Tentang Bahasa Isyarat dan Perasaan

Sore tadi ketika saya sedang menunggu adonan pizza mengembang (pizza pertama bikin sendiri *info penting *karena bangga :D), entah kenapa pikiran melayang pada beberapa kejadian yang ada hubungannya dengan bahasa isyarat. Beberapa tahun lalu, saya dan dua teman berlibur ke Vietnam. Itu pertama kali saya ke Vietnam. Waktu itu saya bertanya ke salah satu teman, apakah di Vietnam masyarakatnya bisa menggunakan bahasa Inggris. Dengan mantap dia menjawab, bisa!. Jawaban tersebut sangat melegakan, maklum saya belum pernah ke luar negeri selain Malaysia pada saat itu. Jadi saya tidak membayangkan bagaimana cara berkomunikasi kalau misalkan di Vietnam tidak menggunakan bahasa Inggris. Sesampainya di Ho Chi Minh, semua masih baik-baik saja, bahasa belum menjadi kendala karena kami juga tidak terlalu banyak bertanya.

Namun hal tersebut tidak berlangsung lama. Ketika beranjak menjauh dari Ho Chi Minh, tepatnya saya lupa dimana, tapi pada saat itu kami sedang ikut tour menyusuri sungai Mekong. Disalah satu tempat, perahu yang kami naiki berhenti untuk memberikan kesempatan kepada penumpang mengitari sebuah pulau. Karena pada saat itu waktu yang diberikan lama, saya bilang kepada kedua teman untuk sholat dahulu. Mereka mengiyakan. Lalu kami kebingungan mencari tempat untuk sholat, berharapnya waktu itu ada musholla atau tempt kecil untuk sholat. Setelah berputar sekian lama, tempat yang dicari tidak kunjung ketemu. Akhirnya kami bertanya kepada seorang petugas yang sedang berjaga didepan sebuah bangunan.

DSC_0361

Teman saya yang memulai bertanya dalam bahasa Inggris, menanyakan tempat untuk sholat. Petugas tersebut nampak kebingungan. Wah, gawat. Bapaknya ga bisa bahasa Inggris, batin saya. Ternyata benar, beliau tidak mengerti apa yang kami bicarakan, malah menjawab menggunakan bahasa Vietnam. Kami yang gantian menjadi bingung. Lalu saya mencoba menggunakan bahasa isyarat. Saya gerakkan kedua tangan menyerupai orang sholat. Beliau menunjukkan raut muka bertambah bingung. Saya dan teman-teman saling berpandangan. Lalu seorang teman mengeluarkan kertas dan menggambar gereja dengan simbol salib diatasnya lalu dia menambahkan dengan isyarat tangan yang ditelungkupkan didepan dada seperti sedang berdoa. Bapak ini tetap tidak mengerti. Kami akhirnya menyerah lalu mencoba mencari sendiri tempat yang bisa dibuat sholat. Setelah berkeliling kembali, akhirnya kami menemukan satu tempat yang (menurut kami) layak untuk sholat. Tempat itu seperti kuil kecil, dengan banyak dupa disalah satu sudutnya. Kami mengira pasti tempat tersebut sebagai tempat sembahyang orang-orang yang datang ke pulau tersebut. Lalu disinilah kami akhirnya sholat, anggap saja layak karena hanya tempat ini yang kosong. Saya dan teman-teman selalu tertawa sendiri kalau mengingat kejadian sholat dan kejadian menggunakan bahasa isyarat dengan bapak tersebut.

Sholat di kuil
Sholat di kuil

Lain kisah di Vietnam, lain pula kisah di Belanda. Pada saat hari pertama sekolah bahasa Belanda, seluruh calon siswa ditempatkan dalam satu ruangan besar. Hari itu agendanya adalah welcome party dan ujian umum. Saya duduk dengan seorang gadis cantik berambut pirang bertubuh tinggi semampai dengan raut muka mirip Christina Aguilera. Saya menebak mungkin dari Amerika. Saat jeda, saya mengajaknya berkenalan dengan menggunakan bahasa Inggris, maklum saat itu saya baru sedikit bisa berbicara menggunakan bahasa Belanda. Dia nampak kebingungan, tidak menjawab pertanyaan saya. Lalu dia ganti bertanya “Arabisch?” saya menggelengkan kepala. Sesungguhnya saya pernah belajar bahasa Arab saat sekolah Madrasah Ibtidaiyah, tapi itu sudah lama berlalu. Saya hanya ingat beberapa kata saja dan jika ada yang berbicara menggunakan bahasa Arab, mengertipun hanya sedikit.

Singkat cerita, akhirnya komunikasi dengan gadis tersebut sedikit terpecahkan menggunakan gambar dan bahasa isyarat. Saya lupa asalnya darimana, tapi dia hanya bisa berbahasa Perancis dan bahasa Arab. Sedangkan saya bisa bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Jadinya kami tidak nyambung dari segi bahasa. Tetapi kendala tersebut masih bisa teratasi dengan menggunakan bahasa isyarat tubuh dan bahasa gambar (atau simbol).

Banyak yang merasa tidak nyaman untuk melangkahkan kaki ke negara baru ataupun ke tempat baru karena kendala sesuatu yang berbeda dengan apa yang sudah menjadi kebiasaan sebelumnya. Berbeda bahasa ataupun berbeda kultur, bahkan yang menjadi sumber ketakutan adalah beda pergaulan. Memulai sesuatu dari awal, meninggalkan zona nyaman, mencari teman baru, belajar bahasa baru, adaptasi yang tidak mudah ataupun takut kehilangan teman. Tetapi jika kita sedikit lebih kreatif dan menggunakan segala kemampuan yang kita punya, sesungguhnya hal-hal yang kita takutkan tidak sepenuhnya akan jadi nyata. Contohnya : jika terkendala bahasa, toh kita masih bisa menggunakan bahasa isyarat atapun dengan bahasa tulisan atau simbol-simbol. Jika terkendala dengan makanan, toh kita masih bisa memasak sendiri. Tidak bisa memasak, artinya kita diberikan kesempatan oleh keadaan untuk belajar memasak. Banyak hal-hal yang bisa diatasi asal kita mau sedikit kreatif. Jika kita tidak mencoba menuju sesuatu yang baru, lalu bagaimana caranya kita mendapatkan pengetahuan yang baru dan mendapatkan pengalaman baru? waktu terus berjalan, apakah kita sudah cukup puas dengan keadaan yang sekarang?

Namun rupanya bahasa isyarat tidak sepenuhnya dianjurkan ketika kita dihadapkan pada keadaan yang melibatkan perasaan. Ada kalanya seseorang berharap jika mengirimkan sinyal-sinyal atau menggunakan bahasa isyarat, maka orang yang dituju akan mengerti dan menangkap sinyal tersebut. Jika dikaitkan dengan jenis kelamin, maka hal ini tidak bisa diterima oleh semua kalangan. Masih ada yang berpendapat kalau wanita tidak pantas untuk mengirimkan isyarat atau sinyal terlebih dahulu jika dia suka dengan seorang pria, tidak elok dan tidak pantas, mungkin begitu logikanya. Tapi jika tidak dikatakan secara terang dan jelas, bagaimana pria tersebut mengerti apa yang tersirat dan tersurat. Dengan mengatakan secara terus terang, toh kemungkinannya hanya dua : gayung bersambut atau perlahan mundur. Tapi setidaknya hati menjadi lega, daripada memendam perasaan tapi setiap hari selalu uring-uringan. Hidup hanya sekali, mengambil resiko terkadang harus dilakukan karena kita tidak tahu kapan kesempatan yang sama akan kembali datang.

Begitu juga diposisi sebaliknya. Jika seorang pria sedang menaruh hati pada wanita, lebih baik katakan secara jelas dan gamblang. Sudah tidak jamannya lagi memberi kode-kode yang tidak susah dimengerti dan malah membuat pusing dikemudian hari. Sudah tidak musimnya lagi tebak-tebak buah manggis. Memang benar bahwa semua butuh proses dan tidak bisa grasa grusu, tetapi ya jangan terlalu memakan waktu. Maka jangan salahkan jika si dia kemudian sudah menjadi milik yang lainnya, jika si pria memberi harapan yang tidak jelas dan menggantungkan keadaan terlalu lama.

Jadi, apakah ada hubungannya bahasa isyarat dan perasaan? tentu saja ada. Terkadang perasaan tidak cukup peka menterjemahkan bahasa isyarat yang didepan mata, pun logika tidak bisa diajak bekerjasama mentafsirkannya. Semacam algoritme yang susah dipahami alurnya. Jika berhubungan dengan hati, jangan suka menggantung atau digantung. Yang pasti-pasti saja karena yang pasti seringkali tetap membingungkan apalagi yang tidak pasti. Tetapi jika berbicara keadaan dua orang dewasa, ada beberapa hal yang memang tidak bisa diterapkan. Dua orang dewasa terkadang tidak ingin terlalu pelik dengan situasi. Asal hati sudah satu dimensi, maka yang paling diperlukan adalah saling mengerti, bukan lagi kata-kata yang mampu mereduksi arti.

Jadi, ada diposisi mana kamu sekarang? sedang menuju perubahan lebih baik, sedang digantung oleh seseorang, sedang menggantungkan seseorang, pernah pada dua situasi sebelumnya, atau sudah cukup puas dengan keadaan saat ini? Semua memang pilihan, dan hanya kita yang bisa merasakan keadaan seperti apa yang diperlukan.

-Den Haag, 6 Januari 2016-

Semua foto adalah dokumentasi pribadi