Merayakan Sebuah Proses

Bunga dari keluarga

Ini akan menjadi tulisan yang panjang. Bisa disimak buat para orangtua atau mereka yang merasa selama ini memandang sebuah proses haruslah berakhir menjadi berhasil. Mereka yang selama ini takut akan kegagalan. Tentang sebuah apresiasi terhadap proses.

KILAS BALIK

Saya tumbuh besar dididik oleh seorang Ibu yang sangat mendewakan sebuah keberhasilan. Bapak, justru kebalikan. Beliau selalu bilang, apapun hasil akhirnya tidak jadi masalah selama saya menjalani proses dengan sungguh-sungguh dan menikmatinya. Buat Bapak, tidak ada yang namanya gagal. Menurut Beliau, belum berhasil artinya diberikan kesempatan lagi untuk belajar lebih baik. Pesan Beliau : jadilah yang terbaik versimu.

Sayangnya, doktrin Ibu bahwa gagal adalah gagal itu selalu tertancap di otak saya sampai dewasa. Yang namanya gagal, ya gagal. Artinya tidak lalu menjadi keberhasilan yang tertunda. Sejak kecil, saya selalu berkompetisi dengan diri sendiri untuk membuktikan kepada Ibu bahwa saya bisa menjadi yang terbaik, versi Beliau. Berhasil? iya. Saya memang bisa membuktikan bahwa saya selalu menjadi yang terbaik, menjadi yang juara, menjadi Ter- Ter- versi Beliau. Apakah saya menikmatinya? Dulu saya pikir setiap keberhasilan yang saya raih membuat saya bahagia, membuat saya bangga. Dikemudian hari, saya menyadari bahwa selama ini saya tidak menikmati kebahagiaan sesungguhnya karena sudah menjadi seseorang yang berhasil meraih pencapaian tinggi. Bahagia, iya. Tapi rasa kebahagiaan yang saya rasakan seperti semu. Hanya sesaat saja.

Dikemudian hari saya juga menyadari bahwa untuk mencapai berhasil, saya tidak menikmati prosesnya. Tidak langkah per langkah saya pikirkan, tapi fokus saya selalu hasil akhir harus berhasil. Tidak boleh gagal. Kalau sampai gagal, kiamat dunia. Dulu, gagal buat saya adalah sebuah aib. Sebisa mungkin tidak saya suarakan, tidak saya beritahukan kepada orang lain. Saya akan simpan sendiri dan membuat jadi tertekan. Karenanya, saya akan berusaha lebih dari maksimal agar berhasil, menghindari tertekan karena gagal. Tanpa saya sadari, bahwa jalan menuju berhasil, prosesnya, itu yang membuat saya tertekan.

Ibu, juga mendidik saya dengan jarang sekali memberikan apresiasi. Walaupun berhasil, jarang terlontar pujian atau ucapan bahwa Beliau bangga pada saya. Keberhasilan semacam sebuah keharusan. Jika tercapai, ya memang selayaknya seperti itu. Tidak ada yang istimewa. Beliau tidak melihat jatuh bangun saya sampai dititik berhasil. Yang Beliau tanamkan, bahwa berhasil itu tidak perlu dirayakan, karena memang seyogyanya sebuah terget harus berhasil dititik akhirnya. Terbayang kan jika saya mengalamai kegagalan? Karenanya saya selalu berjuang lebih dari kata keras untuk berhasil.

Misal : sewaktu SMP saya pernah menjadi juara 1 di kelas. Waktu itu saya masuk kelas unggulan di mana isinya anak-anak pintar semua. Saya belajar mati-matian waktu itu. Tapi saya tidak mendengar ucapan selamat dari Ibu. Justru saya dengar bahwa Ibu bangga pada saya dari seorang teman Ibu. Saya ingat sekali sedihnya seperti apa. Lain waktu, saat SMA, saya pernah masuk dalam 10 besar pararel di sekolah. Pararel artinya juara antar kelas. Itu juga belajar mati-matian. Sekolah saya termasuk favorit di Surabaya, dan masuk 10 besar pararel artinya lumayan berprestasi. Saya bangga mengabarkan hal tersebut pada Ibu. Sambutan Ibu : kalau belajar lebih giat, mustinya bisa masuk 3 besar.

Walhasil, dibalik perjuangan keras saya untuk berhasil, ada satu harapan untuk mendapatkan sebuah apresiasi dari Ibu. Setiap langkah saya, setiap kerja keras, selalu yang terpikirkan adalah bagaimana caranya supaya Ibu memberikan pujian kepada saya secara langsung. Yang saya tahu, Beliau memberikan pujian, justru dilontarkan pada orang lain. Beliau bangga pada saya, tapi tidak saya dengar langsung. Saya justru tahu dari orang-orang yang mendengar lontaran bahwa Beliau bangga karena anak tertuanya sudah berhasil A, B, C dll. Hal tersebut malah membuat saya berpikir, kenapa ya kok Ibu tidak pernah memuji saya secara langsung? Tidak mengapresiasi apa yang saya lakukan secara langsung? Kenapa harus dilontarkan pada orang lain tanpa saya tahu.

Dengan keadaan seperti itu, menjadikan saya melakukan segala hal supaya selalu berhasil agar mendapatkan apresiasi dari Ibu secara langsung. Saya haus apresiasi. Sampai pada satu titik, akhirnya saya kelelahan dan mulai berhenti untuk menjadi yang terbaik versi Beliau. Saya lelah mengejar hal yang mungkin tidak akan pernah Beliau lakukan sampai kapanpun. Saya berhasil dalam banyak hal, tentu membahagiakan. Dilain sisi, ternyata saya tidak sebahagia yang saya pikirkan. Bahagia tapi kosong. Bahagia tapi lelah. Bangga karena bisa menyelesaikan sampai berhasil semua target yang saya pasang, tapi saya tertekan. Orang melihat saya selalu berhasil, nyaris tidak pernah gagal. Benar, tapi ternyata saya tidak pernah menikmati prosesnya. Saya kelelahan. Saking lelahnya, saya beberapa kali membutuhkan bantuan professional untuk mengatasi kondisi psikologis yang seperti ini.

Beberapa tahun belakang, saya memberanikan diri bertanya ke Ibu kenapa saya tidak pernah dipuji secara langsung ketika melakukan sesuatu hal yang sekiranya membanggakan Beliau. Ibu bilang karena tidak terbiasa jadi tidak tahu cara mengekspresikan langsung pada saya. Saya mencoba menerima apa yang Ibu utarakan tersebut. Mencoba berdamai dengan luka yang terlanjur ada.

SEMUA BERUBAH

Saat mulai tinggal di Belanda, saya makin menyadari bahwa yang saya lakukan saat tinggal di Indonesia benar-benar tidak sehat. Hidup penuh ambisi, penuh pembuktian kepada orang lain, ingin selalu jadi juara. Asal muasalnya satu : menjadi yang terbaik versi Ibu supaya Beliau selalu bangga pada setiap pencapaian yang saya lakukan. Saya tidak pernah menyisakan ruang untuk gagal. Saya tidak pernah merasakan langkah per langkah proses untuk menuju berhasil. Gagal adalah sebuah momok, aib. Gagal membuat saya jauh tertekan. Walhasil, saya hidup dengan gemuruh yang selalu ada di kepala. Positifnya, saya memang selalu dapat apa yang ditargetkan. Buruknya, kondisi psikologis saya yang tidak sehat.

Hidup di sini, melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana orang-orang yang saya temui, suami, mereka yang tinggal di lingkungan sekitar, dan lingkungan keluarga, mereka sangat menghargai yang namanya proses. Saat mendengar ada seseorang atau anggota keluarga yang merasa gagal melakukan sesuatu, tanggapan mereka selalu membesarkan hati, semacam : Nanti dicoba lagi, berarti waktu kamu buat belajar lebih panjang. Kamu sudah berhasil sejauh ini, sudah belajar keras. Kalau hasilnya belum maksimal, semoga setelah ini lebih baik ya sesuai yang kamu inginkan.

Maureen pernah membahas di tulisannya yang ini, tentang bagaimana menanggapi sebuah hal. Lebih spesifik tentang feedback. Seringnya, yang dilakukan oleh orangtua di Indonesia (pada masa saya, tapi tidak semua orangtua) adalah melihat kesalahan terlebih dahulu dibandingkan memberikan apresiasi. Mengkritik tapi lupa memberikan pujian. Padahal yang namanya usaha adalah proses panjang menuju titik yang ingin dicapai. Apapun hasilnya nanti, sebuah usaha layak mendapatkan apresiasi. Tidak usah muluk-muluk, ucapan selamat atau terima kasih sudah berjuang sejauh ini, itu sudah cukup.

Selama 5 tahun di sini, saya belajar akan hal itu. Memberikan apresiasi dan menerimanya. Sekecil apapun, setiap usaha layak mendapatkan apresiasi. Saya yang dulunya berjiwa ambisius namun cepat sekali merasa tersengal -lelah- sekarang lebih bisa merasakan setiap proses yang lakukan. Jika gagal, tentu saja kecewa, namun tidak berlebihan. Mulai bisa menerima konsep bahwa gagal juga bisa menjadi hal baik kedepannya. Ada waktu lebih untuk belajar. Menerima konsep bahwa gagal bukanlah sebuah aib. Menerima konsep bahwa gagal juga bagian dari proses pembelajaran dan bukanlah sebuah akhir.

Sejak di sini, saya berani untuk menjadi yang terbaik versi saya, bukan versi Ibu atau versi orang lain. Dan saya jauh lebih bahagia dengan hal tersebut.

BELAJAR MENYETIR MOBIL

Menyetir mobil bukanlah sesuatu yang saya rencanakan untuk dilakukan. Rumah kami dekat dengan transportasi umum : bis, tram, dan kereta. Mau ke mana-mana juga dekat karena lokasi rumah diantara 3 kota besar di Belanda. Kami juga ke mana-mana bisa naik sepeda. Lalu buat apa repot-repot belajar menyetir mobil, apalagi saya takut sekali yang namanya mengendarai kendaraan bermotor. Selain itu, kami juga tidak punya mobil.

Sampai sekitar September tahun lalu, saya mulai terpikir bahwa menyetir mobil itu termasuk salah satu skill yang harusnya saya punya. Saya tidak mau selalu bergantung ke suami jika suatu saat butuh untuk berkendara dengan mobil. Ditambah lagi, saya ingin menantang diri sendiri untuk melawan ketakutan mengendarai kendaraan bermotor. Singkat cerita, saya mendaftar les menyetir akhir tahun lalu.

Selama les, banyak kendala yang saya hadapi. Yang terbesar adalah : rasa takut. Itu benar-benar sebuah momok. Mengalahkan rasa takut dan tidak percaya diri itu susah. Tapi kembali lagi, saya sudah berniat untuk bisa menyetir walaupun prosesnya harus diselingi dengan tangisan. Terkadang saya lupa, bahwa saya memulai dari nol dan semua butuh waktu. Instruktur menyetir saya yang mengingatkan bahwa tidak bisa saya langsung menguasai semua hal yang berhubungan dengan menyetir mobil dalam sekali jalan. Layaknya anak kecil yang belajar melangkah, prosesnya harus dijalani. Tidak bisa langsung loncat tahapannya. Saya pernah ditegur oleh dia saat ditanya hal apa yang saya pelajari hari itu. Saya menjawab : banyak sekali salah yang saya lakukan hari ini. Dia lalu bilang : kenapa kamu selalu fokus dengan kesalahan yang kamu lakukan. Kenapa kamu tidak fokus dengan keberhasilan yang kamu lakukan hari ini dan berterimakasih ke diri sendiri kamu sudah melangkah sejauh ini. Setiap orang yang belajar pasti ada salahnya, tapi bukan berarti tidak melakukan yang benar kan. Salah buat bahan koreksi supaya kedepannya lebih baik. Tapi jangan lupa untuk berterima kasih ke diri kamu sendiri untuk setiap keberhasilan meskipun kecil bentuknya.

Saya terdiam. Sejak saat itu, saya selalu berusaha melihat hal positif setiap les menyetir. Kesalahan menyetir masih banyak yang saya lakukan. Tapi, bukan berarti tidak ada hal baik yang sudah saya lakukan sejauh ini. Saya berterima kasih dengan keras kepala saya untuk selalu belajar lebih baik lagi.

Kemarin, merupakan hal bersejarah buat hidup saya. Akhirnya ujian menyetir pun tiba setelah tertunda 3.5 bulan karena Corona. Saya sudah berjalan sejauh ini, saatnya menunjukkan apa yang saya pelajari ke pihak penguji. Ditahap ini, saya bilang pada diri sendiri, saya akan berusaha semaksimal mungkin selama ujian. Berhasil atau mengulang lagi, saya tetap melihat sebagai sebuah keberhasilan karena sudah berani menaklukkan ketakutan menyetir mobil.

Setelah ujian selesai, seperti yang sudah saya duga karena ada beberapa kesalahan yang saya lakukan saat di jalan, saya harus mengulang ujian. Kecewa tentu saja. Tapi saya langsung bilang ke diri sendiri : Hebat, kamu sudah melalui tahap ini. Terima kasih kamu sudah berani untuk menyetir mobil. Mari belajar lebih semangat dan menyetir dengan lebih aman setelah ini. Jangan menyerah ya, yuk sama-sama berusaha. Saya bangga dengan kamu.

Instruktur saya pun bilang : Kamu hebat sudah mengalahkan rasa takutmu. Sudah melangkah sejauh ini. Setelah ini, kita perbaiki lagi apa yang jadi bahan masukan dari penguji. Tetap semangat ya, jangan menyerah. Saya yakin kamu bisa.

Sesampainya di rumah, saat membuka pintu, saya mengabarkan kalau musti mengulang lagi. Suami memberikan bunga dan mereka memberikan ucapan selamat pada saya. Suami bilang bahwa saya layak mendapatkan bunga dan ucapan selamat atas proses panjang dari nol yang telah saya lakukan. Dia bilang : Lulus atau mengulang lagi, sama-sama dirayakan karena kamu sudah melangkah sejauh ini.

Bunga dari keluarga

Terharu rasanya mendapatkan dukungan seperti ini. Keluarga adalah pendukung utama saya. Siangnya saya bercerita pada beberapa teman, termasuk Yayang. Dia mengatakan satu hal : Kamu sudah menjadi seorang pemenang karena sudah mengalahkan rasa takutmu. Meskipun kamu harus mengulang ujian, kamu sudah menjadi seorang pemenang karena sudah berusaha paling maksimal.

Ah ya, saya sudah menjadi seorang pemenang. Terima kasih, Yang.

Sorenya kami merayakan apa yang terjadi hari itu. Merayakan sebuah proses. Kami memesan antar makanan dari restoran yang dekat dari rumah. Saat makan, suami bilang : Lulus atau mengulang, kamu tetap juara buat kami. Dari yang tidak bisa mengemudi mobil, sekarang sudah bisa mengemudi ke mana-mana selama les. Selanjutnya, tinggal meningkatkan jadi lebih baik supaya lulus ujian.

Terima kasih, kalian selalu mendukungku. Terima kasih juga buat Ibu yang mendoakan saya saat ujian kemarin.

BERIKAN APRESIASI PADA ANAKMU

Seorang anak, berapapun usianya, mempunyai perasaan. Bahkan seorang balita sekalipun. Hargailah perasaan anakmu. Belajar dari apa yang sudah Ibu lakukan pada saya. Sejauh ini, saya tidak menyalahkan sepenuhnya apa yang Ibu perbuat pada saya. Saya percaya, setiap keberhasilan yang saya lakukan, ada doa Ibu yang menyertai di dalamnya. Ada sujud panjang Ibu di Tahajjud, sholat-sholat wajib dan sunnah lainnya. Yang Ibu lupa adalah mengapresiasi setiap hasil yang saya lakukan. Berhasil ataupun gagal, ada proses panjang di dalamnya. Ibu lupa bahwa seorang anak juga ingin mendengar langsung bahwa Beliau bangga atas apa yang saya lakukan selama ini. Ibu lupa menanyakan apakah saya bahagia dengan segala pencapaian selama ini. Ibu lupa bertanya apakah semua ini benar-benar yang ingin saya jalankan dan inginkan.

Ada luka dalam batin menyertai proses tumbuh saya. Saat ini, saya perlahan menyembuhkan luka tersebut. Belum terlambat untuk berbenah. Semua harus berhenti di saya. Perlahan tapi pasti. Tidak ingin meneruskan pada keturunan saya, setiap proses harus diapresiasi. Setiap proses ada bahan pembelajaran. Gagal juga bagian dari hidup yang harus dihadapi. Tidak semua hal sesuai kehendak kita. Gagal bukanlah aib.

Semoga apa yang saya tuliskan kali ini bisa membuka wacana tentang hal yang mungkin dianggap sepele tapi berdampak sangat besar di kemudian hari. Mengapresiasi setiap proses yang sudah dilakukan.

Buat para orangtua, jangan segan-segan untuk memberikan apresiasi untuk anak-anakmu sekecil apapun itu.

Buat kamu sebagai pribadi, jangan lupa ucapkan terima kasih pada diri sendiri atas segala perjalanan yang sudah ditempuh sejauh ini. Terima kasih karena sama-sama belajar untuk berproses menjadi lebih baik. Jangan segan untuk merayakan meskipun gagal. Mari merayakan sebuah proses.

Selamat berakhir pekan!

-10 Juli 2020-