Deepwater Horizon is the movie we watched last weekend in The Hague’s Pathe Theatre. For a moment we were doubting between this movie and Inferno. Watching the Inferno trailer it looked to us like a (expensive) rehash of the DaVinci Code, so we decided to head for Deepwater Horizon.
I was not familiar with the original story of the mobile oil platform and the horrific accident in 2010. Under time pressure for rigging results, the platform would ultimately completely destroyed after some human failures with safety and testing procedures. From the trailer it looked to us like a detailed documentary style movie about how events developed until the final shocking disaster. Although the movie did try its best to put some detail in the events and circumstances, above all it remained a simple disaster movie. People make wrong decisions in the first part of the movie, things spiral out of control in the middle part and the hero (Mark Wahlberg) sacrifices his life to save what is left of the crew on the platform.
The movie starts a bit awkwardly with a family scene where the daughter of the hero-to-be explains the working of the mobile platform because she has an upcoming presentation. Of course it was meant for the movie audience to gain some understanding to the background about what will happen in the next two hours. There are many small talk conversations between the platform crew to create some intimate and sympathy with the characters that soon will be tested to the most horrible conditions. But it is all a bit too obvious to really become acquainted with the crew members and feel sympathy for their suffering to come. The part where the trouble on the platform starts and the platform disintegrates into a big ball of fire is taking too long. Although this should be the most ‘exciting’ part of the movie i felt it became quite boring after seeing one fireball after one other and collapsing structures.
All in all this movie is more about entertainment than offering you a glimpse into what really happened on board of the Deepwater Horizon. The characters are stereotypes (the bad guys from BP versus the good guys from the platform crew) and the script does carefully follow the Hollywood rules of a disaster movie. Nevertheless I enjoyed the performances of John Malkovich as the cynical guy from BP and Gina Rodriguez who played the part of a female crew member. I think the movie might have been more interesting and sticking if it did not follow the typical disaster movie scripting and would have focused more on the events as they really happened.
Hari minggu pagi (jam 11) kami kembali ikut race lari 10 km. Ini lomba lokal yang diikuti oleh mereka yang tinggal di sekitar Nootdorp. Lokasi lomba di seputaran hutan dan danau Dobbeplaas, karenanya lomba ini dinamakan Dobbeloop. Acara ini diadakan setiap bulan. Jaraknya terbagi : 750m untuk anak-anak kecil, 1.5km untuk anak-anak yang lebih besar, dan 3.2-5-10-15km untuk usia dewasa. Karena peserta dari segala usia, maka acara ini banyak peminatnya. Saya tidak mengira kalau pesertanya akan banyak. Ditambah lagi hari minggu ini memang cuaca sangat bersahabat. Meskipun memang dingin – suhu 5 derajat celcius – (sewaktu bersepeda menuju tempat lomba, padahal saya dan suami sudah berjaket tebal, tetep saja rasanya dingin kayak masuk freezer, tangan saya sampai kebas karena lupa bawa sarung tangan), matahari bersinar cerah sepanjang hari.
Start di sini. Cerah ya, tapi 5 derajat celcius.
Saat kami sampai di tempat acara, ternyata untuk kategori anak-anak baru saja selesai. Senang sekali melihat anak-anak usia sekitar 3 sampai 5 tahun lari-lari kecil bersama orangtuanya. Iya benar, usia 3 tahun sudah ikut bersenang-senang lari bersama orangtuanya. Mereka terlihat senang sekali, seperti bermain mungkin ya rasanya. Saya sampai ikut gemes dengan balita-balita ini. Untuk kategori 750m, saya perhatikan tidak saja diikuti oleh anak-anak kecil tapi mereka yang berkebutuhan khusus juga, dengan pendampingan tentunya.
Kategori anak-anak yang lebih besar sedang bersiapPeserta kategori anak-anak. Kecil-kecil begini larinya melesat cepat.
Setelah kategori anak-anak kecil, selanjutnya untuk anak-anak yang lebih besar bersiap berangkat. Kira-kira yang ikut usia 6 sampai 9 tahunan. Meskipun usia masih kecil, tapi mereka larinya cepat sekali. Saya sampai melongo melihat bagaimana mereka berlari sangat kencang dan ada yang memakai teknik berlari juga. Jarak 1.5 km ditempuh sangat cepat. Sebelum 10 menit (bahkan ada yang baru 7 menit), banyak yang sudah sampai finish. Saya sampai senyum-senyum sama suami karena untuk jarak 1.5 km saya membutuhkan waktu lebih dari 10 menit. Senang sekali melihat semangat berolahraga anak-anak ini, didukung oleh orangtua mereka yang juga ikut lari untuk kategori yang berbeda.
Kategori dewasa sedang menunggu giliran berangkat
Selanjutnya kategori terakhir yang bersiap. Suami memberi semangat dengan mengatakan kalau kali ini pasti waktu saya lebih baik dari 10 km bulan kemarin di Rottermerenloopbahkan CPC Loop tahun kemarin. Saya juga merasa yakin, setidaknya jika dilihat dari cuaca yang cerah dan tempatnya yang tidak asing karena saya dan suami sering lari di area ini. Seperti biasa setelah start, suami melesat sedangkan saya dengan ritme lari seperti biasanya. Sampai di km ke 4, saya belum yang paling belakang karena ketika belokan dan saya sempat menoleh, masih ada beberapa orang di belakang. Ternyata dari beberapa orang tersebut, mengikuti untuk kategori 5km. Dan sisanya menyusul saya bahkan setelahnya lari jauh di depan. Akhirnya saya menjadi yang paling belakang lagi. Tetapi saya tidak khawatir karena pasti “ditemani” oleh mereka yang 15 km. Dan benar saja, sekitar km ke 7, beberapa yang kategori 15 km sudah menyalip saya. Saya sampai senyum-senyum sendiri, karena saking santainya saya lari, sampai terkejar oleh mereka yang 15km. Dan beberapa meter sebelum sampai finish, suami sudah menunggu lalu dia menemani saya berlari beriringan menuju finish (dia hanya menemani saja, karena sudah selesai duluan). Waktu tempuh Mas Ewald untuk 10km : 47 menit, sedangkan saya untuk 10 km : 1 jam 20 menit. Waktu ini 5 menit lebih cepat dibandingkan bulan kemarin. Suami bilang kalau waktu dia kali ini adalah catatan tercepat selama mengikuti race 10 km. Saya bilang ke dia kalau saat 47 menit itu, mungkin saya masih di km ke 6. Karena sewaktu saya di km ke 5, waktu menunjukkan 36 menit. Sedangkan mereka yang ikut 15km ada yang sampai finish sebelum 1 jam. Terbayang ya bagaimana cepatnya orang Belanda ini kalau lari. Tapi tetap, yang dari Kenya lebih cepat untuk urusan lari.
Inilah kami setelah lomba. Sebelah kiri atas itu jalan yang dilalui. Saking dinginnya, setelah sampai finish suami kembali berjaket.
Cuaca yang sangat bagus hari ini benar-benar sangat sempurna dan mendukung saya untuk tidak berhenti sekalipun sepanjang 10km. Pemandangan sepanjang 10km tersebut adalah hutan, padang rumput, sapi yang sedang merumput dan danau. Benar-benat tidak membosankan. Oh iya, kali ini saya tetap menjadi yang terakhir sampai finish untuk 10km, tetapi di belakang saya masih ada beberapa orang untuk kategori 15km. Namanya juga lari santai, jadinya waktu tempuh segitu sudah bagus. Mudah-mudahan race berikutnya bisa lebih cepat lagi sampai finish.
Hawa sudah mulai dingin, meskipun matahari tetap bersinar. Satu persatu baju-baju musim panas di lemari berganti dengan baju hangat dan kalau keluar rumahpun jaket tidak lupa dikenakan. Antara rela dan tidak rela juga dari yang biasanya keluar rumah tanpa bertumpuk baju yang dikenakan, sekarang bersepeda di pagi haripun mulai mengenakan sarung tangan karena dinginnya menusuk kulit, sakit. Setiap musim pasti punya cerita tersendiri, setiap musim punya keindahannya masing-masing, dan setiap musim punya kejutan yang sudah menanti.
Tahun ini adalah musim gugur kedua untuk saya. Selalu suka melihat perubahan warna daun. Cerita musim gugur tahun lalu pernah saya tuliskan di sini. Akhir pekan kali ini kami menyempatkan untuk bersepeda bersama, berjalan-jalan di hutan dan taman. Kalau matahari sedang bersinar, harus dimanfaatkan semaksimal mungkin berkegiatan di luar rumah. Karenanya tidak mengherankan akan dijumpai banyak sekali orang yang berjalan kaki di hutan, duduk di taman, bersepeda saat cuaca sedang cerah.
Bersepeda menuju tamanTahun lalu kamipun ke tempat ini saat permulaan musim gugur. Ini adalah kawasan yang terdiri dari hutan dan taman. Kami sering berkunjung ke sini .
Karena hawanya yang dingin, kami rasanya selalu ingin makan yang berkuah atau paling tidak makanan yang bisa menghangatkan badan. Nah akhir pekan ini saya masak yang gampang saja. Sop gambas (oyong) dan Risotto Ai Funghi. Sudah sejak lama ingin makan sop gambas, baru terlaksana sekarang karena memang sengaja beli di toko oriental.
Sop gambas dengan wortel, bihun, dan telur puyuh
Nah sewaktu masak sop gambas, saya membuat kaldu sayuran dalam jumlah banyak karena akan digunakan juga untuk membuat Risotto. Resep Risotto ini saya mencontek dari blog Mbak Yo yang Lofoodie, hanya saja ada sedikit penyesuaian karena saya tidak menggunakan wine dan kaldu yang saya pakai adalah kaldu sayur. Ini kali pertama saya membuat Risotto dan rasanya sesuai dengan yang saya harapkan. Enaakk! Saya sampai rebutan dengan suami menghabiskan sisa yang ada di panci. Antara lapar dan enak memang bedanya tipis haha! Ternyata membuat Risotto itu tidak seruwet yang saya bayangkan, asal diaduk berkala, bisa menyambi pekerjaan lainnya.
Risotto Ai FunghiKembali lagi ke cerita bersepeda. Saat kami berangkat cuacanya cerah. Saat kami pulang, hujan sepanjang perjalanan menuju rumah. Seringkali saat hujan tidak hanya nampak langit gelap dan basah yang terasa. Coba tengok ke arah yang berbeda. Siapa tahu ada pelangi yang tampak di sana. Saya berkeyakinan, selalu ada yang berwarna diantara yang kelam. Akan selalu ada harapan di dalam kesukaran. Dan saat melihat pelangi, saya selalu percaya ada berita baik yang akan datang.
Pelangi yang kami lihat ditengah perjalanan
-Den Haag, 9 Oktober 2016-
Pecah telur juga tahun ini bisa ikutan lomba lari. Setelah dari awal tahun ada saja halangan mau ikut race ini dan itu tapi terhalang satu dan lain hal. Sudah daftar jauh-jauh hari eh ternyata dekat hari H tidak bisa. Hangus jadinya uang pendaftaran. Beruntung yang kali ini tidak gagal lagi, meskipun 2 jam sebelum pelaksaan lomba nyaris gagal lagi karena hujan deras.
Jadi hari minggu 2 Oktober 2016, saya dan Mas Ewald ikut lomba lari 10 Km di Rotterdam. Nama lombanya adalah Rottermerenloop. Ada tiga kategori yaitu 1.5 km untuk anak-anak, 10 km dan half marathon (21.1 km). Dua kategori terakhir untuk dewasa. Biasanya Mas Ewald ikut yang kategori 21.1 km kalau ada lomba lari. Tapi kali ini dia ingin ikut yang 10 km. Akhirnya bisa satu kategori sama suami setelah dua kali lomba lari bersama, kami selalu beda (Pertama waktu Bromo Marathondan kedua waktu CPC Loop di Den Haag). Niatnya sih tahun ini saya bisa pecah telur naik kelas ke 21.1 km. Apa daya selain halangannya ada saja, latihan juga masih kurang maksimal, ditambah kurang nekat. Mudah-mudahan tahun depan bisa.
Ikut lomba yang pagi inipun sebenarnya dadakan. Daftarnya baru seminggu lalu. Rencananya kami justru akan ikut lomba yang akhir Oktober 2016. Ternyata ada yang lebih dulu meskipun tempatnya agak jauh, akhirnya kamipun sepakat ikut. Hitung-hitung sebagai pemanasan karena sudah lama tidak ikut lomba. Nah, pagi tadi hujan pun turun. Kami ragu-ragu berangkat atau tidak ke lomba. Kalau dilihat dari prakiraan cuaca, ada saat-saat yang tidak hujan meskipun secara keseluruhan sepanjang hari akan turun hujan. Tapi menjelang jam 10, matahari bersinar terang. Akhirnya kami putuskan berangkat saja, toh kami bawa jaket yang anti air. Jadi kalau hujan tinggal jaketnya dipakai.
Para peserta 10km
Ternyata waktu jam 11 mataharinya bersinar terang meskipun hawanya tetap dingin. Wah, syukurlah jadi bisa lari tanpa khawatir hujan. Saya lupa kalau ini Belanda, artinya 4 musim bisa terjadi dalam satu hari. Pada saat menjelang km ke 7, saya melihat dari kejauhan mendungnya tebal. Benar saja, saat memasuki km ke 7, hujan deras langsung mengguyur dan angin kencang tiba-tiba datang. Saya yang sejak start sampai km ke 7 terus lari, tiba-tiba langsung berhenti tidak kuat kena angin kencang dan hujan deras. Saya berjalan sampai saya melihat peserta HM (Half Marathon = 21.1 km) melintas, akhirnya saya ikutan lari lagi sampai finish. Hujannya deras sejak km ke 7 sampai km ke 9. Jadi selama 2km saya menguatkan diri lari ditemani hujan deras dan angin kencang.
Ditengah lari, mendungnya tebal sekali. Ini moto sambil lari, makanya miring. Setelah moto ditegur panitia, katanya ga usah moto, nanti lambat larinya. Lah lari memang sudah lambat dari sananya 😀
Lomba kali ini sangat istimewa untuk saya karena saya menjadi peserta terakhir yang sampai finish. Saya memang tidak bisa cepat kalau lari, meskipun untuk 10 km saya pasti lari terus tanpa berhenti (kalau pas tidak hujan). Mungkin kalau dilatih bisa untuk sedikit cepat, tapi saya saja yang memang agak bebal selalu beralasan kalau suami berencana melatih lari dengan metode interval. Kalau dua lomba sebelumnya saya boleh jumawa karena tidak menjadi peserta terakhir yang sampai finish, karena dua lomba sebelumnya pesertanya jauh lebih banyak dan lebih beragam dibanding yang kali ini. Nah tadi pagi pesertanya orang Belanda semua, mereka kan tingginya menjulang (alasan :p), jadi pasrah sejak awal kalau akan lambat sampai finish. Buat saya, 2km awal dan 2km akhir itu adalah jarak kritis. Jadi harus pintar-pintar mengatur strategi nafas dan ritme kaki.
Begitu sampai finish, semua bersorak sambil menyebut nama saya. Sementara saya senyum-senyum simpul haha! Makanya saya menyebut lomba kali ini istimewa, karena punya pengalaman jadi peserta terakhir yang sampai finish. Ah tak mengapa, yang penting sampai juga dengan keadaan sehat karena ada dua peserta ditengah-tengah jarak tidak melanjutkan, karena kakinya kram. Jadi suami catatan waktunya 49 menit, sementara saya 1 jam 25 menit. Catatan waktu saya lebih lama dibanding yang tahun lalu. Sampai finish saya lalu minum dua gelas dan makan jeruk. Saking laparnya saya sampai nambah berkali-kali jeruk yang disediakan panitia. Setiap peserta diberi Flash Disk ketika sampai finish, sebagai kenang-kenangan.
10 Km Finisher
Saya suka baca buku di bawah ini, bercerita kisah orang orang yang tergerak untuk lari dengan tempo masing-masing sesuai kemampuan. Mengingatkan akan tempo saya sendiri.
Jadi itulah pengalaman lomba lari hari ini. Menyenangkan karena banyak kejadian yang bisa membuat senyum-senyum sendiri kalau diingat. Cerita Akhir Pekan
Numpang sedikit tentang cerita akhir pekan selain lomba lari. Jadi hari sabtu, saya tiba-tiba kepengen klepon (lagi). Akhirnya saya buat klepon dalam porsi banyak karena untuk dikasih ke Mertua juga. Selain buat klepon, saya juga buat serundeng untuk persediaan. Lumayan bisa jadi teman makan atau ditabur pas makan salad. Saya kasih juga Serundeng ke Mama mertua karena Beliau suka sekali dengan Serundeng dan Klepon
KleponSerundeng
Lalu makan siang kami, saya masak yang cepat saja. Tumis kangkung dan tempe penyet. Kami berdua suka sekali sambel penyet tempe. Tempenya dipanggang soalnya males goreng-goreng. Saking malesnya saya dengan goreng-goreng, minyal 1L selama 4 bulan masih ada separuh botol.
Penyetan tempe, tumis kangkung plus pete, serundeng, dan quinoa
Pulang dari rumah Mama, kami mampir sepedahan di hutan dan tiduran sebentar di pinggir danau mumpung cuaca cerah dan matahari bersinar meskipun dingin. Anggap saja sedang menabung vitamin D.
Tidur pinggir danau.
Begitulah cerita akhir pekan kami. Minggu depan dari ramalan cuaca mengatakan kalau matahari bersinar sepanjang minggu. Yiayy!
Bagaimana cerita akhir pekan kalian? Semoga juga menyenangkan. Selamat hari Senin, selamat mengawali minggu dengan keceriaan. Semoga sepanjang minggu keberkahan selalu menyertai kita semua.
Horst adalah sebuah desa yang terletak di dekat lembah Groote Molenbeek, merupakan bagian dari pemerintahan Horst aan de Maas, Provinsi Limburg, Belanda. Populasi Horst aan de Maas sebanyak 41.700 orang (2015), 0.246% dari total populasi di Belanda. Horst terkenal dengan budidaya jamur skala besar dan holtikultura. Penduduk Horst mempunyai beberapa dialek saat berbicara. Ada beberapa tempat menarik yang bisa dikunjungi di Horst seperti Het Aarbeinland, Museum de Kantfabriek, Kasteelse Bossen, dan beberapa tempat lainnya. Sayangnya kunjungan saya ke Horst minggu lalu bukan untuk mengunjungi tempat-tempat tersebut, melainkan untuk memeriahkan Van Horster Land dan berkunjung ke rumah seorang teman.
Van Horster Land adalah festival kuliner dan kebudayaan Horst yang diadakan di pusat kota (centrum) Horst. Acara ini baru diadakan selama dua tahun berturut. Tahun ini Van Horster Land diadakan pada tanggal 24 dan 25 September 2016. Untuk ukuran kota kecil, festival ini tergolong cukup besar karena banyak sekali stan yang ada di sana. Tidak hanya stan, panggungnya pun ada 3 yang terletak di 3 tempat berbeda. Teman saya yang tinggal di Horst ini adalah salah satu yang ikut memeriahkan acara ini, dimana dikemudian hari dia mengajak saya dan seorang teman yang tinggal di Amsterdam untuk mengisi stan yang disediakan untuk dia. Stan yang disediakan untuk dia merupakan bagian stan dari tempat kursus integrasi yang dia ikuti, namanya Siham. Jadi stan yang kami gunakan adalah stan Indonesia.
Sebulan lalu saat saya dan teman dari Horst sedang jalan-jalan sehari ke Volendam, Edam, dan Marken (ceritanya menyusul), dia mengatakan tentang acara ini pada saya. Sebenarnya saya ingin datang karena saya memang suka sekali dengan acara-acara lokal semacam ini. Tapi tergantung tiket kereta juga, apakah ada tiket kereta murah yang dijual (dagkaart), karena kalau memakai tiket kereta biasa ke Horst mahal juga mengingat jarak tempuh dari Den Haag ke Horst 2.5 jam berkereta. Bersyukurnya akhir Agustus ada dagkaart yang dijual di salah satu supermarket di Belanda. Kesampaian juga akhirnya mengunjungi Horst.
Beberapa minggu lalu, saya pernah memamerkan foto ke dia saat saya berhasil untuk pertama kalinya membuat sate lilit Bali dan sate ayam. Saat itu saya bilang kalau nanti ke Horst, saya akan membawa sate lilit untuk dimakan bersama di rumahnya bersama 3 teman lainnya. Saya tidak menyangka kalau membuat sate lilit begitu mudah. Saya pikir selama ini agak ruwet, ternyata gampang sekali dan prosesnya cepat. Hari jumat sepulang kerja, saya bilang ke dia kalau sate lilit siap diproses dan meminta dia untuk mempersiapkan sambel matah sebagai teman makan sate lilit. Ternyata dia memberikan ide, bagaimana kalau saya membuat sate lilit dengan porsi yang lebih banyak supaya bisa dijual di stan dia. Wah, dadakan sekali karena saya tidak terlalu cukup bahan juga. Tetapi sayang juga ya kalau dilewatkan. Kesempatan emas untuk memperkenalkan sate lilit kepada orang Belanda karena di Belanda yang terkenal adalah sate ayam. Akhirnya saya membuat sate lilit dengan bahan yang ada saat itu. Saat saya memberitahu suami, dia ikut antusias juga sampai membuatkan deskripsi sate lilit itu apa. Dia sampai menawarakan untuk membuatkan saya kartu nama, siapa tahu ada yang mau pesan katanya. Walah, saya sampai tidak berpikir sepanjang itu karena untuk saat ini memasak itu bagian dari hobi meskipun beberapa kali juga saya memasak pesanan dari teman-teman dekat suami dan saya.
Setelah 2.5 jam perjalanan, sampai juga saya di Stasiun Horst-Sevenum (Suami tinggal di rumah. Setiap bulan kami memang selalu ada me time sehari melakukan kegiatan sendiri-sendiri). Saya dan seorang teman dijemput lalu kami langsung menuju ke tempat acara. Teman saya bersama teman lainnya sudah ada di stan. Teman yang tinggal di Amsterdam membawa barang jualannya yaitu batik-batik. Sedangkan teman saya yang di Horst menjual lumpia lalu saya menjual sate lilit. Saya antusias sekali selain karena bertemu dengan mereka, juga pertama kali ikut dalam acara lokal seperti ini. Sebenarnya suami sudah menawarkan beberapa kali untuk ikut serta di festival kuliner yanga ada di Den Haag, tapi saya masih males-malesan menyanggupi. Suami saya ini memang selalu berapi-api kalau mendukung saya untuk usaha makanan. Tapi saya masih belum sepenuh hati, meskipun cita-cita besar saya di masa depan ingin punya restoran yang dipadukan dengan toko buku atau perpustakaan. Mudah-mudahan terwujud. Saya dan teman-teman menggunakan batik, nyambung dengan apa yang dijual di stan tersebut.
Stan kami, menjual aneka macam batik, pernak pernik dari perak, lumpia dan sate lilit. Peta Indonesia yang merah itu akhirnya saya beli (menggunakan uang hasil jualan sate :D), unik untuk dipasang di rumah.Sate Lilit buatan saya. Yang di kotak belakang itu lumpia isi sayuran dan ayam buatan teman.Nampang depan stan. Saya memakai batik dari Jambi kalau ga salah. Ingat-ingat lupa entah ini kado kawinan atau nitip teman trus jahit model sendiri.
Resep sate lilit ikan ini saya menyontek dari blog Melly. Dari beberapa yang mengunjungi stan kami dan membeli makanan dan barang-barang yang kami jual, mereka belum pernah mendengar yang namanya sate lilit. Akhirnya mereka membeli dan mencoba. Menurut mereka rasanya enak sekali (dengan mengatakan “heerlijk” yang artinya lezat). Lalu mereka bertanya bagaimana cara membuatnya dan bahan-bahan yang digunakan apa. Untung saja ada deskripsi yang dibuatkan oleh suami sehingga saya tidak terlalu banyak menjelaskan. Ada yang suka rasanya, ada yang tidak suka rasa kelapanya, ada yang merasa terlalu pedas, dan ada yang bilang rasanya tidak pedas sama sekali. Yang mengejutkan, ada yang ingin pesan lumpia dan sate lilit. Mereka minta kartu nama kami untuk pemesanan. Kami lalu bilang kalau kami tidak buka katering. Saya bilang bisa saja saya membuat sate lilit lalu dikirim ke Horst dari Den Haag, kalau mereka mau. Tapi mereka bilang terlalu jauh. Lalu teman saya ditodong untuk membuat lumpia. Teman saya tidak menyanggupi karena dia bekerja penuh waktu, jadi tidak ada waktu untuk menerima pesanan. Ketika saya cerita ke suami, dia bilang “wat jammer!” (=sayang sekali!).
Beberapa saat kemudian, saya mulai berkeliling melihat stan-stan lainnya. Meskipun tidak semua stan saya kunjungi, tapi senang sekali dengan kemeriahan acara ini. Beberapa kebudayaan dari negara-negara lain seperti Afrika, Irlandia, Indonesia, Ukraina, Maroko, dan masih banyak lainnya ikut memeriahkan festival ini. Dan yang pasti, banyak sekali stan yang menawarkan makanan untuk dicicipi. Nah bagian ini yang saya suka, incip makanan gratis 😀
Paprika dan jagungRadish, enak dimakan untuk salad
Camilan paprika
Aneka olahan jaheKeju dan KacangPanggung musikAir mancur dan panggung lainnya
Selain stan di luar ruangan, ada juga produk pertanian yang dijual di dalam gereja.
Sayur mayur yang ada dalam GerejaSayur mayur yang ada dalam Gereja
Gereja
Saya dan teman-teman juga berkesempatan membuat Henna. Awalnya melihat ada seorang perempuan membuat Henna untuk anak kecil. Lalu saya bertanya harus bayar berapa dan tahan berapa lama Henna tersebut. Ternyata gratis dan cuma tahan kurang lebih satu minggu. Saya lalu tertarik lalu minta dibuatkan salah satu model yang tertera di salah satu bukunya. Sambil menunggu dilukis, saya bisa mendengarkan alunan gendang (entah apa nama alat semacam gendang) yang dimainkan dari stan Afrika dan beberapa orang ikut belajar memukul gendang tersebut. Begitu sampai rumah, suami kaget ada Henna di tangan saya. Saya suka karena gambarnya tidak ramai. Sampai hari ini, Henna yang ada di tangan sudah agak memudar.
HennaBelajar memukul gendang
Selain stan-stan yang memang berjualan untuk mendapatkan uang pribadi, ada juga stan-stan yang berjualan untuk mendapatkan uang yang nantinya akan disumbangkan pada yayasan dimana mereka berada. Salah satu stan yayasan tersebut ada di depan stan kami. Yayasan ini namanya Wahyu, didirikan untuk membantu anak-anak di Bali utara. Yayasan Wahyu ini didirikan pada tahun 2008 atas prakarsa Perancis Gardingen dan Willemien van Gardingen- van den Elzen. Keduanya adalah pengusaha yang sudah pensiun. Sejak tahun 2003, mereka aktif bersama-sama dengan pemberian bantuan kepada anak-anak di wilayah Bali Utara, Indonesia. Yayasan Wahyu ingin memberikan bantuan untuk pelatihan pemuda di Bali Utara. Anak-anak ini layak mempunyai masa depan yang lebih baik dengan kesempatan untuk bersekolah di tempat yang baik, dengan atap yang tidak bocor dan fasilitas sanitasi yang memadai dan higienis karena banyak sekolah tidak memiliki irigasi dan air minum (dari website Yayasan Wahyu). Rasanya saya malu hati melihat bangsa lain mengumpulkan dana untuk membantu bangsa Indonesia. Jadi bertanya pada diri sendiri, apa yang sudah saya lakukan untuk Indonesia. Ada kejadian yang menggelitik, stan-stan disekitar yayasan Wahyu ini kalau memanggil Meneer yang menjaga stan dengan panggilan Wahyu, padahal nama Beliau bukan Wahyu.
Yayasan WahyuIbu ini asalnya Irlandia, menikah dengan orang Belanda kemudian mendirikan yayasan untuk membantu masyarakat Ghana
Van Horster Land berlangsung dari jam 12 sampai jam 5 sore. Sekitar jam setengah lima kami mulai beres-beres. Kami sudah lapar dan ingin segera makan di rumah temen. Senang sekali bisa ikut berpartisipasi di acara ini. Selain saya dan teman-teman yang tinggal di Belanda baru 1.5 tahun bisa langsung praktek menggunakan bahasa Belanda, bisa berinteraksi dengan masyarakat lokal dan orang dari beberapa negara, bisa mengetahui kebudayaan bangsa lain, bisa memperkenalkan Indonesia lewat makanan dan barang-barang khas Indonesia serta bisa menjelaskan jika ada yang bertanya tentang Indonesia. Pengalaman sangat berharga.
Setelah acara selesai, kami langsung menuju rumah teman untuk makan, berbincang dan tertawa saling bertukar cerita tentang pengalaman kami saat awal-awal tinggal di Belanda. Ternyata banyak sekali kejadian lucu yang kami alami karena saat itu kami belum bisa bahasa Belanda sama sekali, jadi banyak sekali salah paham kalau sedang berbicara dengan orang Belanda. Kami tertawa tiada henti mengenang masa-masa itu. Bersyukurnya saat ini kami sudah bisa berbicara menggunakan bahasa Belanda, meskipun tetap masih harus belajar lebih giat lagi untuk meningkatkan kemampuan bahasa Belanda kami. Terima kasih untuk teman saya yang sudah memasak dengan sangat enak dan untuk teman-teman lainnya atas segala cerita serta kebersamaan hari itu. Tot volgende keer!
Makanan Nusantara. Kreco (siput) masak pedas, asem-asem ikan, sambel trasi, lalapan, bakso, ikan bumbu kuning, sate lilit, tempe mendoan, kue lapis. Super Lekker!
Saya suka sekali yang namanya belanja. Maksudnya adalah belanja bahan makanan di supermarket ataupun di pasar. Berbelanja di pasar tradisional selalu mempunyai kesenangan tersendiri, salah satu cara untuk refreshing, begitu saya menyebutnya. Beruntung sekali di Den Haag pasar tradisionalnya (Haagse Markt) super lengkap dan super murah dengan kualitas barangnya bagus. Saya mengatakan super lengkap karena banyak sayur mayur ataupun buah yang ada di Indonesia juga dijual di sini. Sebut saja sukun, belimbing wuluh, kedondong dan masih banyak lainnya, bahkan ontong (jantung pisang) segar pun ada. Selain itu, kalau di pasar saya selalu mengamati interaksi antara penjual-pembeli, penjual-penjual, maupun pembeli-pembeli. Karenanya, saya tidak bisa sebentar kalau ke pasar. Minimal 2 jam di sini, selain karena pasarnya sangat besar, saya juga sambil jalan-jalan melihat barang-barang yang lain (elektronik, baju-baju, kain, perlengkapan dapur dll). Saya ke pasar setiap tiga minggu sekali. Di Haagse Markt barangnya bisa ditawar, selayaknya pasar tradisional di Indonesia. Saya sering menawar harga cabe rawit.
Ontong atau jantun pisang di Haagse Markt
Selain ke pasar tradisional atau supermarket, saya dan suami juga senang membeli sayuran, buah, dan telur langsung ke pertanian dan peternakan. Jadi kami di sini bisa langsung petik sayuran atau buah yang ingin di beli (terkadang didampingi yang punya, terkadang bisa langsung petik sendiri) lalu ditimbang dan bayar. Membeli telur ayam juga sama, kami langsung datang ke peternakannya, ambil sendiri telur yang ada dalam kandangnya, lalu ditimbang dan bayar. Area pertanian dan peternakan yang dekat dengan rumah adalah Biesland yang terletak diantara Den Haag, Delft, dan Pijnacker. Daerah ini selalu kami lalui setiap minggunya karena hutannya (Bieslandse Bos) menjadi tempat kami olahraga lari ataupun sekedar jalan-jalan di akhir pekan. Jangan bayangkan hutannya seram dan penuh pepohonan lebat seperti di Indonesia. Hutan di sini jauh dari kesan angker. Beberapa foto di bawah ini adalah lahan pertanian yang biasanya kami datangi untuk membeli sayuran.
BuncisIni tanaman apa ya, Kale kayaknya. Yang disebelahnya adalah PreSeledri (dalam bahasa Belanda : Selderij)
Selain di Biesland, ada dua tempat lagi tempat kami membeli sayur mayur dan buah. Kalau di dua tempat tersebut bukanlah area pertanian, melainkan rumah kecil yang di dalamnya berisi hasil pertanian. Jadi hasil pertanian tersebut sudah diberi harga, kita bisa timbang sendiri lalu memasukkan uangnya ke dalam kotak yang sudah tersedia. Kenapa memasukkan uang ke dalam kotak? Karena tidak ada yang menjaga rumah kecil ini. Jadi sistemnya adalah kepercayaan dan kejujuran. Kita membayar sesuai dengan harga yang tertera di timbangan.
Untuk metode membeli sayuran langsung di lahan pertanian, mengingatkan saya akan sistem penjualan di kebun di Ambulu dan sawah milik Mbah Putri di Nganjuk. Jadi kalau di sawah, Mbah Putri selain menanam tanaman pokok, juga ada beberapa tanaman pendamping misalkan cabe, kacang panjang, lembayung, buncis dll. Bedanya, pembeli memetik sendiri apa yang ingin membeli, lalu Mbah Putri mengira-ngira harganya. Jadi tidak memakai timbangan. Kalau di Ambulu juga sama. Ada kebun milik keluarga (namanya tegalan) yang menanam pohon kelapa, cabe, salak, rambutan, mangga dan masih banyak lainnya, juga ada peternakan ayam. Bedanya kalau di Ambulu setelah pembeli mendapatkan barangnya, bude atau Ibu lalu menimbang barang tersebut. Jadi membayarnya sesuai beratnya, tidak menggunakan ilmu perkiraan.
BIESLANDDAGEN 2016
Bieslanddagen 2016
Tanggal 3 dan 4 September 2016 ada acara di area Biesland yang namanya adalah Bieslanddagen (dagen = hari dalam bentuk jamak). Bieslanddagen 2016 sudah memasuki tahun ke empat belas. Acara ini diadakan setiap tahun pada minggu pertama bulan September. Jadi dalam dua hari tersebut diadakan acara semacam pesta pertanian dan peternakan, acaranya gratis kecuali kalau kita membeli sesuatu tentunya membayar. Kami datang pada hari sabtu, cuaca lumayan cerah tapi tidak cerah sekali. Saya antusias sekali datang ke acara ini. Saya selalu suka dengan acara yang konsepnya kembali ke alam. Setelah memarkir sepeda, kami melihat banyak sekali anak-anak kecil. Suami sempat ragu, jangan-jangan acara ini diperuntukkan untuk anak-anak kecil. Saya bilang tentu saja tidak, acara ini untuk umum, siapapun boleh datang tidak mengenal umur. Beberapa kegiatan pada Bieslanddagen ini adalah kegiatan untuk anak, stan yang menjual produk lokal, acara musik, dan membeli secara langsung buah dan sayur di kebun. Lokasi acara ini ada di sembilan tempat berbeda tetapi letaknya berdekatan. Jadi bisa ditempuh jalan kaki antara satu tempat ke tempat lainnya.
Hoeve Biesland
KEGIATAN ANAK
Di awal saya sudah menyebutkan kalau dalam acara ini didominasi oleh keberadaan anak-anak kecil. Rupanya banyak sekali kegiatan yang bisa dilakukan olah anak-anak tersebut pada acara ini. Beberapa kegiatan seperti yang terlihat pada foto-foto dibawah ini, yaitu : memberi makan sapi, memancing, ada story telling juga, bisa naik kereta secara gratis (ada beberapa kereta yang disediakan), belajar memanah, bermain bersama domba dan sapi di lapangan, belajar melukis muka, bermain hulahop, kemping, dan membuat gerabah dari tanah liat. Asyik-asyik ya semua kegiatannya.
Memberi makan sapiMemancingMendongengNaik kereta
Sewaktu melewati tempat belajar memanah ini saya hanya bisa memandang dengan rasa ingin ikutan juga. Suami menggoda “kalau kamu mau, ayok aku temani. Nanti aku bilang kalau usiamu baru 14 tahun.” :p Dia tahu kalau salah satu keinginan saya bisa memanah, setelah menonton The Hunger Games *korban film.
Belajar memanahSapinya menggemaskanBermain bersama kuda
STAN MENJUAL PRODUK LOKAL
Nah, bagian ini yang membuat antusias. Saya selalu senang kalau melintasi stan-stan yang menjual produk lokal, maksudnya adalah sayur mayur dan buah yang dijual langsung dipetik dari kebun atau lahan pertanian. Atau bahan makanan atau minuman yang dijual juga diolah dari hasil pertanian maupun perkebunan setempat. Jadi benar-benar terasa lokal dan segarnya. Ada satu stan yang menjual sambal. Variasi sambalnya lumayan banyak, tapi tidak ada sambal terasi apalagi sambal pete. Ditengah saya mencicipi beberapa jenis sambal, ada seseorang yang menyapa. Dia bertanya apakah saya dari Indonesia (bertanya menggunakan bahasa Belanda). Setelah saya jawab iya, langsung dia berganti berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Rupanya Bapak tersebutlah yang membuat sambal-sambal ini. Bapak tersebut berasal dari Kalimantan dan sudah lama tinggal di Belanda. Suami menggoda saya “mustinya kamu juga buka stan di sini, menjual sambal buatanmu yang fenomenal itu.” Dia ini menggoda saya seperti itu karena memang beberapa kali saya pernah menjual sambal buatan saya kepada beberapa teman. Mereka minta dibuatkan tapi maunya membeli, tidak mau diberi secara cuma-cuma. Ya akhirnya saya buatkan, lumayan buat nambah tabungan.
Jual segala jenis sambelGemes lihat warnanya. Stan ini menjual minuman, sambal, dan beberapa kue.Perwadah isinya bercaman sayuran, harganya 1.5 euroBirTomat segarKeju produksi BieslandSayuran segar
Roti dan ovennyaMeracik minuman
ACARA MUSIK
Di Bieslanddagen ini juga ada acara musik yang terletak di beberapa tempat. Ada yang akustik, ada kelompok musik, maupun ada yang berkeliling sambil memainkan alat musik akordian ditemani oleh Oma dan Opa yang berdansa dan ikut bernyanyi. Ini ada sedikit rekamannya :
Kelompok musik PijnackerSambil makan, menikmati nyanyian dari kelompok musikBernyanyi dan menari
BERKUNJUNG KE KEBUN BUAH
Kebun buah ini letaknya di belakang sebuah rumah yang dulunya juga berfungsi sebagai kincir angin. Tapi sejak lama kincir angin tidak difungsikan lagi tetapi rumahnya masih ditempati oleh seorang Opa. Kebun buahnya sebenarnya tidak terlalu besar, tetapi lumayan banyak jenis buah yang ada di dalamnya. Ada buah pir, apel, framboesa, strawberry, dan beberapa buah lainnya yang saya tidak tahu namanya.
Rumah yang dulunya juga berfungsi sebagai kincir angin. Saat ini kincir anginnya tidak berfungsi lagi, tinggal rumahnya saja dihuni oleh seorang Opa. Rumah ini dibangun tahun 1800an.Ini buah apa tidak tahu namanya.Framboesa
Sedang memangkas tanaman yang digunakan sebagai dekorasi rumah, untuk dijual langsung kepada seorang pembeli.Kebun buah
Tidak terasa kami mengunjungi satu persatu semua lokasi acara dan suami kalap belanja ini itu (terutama keju), tiga jam kami berada di acara ini. Tidak berasa capek sama sekali karena memang acara ini sangat menarik, banyak stan yang menyediakan tester juga sehingga kami bisa incip-incip gratis, melihat keseruan anak-anak kecil dengan kegiatannya, mendengarkan musik yang dimainkan, maupun sekedar duduk-duduk di dalam kebun buah atau yang tidak ketinggalan juga, menikmati es krim.
Duo es krim. Satu scoop nya 1 euro.
Selama bulan September ini di Den Haag berlangsung banyak food festival. Kami sampai kebingungan mau datang ke acara yang mana.
Kalian punya pengalaman juga membeli sayur mayur dan buah ataupun telur langsung di peternakan atau pertanian ataupun kebun?
CERITA TAMBAHAN
Cerita tambahan ini tidak ada hubungannnya dengan Biesanddagen. Hanya ingin pamer, kalau minggu lalu akhirnya saya bisa membuat klepon untuk pertama kalinya dan setelah sekian lama akhirnya bisa makan sayur bobor. Warna kleponnya tidak cerah karena tidak punya pewarna makanan, akhirnya warna hijaunya didapat dari daun pandan yang diblender. Saya cuma makan 4 biji, sisanya suami yang tidak berhenti mulutnya mengunyah. Ternyata membuat klepon tidak sesusah yang saya bayangkan (haha sok!). Sayur bobor juga saya baru pertama buat. Rasanya nyaris mirip dengan yang biasa Ibu masak, hanya tidak ada rasa tempe bosoknya (karena memang tidak punya) yang saya ganti aromanya dari ebi.
KleponSayur bobor yang dimakan bersama singkong kukus, jagung kukus, mendol panggang, sambel trasi mentah, dan kerupuk. Makan ini berasa lagi ada di Indonesia
Gimana, judulnya sudah sangat mengAADC belum 😅 -atau kuharus lari ke hutan kemudian belok ke pantai?- 😜
Akhir pekan memang kami lalui di hutan dan di pantai, selain kerjabakti berdua seperti biasa bersih-bersih rumah dan saya masak untuk persediaan beberapa hari kedepan. Akhir pekan suami dimulai hari Jumat karena dia sudah libur sedangkan saya mulai Jumat sore saat pulang kerja. Karena Jumat minggu lalu panasnya luar biasa, tidak ada angin jadi makin menambah hawa panasnya, maka sepulang saya kerja kami makan es krim. Sebenarnya makan es krim karena ingin merayakan sesuatu juga sih, jadi sekalian bersepeda ke toko es krim dekat rumah yang murah meriah dan enak, makanya rame setiap saat.
Pacaran makan es krim.
Sabtu hampir seharian dengan Mama mertua karena pagi sampai siang kami membantu Beliau belanja dan ngobrol di rumahnya. Trus siangnya Beliau mentraktir kami makan di restoran Indonesia andalan saya dan suami yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah. Kenapa andalan? Karena memang rasanya lebih cocok untuk lidah kami dibanding restoran-restoran Indonesia lainnya yang ada di Den Haag. Andalan saya di restoran ini adalah Tekwan, selain Pempek karena memang restoran ini terkenal dengan Pempeknya (bukan postingan berbayar, hanya testimoni dari pelanggan yang puas). Biasanya restoran ini tidak terlalu ramai kalau siang, meskipun pada saat akhir pekan. Untungnya saya sudah pesan tempat dua hari sebelumnya. Ternyata begitu kami datang, rame sekali. Beberapa orang yang datang setelah kami, tidak bisa makan karena tempat sudah penuh dan mereka memang tidak pesan tempat dulu sebelumnya (saya dengar ada yang datang dari Jerman). Hawa yang panas dan restorannya tidak mempunyai AC, akhirnya pintu dibuka agar sirkulasi udaranya lancar. Mama makan gado-gado minumnya kopi, saya makan tekwan minum teh botol, suami makan sate kambing rames (dia selalu pesan ini kalau makan di sini) plus es campur tape. Duh senangnya ditraktir Mama, bisa bungkus juga haha mantu kemaruk. Setelahnya sampai rumah kami leyeh-leyeh, mau lanjut ke pantai tidak kuat dengan panasnya (sok banget ya ga kuat panas, padahal panasnya belum ada apa-apanya dibandingkan Situbondo dan Surabaya😅). Malamnya kami nonton film Princess Diana di TV Belgia (lupa nama salurannya). Baru tahu tentang kehidupan percintaan Lady Di setelah bercerai. Meskipun katanya film ini dibuat berdasarkan gosip saja, bukan fakta. Nonton film sambil makan rujak petis.
Rujak petis isi kangkung, kacang panjang, timun, tahu dan tempe
Minggu cuacanya tidak terlalu bagus, tidak terlalu buruk juga. Mendung seharian, tapi kadang-kadang muncul matahari. Kami bangun pagi. Suami sepedahan 50km, saya masak sambil nunggu dia pulang sepedahan. Saya masak bumbu urap, botok tempe teri, sambel tumpang, dadar jagung panggang, ubi kukus. Jadi menunya semua serba kukus, rebus, panggang, tanpa minyak. Menu tersebut selain untuk makan siang juga untuk menu makan siang kami berdua selama beberapa hari kedepan. Untuk bumbu urapnya sekalian masak banyak untuk stok di freezer. Botok dan sambel tumpangnya memakai tempe setengah busuk, karena saya memang punya persediaan.
Setelah 1.5 jam masak dan selesai semua, suami datang dari sepedahan. Lalu kami pergi ke hutan dekat rumah untuk lari. Saya selalu senang kalau lari di hutan, tidak terlalu terasa capek.
Hutan dekat rumahYang kiri cukup 6km saja, yang kanan 10km plus sepedahan 50km
Pulang lari, langsung santap semangka. Duuhh segernyaaa! Setelahnya kami makan siang. Selepas makan, suami bersih-bersih kamar mandi, nyapu dan cuci peralatan masak. Saya ngurusin kembang-kembang.
Segeerr!Makan siang kami : Botok (isi teri, tempe, daun kemangi, belimbing wuluh. Males bungkus pakai daun, akhirnya dikukus saja), sambel tumpang, urap sayur, Quinoa, dadar jagung panggang, ubi manis ungu dan oranye
Setelah kerja bakti dan istirahat sebentar, kami lalu ke pantai yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah (antara Scheveningen dan Kijkduin). Ya karena cuacanya memang mendung mendung sendu plus angin kencang, jadinya ya tidak terlalu berharap banyak matahari akan bersinar. Tapi lumayan bisa menghirup aroma laut. Sewaktu kesana, banyak banget yang sedang olahraga apa ya namanya ga tahu saya. Semacam surfing tapi ditarik parasut gitu. Karena angin kencang dan ada ombak juga jadi pantai rame dengan mereka yang sedang olahraga ini, selain beberapa orang yang lari sore.
Mantai kami di hari MingguOlahraga seperti ini
Jadi, akhir pekan kami seperti puisi dalam film AADC ya -ku lari ke hutan lalu belok ke pantai- 😅 semoga akhir pekan kalian juga berwarna bersama orang-orang tercinta.
Seminggu kedepan Den Haag kembali nyentrong panasnya☀️ Semoga minggu ini keceriaan dan keriaan selalu bersama kita semua.
-Den Haag, 29 Agustus 2016-
Sudah lama ya rasanya tidak bercerita tentang kegiatan akhir pekan, kangen juga menuliskan di blog ini. Maklum, akhir pekan kami akhir-akhir ini selalu saja ada kegiatan yang menyita waktu, begitu minggu malam, rasanya ingin leyeh-leyeh saja. Setelah kami road trip ke Italia, minggu lalu saya pergi sendiri ke Berlin untuk kopdaran dengan beberapa blogger yang tinggal di Jerman (Beth, Mia, Mindy), Austria (Mbak Dian), dan Edinburgh (Anggi). Jadi ini semacam girls trip. Kami meninggalkan sejenak para suami di rumah. Cerita lengkapnya menyusul akan saya tuliskan, atau follow saja blog mereka karena nampaknya mereka yang akan terlebih dahulu menceritakan keseruan yang kami lalui di Berlin. Jika punya akun Instagram, bisa melihat foto-foto keseruan kami dengan hastag #mbakyuropdiberlin.
Dari kiri ke kanan : Mbak Dian, Beth, Anggi, Mia, DenyBeth, Anggi, Deny, Mindy, Mbak Dian. Foto dari kamera Mbak Dian.
Akhir pekan ini kami tidak ada acara khusus. Karena sudah lama tidak memasak pada akhir pekan, saya merasa kangen dengan dapur. Rasanya ingin mencoba memasak sesuatu yang baru, tapi yang tidak ruwet. Sabtu pagi suami pergi ke gym setelahnya belanja di supermarket, saya di rumah bersih-bersih kamar. Tiba-tiba saya ingin makan pecel untuk makan siang karena persediaan bumbu pecel masih ada dan di kulkas stok sayuran masih bervariasi karena jumat sepulang kerja saya dan suami pergi belanja sayur dan buah. Akhirnya kami makan siang dengan pecel lauk perkedel tahu panggang. Ini sambel pecelnya sangat pedes, tapi mas Ewald doyan meskipun makannya sambil bercucuran air mata dan ingus keluar dari hidung saking pedesnya dan dia harus berkali-kali membersihkan ingus. Saya bilang kalau kepedesan tidak usah dihabiskan, tapi dia bilang pedasnya masih bisa diterima oleh lidahnya. Level pedes suami rasanya semakin hari semakin meningkat seiring istrinya tega selalu menyajikan makanan dengan rasa pedas 😀
Pecel (sayurannya : daun basil, kecambah, sawi, buncis, ketimun, wortel) dan perkedel tahu panggang
Setelah makan siang, saya bersiap untuk membuat kue. Jadi suami malamnya ada acara dengan kerabat. Si empunya acara ini vegan. Setelah mencari resep kue vegan kesana kemari, akhirnya saya cocok dengan resep kue vegan yang ada di youtube ini karena bahannya tidak ruwet dan proses membuatnya tanpa dioven. Bahan kuenya : Tepung Almond (karena saya tidak paham tepung apa yang diterangkan di youtube tersebut, akhirnya saya ganti sendiri dengan tepung almond), air kelapa, kelapa parut, cocoa powder, vanilla extract, kurma (pengganti gula). Ini semua bahannya dicampur menggunakan tangan. Bahan isi dan lapisan luarnya : kurma, air kelapa, avocado, cocoa powder, vanilla extract, dan apel. Untuk takaran bahan-bahannya saya memakai ilmu kira-kira jadi tidak pakai timbangan. Ini baru pertama kali saya membuat kue vegan, dan tanpa di oven. Suami sempat bertanya,”kalau kuenya sudah jadi bisa dimakan?” Wah yo embuh ya mas, ora tau nggawe sebelumnya :D. Dan setelah jadi, taddaaa ternyata kuenya enaaakkk banget. Lembut, tidak terlalu manis, dan yang penting sehat dan tidak ruwet membuatnya. Kue vegan ini setengah loyang dibawa suami ke acara, dan mereka semua suka. Ah senang rasanya baru pertama membuat dan langsung sukses. Sementara suami di rumah berkali-kali buka tutup kulkas untuk makan kue ini. Dia ingin selanjutnya saya membuat kue vegan saja karena menurut dia rasanya lebih enak dibandingkan kue yang biasa saya buat. Saya yang memang tidak terlalu suka jenis kue yang manis, hanya memakan satu kali saja kue vegan coklat tersebut.
Raw vegan cake. Tanpa gula, tanpa di oven, tanpa telur, dan gluten free.Raw vegan cake. Tanpa gula, tanpa di oven, tanpa telur, dan gluten free. Hiasan seadanya.
Sabtu malam saat suami tidak di rumah, saya tiba-tiba ingin makan Tom Yum. Saya ingat masih punya bumbu Tom Yum di kulkas yang saya buat sendiri. Tapi sayangnya saya tidak punya stok seafood. Akhirnya saya membuat Tom Yum isi sayuran : jamur, sawi, kecambah ditambah irisan cabe rawit. Sabtu malam kencan dengan Tom Yum sambil cekikikan melihat lagi foto-foto di Berlin.
Tom Yum isi kecambah, sawi, jamur.
Kami memulai minggu pagi seperti biasa dengan olahraga. Saya lari 5km, suami bersepeda 50km plus lari 8 km. Lalu saya sibuk di dapur menyiapkan makan siang, suami membersihkan wc dan kamar mandi. Sehari sebelumnya, saya sudah mencari resep pastel tutup karena memang belum pernah membuat dan masih ada stok kentang. Ternyata membuat pastel tutup itu gampang, tidak seruwet seperti yang saya bayangkan. Isi dari pastel tutup ini : wortel, sawi, buncis, jamur, soun, prei dan brokoli. Tinggal oseng-oseng isinya, masukkan di pinggan tahan panas, tutup dengan kentang rebus yang sudah dihaluskan, masukkan oven 190 derajat selama 22 menit. Setelah dicoba ternyata enaakk rasanya, meskipun kentangnya tidak memakai susu, keju ataupun telur. Kentangnya saya campur dengan sedikit tepung supaya agak merekat. Suami suka dengan pastel tutup ini. Hanya satu kritiknya, kok ga dikasih cabe. Duh mas, lidahmu kok lebih mengIndonesia sekarang, apa-apa harus pedas :p. Sisa adonan kentangnya saya buat perkedel panggang untuk lauk suami makan siang di kantor. Dan inilah penampakan pastel panggang pertama saya. Kami makan 3/4 loyang dan selebihnya saya bagi ke Mama mertua.
Pastel tutup isi wortel, soun, jamur, buncis, preiPastel tutup isi wortel, soun, jamur, buncis, brokoli, dan prei
Setelah makan siang dan kekenyangan pastel panggang, suami melanjutkan aktivitas menyapu dan membersihkan karpet sementara saya menjemur baju. Sekitar jam 3 kami pergi ke toko tanaman untuk membeli beberapa bunga karena bunga-bunga yang ada di rumah mati semua selama kami tinggal liburan. Setelah dari toko tanaman kami ke rumah Mama. Saya membawa pastel tutup dan kue vegan coklat. Setelah dicoba Mama, beliau sukaa sekali pastel tutup dan kue vegan coklat tersebut. Wah saya girang bukan kepalang. Mama adalah penikmat masakan saya yang paling jujur. Kalau masakan saya tidak enak, beliau akan bilang tidak enak dan makanan saya selebihnya akan dikembalikan. Untung saja selama ini baru satu kali masakan saya yang dibilang tidak enak dan dikembalikan. Kalau tidak salah semur tempe. Selebihnya beliau suka, bahkan tumis pare pete pedes pun beliau suka. Beliau ini suka makanan pedas. Kalau akhir pekan saya memang memasak agak banyak agar Mama juga bisa ikut makan masakan saya. Kalau saya sedang tidak bisa main ke rumah Mama, maka makanan akan saya titipkan pada suami karena suami setiap minggu pasti ke rumah Mama.
Setelah dari rumah Mama kami mengayuh sepeda diiringi angin yang super kencang, gerimis, dan mendung yang memang menggelayut sejak pagi. Musim panas di Belanda matahari muncul hanya sesekali. Selebihnya tetap mendung, hujan dan angin kencang. Akhir pekan kami tutup dengan berbincang ditemani kerupuk, teh jahe, kue coklat vegan dan mendung. Akhir pekan yang menyenangkan karena saya akhirnya kembali lagi ke dapur. Memasak selalu membuat saya bahagia.
Sesuai dengan judulnya, akhir pekan yang kami lalui memang ceria dalam arti sebenarnya. Tentu saja ceria disini berhubungan dengan cuaca. Nyaris seminggu kabut selalu turun pagi hari dan sore hari. Memang tidak terasa terlalu dingin karena kami kalau keluar rumah tidak menggunakan jaket, tapi tetap saja rasanya kelabu kalau melihat kabut yang turun. Bukan hanya kabut, hujan juga berhari-hari mengguyur. Tidak terus-terusan turun hujan di tempat kami tinggal, tetapi tetap saja perlu membawa peralatan perang kalau hujan.
Kabut pekat
Tetapi akhir pekan cuaca mulai membaik. Lumayan sabtu dan minggu sinar mataharinya terik dengan suhu sekitar 25 derajat celcius. Kesempatan ini tentu saja tidak kami sia-siakan dengan bersepeda menyusuri rute yang baru dan berjalan-jalan di hutan. Kalau cuaca cerah begini senang melihat oarang-orang giat beraktivitas di luar rumah. Ada yang berperahu, memancing, berenang di danau, anak-anak kecil bermain air di halaman rumah, berjemur di taman, membaca buku, jalan-jalan di hutan, duduk dipinggir danau, berolahraga, dan masih banyak aktivitas lainnya. Kalau cuaca sedang cerah, semua orang berbondong-bondong keluar rumah.
Cantik ya, jambulnya dong ga nahan 😀
Dengan cuaca seperti ini, enak sekali bersepeda atau berjalan-jalan di hutan. Rasanya segar meskipun saya merasa agak gerah. Sampai diledek suami “gaya kamu berasa gerah, nanti bagaimana kalau liburan ke Indonesia, bisa-bisa uring-uringan :p” padahal tahun kemarin saat awal datang ke Belanda saya selalu uring-uringan karena udara dingin sekali. Hampir 1.5 tahun setelahnya keadaan menjadi berbalik.
Dalam hutan. Jalan-jalan santai dengan jarak agak jauh kalau dalam bahasa Belanda namanya wandelen.Sesuatu ini beneran ngagetin. Kami kira ada orang pingsan ditengah hutan. Saya malah mau lari saja, mikir film-film horor gitu. Tapi setelah didekati suami katanya gundukan tanah biasa. Duh, bikin jantungan!
Ada hal yang menggangu ketika jalan-jalan, yaitu serbuk sari (pollen) yang beterbangan. Untung kami tidak punya alergi terhadap serbuk sari atau bunga tertentu, jadi tidak bersin-bersin dan pilek. Tapi tetap saja risih masuk ke hidung. Jadi rasanya ketika jalan-jalan seperti ada salju beterbangan. Dimana-mana putih warnanya. Membuat kotor rambut juga, menempel. Kalau punya alergi terhadap rumput, serbuk sari dari bunga, tumbuhan namanya hooikoorts. Biasanya sering muncul kalau bunga-bunga mulai mekar
Pollen (serbuk sari)Geli sebenarnya lihat gini. Ini seperti bekicot tapi ga ada cangkangnya. Namanya Slak. Nyaris saja keinjak saking kecilnya ditengah jalanNongkrong pinggir danau
Kalau cuaca panas begini rasanya ingin minum yang dingin-dingin. Inginnya minum es degan sih atau dawet trus duduk-duduk di bawah pohon sambil makan rujak super pedes. Tapi adanya es krim 😀 awalnya kami akan ke Ikea membeli es krim karena es krimnya enak dan murah meriah. Tapi di tengah jalan menuju Ikea kami menjumpai ada yang jual es krim rumahan. Mas Ewald bilang untuk beli disini saja, “kita beli disini saja. Kan membantu orang yang punya usaha sendiri.” Aduh, tersentuh mas dengan ucapanmu :D. Es krimnya enak, rasanya pas.
Beli es krim pinggir jalan (ya kalau ditengah jalan nabrak dong *kriikk krikk)satu cone begini harganya 1 euro. Rasanya enak banget, haus soalnya 😀Unik ya rumahnya. Yang punya rumah sedang berkebun ditemani anjingnya. Trus kami bertanya nama bunganya apa kok unik bentuknyaBunga Digitalis purpurea. Bunganya seperti lonceng. Ini karena pakai kamera Hp jadi kalau diperbesar pecah.
Akhir pekan saya tidak terlalu heboh masak. Sabtu menunya gudeg sudah ada persediaan, masak yang banyak untuk persediaan bulan puasa, persiapan kalau malas masak melanda. Sedangkan minggu masak stamppot yang merupakan makanan tradisional Belanda. Stamppot ini identik dengan makanan musim dingin, tapi bisa juga dimakan segala musim. Stamppot adalah kentang direbus yang ditumbuk halus bersama sayuran lainnya (biasanya wortel, kale, atau zuurkool-kubis asin-) ditambah keju, margarin, lauknya sausage. Selain dengan sayuran, bisa juga digunakan buah.
Gudeg, pindang telur, ikan asin, nasi coklat, sambel
Yang saya masak adalah stamppot modifikasi, vegetarian. Kentang diganti ubi saya tumbuk bersama ujungnya venkel. Diatas kentang saya taburi dengan bawang yang dicampur dengan balsamic. Sayurnya venkel, asparagus, wortel, jagung kecil. Lauknya perkedel tahu yang dipanggang dan tempe yang dibentuk burger dan dipanggang juga. Ini mengenyangkan sekali tapi enak rasa ubi tumbuknya.
Stamppot ubi lauk perkedel tahu panggang. Bebas minyakStamppot ubi lauk tempe dibentu burger trus dipanggang. Tanpa minyak
Saya mengenal dia, panggil saja namanya begitu, berawal dari Facebook. Waktu itu kami masih sama-sama menjadi pejuang cinta, bedanya saya sudah mendapatkan visa, dia masih dalam tahap akan ujian. Saya yang memulai menyapanya karena kami ada beberapa persamaan latar belakang. Waktu bergulir, dia masih berjuang di sana, saya sudah tinggal di Belanda untuk memulai perjuangan yang lainnya. Kami masih saling berkomunikasi meskipun sama sekali belum pernah bertemu muka. Pertengahan tahun kemarin, untuk pertama kalinya kami bertemu karena akhirnya dia memulai lembaran baru dalam hidupnya di negara ini. Kami tinggal di kota yang terhitung jauh satu sama lain.
Setelahnya beberapa kali kami bertemu kembali di beberapa acara. Kami memang jarang berkirim kabar melalui aplikasi whatsapp, seperlunya saja. Sudah tiga kali kami pergi bersama untuk jalan-jalan keliling Belanda, memanfaatkan tiket murah kereta dan memberi ruang kepada suami di rumah juga kami sendiri untuk sejenak meninggalkan rutinitas, melakukan kegiatan yang kami suka. Me time, begitu bahasa kerennya. Kami pernah mengunjungi Maastricht dan Groningen. Suatu hari saya menerima pesan dari dia, ajakan untuk kembali berjalan menyusuri tempat yang lain. Saya mengusulkan Kinderdijk, dan dia langsung mengiyakan.
Sejak lama saya penasaran dengan Kinderdijk. Meskipun tempatnya tidak terlalu jauh dari tempat saya tinggal, tetapi ada saja halangan untuk datang ke tempat ini. Begitu ada kesempatan, tidak saya sia-siakan. Sejak tahun 1997, Kinderdijk termasuk dalam Unesco World Heritage. Di dalam kompleks Kinderdijk ini terdapat 19 kincir angin, satu kincir angin pertama dibuka untuk umum sebagai museum yaitu Museummill Nederwaard dan kincir angin setelahnya yaitu Blokweer juga bisa dikunjungi, tetapi tidak terlalu banyak turis datang ke kincir angin yang terakhir karena memang bentuknya lebih modern dan letaknya lebih jauh dari gerbang utama. Kinderdijk terletak sekitar 16 km disebelah barat Rotterdam.
Bersepeda di kawasan Kinderdijk diantara kabutBerkabutKinderdijk
Tiket masuk Kinderdijk bisa dibeli melalui websitenya (Ada potongan harga 10%, sudah termasuk mengunjungi dua museum) maupun langsung beli di tempat. Area Kinderdijk ini buka 24 jam, tapi kalau untuk masuk ke museum paling lambat jam 5 sore. Banyak cara untuk bisa menikmati Kinderdijk : dengan berjalan kaki, menggunakan sepeda, ataupun menyusuri sungai menggunakan waterbus. Jika menyewa sepeda tarifnya €3/jam. Kami memilih untuk berjalan kaki, tidak ada alasan khusus, hanya ingin menikmati suasana dengan lebih leluasa.
Sehari sebelumnya, saya mendengar ramalan cuaca di radio yang menginformasikan akan ada hujan es pada hari sabtu tengah hari. Saya mulai panik dan menginformasikan ke dia apakah rencana ke Kinderdijk tetap diteruskan. Kami nekat karena memang tidak ada waktu lainnya, tiket kereta saya habis masa berlakunya akhir pekan ini. Seringkali memang hidup butuh nekat, karena kita tidak tahu apa yang sudah menunggu kita didepan sama. Sabtu sebelum berangkat, saya kembali melihat ramalan cuaca, dan tetap terlihat bahwa tengah hari akan ada hujan deras disekitar Kinderdijk. Kabut juga terlihat pekat disekitar tempat tinggal saya. Ya sudahlah, saya pasrah dengan membawa perlengkapan pelindung dari gempuran hujan es. Sesampainya kami di sana, kabut terlihat menyelimuti area Kinderdijk, jadi terlihat misterius. Meskipun berkabut, tetapi udara tidak terlalu dingin, saya hanya menggunakan kaos tidak terlalu tebal dan rok, maklum saja suhu sekitar 25 derajat, terasa gerah. Saya menyimpan perlengkapan “perang” dalam tas ransel. Ternyata sampai kami meninggalkan Kinderdijk, hujan es tidak datang, bahkan cuaca semakin menghangat. Ramalan cuaca tidak selalu benar.
Melihat kincir angin dari dalam museum. Didalam Museummill Nederwaard bisa dilihat sejarah sejak awal berdirinya Kinderdijk sampai ditetapkan menjadi Unesco World Heritage dan keadaannya sampai sekarang, juga bisa mendengarkan penjelasan cara kerja kincir angin juga sejarah kehidupan keluarga yang tinggal didalam kincir angin.Mengobrol dengan Bapak penjaga museumIbu saya masih punya lho mesin jahit Singer di rumah 😀
Sepanjang perjalanan menyusuri Kinderdijk kami bercerita banyak hal, selalu begitu saat ada kesempatan bertemu. Salah satu yang menjadi bahan perbincangan kami akhir-akhir ini apalagi kalau bukan tentang ujian bahasa Belanda, karena saya sudah lulus B1, meskipun masih ada sisa ujian yang belum terlaksana untuk keseluruhan ujian integrasi. Tetapi yang pasti, kami menghindari perbincangan menggosipkan orang. Hidup sudah terlalu sibuk bagi kami berdua, jadi memang tidak ada waktu untuk mengurusi hidup orang lain dengan membicarakan di belakang. Apalagi sejak saya memutuskan menghilang sejenak dari Facebook (juga Instagram) sejak tahun kemarin, rasanya memang lingkup pengetahuan saya akan “berita” orang Indonesia yang tinggal di Belanda jauh lebih berkurang, sangat minimal. Tidak mengapa, lebih baik juga untuk hidup saya.
Kami tidak hanya sibuk berbincang satu sama lain, kami juga menyempatkan diri berbincang dengan beberapa orang yang kami temui, salah satunya Bapak penjaga museum. Orang-orang yang kami temui di jalan juga dengan ramah saling menyapa, dari yang berjalan kaki, menggunakan sepeda, bahkan yang menggunakan kapal kecil, menyapa penuh gembira. Bahkan beberapa kali kami diminta tolong untuk memfotokan orang-orang yang kami temui, lalu berbincang sebentar sekedar bertanya mereka berasal dari mana atau sebaliknya mereka yang bertanya pada kami. Selalu senang jika bertemu dengan mereka yang sedang menikmati hari untuk berlibur, aura bahagianya menular, bahkan hanya dari sebuah senyuman. Apalagi menjelang siang, cuaca semakin cerah. Semakin banyak orang berdatangan ke Kinderdijk tidak hanya sekedar menyusuri area ini, tetapi juga melakukan aktifitas lainnya yaitu memancing, ataupun berpiknik di pinggir sungai.
Salah satunya yang berpiknik adalah kami. Saya yang mengusulkan untuk membawa bekal dengan membagi tugas siapa membawa apa. Walaupun belum tahu akan makan dimana, tapi saya yakin akan banyak bangku disepanjang jalan. Ternyata di museum Blokweer ada kebun yang memang disediakan untuk pengunjung berpiknik ataupun sekedar duduk-duduk santai. Disinilah kami piknik menikmati bekal yang kami bawa sembari melihat kincir angin yang berjejer, perahu kecil yang lewat di sungai depan, dan setelahnya kami duduk santai di dek dan berkeliling melihat tanaman yang ada di kebun tersebut.
Makan siang dengan botok tempe kemangi pete, sambel teri super pedes, dan sayuran. Nikmatnya, serasa leyeh-leyeh di pinggir sawah.Kreatif ya, ember bisa dijadikan meja. Di kebun ini saya melihat beberapa keluarga berpiknik dengan anak-anak mereka yang masih kecil. Anak-anak bisa dengan leluasa bermain disini bersama beberapa hewan yang ada didalam kandang. Toilet yang disediakan juga bersih, ada kantin kecil juga yang menjual beberapa minuman dan makanan juga buah tangan.
Perjalanan terus berlanjut, kami menyusuri jalan setapak yang tidak banyak dilalui orang, tetapi mempunyai pemandangan yang lebih indah dibandingkan jalan sebelahnya. Seperti halnya hidup, terkadang kita harus menepi sesaat dari keramaian, mencari jalan alternatif yang lebih sunyi tetapi mendapatkan pembelajaran hidup yang berbeda, yang mungkin jauh lebih baik meskipun mengarah pada tujuan yang sama.
Keseruan lainnya yang kami lalui di Kinderdijk karena saya mempunyai “mainan” baru. Mainan itu bernama tongsis. Ya, betul sekali, pada akhirnya saya punya tongsis pertama kali karena mendapatkan hadiah dari tempat saya bekerja. Karena belum pernah memakai tongsis sebelumnya, dan saya baru mendapatkan dua minggu lalu, jadi kami heboh sendiri mengoperasikan alat ini. Maklum karena masih baru, ada saja kelucuan yang timbul karena gagap bertongsis. Hampir saja alat ini nyemplung ke sungai pada saat kami bertongsis ria diatas jembatan yang sepi orang. Hal-hal yang menimbulkan kelucuan seperti ini bisa membuat kami tertawa tiada henti.
Bukan itu saja yang membuat kami tertawa terpingkal. Saat duduk-duduk dibangku pinggir jalan dekat museum, kami membayangkan ada tukang bakso lewat atau rombong lontong balap lalu kami memesan satu mangkok atau piring dengan minum es degan atau es teh sambil mendengarkan musik dangdut dari rombong penjualnya, yang dilanjutkan makan gorengan plus lombok dan petis udang. Hanya membayangkan saja sudah membuat kami gembira, apalagi bisa jadi nyata ya.
Semakin sore, semakin banyak rombongan turis yang datang. Kami perlahan meninggalkan Kinderdijk dengan mampir sebentar ke bagian depan untuk membeli es krim. Cuaca sore hari sangat terik, kami butuh sesuatu yang menyegarkan. Seperti pengalaman hari itu yang menyegarkan raga kami dengan berbincang dan bercanda tanpa henti sepanjang hari. Dia, yang dulu adalah seorang kenalan, dengan berjalannya waktu berganti menjadi seorang teman.
Sebelum ada telefon sebagai alat komunikasi, peletakan kincir angin ini mempunyai masing-masing arti. Ada 6 bertanda untuk mengabarkan berita duka, berita bahagia, keadaan darurat, sedang tidak beroperasi dalam jangka pendek atau panjang, dan sedang berlangsung perayaan khusus.
Untuk seseorang yang “sulit” bergaul seperti saya, tidak terlalu banyak teman bukanlah suatu masalah besar. Bahkan sejak kecil saya selalu tidak merasa nyaman jika berada dalam situasi yang bergerombol, berteman dengan banyak orang. Satu teman tetapi berlaku sebenarnya teman jauh lebih cukup buat saya, dibandingkan beberapa orang yang mengaku teman tetapi menikam di belakang. Semoga pertemanan saya dan dia tetap baik-baik saja, semoga, meskipun ada saatnya waktu yang akan menguji semua.
Het was een gezellige dag! Tot volgende keer als we samen reizen! (Sebelum ada yang nanya-GR-, ini adalah saya yang ada di foto :D)
Friendship is a natural bond between good people, reciprocal and without ulterior motives -Socrates-