Bavaria Road Trip dan Kastil Neuschwanstein

Kastil dilihat dari atas jembatan

Akhir bulan Juni sampai akhir minggu pertama di bulan Juli 2018 kami melakukan perjalanan darat selama 12 jam dari tempat tinggal kami ke daerah Bavaria di Jerman (Jika ingin tahu lebih jelas tentang Bavaria, bisa dibaca di sini). Perjalanan darat yang saya maksud adalah dengan menggunakan mobil. Bisa dikatakan ini adalah liburan musim panas walaupun sebenarnya liburan ini dalam rangka merayakan ulang tahun suami. Kami berangkat hari minggu jam setengah tujuh pagi, waktu dimana para tetangga nampaknya masih tertidur dengan pulas. Hari sebelumnya, kami datang ke undangan ulang tahun anak seorang teman. Acaranya meriah dengan hidangan yang luar biasa enaknya (penting ini), maklum yang punya acara Ibunya orang Indonesia jadi bisa dipastikan makanan melimpah ruah. Kami pulang terlebih dulu setelah perut kenyang, tentu saja, dan tak lupa membungkus.

Memilih hari minggu untuk petualangan 12 jam naik mobil menuju Bavaria adalah pilihan tepat. Sepanjang perjalanan lancar, baru setelah Frankfurt jalan lumayan tersendat tetapi tidak sampai macet yang mengesalkan. Aman terkendali. Kami berhenti sebanyak 4 kali untuk makan siang, isi bensin, istirahat sejenak, dan ke toilet. Secara keseluruhan, perjalanan kami sangatlah lancar tanpa hambatan. Walaupun mobil yang kami sewa (kami memutuskan untuk tidak punya mobil sendiri sejak lama) tidak ada fasilitas AC, tapi hal tersebut tidak mengurangi riang gembira kami selama perjalanan, dengan konsekuensi jendela mobil dibuka. Kebayang dimusim panas yang sangat menyengat seperti saat ini, membuka jendela mobil sama saja terkena hawa panas dari luar. Tapi daripada pengap di dalam, hitung-hitung seperti road trip jaman dulu saat belum ada AC. Sebenarnya lama perjalanan kalau tidak pakai berhenti sama sekali hanya butuh waktu 8 jam. Tapi ya kan tidak mungkin kalau tidak berhenti. Maklum, tulang tidak muda lagi, butuh untuk diluruskan setelah duduk dalam waktu yang lama.

Selama 5 hari kami menginap di Munich atau München dalam bahasa Jerman. Munich adalah ibukota Bavaria. Karena liburan kali ini dalam rangka ulangtahun suami, maka seperti kebiasaan kami, semua yang mengurus adalah yang berulangtahun, termasuk hotel. Jadi saya tidak bertanya secara detail tentang hotel yang akan kami tempati. Yang saya dapatkan gambarannya adalah letaknya di pusat kota. Ternyata sesampainya di sana, ada saja kejadian diluar kuasa. Air di WC nya yang mengalir terus, beberapa kali menghubungi resepsionis dijawab akan segera diperbaiki yang nyatanya sampai akhir kami kembali ke Belanda tetap saja tanpa solusi. Walaupun bisa digunakan secara normal, tapi suara air lumayan terdengar sayup dimalam hari. Keluhan-keluhan lainnya bersifat minor, jadi ya anggap saja seni selama liburan.

BERKELILING di PUSAT KOTA MUNICH

Selama di Munich, kami jalan kaki mengelilingi pusat kotanya dan juga naik metro serta tram ke beberapa tempat yang agak jauh dari pusat kota. Kami mengunjungi Olympiapark yang menjadi tempat dilaksanakannya Olimpiade tahun 1972. Tempatnya sangat luas. Saking luasnya saya lebih memilih menunggu suami yang dengan semangatnya menelusuri hampir seluruh tempat ini, termasuk lapangan sepakbolanya.

Olympiapark dilihat dari atas bukit
Olympiapark dilihat dari atas bukit

Masih satu area dengan Olympiapark, ada museum BMW. Sayang waktu kami ke sana pada hari senin, museumnya tutup. Jadi yang bisa dilihat adalah galeri BMW nya. Saya tidak masuk, menunggu diluar duduk di rumput di bawah pohon.

BMW Welt (Foto oleh suami)
BMW Welt (Foto oleh suami)

Di Munich, saya sempat janjian untuk bertemu dengan Mbak Dian yang tahun kemarin saya datangi kota tempat tinggalnya yaitu Salzburg (ceritanya ada di sini). Selain itu, saya juga ketemu Mindy yang terakhir ketemu sewaktu di Berlin (ceritanya di sini). Foto kami ketemuan bersama tidak saya tampilkan di sini ya. Senang sekali bisa bertemu lagi dengan mereka berdua diantara jadwal liburan kami. Meskipun waktu bertemunya tidak lama, tapi pembicaraan kami seperti biasa sangatlah bermakna.

Munich
Munich
Munich
Munich
Munich
Munich
Munich
Munich

DACHAU

Salah satu tempat yang ingin dikunjungi suami adalah Dachau Concentration Camp Memorial Site. Sebenarnya saya tidak terlalu suka mengunjungi kamp konsentrasi karena selalu membuat saya sedih dan berpikir berkepanjangan setelahnya yang berujung kepala saya pusing. Entahlah, jika berhubungan dengan Hitler, hati dan pikiran saya tidak kuat membayangkan apa yang terjadi pada masa itu.

Dachau Concentration Camp Memorial Site
Dachau Concentration Camp Memorial Site

Benar saja, baru memasuki satu penjara, saya sudah tidak sanggup meneruskan ke seluruh area. Saya bilang suami, lebih baik kami menunggu di bawah pohon dekat pintu masuk sambil main-main di rumput. Sedangkan suami menyusuri seluruh areanya. Sekitar 2.5 jam kami di sana. Masuk ke sini, gratis.

Dachau Camp Concentration
Dachau Camp Concentration

Kastil Neuschwanstein

Salah satu tujuan utama kami adalah ke kastil Neuschwanstein. Sudah lama saya melihat dan membaca di internet tentang keindahan kastil ini. Apalagi melihat fotonya yang tampak megah dan menjulang dengan warna putihnya. Semakin penasaran ketika membaca blog Dixie menceritakan tentang kastil ini. Waktu itu saya berdoa semoga suatu saat berkesempatan ke sini. Musim panas tahun ini, kesampaian juga mengunjungi kastil yang menjadi sumber inspirasi Walt Disney untuk beberapa ceritanya. Kami membeli tiket online (saya sarankan membeli tiket secara online untuk menghindari antrian yang panjang apalagi saat musim liburan). Kami berangkat jam setengah tujuh pagi dari hotel karena perjalanan akan memakan waktu lebih dari 1.5 jam. Jam setengah sembilan pagi kami sudah sampai di parkiran lalu menuju loket untuk menukarkan tiket dalam bentuk fisik.

Ditiketnya akan tertera jam berapa kita bisa masuk ke dalam kastil. Jangan sampai telat ya karena kalau telat, tidak akan bisa masuk dan harus membeli tiket ulang. Lebih baik 15 menit sebelum waktunya, sudah menunggu didepat pintu masuk. Untuk menuju ke kastil ada dua cara. Jalan kaki menanjak selama kurang lebih 30 menit atau naik kereta kuda yang harus membayar jumlah pastinya saya tidak tahu. Kami memilih jalan kaki sambil menikmati hawa segar pagi hari dari hutan kanan dan kiri jalan. Jalan menanjak pun kami lalui dengan sesekali menyanyi dan bersenda gurau.

Jalan menuju kastil
Jalan menuju kastil

Sesampainya di halaman kastil, kami masih punya waktu satu jam untuk menunggu. Saya pergunakan waktu tersebut untuk foto sana sini. Beruntungnya saat itu cuaca sedang bersahabat, tidak terlalu terik maupun tidak hujan.

Pemandangan dari halaman kastil
Pemandangan dari halaman kastil

Selama tour di dalam kastil, akan ada pemandu yang menjelaskan semuanya. Saat pertama masuk, saya sangat deg-degan. Seperti ketika saat pertama kali saya akan melihat Menara Eiffel secara langsung. Karena selama ini saya hanya membaca dan melihat di internet tentang kastil Neuschwanstein lalu sekarang bisa menjejakkan kaki di dalamnya, rasanya benar-benar campur aduk. Luar biasa terharu. Dan benarlah seperti yang saya baca, kastil ini memang indah sekali. Selama di dalam, tidak diperbolehkan mengambil foto. Hanya di balkon selesai tour boleh memfoto area sekeliling kastil. Selama di dalam kastil, saya benar-benar terbengong dengan karya manusia yang luar biasa indah. Takjub. Dinding penuh lukisan, bahkan ada satu ruangan yang berisi lukisan angsa yang berjumlah ratusan atau ribuan saya lupa yang menginsipirasi film Frozen. Saya bersyukur diberi kesempatan ke tempat yang sejak lama saya ingin kunjungi dan pada akhirnya bisa mengunjungi bersama keluarga.

Pemandangan dari atas kastil
Pemandangan dari atas kastil
Pemandangan dari atas kastil
Pemandangan dari atas kastil
Dari jembatan di depan sana, bisa melihat kastil dengan sudut yang paling baik
Dari jembatan di depan sana, bisa melihat kastil dengan sudut yang paling baik

Untuk bisa memotret atau melihat kastil secara keseluruhan, bisa dilakukan di jembatan seberang kastil. Kita harus berjalan menanjak lagi, sekitar 10 menit. Untuk masuk ke jembatan inipun harus melewati penjaga supaya tidak terlalu banyak pengunjung di atas jembatan. Saran saya jika ingin mengunjungi kastil Neuschwanstein, datang lebih pagi lebih baik karena saat kami kembali ke parkiran mobil, antrian untuk bisa ke jembatan, mengular. Antrian di loket, mengular.

Jalan menanjak menuju jembatan
Jalan menanjak menuju jembatan
Kastil Neuschwanstein dilihat dari atas jembatan
Kastil Neuschwanstein dilihat dari atas jembatan
Kastil dilihat dari atas jembatan
Kastil Neuschwanstein dilihat dari atas jembatan

Saat turun menuju parkiran mobil, hujan datang. Kami berteduh di restoran karena memang sudah saatnya makan siang. Selesai makan, hujan masih saja turun. Kami lalu nekat berlari menerobos hujan melewati jalan yang berbeda saat kami datang. Kali ini kami memilih jalan di dalam hutan. Meskipun agak berkerikil dan licin, tapi meminimalkan terkena air hujan. Selesai juga menuntaskan rasa penasaran saya tentang Kastil Neuschwanstein. Pengalaman yang tidak pernah akan saya lupakan.

FüSSEN

Jika sudah sampai di Kastil Neuschwanstein, mampirlah ke Füssen. Kota kecil yang berjarak hanya 5 menit berkendara. Meskipun kota ini kecil, tetapi menyusuri kotanya seperti ada daya tarik sendiri yang susah dijelaskan. Sungai yang berwarna hijau, bangunan-bangunan yang berwarna warni, dan latar belakang pegunungan. Füssen tidak terlalu banyak dikunjungi oleh turis, bahkan pada musim liburan seperti saat musim panas. Füssen juga salah satu kota yang termasuk dalam Romantic Route di Jerman

Fussen
Fussen
Fussen
Fussen
Fussen
Fussen
Fussen
Fussen
Taman di Fussen
Taman di Fussen
Fussen
Fussen

 

TEGERNSEE

Tujuan terakhir kami adalah ke danau Tegernsee. Karena saat ke sana sedang mendung, rencana untuk naik kapal mengelilingi danau kami batalkan. Akhirnya kami berjalan kaki menyusuri setengah danau. Lumayan juga untuk melunturkan lemak makanan yang banyak selama liburan.

Tegernsee
Tegernsee

 

MAKANAN DI BAVARIA SELAMA LIBURAN

Beberapa foto di bawah ini adalah beberapa makanan (yang sempat saya abadikan) yang kami makan selama liburan, Jangan tanya namanya apa, karena saya tidak ingat sama sekali. Yang saya ingat adalah makanan yang kami beli di restoran halal, isinya sate ayam dan sate kambing. Selain makanan itu, saya tidak ingat. Yang penting masih dalam kategori bisa saya makan.

Makanan di Bavaria
Makanan di Bavaria
Makanan di Bavaria
Makanan di Bavaria
Makanan di Bavaria
Makanan di Bavaria
Makanan di Bavaria
Makanan di Bavaria
Makanan di Bavaria
Makanan di Bavaria

Begitulah cerita liburan dalam rangka ulangtahun suami dan juga liburan musim panas kami. Perjalanan kembali ke Belanda juga lancar jaya selama 12 jam meskipun panasnya luar biasa menyengat. Sesampainya di Belanda, kami langsung menuju ke Pempek Elysha, seperti biasa tempat yang pertama kami setelah kami liburan.

Langsung kalap di Pempek Elysha
Langsung kalap di Pempek Elysha

Semoga suami yang berulangtahun selalu diberikan kesehatan yang baik, umur yang berkah dan sehat serta bahagia bersama kami sekeluarga. Sampai membaca cerita liburan kami selanjutnya.

-Nootdorp, 20 Juli 2018-

Sehari Menjadi Turis di Edam, Volendam, dan Marken

Klompen yang sudah jadi

Saya kembali memeriksa isi tas dan memastikan tidak ada satu barangpun yang tertinggal, terutama dompet dan tiket kereta. Setelah berpamitan pada suami, kaki tergesa melangkah ke stasiun kereta dekat rumah. Saya berharap tidak tertinggal kereta karena tadi begitu sibuk menyiapkan beberapa pepes ikan asin peda dan sambel teri, pesanan dua orang teman. Ikan asin peda saya buat sendiri karena saat beli ikan di pasar ternyata jumlahnya terlalu banyak untuk dimakan sendiri, akhirnya saya punya ide kenapa tidak dibuat ikan asin saja, mumpung sinar matahari sedang berlimpah satu minggu ini pada bulan Agustus. Setelah menjadi ikan asin lalu saya buat pepes dan saya jual kepada dua orang teman yang sebelumnya sudah memesan sambal teri. Lumayan hasilnya bisa saya buat jalan-jalan. Aroma pepes dan sambel teri menguar dipangkuan saat saya sudah duduk di dalam kereta. Saya berharap aroma ini tidak sampai mengganggu penumpang lainnya. Cukup saya saja yang bisa menciumnya.

Setelah berganti kereta, saya mencari tempat duduk dekat jendela, tempat favorit. Masih jam delapan pagi dan aplikasi prakiraan cuaca mengatakan bahwa hari ini hujan tidak akan datang dan suhu berkisar 15 derajat. Untuk ukuran bulan Agustus, seharusnya suhu bisa lebih dari ini. Tapi dengan tidak hujan saja sudah lebih dari cukup, apalagi saya melihat semburat matahari. Bisa kacau rencana hari ini kalau sampai hujan turun. Melalui jendela kereta, saya menikmati suasana pagi sepanjang jalan. Sapi dan domba yang merumput, rumah-rumah mungil tertata rapi, area pertanian, gedung-gedung perkantoran, dan tak luput saya amati juga kegiatan penumpang yang di dalam kereta. Ada yang sibuk membaca buku, asyik mendengarkan musik, berbincang, dan ada yang menikmati sarapan paginya yaitu roti dan segelas kopi. Tiba-tiba saya kangen sarapan nasi pecel pakai peyek teri.

Jam 9 pagi, kereta sampai di Amsterdam Centraal. Saat kaki keluar dari kereta, kepala mulai menoleh ke kanan dan kiri, mencari sosok seorang teman. Ah, dia sudah berdiri di dekat papan pengumuman. Setelah berbincang sesaat, kami lalu bergegas ke kantor informasi turis (VVV) yang berada tepat di depan Stasiun Amsterdam. Ya, hari ini kami akan menjadi turis sehari dengan mengunjungi beberapa tempat tujuan favorit para turis kalau sedang berkunjung ke Belanda. Tempatnya tidak jauh dari Amsterdam. Dengan berbekal tiket bis terusan seharga €9 yang bisa dipakai selama 24 jam serta mempunyai fasilitas wifi gratis dan peta yang kami dapatkan dari VVV, kami akan mengunjungi tiga tempat yang menjadi bagian dari Waterland. Tempat yang akan kami kunjungi adalah Edam, Volendam, dan Marken. Sebenarnya tempat-tempat yang jadi bagian Waterland selain yang saya sebutkan tadi adalah Monickendam, Purmerend, Broek in Waterland, Middenbeemsteer, Graft-De Rijp, Hoorn, dan Landsmeer. Info lengkap tentang rute bus bisa dilihat langsung di website ini. Tiket bus selain bisa dibeli di kantor VVV, juga bisa dibeli online, dan dengan membeli langsung ke sopir di dalam bis. Tidak harus membeli tiket terusan jika memang tujuannya tidak mengunjungi semua tempat itu. Tapi kalau mengunjungi tiga tempat, seperti yang kami lakukan, lebih menghemat kalau membeli tiket terusan saja.

EDAM

Tentu saja saya sangat antusias dengan tujuan jalan-jalan kali ini. Saya sudah mengajak suami untuk mengunjungi beberapa tempat ini sejak setahun lalu, tapi dia nampak tidak antusias. Dia selalu beralasan kalau Volendam itu sangat ramai dengan turis. Tapi kan tidak afdol rasanya kalau saya tidak ikut berkunjung ke tempat yang menjadi daya tarik turis. Untung saja saya punya teman yang suka kelayapan juga, yang pernah saya ceritakan pada tulisan kunjungan ke Kinderdijk. Akhirnya kesampaian juga berkunjung ke Edam, Volendam, dan Marken. Bisa saja saya bepergian sendiri, tapi kalau ada teman yang sejiwa akan semakin seru.

Tujuan pertama kami adalah Edam. Kalau yang suka sekali dengan keju, pasti tidak asing dengan keju Edam. Ya, Edam adalah salah satu tempat penghasil keju di Belanda. Saya pernah menuliskan tempat lain penghasil keju di blog ini, yaitu Gouda. Edam adalah kota kecil yang ada sejak abad ke-12 saat petani dan nelayan mulai menetap di sepanjang sungai Ye. Kota kecil ini berkembang menjadi sebuah kota yang semakin makmur pada abad ke- 17. Kapal memainkan peranan yang penting dalam pertumbuhan ekonomi di Edam. Setelah membuat 33 kapal, Edam menghasilkan banyak kapal yang terkenal di dunia. Salah satunya adalah “Halve Man”, kapal milik orang Inggris Henry Hudson, yang berlayar pada tahun 1609 untuk mencari rute utara menuju Hindia Timur. Perjalanan yang sia-sia karena akhirnya dia berakhir di pulau Manhattan. Selain kapal, perdagangan juga memegang peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi di Edam. Amsterdam, Hoorn, Enkhuizen, dan Edam adalah kota-kota komersil yang penting di Belanda.

Edam
Edam
Edam
Edam
Edam
Edam
jajaran-rumah-di-edam
jajaran-rumah-di-edam

Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, asosiasi kata yang langsung muncul di kepala saat disebutkan Edam adalah keju. Selama berabad-abad keju Edam sudah tersohor di seluruh dunia. Edam juga terkenal dengan pasar keju yang ada setiap musim panas, setiap hari rabu. Pada saat kami ke sana, ada jadwal tambahan pasar keju. Sayangnya pasar keju tersebut baru dimulai jam 5 sore, jadi kami tidak bisa menyaksikan. Kami masuk ke salah satu toko keju dan saya memutuskan untuk membeli keju rasa pesto, oleh-oleh untuk suami. Sedangkan teman saya selain membeli keju rasa pesto juga membeli rasa yang lainnya. Dia mencoba contoh-contoh keju yang disediakan, menurutnya yang rasa daging asap juga enak, ada yang rasa cabai juga.

Edam
Edam
Tempat Pasar Keju
Tempat Pasar Keju
Timbangan Keju
Timbangan Keju
De Kaasdragers
De Kaasdragers

Kami bisa membayangkan bagaimana keadaan Edam berabad-abad lalu. Menyusuri rumah-rumah dan jalan-jalan tua di Edam, melewati sungai-sungai kecil, berhenti di depan gereja yang merupakan salah satu gereja terbesar di Belanda dan singgah ke beberapa toko yang ada hanya sekedar melihat saja, membuat waktu tak terasa berjalan cepat. Hampir dua jam kami habiskan di Edam. Tidak terlalu banyak turis yang berkunjung, jalanan tidak terlalu ramai, sehingga kami bisa menikmati Edam dengan leluasa.

Edam
Edam
Ngaso sejenak, nunggu tukang jualan tahu tek lewat :D
Ngaso sejenak, nunggu gerobak abang nasi goreng lewat 😀

VOLENDAM

Setelah dari Edam, kami melanjutkan perjalanan ke Volendam. Dari kota kecil yang tidak terlalu ramai, tiba di Volendam suasana langsung berubah, kontras berbeda. Volendam sangat terkenal di kalangan turis, sepertinya semua turis dari penjuru dunia tumplek blek di sini. Rame sekali. Tidak mengherankan karena ada yang mengatakan bahwa jika ingin melihat keindahan Belanda, pergilah ke Volendam. Desa nelayan ini terletak arah timur laut dari Amsterdam, terkenal dengan rumah berwarna warni dan kapal-kapal tua yang bersandar di pelabuhan. Selain itu, di Volendam juga ada pabrik keju. Kita bisa masuk dan melihat proses pengolahan keju, membeli hasil keju, atau masuk ke museum keju. Volendam ini adalah tempat favorit yang nampaknya wajib dikunjungi oleh turis dari Indonesia. Namun hari itu kami tidak bertemu satupun orang Indonesia.

Volendam
Volendam
Ramainya Volendam
Ramainya Volendam
Volendam
Volendam
Jajaran kapal tua, mengingatkan akan Sunda Kelapa
Jajaran kapal tua, mengingatkan akan Sunda Kelapa
Pabrik keju Volendam
Pabrik keju Volendam
Museum
Museum

Keju beraneka rasa di pabrik keju Volendam
Keju beraneka rasa di pabrik keju Volendam

Hal lainnya yang terkenal dari Volendam adalah pakaian tradisional Belanda. Kita bisa mengenakan pakaian tradisional Belanda lengkap dengan klompen serta latar belakang negeri Belanda dan mengabadikannya dalam foto di banyak studio foto di Volendam. Kami masuk ke salah satu studio foto dan melihat kisaran harganya. Salah satu pegawainya mengenali kalau kami berasal dari Indonesia. Dia lalu mengatakan bahwa 70% pengunjung studionya adalah orang Indonesia. Saya tidak bertanya lebih lanjut 70% tersebut dari total berapa pengunjung selama rentang waktu berapa lama. Tetapi dengan melihat beberapa wajah yang saya kenali lewat televisi terpampang di etalase semua studio foto, semakin meyakinkan saya bahwa Volendam memang salah satu tempat wajib dikunjungi oleh turis dari Indonesia. Teman saya sampai terbahak ketika melihat wajah Maya Rumantir dan bertanya tahun berapa foto tersebut sudah ada di sana karena wajah Maya Rumantir masih sangat muda. Dengan membayar €15 untuk satu kali jepret dengan ukuran standar (saya lupa berapa), maka kita sudah punya bukti pernah ke Volendam. Bagaimana dengan kami? Mungkin lain kali kami akan kembali ke Volendam, khusus untuk foto dengan pakaian tradisional Belanda.

Salah satu studio foto di Volendam
Salah satu studio foto di Volendam
Ada wajah yang dikenali?
Ada wajah yang dikenali?
Mungkin karena banyaknya turis Indonesia di Volendam, sampai dibuat tanda dalam bahasa Indonesia
Mungkin karena banyaknya turis Indonesia di Volendam, sampai dibuat tanda dalam bahasa Indonesia

Jadi, jangan lupa kalau ke Volendam untuk foto mengenakan pakaian tradisional Belanda, biar dikatakan sah pergi ke Belanda.

MARKEN

Kami menuju Marken menggunakan kapal dengan membayar €7.5 untuk sekali jalan dan tiketnya bisa langsung beli di tempat. Jika memilih pulang pergi maka harga kapal menjadi €9.95. Kami memilih untuk membeli tiket kapal sekali jalan karena kami tidak akan kembali lagi ke Volendam dan setelah dari Marken akan menggunakan Bus untuk melanjutkan perjalanan karena masih punya tiket terusan. Kapal berangkat setiap 30 menit. Jika ingin pergi menggunakan Bus dari Volendam ke Marken, juga bisa. Karena cuaca mendung dan angin lumayan kencang, saya menggigil kedinginan selama perjalanan 20 menit menuju Marken, ditambah lagi saya tidak membawa jaket. Bersyukurnya di tengah jalan tidak hujan.

Tempat kapal menuju ke Marken
Tempat kapal menuju ke Marken
Marken
Marken
Marken
Marken

Dari hiruk pikuk Volendam, sesampainya di Marken suasana kembali sunyi. Marken tidak terlalu banyak dikunjungi turis. Marken adalah sebuah desa bagian dari wilayah Waterland dengan jumlah penduduk 1.810 pada tahun 2012. Marken membentuk sebuah semenanjung di Markermeer dan sebelumnya sebuah pulau di Zuiderzee. Marken dipisahkan dari daratan setelah mengalami gelombang badai pada abad ke-13. Dulu mata pencaharian utama penduduk Marken adalah nelayan, sedangkan saat ini juga ditunjang dari sektor pariwisata. Dulu banjir kerap datang ke Marken, karenanya tipe rumah di Marken adalah rumah panggung. Kita akan menemui banyak jembatan di Marken dan uniknya jembatan-jembatan ini diberi nama dari nama-nama anggota keluarga kerajaan seperti Maxima, Beatrix, Amalia, dll.

Marken
Marken
Marken
Marken
Marken
Marken
Jembatan-jembatan di Marken diberi nama anggota keluarga kerajaan
Jembatan-jembatan di Marken diberi nama anggota keluarga kerajaan

Suasana di Marken sangat tenang. Menyusuri setiap sudutnya, mata dimanjakan oleh tata letak rumah yang sangat rapi dan berwarna nyaris seragam yaitu hijau. Saking sepinya Marken, saya sampai bilang tidak mungkin ada orang Indonesia yang tinggal di sini. Ternyata dugaan saya salah besar. Dari salah satu rumah, saya mendengar ada yang berbicara menggunakan Bahasa Indonesia (dengan logat Jawa). Ketika kami mengintip dari sela-sela pagarnya ternyata memang ada beberapa orang Indonesia di sana. Kami sampai mengikik, tidak menyangka ada orang Indonesia yang tinggal di Marken.

Marken
Marken
Toko dan tempat pembuatan klompen
Toko dan tempat pembuatan klompen
Tempat pembuatan klompen
Tempat pembuatan klompen. Yang diatas itu klompen yang sudah dibentuk tetapi belum dipercantik.

Jika berkesempatan mengunjungi Marken, jangan lewatkan untuk mampir ke tempat pembuatan klompen. Selain bisa menyaksikan langsung bagaimana klompen dibuat, kita juga bisa langsung membeli klompen dengan berbagai ukuran dan beraneka rupa warna. Selain sebagai oleh-oleh, klompen yang berada di sana juga bisa digunakan sebagaimana fungsi klompen yaitu sebagai alas kaki. Sayang sewaktu kami ke sana, proses pembuatannya sedang tidak berlangsung. Saya mengincar klompen kecil, rasanya ingin kalap membeli kalau tidak ingat harganya yang sudah disesuaikan dengan harga turis.

Klompen yang sudah jadi
Klompen-klompen yang sudah jadi

Perjalanan kami menyusuri Edam, Volendam, dan Marken berakhir saat jam menunjukkan angka lima disore hari. Perjalanan yang menyenangkan karena akhirnya tahu tempat-tempat yang menjadi favorit turis jika datang ke Belanda. Sehari menjadi turis di tempat yang turistik. Kami bergegas menuju halte bus yang akan membawa kami menuju ke Amsterdam Centraal. Sepanjang jalan perut kami keruyukan mencium aroma pepes dan sambal teri. Ingin segera rasanya sampai di rumah seorang teman yang sudah siap menyambut kedatangan kami dengan beraneka ragam masakan Indonesia. Sabtu kami ditutup dengan perbincangan dan gelak tawa sembari menikmati hangatnya nasi, tempe tahu goreng, balado terong, sambel terasi, ikan goreng, dan oseng ikan asin.

Marken
Marken

Jika suatu saat ada kesempatan ke Belanda, kalian ingin berkunjung kemana?

Sumber : Edam , Marken , Volendam

-Den Haag, 2 November 2016-

Semua foto dokumentasi pribadi

Menyusuri Giethoorn – Desa Unik di Belanda

Ini tulisan yang tertunda untuk diposting. Menjelang hari ulang tahun akhir Maret 2015, Suami terus-terusan bertanya ulang tahun maunya apa, dirayakan dimana, dan mau hadiah apa. Saya sebenarnya ingin ini itu (ngelunjak), tapi waktu itu suasana masih berduka setelah Papa meninggal, akhirnya saya memutuskan seminggu sebelum ulang tahun ingin pergi jalan-jalan yang dekat saja, sekalian untuk menghibur suami juga, dan tidak enak rasanya kalau ingin makan-makan dengan keluarga besar karena masih dalam suasana berduka.

Ketika masih di Surabaya, saya pernah melihat beberapa kali postingan di Instagram tentang desa seperti di Venice-Italia (Saya melihat dimajalah dan TV) yang banyak jembatan dan perahunya, yang ada di Belanda. Saya bertanya ke Suami apakah tempatnya jauh, karena ingin pergi kesana. Kata suami tidak terlalu jauh, 2 jam naik mobil dari Den Haag. Akhirnya diputuskan Jumat malam 26 Maret 2015 berangkat dengan menyewa mobil, karena mobil Suami rusak dan berencana dijual juga 😀 *sekalian iklan. Suami sudah reservasi Bed&Breakfast. Setelah menempuh 2 jam perjalanan, ditambah berhenti sebentar untuk istirahat, akhirnya kami sampai ke Steenwijk, berputar mencari alamat rumahnya ternyata belum ketemu juga. Singkat cerita kami memutuskan untuk menginap dihotel saja karena Suami juga mendapatkan email dari pemilik rumah kalau kami terlalu malam sampainya sehingga tidak bisa lagi untuk check in.

Akhirnya kami menginap di Hotel De Harmonie. Harga semalamnya 97 euro sudah termasuk sarapan. Kamarnya bersih, rapi, dan pelayanan dihotel lumayan bagus. Keesokan harinya kami bangun pagi karena melihat matahari lumayan bersinar terang. Cepat-cepat kami berjalan kaki ke desanya, hanya sekitar 10 menit dari hotel. Jadi Giethoorn ini terletak di Steenwijk, Overijssel. Konon katanya kalau saya membaca dari beberapa artikel, Giethoorn yang dikenal dengan Venice-nya Belanda ini mempunyai 180 jembatan dan rumah-rumah yang unik. Tetapi hati-hati kalau terlalu asyik foto-foto dan tidak memperhatikan tanda, bisa kesasar ke halaman rumah orang karena beberapa rumah ada tanda didepan pintunya tidak ingin dikunjungi.

Karena akhir Maret cuaca masih tidak menentu, maka kami juga tidak menaruh harapan tinggi cuaca akan terang sepanjang hari. Diatas jam 10 pagi, mendung mulai pekat dan tidak berapa lama hujan turun dengan suhu 5 derajat celcius, dingin sekali. Jadi kami berjalan kaki sepanjang desa dengan menggunakan payung. Kami juga tidak mencoba jasa perahu yang harganya 15 euro per 55 menit karena sudah bisa menyusuri sepanjang desa dengan berjalan kaki. Kalau cuaca cerah dan langitnya bagus, mungkin kami akan menyewa perahu agar bisa menyusuri danaunya juga. Kesan yang saya dapat setelah menyusuri Giethoorn : menyenangkan karena sepi (mungkin karena belum musim liburan sehingga tidak banyak turis. Saya membayangkan kalau musim panas pasti ramai sekali desa ini oleh turis), dan rumah-rumahnya juga unik dengan warna warni dan bentuknya yang bagus. Suami sempat berujar kalau rumah-rumah yang ada di Giethoorn mengingatkan pada cerita dongeng-dongeng. Dan satu lagi, sewaktu berjalan kaki sepanjang Giethoorn, saya merasa suasananya romantis, cocok untuk tempat bulan madu, atau pacaran dengan suami. Saya sempat bilang ke Suami pada saat berjalan “Saya kok merasa makin jatuh cinta ya sama kamu disini,” dan suamipun hidungnya kembang kempis :p.

Selamat berakhir pekan bersama keluarga, pasangan, dan teman-teman tersayang

-Den Haag, 17 April 2015-

Semua foto adalah dokumentasi pribadi

Giethoorn

        

 

Bentuk rumah yang unik

       

   

        

Turis yang naik perahu dan kehujanan menggunakan payung. Padahal hujan deras dan dingin sekali.

Perihal Pindah (Lagi)

Hidup berpindah bukan hal baru lagi buat saya. Sejak umur 15 tahun saya sudah merantau. Lulus SMP di Situbondo saya memutuskan ingin melanjutkan sekolah di Surabaya. Orangtua menyetujui. Walhasil sejak umur 15 tahun saya sudah menjadi anak rantau, tinggal di rumah kos, hidup mandiri demi cita-cita melanjutkan pendidikan di SMA favorit di Surabaya. Selama 10 tahun setelahnya saya habiskan waktu di kota yang sama. Melanjutkan kuliah dan bekerja di salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia. Selama kurun waktu tersebut, tercatat saya pindah 4 kali tempat kos. Pada tahun ke 10, saya merasa saatnya untuk pindah kota. Menetap di satu tempat yang sama dalam jangka waktu yang lama membuat saya terlalu merasa nyaman, malas bergerak, dan menjadi tidak peka untuk berbuat lebih dari yang sudah ada. Awalnya saya diliputi rasa cemas harus memulai segala sesuatunya dari awal. Mengenal kota yang baru, teman baru, lingkungan baru. Segala sesuatunya baru. Tetapi jika tidak memutuskan pindah, saya merasa hidup tidak ada tantangan. Bukankah manusia pada dasarnya melakukan perpindahan untuk kelangsungan hidupnya. Saya juga ingin hidup tetap berlangsung, tapi dengan keadaan yang berbeda, tidak melulu itu itu saja.

Akhirnya saya diterima kerja di Jakarta. Tidak tanggung-tanggung kantor tempat saya bekerja adalah perusahaan asing. Gegar budaya tentu saja saya alami. Bermodalkan nekad, saya seperti ingin menantang diri sendiri untuk bekerja di perusahaan tersebut. Bagaimana tidak, Bahasa Inggris saja minim sekali, pas-pasan, bahkan nyaris tidak bisa berkomunikasi. Pasti Tuhan sedang bercanda, pada saat itu pikir saya. Satu tim dengan orang-orang asing, bosnya pun orang asing, dan sehari-hari komunikasi dipaksa untuk menggunakan Bahasa Inggris. Laporan serta presentasi pun dalam Bahasa Inggris. Saya yang awalnya hampir menyerah karena nyaris tidak bisa mengikuti ritme kerja mereka, serta terkendala bahasa, pada akhirnya mampu mengimbangi. Saya berpikir lagi tujuan pindah ke Jakarta apa. Saya memotivasi diri sendiri sambil terus berusaha keras belajar untuk bisa membuktikan bahwa saya mampu dan bisa lebih dari yang mereka kira. Bersyukur, pelan-pelan tapi pasti hampir tiap tahun mendapatkan promosi jabatan. Dari awalnya posisi paling bawah, pelan-pelan bisa naik sampai pada posisi yang saya targetkan. Dari anak kampung yang awalnya belepotan berbicara dan menulis dalam Bahasa Inggris, dengan kerja keras dan semangat ingin maju, saya bisa selangkah lebih pada yang dituju. Pada akhirnya saya berterima kasih pada diri sendiri bahwa dulu memutuskan pindah. Berpindah memberikan saya waktu untuk bergerak maju, tidak membiasakan diri untuk diam karena bisa belajar banyak hal baru. Pindah itu seperti mencari ilmu.

Enam tahun di Jakarta, berkarir pada satu tempat yang sama kembali membuat saya gelisah. Sudah saatnya harus kembali pindah. Saya merasa ditempat itu tidak terlalu memberikan tantangan lagi. Saya kembali mencari alasan untuk keluar dari zona nyaman. Kuliah, ya itu sepertinya jawaban yang tepat. Momennya juga tepat. Akhirnya saya kembali mengemas barang, pindah ke kota yang lama pernah saya singgahi, Surabaya. Kenapa harus Surabaya? Karena saya sudah jatuh cinta dengan kota ini, terutama makanan dan orang-orangnya. Lain waktu saya akan bercerita tentang Surabaya. Saya sangat antusias ketika menyadari bahwa pindah kali ini adalah untuk menuntut ilmu. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Surabaya kembali, saya ingat betul pernah berujar dalam hati “Pindah kali inipun bersifat sementara. Setelah kuliah ini selesai, saya ingin tinggal diluar Indonesia. Entah dimana, tapi saya harus bertualang jauh dari negeri ini. Saya ingin seperti busur panah yang kali ini dalam tahap ditarik pemanahnya, disuatu saat nanti akan dilepas, meluncur jauh dari titik semula

“Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman.
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan.
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang”

-Imam Syafi’i-

Dan apa yang saya ucapkan pada waktu itu, 2.5 tahun lalu, saat ini terjadi. Saya akan pindah lagi, jauh dari Negeri sendiri, merantau mengadu nasib di Negara orang. Saya akan mencoba peruntungan, mencari penghidupan dan kembali berburu ilmu disamping menjalankan peran sebagai seorang istri. Beradaptasi bukan perkara yang kecil. Tapi dengan pengalaman yang sudah saya lewati sebagai perantau, saya yakin bahwa semua akan teratasi, perlahan tapi pasti.

Karena pindah kali ini jaraknya sangat jauh, lintas benua, maka pengalaman mengemas barang juga berbeda. Banyak barang yang harus saya relakan untuk dihibahkan. Contohnya buku-buku yang sedikit demi sedikit saya kumpulkan, karena dulu niatnya ingin mempunyai taman baca, akhirnya dengan berat hati saya hibahkan untuk taman baca milik teman. Baru menyadari ternyata buku yang saya kumpulkan selama ini mencapai 300an buku. Semoga mereka menemukan pemilik yang akan selalu menyayangi dan merawat penuh kasih. Proses Packing ini pun memakan waktu lama. Saya harus memilih satu persatu barang yang harus dibawa, barang yang harus dibuang, ataupun barang yang harus diberikan pada orang supaya tetap bermanfaat. Seperti sebuah kenangan, ada yang harus disimpan, ada yang harus dibuang. Begitu juga barang. Pindah juga mengajarkan keikhlasan. Merelakan barang kesayangan berpindah tangan.

Pindah juga artinya berpisah dengan orang-orang tersayang. Keluarga, teman, dan handai taulan. Proses berpamitan pun dilakukan, untuk mengabarkan bahwa saya tidak akan bisa mereka temui lagi dalam kurun waktu tertentu. Meskipun tidak bisa bertemu secara fisik, namun dengan kemajuan teknologi, tentu saja berkirim pesan bukan hal yang jauh dari jangkauan . Semua tetap menjadi mungkin untuk saling menjaga silaturahmi.

Dalam hitungan jam, sekarang saya siap untuk terbang. Pergi ke tempat baru, lingkungan baru, bersiap mendapatkan kenalan baru, pengalaman baru, dan keluarga baru.

Pindah selalu menimbulkan sensasi yang luar biasa meskipun melewatinya tidak selalu mudah. Pindah kali ini berbeda karena menuju Suami tercinta.

Punya cerita seputar pindah?

 -Surabaya, 29 Januari 2015-

Gambar Cover dari sini

Makan siang sampai malam bersama teman-teman kerja sewaktu di Jakarta. 8 tahun pertemanan, dari awal berkarir sampai sekarang mereka sudah dijabatan Top Manajemen semua. Proud of you girls
Makan siang sampai malam bersama teman-teman kerja sewaktu di Jakarta. 8 tahun pertemanan, dari awal berkarir sampai sekarang mereka sudah dijabatan Top Manajemen semua. Proud of you girls
Makan malam bersama teman-teman kuliah yang tinggal di Jakarta. 16 tahun tahun pertemanan. Selalu saling silaturahmi ya Teman :)
Makan malam bersama teman-teman kuliah Statistika yang tinggal di Jakarta. 16 tahun tahun pertemanan. Selalu saling silaturahmi ya Teman 🙂
Makan siang bareng teman-teman kuliah yang di Surabaya sambil belajar membuat Bento. Pertemanan 16 tahun. Awet dengan segala hiruk pikuknya :)
Makan siang bareng teman-teman kuliah Statistika yang di Surabaya sambil belajar membuat Bento. Pertemanan 16 tahun. Awet dengan segala hiruk pikuknya 🙂
Makan malam bersama teman-teman kuliah Teknik Industri dan Statistika. Kalian pasti akan selalu kurindukan :)
Makan malam bersama teman-teman kuliah Teknik Industri dan Statistika. Kalian pasti akan selalu kurindukan 🙂

 

Meskipun saat itu Surabaya sedang hujan sangat deras dan banjir dimana-mana, mereka tetap menyempatkan datang. Terharu ^^
Meskipun saat itu Surabaya sedang hujan sangat deras dan banjir dimana-mana, mereka tetap menyempatkan datang. Terharu ^^
Pilah Pilih berkas berkas
Pilah Pilih berkas berkas
Buku-Buku yang harus rela dihibahkan. Sedih sebenarnya
Buku-Buku yang harus rela dihibahkan. Sedih sebenarnya
Bertahun-tahun mengumpulkan sedikit demi sedikit. Mudah-mudahan berguna buat Rumah Baca Srikandi
Bertahun-tahun mengumpulkan sedikit demi sedikit. Mudah-mudahan berguna buat Rumah Baca Srikandi
Packing baju yang digulung membuat banyak tempat kosong dan muat banyak
Packing baju yang digulung membuat banyak tempat kosong dan muat banyak
Taraaa!! 2 tas siap diangkut
Taraaa!! 2 tas siap diangkut
Akhir dari perjuangan selama ini, dan awal dari perjuangan lainnya. Semoga kamu "laku" ya Nak di Negara orang :)
Akhir dari perjuangan selama ini, dan awal dari perjuangan lainnya. Semoga kamu “laku” ya Nak di Negara orang 🙂
Narsis sesaat. Selama kuliah belum pernah foto disini :)
Narsis sesaat. Selama kuliah belum pernah foto disini 🙂
Siap menuju Belanda. Yiaayy!!
Siap menuju Belanda. Yiaayy!!

The Documentary of Jakarta 2014

Video dibawah adalah lanjutan tulisan Mas E tentang Jakarta, One Week In Java (Day 1, Jakarta), yang kami kunjungi akhir Agustus 2014. Mas E saat ini sedang sibuk mengerjakan paper kuliah dan tugas pekerjaannya juga banyak. Jadi saya yang disuruh menulis ini. Mungkin nanti ada tambahan dari Mas E.

Tujuan utama kami ke Jakarta sebenarnya mempunyai misi khusus, yaitu menelusuri jejak keluarga Mas E di daerah Menteng. Jadi, Kakek Mas E, orang Belanda, dulu sewaktu masa pendudukan Belanda (Sebelum tahun 1945, Ibu Mertua lupa tepatnya rentang waktunya) bekerja sebagai Engineering di Pelabuhan Sunda Kelapa. Mereka tinggal di Jalan Surabaya No.40 dan No.12. Menteng, Jakarta. Pada masa itu, Jalan Surabaya masih belum ada Pasar Antik, karena Pasar ini mulai ada sekitar awal tahun 70-an. Karenanya, begitu Mas E bilang kalau sekarang di Jalan Surabaya terkenal dengan Pasar Barang Antik, Ma (panggilan saya ke Ibu Mertua) kaget. Karena pada waktu Ma masih disana pasar antiknya belum ada.

Ma lahir tahun 1937 dan tinggal di Indonesia sampai umur 15 tahun sebelum kembali ke Belanda pada tahun 1953. Karena sejak kecil sampai remaja tinggal di Jakarta, Ma sampai sekarang masih bisa sedikit Bahasa Indonesia. Beberapa kali sepatah-sepatah masih bisa bercakap dengan saya dalam Bahasa Indonesia. Dan sejak mengetahui kalau anak lelakinya akan menikahi wanita Indonesia, Ma seperti bernostalgia dengan masa kecilnya di Jakarta

Kami terkejut ketika menemukan rumah Ma sekarang menjadi Penginapan milik Mabes TNI yang bernama Wisma Wira Anggini I (No. 40). Sedangkan No. 12 masih berbentuk rumah biasa. Memang benar, dulu ketika Kakek Mas E meninggalkan Indonesia, semua aset harus dijual karena menurut Ma, ketentuan dari pemerintah Indonesia ada dua untuk warganegara Belanda setelah Indonesia merdeka. Kalau ingin tetap tinggal di Indonesia, maka harus berganti warganegara menjadi Indonesia, atau jika ingin kembali ke Belanda, harus menjual segala aset yang dimiliki kepada negara. Kakek Mas E memilih yang kedua. Dibawah ini adalah foto-foto yang masih disimpan Ma

Rumah Ma, Jalan Surabaya No.40 Menteng pada waktu itu
Rumah Keluarga Ma, Jalan Surabaya No.40 (atas) dan No.12  (bawah) Menteng pada waktu itu
Jembatan didepan rumah, yang saat ini letaknya dibelakang Pasar Antik. Dan sampai saat ini masih ada, bentuknya masih seperti aslinya. Yang difoto itu Ma
Jembatan didepan rumah, yang saat ini letaknya dibelakang Pasar Antik. Dan sampai saat ini masih ada, bentuknya masih seperti aslinya. Gadis kecil difoto itu Ma
Jalan Surabaya No. 40
Jalan Surabaya No. 40 sekarang menjadi Wisma Milik Mabes TNI

Ternyata Mas E memang sudah mempunyai keterikatan sejarah dan emosi dengan Indonesia sejak dulu. Pantas saja memilih wanita Indonesia untuk jadi istrinya *halaahh, informasi ga penting 😀

Nah, setelah misi selesai terlaksanakan, maka saatnya Mas E menikmati suasana Jakarta. Seperti yang sudah diceritakan Mas E sebelumnya, kami keliling Jakarta mengunakan Trans Jkt, Bis Tour City of Jakarta, KRL, bahkan naik angkot. Mas E mendokumentasikan perjalanannya selama di Jakarta dalam video singkat dibawah ini.

Ada cerita lucu dibalik pembuatan video ini. Jadi, di kantor Mas E punya kebiasaan kalau dalam satu team ada yang baru pulang liburan, wajib share pengalaman dan ceritanya pada saat jam makan siang. Pada 9 Desember 2014 kemarin, giliran Mas E yang harus berbagi cerita. Lalu Mas E membuat kompilasi beberapa foto dan Video singkat tentang beberapa tempat yang kami kunjungi selama Mas E sebulan di Indonesia, salah satunya Video tentang Jakarta ini. Nah Mas E bertanya, kira-kira makan siang menunya apa ya yang khas Indonesia. Trus saya ingat ada Restoran Padang Salero Minang yang tempatnya tidak terlalu jauh dari kantor dan bisa delivery order. Karena Mas E pernah makan Nasi Padang sewaktu di Indonesia dan senang sekali dengan yang namanya Rendang, akhirnya pesanlah ke Salero Minang untuk makan siang. Menunya Nasi Rames. Kebetulan satu teamnya (7 orang yang semuanya asli Belanda) belum pernah ada yang makan nasi padang. Ternyata ludes, mereka suka sekali dengan Rendang, si bintang utama. Bahkan minta Mas E alamat Salero Minang. Mau makan disana kata mereka. Ah senang sekali saya bisa memperkenalkan masakan Indonesia ke mereka 🙂

Nasi Rames Salero Minang. Harganya 12.5 Euro lengkap dengan Sate Ayam, Rendang, Nasi, Dan sayur Mayur
Nasi Rames Salero Minang. Harganya 12.5 Euro lengkap dengan Sate Ayam, Rendang, Nasi, Dan sayur Mayur

Kemudian Mas E bertanya pada saya, kira-kira lagu apa ya yang cocok dijadikan backsound video singkat ini. Dia menanyakan lagu yang sering diputer adik saya dirumah. Saya bilang itu lagu dangdut, saya tidak tahu karena saya bukan penikmat lagu dangdut. Lalu dia minta saya mencarikan lagu yang temponya cepat. Karena saya suka Sujiwotejo, saya rekomendasikan lagu Nadian. Saya suka lagu ini (meskipun tidak terlalu mengerti artinya) karena dinyanyikan tanpa alat musik. Keren!. Mas E bilang ok, akan memakai lagu ini. Tiba-tiba pagi ini saya membuka video dari youtube yang dia share di Twitter. Tawa saya langsung meledak sepanjang durasi, karena ternyata Nadian berubah jadi Bara Bere yang dinyanyikan Siti Badriyah. Kok yaaa jauh sekali menyimpangnya hahaha. Pantas malam sebelumnya Mas E bertanya ke saya apakah mengetahui lagu Indonesia berjudul Bara Bere? Saya menjawab pernah mendengar, tapi tidak tahu siapa penyanyinya, yang pasti saya tahu kalau itu lagu dangdut. Mas E bilang suka dengan musiknya. Ternyata lagu ini yang dipasang jadi backsound. Duh Mas! Ngerti opo ga isi lagu iki artine opo hahaha. Dan saya baru sadar, Mas E ini ternyata suka sekali dengan lagu Dangdut 😀

Silahkan menikmati Video singkat yang telah dibuat oleh Mas E tentang Jakarta dengan iringan lagu dangdut Bara Bere 🙂

-Surabaya, 10 Desember 2014-

Catatan Perjalanan – Karimunjawa

Ada bentangan pantai berpasir putih di sini dengan beragam fauna yang menakjubkan, juga hutan mangrove dan hutan tropis dataran rendah yang menyajikan pemandangan menyejukan mata.

Wonderful Indonesia

Masih dalam rangkaian jalan-jalan sebulan dari Bali dan seluruh Jawa, kali ini episode Karimunjawa. Tulisan kali ini agak panjang, jadi sabar ya membacanya. Karena pengalaman di Karimunjawa sangat sayang untuk tidak ditulis semua.

Sebelum dengan suami, saya sudah pernah ke Kepulauan Karimunjawa sebelumnya, tahun 2009, backpacker-an berenam dari Jakarta. Saat itu, Karimunjawa belum terlalu ramai seperti saat ini.

Karimunjawa adalah gugusan pulau yang sangat indah dengan hamparan pasir putih menawan, meliputi 27 pulau dalam 1 kecamatan dan terbagi dalam 3 desa. Luas tempat indah ini adalah 107.225 ha, sebagian besar wilayahnya berupa lautan (100.105 ha) sementara sisanya adalah daratan seluas 7.120 ha. Karimunjawa dijuluki Perawan Jawa, sebuah inisial yang merujuk pada perairannya begitu bening sehingga sebuah koin yang jatuh ke dalamnya akan dengan mudah ditemukan karena kejernihannya (Wonderful Indonesia)

Tidaklah susah menuju Karimunjawa. Ada dua cara melalui Jepara atau Semarang. Kalau bertanya lewat Google, maka informasi kapal menuju Karimunjawa akan sangat gampang ditemukan. Dan, tidak setiap hari ada kapal menuju pulau ini. Jadi rajin-rajin update karena jadwal bisa berubah mendadak karena kondisi cuaca, seperti yang kami alami waktu itu.

Karena sebelumnya saya menyeberang melalui Semarang, maka kali ini saya ingin merasakan melalui Jepara. Penyeberangan melalui Jepara ini dibumbui oleh drama-drama dan kejutan-kejutan. Segala informasi saya cari di google. Saya sudah memesan tiket Express Bahari (Harga tiket Rp 110.000) melalui telepon ke Agen yang (katanya) resmi. Ketika saya tanya uang harus ditransfer kemana, mas yang menerima telepon bilang tidak usah. Langsung datang ke loket pada hari H. Dari sini saja saya sudah mulai curiga kenapa uang tidak mau ditransfer. Tapi menurut mas tersebut, nama saya sudah dicatat. Jadi saya antara tenang dan tidak juga sih rasanya. Masih was-was. Sedangkan untuk tiket kembalinya, yaitu Karimunjawa – Semarang, kami menggunakan Kapal Cepat Kartini, dan saya sudah menelepon (024) 70400010 dengan Ibu Chandra. Ini adalah nomer telepon Pelni Semarang. Jadi saya lumayan tenang karena sudah mentransfer uang (Harga tiket Rp 130.000). Ibu Chandra bilang kalau tiket fisiknya mendekati jadwal kepulangan akan dititipkan kepada salah satu awak kapal.

Jadwal penyeberangan kami Jepara-Semarang Jumat 22 Agustus 2014 (14:00-17:00). Karena sebelum ke Jepara kami menginap di Semarang, maka saya memesan travel Semarang-Jepara untuk keberangkatan Jumat jam 7 pagi, dengan asumsi masih punya banyak waktu untuk jalan-jalan disekitar pelabuhan karena lama perjalanan Semarang-Jepara sekitar 3 jam. H-1 saya masih belum memesan penginapan dan kapal untuk snorkeling disana. Malamnya, ketika sedang menunggu Mas E yang sedang menjelajah Lawang Sewu (Saya tidak pernah berani masuk ke gedung Lawang Sewu, jadi saya menunggu diluar, duduk-duduk dengan bapak satpam), iseng-iseng saya menelepon salah satu penginapan yang (lagi-lagi) saya dapat dari Google. Setelah deal masalah penginapan, mas yang terima telpon saya (lupa namanya, maaf ya mas:D) bertanya saya sedang ada dimana. Saya jawab saja masih di Semarang karena penyeberangan dari Jepara jam 2 siang jadi saya baru berangkat ke Jepara jumat pagi. Masnya terkejut, dibilang kalo penyeberangan dari Jepara dipindah pagi jam 10 karena alasan cuaca buruk. Dan pemberitahuan tentang pindah jadwal ini sudah diumumkan seminggu sebelumnya. Lah, mana saya tahu. Waakk!! Saya langsung panik. Bagaimana ini? Kalau jam 10 pagi, harus berangkat jam berapa dari Semarang, dan saya tidak tahu apakah ada travel pagi sebelum jam 7 berangkat ke Jepara. Huhh!! Asli panik sekali. Saya langsung tanya sana sini, akhirnya saya memperoleh satu nama travel (lupa lagi namanya), ada pemberangkatan jam 5, dan kursi yang tersisa tinggal 2. Pas!!

Paginya sekitar jam 5 kami sudah dijemput dan jam 6 mulai meninggalkan Semarang. Sampai di Pelabuhan Jepara sekitar jam 9.30. Dan itu yang namanya pelabuhan sudah penuh dengan lautan manusia. Wisatawan asing dan wisatawan lokal memenuhi pelabuhan. Saya tiba-tiba panik. Kami kan belum membeli tiket kapal. Kami langsung menuju loket, ternyata masih tutup. Dan antrian sudah panjang. Beberapa saat, kami mendengar kalau tiket penyeberangan sudah terjual habis beberapa hari sebelumnya. Duh! Rasanya kesal sekali. Jadi yang saya pesan lewat telepon tidak berguna. Menyebalkan!. Saya bilang ke Mas E untuk menjaga tas. Saya mau keliling nyari calo (hahaha, baru kali ini rasanya saya nyari calo). 10 menit sebelum keberangkatan saya sudah pasrah saja tidak dapat tiket karena setelah keliling, para calo bilang kalau tiket sudah habis. Saya berjalan gontai. Dan ketika sudah pasrah seperti itu, ternyata keajaiban datang. Saya melewati beberapa lelaki yang bergerombol membicarakan tiket. Sayup-sayup mendengar ada 2 tiket lebih. Langsung saya berteriak kalau saya bersedia membeli berapapun harganya. Dan, diluar dugaan, tiket dijual dengan harga normal dengan syarat saya dan Mas E disuruh menginap di penginapan saudaranya. Saya langsung menyanggupi dengan konsekuensi saya harus membatalkan reservasi penginapan yang sudah saya buat sebelumnya. Yiaayy!! Saya jogged-joged India karena kesenengan dapat tiket last minute. Mas E yang tidak mengerti jalan ceritanya saya cium-cium karena saya terlalu senang. Saya bilang kalau Tuhan selalu bersama orang-orang yang sedang bulan madu 🙂

Perjalanan 3.5 jam laut kami lalui dengan lancar. Tidak ada drama mabuk laut meskipun ombak sedang tinggi. Tetapi ada drama lain didalam kapal. Kami baru sadar ternyata tiket yang sudah dibeli beda kelas. Satu VIP dan satu bisnis. Akhirnya saya yang mengalah, saya yag dikelas bisnis. Tanpa AC tentu saja, dan Mas E di VIP. Alasan saya yang mengalah, karena dia kan belum lama di Indonesia, saya takut dia merasa tidak nyaman kalau harus kepanasan tanpa AC, dan duduk berdesakan dengan penumpang yang lain. Rasanya sangat tidak nyaman duduk terpisah ruangan begitu. Biasanya runtang runtung, ngobrol dan tertawa bareng, sekarang jadi manyun sendiri. Mas E juga ternyata merasa seperti itu. Tanpa sepengetahuan saya, ternyata dia “menyuap” a.k.a dengan membayar tambahan 10.000 kepada awak kapal agar saya bisa satu ruangan. Suapan pertama yang dia lakukan, karena awak kapal yang ternyata memberi ide untuk membayar uang tambahan.

Sesampainya di Karimunjawa kami langsung dijemput mobil (sebenarnya jalan kaki juga bisa, sekitar 15 menit) langsung menuju penginapan. Ternyata penginapannya bersih dan nyaman sekali. Semalam harganya 80 ribu sekamar. Kamar mandi bersih dengan toilet duduk dan setiap pagi sore dapat minuman dengan rasa (kacang hijau, es cincau, teh, dan es apa ya satu lagi lupa). Pelayanan memuaskan. Di Karimunjawa penginapannya adalah rumah penduduk. Rata-rata sih bersih dan nyaman. Kalau mau menginap di hotel atau resort sih bisa. Harga menyesuaikan, artinya jauh lebih mahal dibandingkan penginapan di rumah penduduk, karena biasanya dimiliki oleh warga negara asing. Ada juga penginapan apung ditengah laut. Tapi saya juga tidak tahu harganya berapa. Di Karimunjawa pasokan listrik dibatasi. Dari jam 7 pagi sampai jam 17.00 sore listrik padam. Jadi kalau malam segala gadget harap di charge sebelum paginya listrik dipadamkan

HARI PERTAMA

Hari pertama langsung nyebur kelaut. Snorkeling dengan paket snorkeling yang dapatnya dadakan dengan harga Rp 150.000 per orang untuk alat snorkeling lengkap, makan siang dan sewa kapal. Jadi, untuk siapapun yang ke Karimunjawa tidak ikut paket tur, jangan khawatir. Selalu ada paket snorkeling dadakan seperti pengalaman kami. Seperti yang sudah disebutkan, Karimunjawa terdapat 27 pulau. Tetapi tidak semua pulau bisa dimasuki atau bisa menjadi tempat snorkeling karena beberapa pulau sudah dibeli oleh warga negara asing. Biasanya yang menjadi tempat snorkeling adalah Pulau Menjangan besar dan kecil, Pulau cemara besar dan kecil, Tanjung Gelam, Pulau Tengah dan Pulau Cilik. Kami snorkeling di 2 tempat, Pulau Cemara Besar dan Pulau Menjangan Besar. Setelah muter sana sini, komentar suami bagus banget pemandangan bawah lautnya meskipun biota laut tidak sebanyak di Pulau Menjangan, Bali.

Setelah puas snorkeling 2 dua tempat, kami melanjutkan ke Penangkaran Hiu. Jadi ditempat ini ada satu kolam berisi anak-anak hiu, dan kita diperbolehkan bermain-main dengan mereka asal tidak ada luka atau kalau yang wanita tidak sedang menstruasi (kata penjaganya sih begitu).

Dari penangkaran hiu, kami kembali ke penginapan karena sudah menjelang malam. Malam harinya kami menikmati suasana Karimunjawa yang tenang dengan berkumpul di Alun-alun bersama banyak pengunjung menikmati kuliner lokal. Makanan yang ditawarkan kebanyakan makanan laut pastinya dengan harga yang masih masuk akal. 1 ikan bakar ukuran besar sekali (Saya makan berdua berasa kenyang sekali dan masih sisa karena sudah kekenyangan) harganya Rp 50.000. Selain kuliner, di Alun-alun juga banyak yang menjual Souveni Karimunjawa seperti kaos, gantungan kunci, pernak pernik dari laut. Kaos yang dijual rata-rata Rp 30.000. Kami membeli di malam kedua karena kehabisan baju.

HARI KEDUA

Hari kedua Mas E mengajak mengelilingi pulau dengan menyewa sepeda motor. Dia sudah merasa cukup snorkeling karena sebelumnya sudah snorkeling di Bali. Saya sebenarnya agak cemas dengan ide Mas E untuk mengelilingi pulau dengan menggunakan sepeda motor. Sebabnya dia baru sekali naik sepeda motor ketika sedang liburan di Yunani. Jadi ini menjadi pengalaman keduanya. Waduh! Saya kan takut kalau dia tidak stabil mengendarai karena untuk mengelilingi pulau jalannya kan naik turun dan tidak semua jalan rata. Tapi kecemasan saya tidak terbukti, sepanjang jalan baik-baik saja kami. Jadi, mengelilingi pulau bisa dijadikan alternatif wisata di Karimunjawa. Dengan menyewa sepeda motor matic penduduk setempat seharga Rp 70.000 per hari plus bensin 3 liter (saat itu satu liter harganya Rp 10.000 disana) sangat cukup untuk mengelilingi pulau dari ujung sampai ujung, dari pagi sampai malam.

Pertama kali dibonceng sama suami, rasanya romantis hahaha. Karena kami santai, tidak terburu oleh apapun, maka kami banyak berhenti di pantai-pantai yang tersembunyi, misalkan Pantai Barakuda, Pantai Nirwana dan yang lainnya (lupa saking banyaknya singgah). Kami juga berhenti untuk trekking di Hutan Mangrove yag terletak di desa Kemojan. Juga menemukan bukit yang bernama Joko Tuo dimana kami bisa melihat seluruh Karimunjawa dari atas. Perjalanan kami berujung di Bandar Udara Dewandaru. Baru tahu ternyata Karimunjawa mempunyai Bandara, meskipun bukan pesawat komersil yang beroperasi melainkan beberapa pesawat pribadi dari warga negara asing dan pesawat milik pemerintah. Sepanjang perjalanan beberapa kali kami berhenti untuk makan. Mas E yang doyan banget makan kelapa muda selama di Indonesia jadi seperti merasakan surga di Karimunjawa karena bisa makan kelapa muda yang langsung dipetik dari pohon. Ketika makan di salah satu rumah penduduk, tiba-tiba kami ditawari untuk membeli tanah dengan harga per meter persegi Rp 340.000 tersedia untuk 1000 meter persegi. Woohh, murah hitungannya. Mereka bilang kalau banyak sekali warga asing yang membeli tanah di Karimunjawa untuk dijadikan resort atau sekedar tempat tinggal untuk liburan. Mas E sempat menyelutuk “untung disini ga ada ATM, kalau ada bisa langsung aku beli itu” <— Mbujuukk Mas Mas :D. Oh iya, di Karimunjawa tidak ada ATM ya, jadi bawalah uang yang cukup selama tinggal disana

Perjalanan darat kami diakhiri dengan melihat sunset di Tanjung Gelam. Rupanya pulau ini menjadi salah satu tempat terbaik untuk mengabadikan sunset di Karimunjawa selain bukit Joko Tuo. Dan memang benar, sunsetnya sungguh menghipnotis. Perjalanan hari itu sungguh menyenangkan. Banyak sekali mengunjungi pantai dan tempat yang kami belum tahu sebelumnya. Berkenalan dengan penduduk setempat, berbincang dan bercanda bersama mereka

Inilah yang kami suka dari sebuah perjalanan. Tidak hanya mengenal tempat yang baru, tetapi bisa berinteraksi dengan penduduk setempat, mengenal dan berbaur dengan mereka. Perjalanan itu bukan hanya tentang sebuah tujuan, melainkan mendapatkan pengalaman.

HARI KETIGA

Hari ini waktunya kami pulang. Kami sudah siap sejak jam 7 pagi karena kapal akan pergi pada pukul 10. Kami memutuskan untuk jalan kaki menuju pelabuhan karena kami rasa jaraknya masih normal dengan menggendong ransel yang besar. Sesampainya di Pelabuhan, kami sudah diberi tahu awak kapal bahwa ombak sedang tinggi. Ternyata benar, tidak lama setelah kami bertolak dari tepi pantai, ombak mulai membuat kapal bergoyang kesana sini. Konon waktu itu ombak sampai ketinggian 5 meter. Walhasil saya dan Mas E mabuk muntah-muntah sepanjang jalan. Saya muntah didalam kapal, dia muntah diluar kapal. Kocak banget sekarang kalau diingat. Sesampainya di Semarang, kami sudah lemas karena seluruh isi perut keluar. Lapar ujung-ujungnya. Mas E sampai bilang “aku ga akan naik kapal ini lagi. Nightmare” hahaha. Yang bikin mabuk sebenarnya bukan kapalnya, tapi ombak yang tinggi itu.

Kesan Mas E terhadap Karimunjawa adalah pulau yang menyenangkan dan ideal buat tempat liburan. Tidak rame dan alamnya masih alami belum banyak eksploitasi sana sini. Awalnya dia terpikir untuk membeli tanah dan tinggal disini. Tapi setelah melewati drama mabuk laut, jadi berpikir ulang, kecuali menuju Karimunjawa naik pesawat pribadi *berasa pejabat ya Mas 😀

Selama di Karimunjawa, saya lebih mengenal Mas E. Ya maklum saja, selama ini kami selalu menjalin hubungan jarak jauh, dan waktu 8 bulan sejak kenal sampai memutuskan menikah sangatlah singkat untuk mengenal satu sama lain apalagi dipisahkan oleh jarak. Tidak dipungkiri selama di Karimunjawa kami sering bertengkar, dari hal-hal sepele sampai yang besar. Tapi kami menyadari bahwa itu adalah proses pengenalan kami satu sama lain. Istilahnya pacaran setelah menikah. Dan saya senang telah memilih traveling selama sebulan dari Bali sampai seluruh kota-kota besar di Jawa sebagai proses kami untuk saling mengenal. Selama perjalanan, baik buruk pasangan jadi terkuak semua. Traveling adalah cara yang paling efektif untuk lebih dekat mengerti dan memahami pasangan

Perjalanan bukan hanya tentang sebuah tujuan, melainkan tentang pengalaman, termasuk pengalaman dalam mengenal pasangan

 

NB : Saya bukan pengingat dan pencatat yang baik. Karenanya saya jarang mengabadikan detail perjalanan dalam sebuah catatan. Saya hanya bisa mengingat detail kejadian. Dan saya bukan perencana perjalanan yang baik. Saya biasanya hanya merencanakan secara garis besar. Tapi tidak bisa sampai detail, karena terlalu ribet. Dan saya juga biasa menikmati perjalanan yang mengalir dengan segala kejutan-kejutannya :). Tapi saya selalu punya senjata. Mengandalkan kecanggihan teknologi dan tanya sana sini ^^. Jadi buat yang ingin pergi mandiri, jangan malas untuk cari informasi sebanyak-banyaknya dari internet ya. Jangan gampang bertanya sesuatu yang sebetulnya informasinya mudah didapat dari google. Happy traveling 🙂

Bagaimana dengan pengalamanmu?

Selamat melakukan perjalanan dengan pasangan 🙂

-Surabaya, 28 November 2014-

 

Snorkeling di Pulau Cemara Besar
Snorkeling di Pulau Cemara Besar
Karimunjawa dilihat dari atas bukit Joko Tuo
Karimunjawa dilihat dari atas bukit Joko Tuo
Kedua kali naik sepeda motor seumur hidupnya. Jadi bangga kesenengan si Mas :)
Kedua kali naik sepeda motor seumur hidupnya. Jadi bangga kesenengan si Mas 🙂
Melewati pemandangan ini sepanjang tour darat
Melewati pemandangan ini sepanjang naik sepeda motor muter pulau
Selama di Indonesia, dimana-mana yang dicari selalu kelapa muda. Tidak pernah sebelumnya makan kelapa muda yang langsung ambil dari pohonnya
Selama di Indonesia, dimana-mana yang dicari selalu kelapa muda. Tidak pernah sebelumnya makan kelapa muda yang langsung ambil dari pohonnya
Sarapan dengan Lontong Pecel super pedas. Duh! ini enak banget rasanya. Sepiring penuh harganya Rp 5.000
Sarapan dengan Lontong Pecel super pedas. Duh! ini enak banget rasanya. Sepiring penuh harganya Rp 5.000
Hutan Mangrove
Hutan Mangrove
Mangrove Karimunjawa
Mangrove Karimunjawa
Pohon Ranting berdiri kokok diatas tanah kering
Pohon Ranting berdiri kokok diatas tanah kering
Sunset di Tanjung Gelam
Sunset di Tanjung Gelam
Rawa
Rawa
Kolam Hiu di Pulau Menjangan Besar. Jadi kita bisa nyemplung dan bermain bersama bayi-bayi hiu ini. Saya dan Mas E? Duduk-duduk saja di Perahu :D
Kolam Hiu di Pulau Menjangan Besar. Jadi kita bisa nyemplung dan bermain bersama bayi-bayi hiu ini. Saya dan Mas E? Duduk-duduk saja di Perahu 😀

P1000746

Sunset Tanjung Gelam
Sunset Tanjung Gelam
Numpang Narsis :)
Numpang Narsis 🙂 … Ya ampun, nampak seperti liliput gitu, mungil disebelah Suami 😀

One week in Java (Day 1: Jakarta)

In 2014 I spent a considerable amount of my time in Indonesia, in Java and Bali to be more precise. Lately I got the question from a friend which things to visit if he would spend a week in Java. The most obviously answer would of course be “That’s wayyy too short”, but it made me think how I would spend a week now that I have had so many wonderful experiences. I will write down in 7 episodes how I would spend such a week.

Day 1: Jakarta

Jakarta is a ‘must see’  although probably not everyone’s piece of cake. Be prepared for a continuous flow of cars and motor cycles, day and night. When you have bad luck you end up in one of its terrible traffic jams (not exclusively something that might happen to you in Jakarta, as we will discover along the journey). The air can be heavy polluted, garbage seems to be everywhere. But nevertheless Jakarta contains a lot of interesting experiences that you simply can not experience anywhere else in Java.

Public transportion is never an expensive thing in Indonesia, but in Jakarta they made it extra attractive with a free Jakarta City Tour. This tour will take you in a double deck bus along the most remarkable sites and buildings of the Jakarta centre, like the Monas (the national monument built in the 1960’s) and the presidential residence. It will take you an hour to finish the full tour and you can drop out in between when you think you found something interesting along its route. The tour guides on the bus are very friendly and speak English excellent.

jakarta day 1 city tour jakarta
Deny in front of the City Tour bus.

After the bus tour visit the Monas, the Monument Nasional. You can go with a small elevator to the golden top and from there you will have an overview of modern Jakarta with its countless sky scrapers. Be aware though that the Monument is a very popular attraction, so there might be a long waiting line before you can go to the top. The Monas also contains an underground informative information centre where the history of Indonesia is displayed in countless three-dimensional scenes behind glass. You get a fast update on how Indonesia became the Republic it is nowadays.

Monas in the late afternoon
Monas in the late afternoon

Then visit the National Museum. The Museum is a two-part building: one is a reminiscent of the Dutch colonial days, the other part is multi store modern building. The impressive thing of the Museum is that you get a real good overview on the complexity of all the different cultures of Indonesia. For me it was an eye-opener because here I learned that Indonesia is such a diverse multi-cultural and multi-racial country (which obviously brings a lot of challenges in keeping its unity). There is a lot to see about the different races, clothing, religions, music, house constructions from its habitants.

jakarta day 1 National Museum
The National Museum – Jakarta

Now that it is afternoon visit the ‘Old City’ (Kota Tua in Bahasa Indonesia), the part of Jakarta that reminds most of its colonial past, when the Dutch were in charge for circa 500 years. In those days Jakarta was called Batavia (and Batavia refers to ‘Batavians’ one of the original tribes that lived in the Netherlands some 2000 years ago). Many of the interesting places are centred around the square where the so called Gourverneurskantoor (Office of the Governor) is situated. In front of the building you can even rent bikes and discover the surroundings on a bike. You will  surely be noticed by the local people, but be careful: pedestrians and bikers are somewhere at the bottom of the Indonesian traffic hierarchy chain! You can visit the Gouverneurskantoor, it contains a nice museum that gives you an  impression how the colonial Dutch decorated their office.

jakarta day 1 kota tua
Rented a bike, put on the heads and posed in front of the old Governmental Office.

So when you have had enough for the day and you want to relax a little bit among the local Jakarta people, return to the Monas park, sit down in the grass and order a typical Betawi (name of the local Jakarta people) meal: Kerak Telor. In the park at night there is an abundant choice of souvenirs that are being sold by local Jakarta people.

jakarta day 1 kerka telor
My part time job as Kerak Telor chef and sales man.
jakarta day 1 monas by night
Lot of activities in the night time around the Monas.

This ends our first day in Java and Jakarta! On the second day we will explore more of Jakarta.

-Den Haag, November 16 2014-