Kompetisi Penderitaan

A : Pas pembukaan 5, aku sudah ga kuat banget. Rasanya pengen dadah-dadah ke kamera menyerah. Padahal itu sudah 8 jam, stuck ga nambah.

B : Pembukaan 5 sih ga ada apa-apanya ya. Ga seberapa itu. Aku pas menuju ke pembukaan 9 baru tuh mulesnya ga kira-kira. Pas aku pembukaan ke 5 masih bisa akrobat segala. Pas pembukaan 9 sampai 5 jam tapi masih kuat ngeden.


A : Kerjaan kok gini-gini amat ya. Sudahlah gaji ga seberapa, bos galak, eh kolega di kantor pada sikut-sikutan pula.

B : Masih untung lho itu. Aku sudahlah gaji pas-pasan, musti biayain adik-adik sekolah pula dan ada tanggungan kredit rumah. Ngos-ngosan banget deh tiap bulan


A : Setelah melahirkan, aku sempat kena baby blues. Duh, ga enak banget ya rasanya. Gelap dan sedih berkepanjangan. Kira-kira sampai sebulanan kayak gitu.

B : Masih mending itu sebulan. Aku dulu sampai berbulan-bulan dan lebih parah dari itu. 


A : Tetanggaku ini lho, setiap siang hari muter lagu dangdut kenceng sekali. Ditegur berkali-kali kok ya tetep aja gitu. Aku yang sakit kepala jadi makin parah aja ini karena ga bisa tidur. Surem banget deh punya tetangga kayak gitu.

B : Dulu sebelum aku pindah ke rumah yang sekarang, tetanggaku muter lagu rock tengah malam kenceng banget. Aku di kantor sampai sering ketiduran gara-gara kalau malam ga nyenyak tidur denger lagu-lagu itu


A : Anakku ini lho kenapa ya umur 2 tahun masih belum bisa ngucapin sepatah katapun dengan jelas. Aku kan jadi gelisah gini. Dia cuma bisa ngedumel ga jelas gitu anaknya.

B : Anakku hampir 2.5 tahun ngomong masih belum bisa, jalan pun masih belum PD. Masih mending itu anakmu.


Dan daftar pun masih panjang.

Merasa seperti pernah dalam salah satu dari contoh perbincangan di atas? pernah menjadi A atau pernah menjadi B? Saya pernah menjadi kedua duanya. Pernah secara sadar maupun tidak sadar berkompetisi dalam penderitaan. Padahal lawan bicara inginnya mencurahkan isi hati, hanya ingin didengarkan, eh malah saya menimpali dengan kalimat yang bukannya menghibur atau menenangkan, malah membuat kalimat yang seolah-olah keadaannya tidak ada apa-apanya dibandingkan keadaan saya. Seakan saya ingin menegaskan bahwa dia harus bersyukur karena keadaan saya lebih terpuruk dibandingkan dia. Padahal yang namanya keadaan sedih atau sedang tidak beruntung, tidak ada yang bisa mengatakan bahwa siapapun lebih beruntung.

Dan ketika saya ingin mencurahkan isi hati karena sedih atau gelisah akan suatu hal, eh malah ditanggapi dan ditimpali bahwa penderitaan saya tidak ada seujung kuku dari apa yang pernah atau yang sedang dialami lawan bicara. Padahal saya hanya ingin didengarkan, bukan ingin mendengarkan perbandingan.

Semakin bertambahnya usia, saya semakin lebih belajar untuk mendengarkan, bahkan sampai sekarang dan sampai kapanpun. Tidak semua yang bercerita butuh nasihat, tidak semua yang berkeluh kesah butuh perbandingan, tidak semua yang bersedih butuh dihibur. Saya perlu banyak belajar untuk mendengarkan. Ketika mereka butuh tanggapan, saya akan menanggapi sesuai dengan kondisi. Sebisa mungkin tidak akan menasehati jika memang tidak diminta. Menahan diri untuk tidak cepat-cepat menimpali. Mendengarkan jauh lebih baik.

Setiap orang punya perjuangan masing-masing, tidak perlu berkompetisi dalam penderitaan.

Punya cerita seputar pengalaman di posisi A? atau di posisi B? atau keduanya? Gimana perasaanmu?

-Nootdorp, 12 Maret 2018-

20 thoughts on “Kompetisi Penderitaan

  1. Waktu masih zaman SMA – awal kuliah, masih sering kaya gitu… life still revolved around me tapi mulai berubah semenjak kuliah, sayangnya banyak teman dan kenalan yang engga ikut berubah. Tiap kali curhat, eh kok ujung-ujungnya malah ngomongin masalahnya dia ya? Alhasil sekarang aku hampir engga pernah curhat kecuali sama orang-orang tertentu saja.

  2. Pernah jadi keduanya 😀 , tapi dari pernah ngerasain di posisi A dan ngerasa ngga enak. Makanya sekarang menahan dan mengontrol diri untuk tidak di posisi B. Kalau ada yang curhat didengerin dulu sampe tuntas wong kadang-kadang yang curhat cuma butuh pendengar doang biar terasa plong, walaupun kadang-kadang masih keceplosan juga sih hihihi..

    1. Iya, keceplosannya ini lho ya yang susah ngontrol. Padahal nunggu sebentar ga ada ruginya. PR banget nih buat aku juga.

  3. Pernah di posisi A dan B. Kadang niatan tuh biar dia ga terlalu menderita gitu, sampe akhirnya ditegur temenku karena orang lagi susah bukannya dihibur kok malah ditandingin penderitaannya. Tertohok banget. Sejak itu aku lebih menahan diri dan belajar untuk mendengarkan, karena kalo dipikir2 yg namanya susah mah susah aja ya. gak ada yg lebih ringan ataupu lebih berat lah wong kita gak pake sepatunya dia kok 🙂

    1. Betul May. Namanya susah ya susah aja ya, ga ada mending2an. Makanya ngontrol bibir biar ga maju motong pembicaraan tuh PR banget deh. Musti dilatih dan diingat2 apa yang nampak sepele di mata kita belum tentu sama dengan apa yang orang rasakan. Musti banyak belajar mendengarkan. Kalau kata temanku : kita punya dua telinga dan satu mulut, artinya semestinya kita lebih banyak mendengarkan dibandingkan ngomong.

  4. pernah keduanya laaah..

    JADI B
    kalau aku sampai ikut bercerita sih asline itu aku pengen curcol – bukan saingan penderitaan hihihi… karena pekerjaanku selama ini selalu harus mendengarkan klien (anak, ibu2, guru2, mahasiswa, ortunya mahasiswa, pacarnya mahasiswa, dll) dan kalau klien ya aku dengerin aja dong, hahaha, trus aku curhat sama siapa T.T yaa jadi itu yg bikin suka nyamber kalau ada topik yg seru..

    tapi aku paham, ngga enak banget digituin, jadi aku selalu berusaha mengingat aturan ngobrol kaya kalau lagi sm klien tiap kali ngobrol sama anak (dan yg lain)

    satu.. pastikan dulu apa yg dibutuhkan, saran atau dengerin atau bantuan mengatasi sesuatu..

    dua.. apapun yg diomongin kudu didengerin sampai tuntas, trus dengerin juga pendapatnya tanpa lecture/criticize.. respon pertama yg dianjurkan hanya mengulangi saja.. atau memperjelas, misalnya “jadi kamu ngerasa sebel karena…”

    (copas dari postinganku ttg talking while walking)

    JADI A
    aku akan bilang: sek ta laaaa, menengoooo, aku tak curhat seeeek… *to the point! sekaligus mengingatkan..

    jadi ingatkan aku ya kalau aku jadi B ^^ *hugs
    .

    1. terima kasih banyaaakkk buat tipsnya. betul2 kusimak dan kubaca berkali2 ini. Memang bagian yang tersulit itu adalah mendengarkan sampai akhir. Ada kalanya tanpa sadar memotong pembicaraan. Padahal belum selesai dan sebetulnya ga paham opo sing dikarepkan. Sing penting motong trus kasih pendapat. Padahal apa susahnya ya mendengarkan dulu sampai selesai *camkan ini Den!

  5. aku biasanya jadi pendengar sih mbak
    jarang curhat kecuali ke yg bener2 dekat. plus punya problem yang sama. yang senasib sepenanggungan gitu. jadinya berasa ada temennya dan jadi lebih lega setelahnya

    1. Bener Mayang, curhat sama yang bener2 dekat, jadi biasanya sudah tahu celah masing2.

  6. Hahaha..Lawan bicara curhatnya kurang pengakuan dari org lain atau terlalu berjiwa kompetitif. Memang harus pilih-pilih orang…

    1. Tapi memang banyak yang berjiwa kompetitif, termasuk aku yang harus banyak belajar untuk mendengarkan dulu sampai tuntas. PR besar ini.

  7. Pernah digituin dan ngegituin juga. Tapi setelah lebih sering di pihak digituin, jadi berasa juga gak enaknya di bandingin penderitaan kayak gitu. Mana kita tahu penderitaan orang lain lebih parah atau nggak, yang kita tahu kan yang dialami sendiri.

    1. Iya bener banget. Setelah tahu rasanya ga enak, akhirnya belajar untuk mendengarkan.

Leave a Reply to DenaldCancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.