Menutup Diri Setelah Tinggal di Luar Negeri?

Suasana kampung tempat tinggal kami

Membaca postingan  di blog ini, pendapat penulis tentang Diaspora yang disinyalir mengalami sindrom menutup diri, jadi tertarik untuk membuat tulisan dari sudut pandang saya dan berdasarkan pengalaman diri sendiri tentunya. Sejak pindah ke Belanda, seringkali saya mendengar dari kerabat, kenalan, teman di Indonesia kalau saya semakin menutup diri dan menjaga jarak dengan mereka. Ada benar dan tidaknya apa yang mereka sampaikan serta ada alasannya juga kenapa saya bersikap seperti itu. Salah satu alasan saya membuat tulisan ini adalah untuk memberikan gambaran tentang hal tersebut.

Saya nyaris 5 tahun tinggal di Belanda dan belum pulang sama sekali ke Indonesia. Jadi saat membaca penjabaran selanjutnya bisa membayangkan kondisi dan situasi saya. Tulisan ini lumayan panjang.

GANTI NOMER TELEPON

Pindah ke Belanda, artinya ganti nomer telepon. Saatnya tidak lagi bergabung dengan banyak grup WhatsApp (WA). Sampai saat ini, saya hanya punya tiga grup WA. Ya, cuma tiga. Saya membatasi berbagi nomer telepon yang baru. Hanya pada yang merasa dekat saja saya berbagi nomer telepon Belanda. Itupun ternyata beberapa kali ada yang lancang membagikan nomer tanpa sepengetahuan saya lebih dahulu.

Alasan saya tidak lagi bergabung dengan banyak grup wa, pertama karena zona waktu sudah berbeda. Kedua, karena seringnya saya tidak membaca isi grup wa yang sangat aktif. Ketiga, ya saya mau fokus dulu dengan kehidupan di Belanda. Disinilah awal mula ada beberapa komentar yang saya dengar kalau saya “mengasingkan” diri. Mereka berpikir saya tidak mau ikut grup lagi karena sudah tinggal di LN, tidak level dengan mereka yang tinggal di Indonesia. Lha, apa hubungannya ya. Tapi ya sudahlah, saya juga tidak mau repot-repot menjelaskan.

PROSES ADAPTASI YANG TIDAK MUDAH DAN JUGA TIDAK SUSAH

Saya memulai semuanya di Belanda dari nol, dari awal. Jatuh tersungkur-sungkur belajar bahasa baru, mengenal lingkungan baru, mendaftar sebagai sukarelawan untuk beberapa kegiatan supaya memperlancar bahasa Belanda, ujian bahasa Belanda sebagai syarat memperpanjang ijin tinggal, jungkir balik mencari pekerjaan, lalu dapat kerja di bidang yang baru dan sangat berbeda dengan latar belakang pendidikan maupun pengalaman kerja sebelumnya, penyesuaian terhadap cuaca, mempelajari (dan belajar panjang sabar) terhadap segala sistem birokrasi di sini, dan masih banyak lagi yang harus saya lakukan sebagai proses adaptasi. Semuanya bukan perkara yang mudah, terutama untuk bahasa dan cuaca, namun buat saya juga bukan hal yang susah. Saya fokus dengan apa yang ada sekarang, apa yang perlu saya jalani saat ini. Bukan berarti saya melupakan apa yang ada di Indonesia, tapi setiap hari di sini adalah proses adaptasi, pun sampai detik ini. Banyak hal-hal baru yang terus saya pelajari dan perlu fokus. Itu saja sebenarnya. Fokus saya sudah berbeda dengan kehidupan sebelumnya sewaktu di Indonesia. Menjadi imigran buat saya tidak mudah, karenanya saya ingin membuat lebih mudah dengan menjalani secara fokus apa yang ada sekarang dan menerapkan skala prioritas.

PERTANYAAN YANG TERLALU PRIBADI

Ada beberapa kenalan, teman, dan kerabat yang mengajukan pertanyaan atau memberikan pernyataan yang sudah jauh masuk dalam ruang privasi saya. Misalkan saja : suami kerja di mana, gaji suami berapa, beli rumah di Belanda harganya berapa, suami sholat nggak, sudah punya anak apa belum, sudah dapat apa saja dari suami (mengacu pada materi), kenapa kamu kok tidak bekerja kantoran, kenapa kok kamu sudah sekolah tinggi tapi malah tinggal di rumah, dan sebagainya dan sebagainya. Masih banyak sebenarnya, tapi tidak akan saya tuliskan semua. Pertanyaan tersebut datang dari orang-orang yang tinggal di Indonesia maupun dari orang-orang Indonesia yang tinggal di Belanda. Saya merasa tidak nyaman dengan hal tersebut dan saya memilih untuk selalu mengatakan bahwa apa yang mereka katakan terlalu masuk dalam ranah pribadi saya dan saya tidak akan memberikan jawaban atau pernyataan apapun. Saya tidak berhutang penjelasan pada siapapun. Jadi, kalau saya menjaga jarak dengan mereka, bukannya tanpa sebab, melainkan karena mereka sendiri yang membuat saya berlaku seperti itu. Bertukar kabar dengan berbagi cerita yang umum saja saya sudah cukup, tidak perlu bertanya sampai jauh ke ranah pribadi.

Saya punya teman-teman baik (belum sampai level sahabat) di Belanda, tapi sangat terbatas. Tidak lebih dari jumlah jari tangan. Prioritas hidup saya saat ini (dan sejak awal di sini) bukan untuk mencari teman baru, jadi saya sudah cukup bahagia dengan teman-teman dekat yang ada sekarang. Sebenarnya sejak saya pindah ke Belanda, mencari teman bukanlah prioritas. Ada atau tidak ada teman, saya biasa saja. Saya lebih sibuk untuk adaptasi hal-hal lainnya. Semuanya mengalir dalam pertemanan, tidak pernah saya buat ngoyo. Karena itulah, saya punya teman sangat sedikit dan itu tidak jadi masalah.

Saya selalu membalas senyuman atau tegur sapa orang Indonesia yang ketemu dijalan (meskipun saya sendiri nyaris tidak pernah menegur duluan), menjawab obrolan mereka juga. Namun jika sudah terlalu jauh topik obrolannya, saya memilih tidak melanjutkan dan lebih baik permisi pergi. Saya pernah menuliskan di sini, cerita tentang mereka yang saya temui di Belanda, asal njeplak berkomentar padahal kenal (baik) saja tidak.

img_1521

LEBIH “MELEK” DENGAN YANG NAMANYA PRIVASI

Melanjutkan dari tulisan di atas, semakin bertambah umur, saya semakin melek dengan yang namanya privasi. Dulu sih semuanya saya ceritakan dan tuliskan terutama di media sosial. Semakin ke arah sini, saya semakin membatasi dan berpikir berulang kali perkara penting tidaknya mengunggah foto, status, cerita dan tulisan. Tahun 2015 saya deactive FB. Lalu tahun 2018 saya aktifkan lagi. Sejak mengaktifkan lagi, saya benar-benar menggunakan FB sebijak mungkin. Saya kurangi daftar teman yang ada di sana, hanya mereka yang sudah saya kenal yang dipertahankan. Saya makin selektif menerima permintaan pertemanan. Saya unggah sesuatu yang umum-umum saja, bahkan seringnya hanya sebagai sarana berbagi tulisan blog. Berbagi foto? seingat saya, tidak sampai 10 kali foto yang diunggah sejak FB aktif kembali.

Hal tersebut menimbulkan pertanyaan beberapa orang kenapa saya nampak terlalu menutup diri, tidak pernah mengunggah foto keluarga, tidak pernah bercerita tentang keluarga. Bahkan ada yang bertanya apakah kehidupan pernikahan saya baik-baik saja. Mungkin karena dulunya saya terlalu gampang “berbagi” di media sosial dan sekarang nampak lebih tertutup, jadi mereka menginterpretasikan bahwa kehidupan saya di Belanda tidak baik-baik saja. Padahal sebenarnya simpel : sekarang saya lebih nyaman seperti ini, tidak terlalu “obral” diri di media sosial maupun di blog, lebih nyaman dengan ruang privasi saya dan keluarga yang terjaga. Jejak digital tidak bisa dihapus, itu pegangan saya.

MENASEHATI TANPA DIMINTA PENDAPAT

Karena saya terlihat menutup diri dibandingkan sebelumnya, ada beberapa yang memberi nasihat tanpa diminta, berdasarkan asumsi mereka sendiri. Jadi semacam tebak-tebak buah manggis lalu mencoba menasehati. Misalkan : Saya tidak pernah bercerita secara detail tentang keluarga atau memasang foto keluarga, lalu ada yang berasumsi bahwa kehidupan saya di Belanda ada masalah. Lalu dinasehatilah saya bahwa kehidupan berkeluarga memang seperti itu, ada naik turunnya. Padahal, saya tidak pernah memberi komen apapun tentang asumsi yang dibuat. Karena tidak ada komentar dari saya, lalu mereka memberi cap kalau saya sombong sejak tinggal di Belanda. Padahal yang saya lakukan hanyalah tidak mau memberi ruang akan segala hal yang sudah mereka asumsikan sendiri. Saya diberi cap sombong? ya silahkan saja. Sejak di Indonesia pun saya sudah sering diberi cap sombong bahkan judes. Jadi kalau sekarang diberi cap itu lagi, rasanya ya biasa aja. Saya tidak bisa mengendalikan reaksi orang. Itu salah satu contohnya.

PERKARA JANJIAN

Beberapa kali ada teman dan kenalan dari Indonesia yang akan main ke Belanda, selalu dadakan mengajak janjian. Seringnya mereka mengajak ketemuan di Amsterdam. Tempat tinggal saya ke Amsterdam lumayan jauh, sekitar 1.5 jam naik transportasi umum. Pertama, Belanda itu negara kecil dan transportasi di Belanda seringnya tepat waktu (karena ada masanya tidak tepat waktu juga karena kendala teknis). Jadi, jarak tempuh 1.5 jam itu adalah waktu yang lumayan lama. Kedua, transportasi umum di Belanda itu mahal. Jadi biasanya kalau akan pergi jauh, saya mencari info lebih dahulu apakah ada tiket kereta yang dijual murah (banyak promo tentang ini). Meskipun saya menggunakan kartu abonemen (yang akan mendapat diskon 40% jika naik kereta), tapi jika dihitung akan lebih murah menggunakan tiket promo, ya saya menggunakan tiket promo. Belanda ini negara mahal, jadi kalau ada banyak cara untuk bisa hidup hemat, kenapa tidak ya kan.

Alasan ketiga, kami tinggal di Belanda semua dikerjakan berdua. Bukan berarti dengan saya tidak bekerja kantoran lalu saya banyak waktu senggang lalu bisa mengajak ketemuan dadakan. Setiap hari saya sudah punya rencana apa saja yang harus saya kerjakan. Saya sudah terbiasa membuat janjian jauh hari, wong mau makan bakso saja musti janjian paling tidak sebulan sebelumnya. Jadi kalau dadakan, seringnya saya tolak.  Kalau ketemuannya di kota terdekat, akan saya pertimbangkan.

Lalu tanggapan yang saya terima, dibilang saya terlalu londo, terlalu kaku padahal di Indonesia dulu tidak begitu. Mereka lupa, bahwa saya tinggal di Belanda hampir 5 tahun dan sudah menyesuaikan (nyaris) semuanya dengan tempat tinggal saat ini. Ya, lalu bagaimana saya menjadi tidak “terlalu londo?” *sudah terbaca belagu belum.

MEMBATASI DAN MENJAGA JARAK, BUKAN MENUTUP DIRI

Dari semua hal yang saya jabarkan di atas, jika banyak yang mengatakan saya menutup diri, mungkin bagi mereka nampak seperti itu. Saya membatasi dan menjaga jarak dengan orang-orang yang tidak saya kenal baik yang berada di Indonesia maupun orang-orang Indonesia yang ada di Belanda. Buat saya, jumlah teman tidaklah penting. Yang lebih penting adalah kualitasnya. Keluarga, teman-teman dekat, sahabat yang ada sekarang (cuma 4 orang yang semuanya ada di Indonesia), sudah lebih dari cukup. Mereka tidak pernah terlalu mencampuri urusan pribadi, sayapun berlaku sama. Kami tahu batasan masing-masing. Kami saling menanyakan kabar terbaru, cerita terbaru, dan sering juga mengirimkan foto terbaru. Hanya dengan mereka saya merasa nyaman berbagi cerita yang ingin saya bagi. Lalu kalau ada yang bilang saya menutup diri, artinya saya tidak dekat dengan mereka.

Jadi jika ada yang tidak mengenal saya dengan baik lalu berasumsi sendiri tentang kehidupan saat ini, ya monggo. Sekali lagi, saya tidak berhutang penjelasan detail pada siapapun. Yang terpenting, saya tidak pernah menutup diri, hanya membatasi dan menjaga jarak, melakukan hal yang membuat nyaman. Berteman dengan mereka yang saling menyamankan, berbagi kabar pada keluarga yang membuat saya merasa nyaman, dan berbagi hal-hal yang seperlunya saja di media sosial. Rasanya motto yang cocok dengan hidup saya sejak tinggal di Belanda adalah : bertindak, berbicara, dan nyetatus seperlunya saja.

-21 Oktober 2019-