Buah Tangan Setelah Bepergian

Museum De Valk - Leiden

Kalau ada pembicaraan tentang bagaimana terganggunya mereka yang sedang bepergian lalu diminta untuk membawakan buah tangan alias oleh – oleh saat kembali, saya tidak bisa ikut nimbrung karena tidak terlalu punya pengalaman diminta-in oleh – oleh setelah pulang bepergian. Kadang saya suka terperangah sendiri jika mendengar atau membaca yang meminta oleh – oleh seringnya tanpa sungkan sebut ini itu padahal jelas tidak ikutan nyumbang beli tiket pihak yang sedang bepergian. Kok ya ga ada rasa malu ya sampai minta sedemikian rupa, tanpa bertanya dulu yang diminta-in oleh – oleh ada uang lebih tidak, ada ruang lebih tidak untuk menaruh barang yang diminta. Meminta oleh – oleh itu kan artinya minta gratisan ya. Minta gratisan sampai menyebutkan spesifik barang yang diminta, ehmmm kok ya rasanya gimana gitu, ga nduwe isin.

Atau kalau si pihak yang bepergian memang dengan senang hati memberikan sesuatu lalu diberikan komentar oleh si penerima semacam : duh liburan ke luar negeri kok begini aja nih oleh – olehnya, coklat seperti ini sih banyak di supermarket sini. Atau komen seperti ini : Tugas kerja kan dibayarin kantor tiketnya, mbok ya oleh – olehnya jangan gantungan kunci donk, agak mahalan dikit. Atau komentar dari keluarga : liburan ke luar negeri bisa tapi kok ngasih oleh – oleh keluarga cuma tempelan kulkas, buat apaan nih. Sakit hati ya rasanya kalau sampai diberikan komentar seperti itu. Saya yang tidak pernah mengalami hanya mendengar atau membaca saja, rasanya krenyes – krenyes di hati. Kok sampai tega ngomong seperti itu padahal sudah diberikan sesuatu sebagai buah tangan. Saat membeli, orang yang bepergian pasti menyisakan budget dan waktu khusus untuk memilih yang cocok yang mana sebagai oleh – oleh. Artinya yang diberikan buah tangan, sudah ada di pikiran si pemberi. Kok ya sampai hati memberikan komentar seperti itu.

MINIM PENGALAMAN DIMINTA BUAH TANGAN

Kesukaan bepergian saya sepertinya turunan dari Ibuk yang memang suka jalan – jalan sendiri dari ke luar kota sampai luar pulau. Bapak saya tidak terlalu suka liburan jauh. Kalaupun liburan, biasanya yang bisa dijangkau oleh mobil atau kendaraan umum yang jarak tempuhnya tidak terlalu lama. Pernah sih Bapak beberapa kali ke Jakarta dari kota kami menyetir sendiri dengan seluruh keluarga. Waktu itu, bisa sampai 24 jam perjalanan diselingi beberapa kali berhenti untuk istirahat. Rasanya, itu jarak tempuh yang paling lama yang pernah Bapak lakukan. Ibuk, seingat saya kalau sudah sampai rumah dari bepergian, membawa oleh – oleh ala kadarnya. Seringnya makanan. Meskipun ala kadarnya menurut Ibuk, kami yang di rumah tentu saja senang apapun yang dibawa oleh Ibuk. Tidak membawa sesuatu pun, kami tidak pernah menanyakan.

Seingat saya, para tetangga kami pun tidak pernah ada yang menanyakan perihal oleh – oleh jika saya pulang ke rumah sejak pertama kali ngekos umur 15 tahun. Bahkan saat saya sudah mulai bekerja, mereka tetap tidak pernah meminta oleh – oleh padahal tahu pekerjaan saya isinya wira wiri lintas provinsi. Mereka lebih tertarik menanyakan kabar, mendengarkan cerita saya kalau pergi ke kota di provinsi nun jauh di sana, bahkan lebih tertarik bertanya sebenarnya pekerjaan saya itu ngapain saja.

Bagaimana dengan keluarga? Lah ya tentu saja mereka tidak peduli saya ini mau membawa oleh – oleh atau tidak. Setiap saya bepergian entah itu untuk urusan kantor atau liburan pribadi, saya selalu pamitan sama Bapak dan Ibu. Sekedar bilang kalau saya akan ke luar kota atau ke luar negeri. Mereka selalu berpesan hati – hati jaga diri dan mendoakan semoga selamat dari berangkat sampai pulang lagi. Bahkan Bapak selalu mengingatkan untuk tidak usah membawakan barang atau makanan apapun karena takut tidak bisa dimakan (karena beda selera) atau barangnya tidak cocok untuk mereka. Adik – adik saya pun sama, cuek saja perkara oleh – oleh. Dibawakan ya dimakan, tidak ada pun tidak pernah bertanya. Mereka lebih senang kalau saya pulang ke rumah lalu kami makan bersama satu keluarga, menyantap masakan Ibuk sambil mendengarkan saya bercerita seputar liburan atau tugas kantor di luar kota atau luar negeri.

Bagaimana dengan teman kantor dan teman – teman lainnya? Sama saja, mereka juga tidak pernah cerewet nitip ini dan itu. Kalau teman kantor, saya dengan senang hati selalu membawakan makanan sebagai oleh – oleh karena mereka pun berlaku yang sama jika sedang tugas kantor ke luar kota atau luar negeri. Sebagai informasi, frekuensi bepergian saya untuk urusan kantor dalam sebulan bisa sampai 3 minggu. Jadi efektif saya di kantor selama sebulan, paling lama 1,5 minggu saja. Kalau saya sudah masuk kantor, rasanya benar – benar melepas kangen dengan banyak bercerita sambil makan oleh – oleh yang saya bawakan untuk teman – teman satu ruangan. Nah, mereka tidak pernah komen : Den, loe kok cuma bawa makanan aja sih, atau Den, bawa apa gitu kek kalau dari kota A, jangan makanan mulu. Komen seperti itu tidak pernah saya dengar kalau membawakan makanan setelah dinas luar kantor. Makanan adalah pemersatu kubikel.

Teman – teman yang lainnya pun sama, rasanya saya tidak pernah ingat diminta-in oleh – oleh jika mereka tau saya ada urusan kerja di kota lain atau liburan ke negara lain. Mereka lebih tertarik mendengar pengalaman saya selama liburan atau tugas kantor.

MEMBELI BUAH TANGAN KARENA KEINGINAN SENDIRI BUKAN KARENA DIMINTA

Dari cerita yang saya sampaikan di atas, sudah ada bayangan ya selama ini saya nyaris tidak punya cerita bagaimana rasanya ditodong keluarga, teman, tetangga untuk membawakan oleh – oleh. Bersyukurnya, jika mereka tau saya akan bepergian, pasti akan berpesan untuk hati – hati dan mendoakan saya selamat dari berangkat sampai pulang lagi. Seingat saya, justru tidak pernah ada kata – kata untuk minta dibawakan oleh – oleh ini itu, atau nitip beli ini itu. Kalau saya sudah pulang, yang ditanyakan pertama ya kabar saya, sehat atau ada hal lainnya. Mereka antusias mendengarkan cerita saya.

Sewaktu Adik dan Ibuk di Belanda, saya bertanya mereka mau bawa oleh – oleh apa untuk dibawa ke Indonesia supaya bisa diberikan ke para tetangga atau teman – teman kerja Adik saya. Ibuk bilang tidak usah membeli banyak oleh – oleh, secukupnya saja. Toh tidak ada yang meminta. Malah Adik saya bilang kalau beli sedikit saja atau beli coklat saja, lebih berguna bisa dimakan. Sepupu yang tinggal dengan kami selama 3 bulan juga lebih tidak terlalu pusing memikirkan harus membawa apa saat pulang ke Indonesia. Dia bilang : beli aja dikit, buat syarat. Kalau ada yang protes kubilang aja “protes mulu loe, ngasih duit aja kagak” haha bener juga.

Museum De Valk - Leiden
Museum De Valk – Leiden

Tahun lalu saat kami sudah membeli tiket untuk mudik, saya mulai bertanya ke Ibuk dan saudara – saudara yang lain ingin dibawakan apa kalau saya mudik nanti. Ibuk bilang ga usah bawa apa – apa yang penting selamat semua sampai Indonesia. Sedangkan saudara yang lain malah malas – malasan jawab : ga usah lah dibawakan apa – apa, keju kami juga ga doyan. Ga usah repot bawa macam – macam, ketemu kamu saja kami sudah senang. Jadi tahun lalu saya pun tidak terlalu ribut mencari oleh – oleh. Dengan senang hati saya membeli seperlunya juga, semampu saya dan ya tidak memaksakan diri membawa banyak lha wong yang di Indonesia saja tidak minta. Kalau tidak diminta oleh – oleh seperti itu, saya malah dengan senang hati membelikan karena mereka akan sangat menghargai apapun yang saya beri. Buat mereka, saya sampai sana dalam keadaan selamat, itu jauh lebih penting. Oleh – olehnya sudah siap, lah mudiknya ditunda. Jadi oleh -olehnya mangkrak di rumah sampai saat ini.

Keluarga di Belanda juga begitu, khususnya Mama mertua. Kalau liburan, kami selalu bertanya ingin dibawakan apa. Mama sering bilang jangan sampai membeli apapun. Beliau lebih menantikan cerita kami selama liburan dan lebih antusias untuk melihat semua foto dan video yang kami buat. Walaupun begitu, sesekali kami masih membelikan seperti coklat sebagai buah tangan yang seringnya berujung kena omel karena sudah dibilang untuk tidak membawakan apapun, tapi kami tetap ngeyel membelikan. Tanda cinta kami buat Mama. Untuk tetangga yang kami titipi rumah selama liburan, seringnya kami berikan buah tangan. Biasanya makanan khas dari tempat yang kami datangi dan juga kiriman kartupos dari sana.

Sebenarnya saya senang memberikan satu benda sebagai buah tangan yaitu, mengirimkan kartupos. Untuk beberapa orang teman atau keluarga, kami senang mengirimkan kartupos dari tempat tujuan kami berlibur (atau tugas kerja). Mereka selalu antusias menerima kartupos yang kami kirimkan. Untuk kartupos ini, kami juga selalu mengirimkan ke alamat rumah kami sendiri. Jadi saat sampai ke rumah, seringnya kartupos sudah sampai. Jadi kami membaca sendiri kartupos tersebut. Buah tangan kami untuk kami selama liburan. Menyenangkan membacanya.

Bersyukur rasanya selama ini ternyata saya tidak pernah ada beban apapun untuk memberikan buah tangan jika sedang bepergian atau tugas kantor. Kalaupun sampai saya membawa, ya itu keinginan sendiri yang selalu mendapatkan ucapan terima kasih dan tidak pernah dikomen macam – macam (baca : dinyinyirin). Apapun yang saya bawa, pasti dengan senang hati diterima. Dititipi untuk minta dibelikan ini itu, juga rasanya tidak pernah.

Ada salah satu teman kantor dulu saat liburan ke Belanda lalu membawa oleh – oleh coklat ke kantor. Departemen sebelah ada yang komen : lah kalau coklat aja mah ada di sini, ngapain jauh – jauh ke Belanda. Dijawab oleh dia : Loe kan belum pernah ke Belanda, makan nih coklat biar tahu bedanya coklat Indonesia sama coklat Belanda tuh apa, biar loe ga kebanyakan komen macam ini. Masih untung loe gue beri.

Harusnya memang kalau ada orang komen macam – macam kalau diberi oleh – oleh, langsung aja kasih komen balik yang pedas, Atau ya tandain, kedepannya sekalian ga usah dikasih lagi. Atau kitanya sendiri yang ga usah repot – repot membelikan oleh – oleh. Orang banyak mengedepankan ga enak hati sih ya kalau tidak membawa apa – apa setelah bepergian. Padahal prinsip oleh – oleh kan sukarela. Cuma memang ada tipe orang yang kalau tidak bawa apa – apa rasanya sungkan. Padahal ya suka – suka dia aja ya mau bawa apa tidak. Toh kalau ada yang sampai komen tidak enak tinggal jawab aja apa adanya. Misal : ga ada duit lebih buat beli oleh – oleh. Atau : loe sih ga ngasih duit ke gw, jadi ya gw ga beli apa – apa buat loe. Atau ya jawab saja : males belinya. Singkat, padat, beres.

Sekali lagi, buah tangan setelah bepergian itu sifatnya sukarela. Jadi jangan sampai dijadikan beban. Liburan sampai beban mikiri oleh – oleh kok ya jadi repot sendiri. Atau mau mudik sampai repot berburu oleh – oleh sampai memaksakan diri melebihi kapasitas uang atau ruang yang ada. Memang ada yang kalau mudik membawa banyak sekali oleh – oleh untuk semua isi kampung. Salah satu kebanggaan karena satu indikator kesuksesan merantau buat dia terpenuhi, yaitu bisa membawa oleh – oleh yang banyak kalau mudik. Entah itu memang dianya sendiri yang secara sukarela membelikan aneka macam rupa buah tangan, atau sampai menabung lama asal bisa membawa barang banyak untuk penduduk desa, tak jadi soal. Yang penting bawa oleh – oleh. Ada yang sampai tidak mudik karena uang tidak cukup membeli oleh – oleh. Daripada malu tidak membawa buah tangan untuk orang kampung, lebih baik tidak mudik. Agak memusingkan memang perihal buah tangan untuk beberapa orang.

Kalau memang diri sendiri merasa senang membawakan oleh – oleh, itu lain hal. Artinya memang sukarela dan tidak merasa terbebani.

Lain orang, lain pandangan perihal oleh – oleh. Yang penting bijak menyikapi, tidak memaksakan diri, dan seperlunya saja.

-1 April 2021-