Agama Suamimu Apa?

Sabtu kemaren, saya mengundang makan siang di rumah beberapa teman baru yang saya kenal dari twitter. Tidak ada acara khusus, hanya undangan makanan siang. Pembicaraan selama hampir 5 jam, sangat seru. Tidak ada putus-putusnya. Segala macam topik kami bahas. Termasuk salah satu topik yang akhir-akhir ini sangat sensitif di Indonesia, perihal agama.

Ketika mengundang mereka ke rumah, tidak terpikirpun untuk mempertanyakan latar belakang tentang agama mereka. Sejak kecil, saya tidak mempermasalahkan teman atau kenalan saya beragama apa. Siapapun boleh bertandang ke rumah kami, kecuali maling tentu saja. Orangtua saya tidak pernah mengajarkan untuk memilih-milih teman berdasarkan agama. Salah satu sahabat saya sejak 20 tahun lalu bahkan beragama Kristen. Ketika saya memutuskan berjilbab, itu tidak mengubah hubungan kami, tidak serta merta saya memutuskan yang terjalin selama in. Saya tetap bersahabat dengannya. Selama ini, kriteria utama saya dalam memilih teman bukanlah perkara agama. Melainkan kepribadiannya, budi pekertinya.

Membaca berita di Indonesia akhir-akhir ini yang mempertanyakan segala sesuatunya berdasarkan agama, membuat saya sesak dan gelisah. Hati saya berontak. Mencari kos-kosan, ditanyakan agama, jika tidak seagama dengan pemilik kos, tidak diterima. Mau mendaftar pekerjaan, dipentingkan seagama. Jika tidak, akan ditolak. Tidak menyoal apakah kemampuannya bagus atau tidak. Entahlah, sebagai orang yang sudah 5 tahun belum pulang lagi ke Indonesia, saya semakin tidak mengenal negara saya dari sisi itu. Semakin tidak saya pahami masyarakat di sana seperti apa. Sangat berbeda dengan 5 tahun lalu saat saya merantau jauh ke sini. Dulu, tanpa pertanyaan agama, semua baik-baik saja. Saat ini, rasanya semua selalu ujung-ujungnya agama. Kembali lagi, itu yang saya baca di media dan pengalaman beberapa orang.

Pertanyaan tentang agama ini, juga saya dapatkan sejak menikah. Tentu saja bukan saya yang ditanya, tetapi tentang suami. Sebelum menikahpun, ada kenalan dari kampus yang terang-terangan bertanya,”Calon suamimu agamanya apa?” saat tahu calon suami saya WNA. Setelah menikah, pertanyaan berganti menjadi,”suamimu agamanya apa?” juga sering saya dapatkan, bahkan sampai saat ini. Di Belanda, pertanyaan tersebut tentunya saya dapatkan saat papasan dengan orang Indonesia dan hanya berbincang sesaat. Kalau pembicaraan sudah mengarah ke sana, saya akan langsung jawab, “pertanyaan terlalu pribadi, saya tidak akan jawab.” Buat saya, pertanyaan tentang agama ini sangatlah pribadi, apalagi yang ditanya tentang suami saya. Bukan hak saya untuk menjawab. Sama halnya ketika banyak pertanyaan yang saya dapatkan,”suamimu sudah sunat?” Itupun sudah diluar nalar saya, bagaimana bisa orang-orang tersebut menanyakan hal yang tidak layak untuk ditanyakan. Itu bukan urusan mereka kan?. Sudah melampaui batas-batas kesopanan. Katanya orang Indonesia adalah bangsa yang punya unggah ungguh dan sopan santunnya tinggi banget, tapi segelintir orang dengan gampangnya menanyakan perihal sunat. Punya pengaruh apa suami saya sudah sunat apa belum dengan kehidupan mereka.

Tadi malam menjelang tidur, saya berbincang dengan suami perkara agama ini. Kalau hidup di Indonesia, mungkin keluarga kami sudah mendapatkan penolakan di sana sini karena kriteria agama yang tidak “layak” tinggal ditengah-tengah masyarakat. Pernikahan saya akan dipertanyakan keabsahanannya dari sisi kehidupan beragama, suami saya ke manapun melangkah akan dipertanyakan agamanya apa, bahkan tidak mungkin kedepannya keturunan kami akan dikucilkan dari pergaulan karena memilih berbeda dengan kebanyakan masyarakat di sana. Terus terang jika memikirkan hal tersebut, hati kecil saya selalu menangis, sedih. Beberapa kali saya juga mendapatkan kata kunci pencarian di blog ini tentang agama suami saya : Apa agama suami blog denald. Bahkan agama sayapun ada yang penasaran : agama Deny apa?.

Kemana keberagaman agama yang saya kenal sejak kecil, tidak mempersoalkan mau makan dengan mereka yang berbeda agama, tidak mempersoalkan berteman dengan yang berbeda keyakinan, tidak mempertanyakan agama saat ingin menolong orang yang sedang kesusahan. Pemikiran saya tentang agama masih sama sejak remaja sampai saat ini : Agama itu perkara panggilan hati, bukan paksaan apalagi didapat dari garis keturunan. Agama itu pilihan, bukan kewajiban. Ada yang memilih beragama, ada yang memilih beragama tertentu, ada yang memilih percaya pada alam semesta, semuanya hak masing-masing orang. Seharusnya itu tidak menjadi halangan ataupun sebuah penghalang terhadap apapun. Seharusnya.

Jika saya mempertanyakan agama setiap orang yang akan bertandang ke rumah atau mereka yang ingin saya undang ke rumah, sabtu kemaren saya tidak akan belajar banyak hal dari mereka karena memiliki latar belakang keyakinan yang berbeda dengan saya. Dari pembicaraan selama 5 jam, saya belajar tentang kehidupan dari pengalaman mereka yang berlatarbelakang beragam. Saya belajar tentang hidup menjadi perantau, jatuh bangun, dan suka duka di negeri ini.

Harapan saya perihal agama di Indonesia, semoga semuanya kembali seperti semula. Saling guyub antara agama satu dan lainnya. Kembali paham esensi beragama. Saling hidup bersandingan tanpa harus mempertanyakan agama satu sama lain. Tahu batasan masing-masing tapi tidak terkungkung oleh batasan tersebut. Melebur dengan damai.

Semoga saat kami ada kesempatan mudik ke Indonesia, tidak ada lagi pertanyaan yang sama saat 5 tahun lalu dia berkunjung ke sana, “Agama suamimu apa?” Semoga beragama ataupun tidak beragama, tidak menjadi sebuah persoalan besar. Semoga perilaku yang baik dan punya sopan santun yang baik sudah mencukupkan. Semoga kami diterima dengan sewajarnya meskipun kami memilih berbeda dengan mereka. Memilih untuk tidak menjadi bagian atau golongan manapun. Semoga.

-2 Desember 2019-