semacam Kindle, walaupun saya punya hadiah ulang tahun dari Mama mertua. Mungkin karena faktor belum terbiasa jadi saya belum bisa menikmati membaca selain dari buku kertas. Nah, kalau saya tetap aktif bermedia sosial lalu kapan waktu membacanya disela kesibukan kegiatan sehari-hari?

Saya mempunyai cara yang saat ini cukup efektif untuk diterapkan dengan situasi saat ini. Situasi saya tentu saja. Jadi, saya kalau membaca buku itu pararel. Minimal 2 buku dan maksimal 3. Satu buku saya taruh di antara buku-buku yang ada di rak buku di ruang bawah, satu buku saya taruh di meja kamar tidur, dan satu buku saya taruh di ruangan perpustakaan kecil di lantai atas yang juga merangkap sebagai ruang menyetrika. Jadi setelah masak, lalu makan siang dan bersih-bersih ruang bawah, biasanya saya masih punya waktu sebentar untuk leyeh-leyeh. Saya manfaatkan untuk membaca buku  yang saya taruh di ruang bawah paling tidak bisa membaca 3 sampai 4 halaman. Setelahnya kami akan keluar jalan-jalan dan bermain di luar jika cuaca memungkinkan. Nah sore hari menjelang makan malam, biasanya ada waktu untuk istirahat sebentar di kamar, saya memejamkan mata paling tidak 10 menit. Setelahnya saya membaca buku yang saya taruh di meja samping tempat tidur. Lumayan terkadang bisa sampai 3 halaman. Jadi setiap hari saya bisa membaca paling tidak 5 halaman. Nanti kalau waktunya menyetrika, biasanya setelah menyetrika, sambil istirahat sejenak, saya melanjutkan membaca buku yang ada di ruang baca tersebut. Jadi rak-rak buku di rumah kami adanya hanya di ruang keluarga (di lantai bawah) dan di ruang perpustakaan lantai atas. Disetiap kamar tidur, bebas dari rak buku. Biasanya nanti selesainya akan bersamaan dari ketiga buku yang saya baca, ini juga tergantung tebal bukunya. Saat ini kalau keluar rumah, saya sudah tidak pernah membawa buku karena pasti tidak sempat membaca jika naik kendaraan umum.

Dengan strategi tersebut, lumayan bisa membuat saya teringat untuk selalu membaca buku. Saya mikirnya sih begini : Kalau saya punya waktu untuk berselancar di dunia maya, berarti tidak ada alasan buat saya untuk tidak ada waktu membaca buku. Memang, prioritas masing-masing orang berbeda, tapi buat saya pribadi, membaca buku masih menjadi prioritas penting. Dalam satu minggu, ada hari-hari memang sengaja tidak membaca buku, misalkan akhir pekan karena ada aktivitas lainnya. Walaupun tidak seambisius dulu harus bisa menyelesaikan sekian buku dalam setahun (meskipun saya ikut tantangan di goodreads tahun ini menargetkan membaca 50 buku, sampai saat ini akan menyelesaikan 25 buku), sekarang saya lebih santai karena menyesuaikan dengan kondisi dan situasi saat ini. Saya mengibaratkan membaca buku dan menulis itu seperti memberi makanan dan vitamin pada otak. Memberi asupan supaya otak terus sehat. Dengan membaca buku saya juga semakin banyak perbendaharaan kata dan wawasan semakin bertambah karena banyak hal baru yang saya dapatkan. Selain itu saya juga jadi banyak belajar bagaimana cara menulis yang benar, tepat dan efektif. Semakin hari semakin belajar untuk menulis secara baik dan benar.

Buku yang membahas tentang ketergantungan terhadap teknologi dan internet
Buku yang membahas tentang ketergantungan terhadap teknologi dan internet

Buku yang saya baca ya ada yang topiknya berat, ada yang biasa saja bahkan sekedar buku resep pun saya baca haha seperti dua buku resep di bawah ini. Setahun belakang ini saya sedang tertarik banyak membaca buku parenting. Kebanyakan yang saya baca dalam bahasa Inggris karena faktor kemudahan mendapatkannya. Tapi beberapa ada juga dalam bahasa Indonesia. Kalau untuk novel, saya lebih memilih membaca yang bahasa Indonesia walaupun tetap ada yang dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa Belanda juga ada, biasanya buku anak-anak haha. Nah topik lainnya tidak tentu, adakalanya buku yang membahas depresi, ada yang membahas ketergantungan anak-anak dan orang dewasa terhadap teknologi dan internet, maupun topik spiritual. Ya tergantung suasana hati juga mau membaca buku yang mana. Saya mendapatkan referensi buku-buku bagus selain dari Goodreads juga dari Twitter. Banyak akun yang saya ikuti di twitter suka membahas tentang buku. Nah kalau topiknya saya suka, biasanya saya beli atau meminjam dari perpustakaan di dekat rumah. Dan juga beberapa blogger yang saya ikuti akunnya di goodreads yang sangat rajin membaca buku seperti Aggy atau Dita yang rajin menulis di blognya topik tentang buku.

 

Buku resep Baby Lead Weaning
Buku resep Baby Lead Weaning

Pagi ini, lewat akun twitter, saya membaca tulisan dari penulis Bernard Batubara di Medium (lengkapnya bisa baca di sini). Kutipannya adalah seperti ini dari tulisan tersebut maupun dari akun twitternya : “Kami main Twitter, Instagram, sesekali ikut arus perdebatan yang tidak perlu, tapi kami juga tidak berhenti membeli buku. Kami generasi digital masih membaca buku, hanya saja dengan cara yang baru. Kami pegang handphone tiap hari, tapi kami masih membaca. Kami main twitter, sesekali ikut debat tak perlu, tapi kami tak berhenti beli buku. Handphone kami bukan cuma untuk ribut, tapi juga menggali ilmu. Kami generasi digital, kami masih membaca buku.”

Sekarang sudah banyak sekali media untuk bisa membaca buku, tidak hanya buku dalam bentuk fisik. Semakin memudahkan. Selain yang sudah saya sebutkan panjang lebar di atas tentang keuntungan dan tujuan dalam membaca buku, sebenarnya ada satu lagi : Supaya anggota keluarga kami semuanya juga suka membaca buku. Memberi contoh adalah cara paling jitu. Misalkan, jika kita rajin menonton TV, maka anggota keluarga lain terutama anak-anak akan meniru dengan rajin menonton TV juga. Begitu juga dengan membaca buku. Jika kita rajin membaca buku, maka mereka pun akan mencontohnya. Konon anak-anak adalah peniru yang ulung dari orangtuanya bukan?

Begitulah cerita panjang lebar tentang kebiasaan saya dalam membaca buku di era digital ini.

Kalau kamu, apakah masih suka membaca buku? Memilih media apa, apakah buku dalam bentuk fisik atau yang lainnya? Lalu apakah punya strategi khusus dalam membaca supaya tetap eksis juga dalam bermedia sosial?

-Nootdorp, 26 September 2018-