Ketika saya dan adik-adik masih kecil, Bapak sudah mengajarkan sebuah konsep : Membeli hanya jika membutuhkan. Dimulai dari hal-hal yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, semisal baju. Tidak disetiap hari raya kami mempunyai baju baru, tidak seperti anak-anak kecil tetangga yang selalu punya baju baru ketika lebaran tiba. Bapak dan Ibu tidak akan membelikan baju baru jika kami masih mempunyai pakaian yang layak digunakan dan masih dalam kondisi bagus. Jika memang kami sudah tidak membutuhkan lagi baju-baju tersebut dan ingin membeli baju yang baru, maka syaratnya baju yang lama dan masih dalam kondisi bagus serta layak tersebut harus diberikan kepada yang lebih membutuhkan, misalkan disumbangkan ke Panti Asuhan atau tetangga yang memang kurang mampu atau ke saudara.
Jadi intinya kalau mau membeli satu baju, satu baju dari lemari yang masih bagus harus dikeluarkan untuk disumbangkan atau diberikan. Kenapa harus baju yang masih bagus yang disumbangkan? Karena jangan sampai memberikan barang yang kita tidak suka dan dalam kondisi yang sudah tidak bagus lagi. Perlakukan orang akan menerima barang tersebut seperti kita yang menerima. Jika barangnya masih bagus dan sangat layak untuk dipakai dan digunakan, tentu saja lebih bermanfaat dan membuat orang yang menerima merasa berbahagia. Jika memang kondisinya sudah tidak bagus lebih baik dibuang.
Kebiasaan itu akhirnya terbawa sampai saya besar. Untuk segala barang, saya akan membeli kalau memang benar-benar membutuhkan, bukan hanya menginginkan saja. Saya ingat dulu ketika bekerja di Jakarta, HP yang saya miliki adalah nokia lama (lupa tipe berapa) sementara beberapa kolega di kantor selalu berganti tipe Hp dan memperolok HP saya yang hanya bisa sms dan telepon saja. Saya tidak gentar dengan olokan mereka dan tetap mempertahankan HP itu karena masih sesuai fungsiunya. Saya tidak akan membeli suatu barang hanya karena mengikuti tren saja. Sampai suatu hari, Hp tersebut benar-benar tidak bisa dipakai lagi, mungkin memang sudah saatnya mengganti setelah 6 tahun lamanya setia menemani. Setelahnya saya langsung membeli HP berbasis Android yang lumayan harganya karena sepesifikasi didalamnya memang sesuai kebutuhan.
Sampai sekarang saya tinggal hampir 11 tahun di Belanda dan punya anak tiga, hal tersebut tetap saya terapkan. Baju, ya itu – itu saja. Saya masih punya kaos yang usianya sudah lebih dari 20 tahun, masih muat di badan, saya pakai sehari – hari dan bahannya masih bagus. Jilbab pun sama. Kalau saya membeli 2 baju baru, berarti 2 baju lama harus dikeluarkan dari lemari. Baju anak – anakpun, jika ada teman yang melungsuri, dengan senang hati saya terima. Lumayan kan, budget membeli baju anak – anak di negara 4 musim yang cukup besar, bisa dialihkan ke hal – hal lainnya. Toh baju yang dilungsurkan pasti masih dalam kondisi bagus. Begitupun dengan baju anak – anak kami, jika memang sudah tidak bisa dipakai karena ukurannya terlalu kecil, saya akan pilah pilih dan berikan ke teman – teman yang mau menerima untuk anak mereka. Jika tidak ada yang mau dilungsuri, saya berikan ke Kringloopwinkel atau toko barang bekas di kampung sini. Yang sudah tidak layak, saya buang.
Saya sangat rajin beberes isi rumah. Ini saya rasa turunan dari Bapak. Dari sejak saya ngekos umur 15 tahun, kalau sedang pulang ke rumah, tugas saya mendadak jadi petugas kebersihan. Segala yang sekiranya memenuhi rumah dan tidak bisa dipakai lagi, saya buang. Ibu saya yang suka sekali menumpuk barang, biasanya marah – marah kalau barang tumpukannya saya buang. Ya termasuk makanan yang suka disimpan sampai kadaluarsa.
Dulunya, suami saya pun tukang menumpuk barang. Tidak separah Ibu memang (nanti fenomena menumpuk barang akan saya buatkan tulisan terpisah, karena sayapun pernah ada dijaman sebagai penumpuk satu barang. Tapi langsung tersadar dan jadi berubah ke haluan awal). Sejak menikah dan kami mulai tinggal bersama, kebiasaan menumpuk barangnya jadi berkurang. Kemelekatan dia akan sebuah barang jadi pelan – pelan hilang. Dia melihat saya suka mensortir segala macam yang ada di rumah, melihat saya yang tidak suka membeli barang jika tidak perlu, dan gampang melenyapkan barang dari rumah jika memang sudah tidak digunakan lagi. Dia akhirnya ketularan rajin beberes, bersih – bersih dan sekarang jadi gampang sekali untuk mensortir barang – barang yang memang waktunya disingkirkan dari rumah.
Foto di bawah dari kiri ke kanan : Saya sedang beberes sebagian kecil buku – buku di ruang perpustakaan di rumah, suami setelah beberes mendapatkan banyak sekali barang yang memang sudah harus dibuang. Foto terakhir sebelah kanan, akan saya bawa saat mudik tahun lalu. Lumayan banyak baju suami yang masih bagus bisa saya berikan ke tetangga – tetangga di desa.



Saya sendiri, memang tidak terlalu punya rasa kemelakatan yang kuat akan sebuah barang. Memang ada barang – barang tertentu yang punya nilai sejarah, akan saya simpan. Tapi hanya satu dua saja. Misalkan sarung dari Bapak yang biasa dipakai ke Masjid, saya simpan sampai sekarang. Sebagai kenang – kenangan dan sarung itu yang Beliau gunakan ke Masjid saat sholat Maghrib lalu sekitar 2 jam setelahnya Bapak meninggal. Contoh lainnya : Suami pernah membeli satu set baju olahraga untuk bayi, jauh sebelum saya hamil. Kata dia, membeli itu karena iseng saja, lucu katanya. Lalu sekitar 2 atau 3 bulan setelahnya, saya hamil dan anak yang saya kandung, berjenis kelamin sama dengan baju yang suami beli tersebut.
Hanya barang yang mempunyai nilai sejarah yang tinggi, akan saya simpan. Selebihnya, kalau sudah tidak terpakai lagi, lama tidak digunakan, dan tidak memberikan manfaat lagi, saya singkirkan. Tidak perlu lagi disimpan selain karena tidak ada tempat, juga gunanya untuk apa disimpan kalau jumlahnya terlalu banyak.
Lepaskan saja. Less is more.
Memang saya gampang melepaskan. Bukan hanya tentang barang, ke banyak hal juga. Termasuk pikiran – pikiran yang dirasa memberatkan, ya sudah lepaskan saja. Otak kapasitasnya terbatas. Lebih baik memberikan kesempatan kepada hal – hal yang bermanfaat untuk dijalani saat ini. Melepaskan apa yang sudah terjadi dimasa lalu. Jangan sampai memberatkan langkah ke depan. Melepaskan pikiran khawatir tentang masa depan. Jalani dan nikmati yang ada sekarang, yang di depan mata, dan saat ini. Supaya hati dan pikiran tetap tenang. Yang nanti ya dipikir nanti. Yang sudah selesai, ya letakkan tidak perlu disimpan lagi. Lepaskan saja rasa cemas itu. Fokus pada hari ini.
Termasuk hubungan yang saya anggap sudah tidak ada manfaatnya lagi dan tidak memberikan keberkahan dimasa mendatang. Dari hubungan pertemanan sampai persaudaraan. Tentunya setelah melalui pertimbangan yang matang. Jika dirasa sangat tidak ada faedahnya, buat apa dipertahankan. Membuat sakit diri sendiri. Penghambat banyak rejeki yang akan datang. Melepaskan untuk mendapatkan ketenangan dan keberkahan, itu jauh lebih baik. Daripada tetap dipertahankan, rasa tidak nyamannya ditumpuk, dan pura – pura tidak ada masalah. Buat apa.
Hidup di dunia cuma sekali. Minimalkan untuk menimbun hal – hal yang beracun untuk diri sendiri. Manfaatkan tiap waktu dengan berkegiatan yang menyamankan hati bersama mereka yang memberikan ketenangan hati dan keberkahan. Yang sama – sama bisa mendatangkan kebahagiaan hidup. Yang dicari dalam hidup kan ketenangan dan kebahagiaan. Kalau sudah tidak lagi bermanfaat, buat apa tetap dipertahankan.
Lepaskan saja. Hempaskan saja.
Pada sebuah masa, sesuatu memang perlu untuk dilepaskan jika memang sudah tidak dibutuhkan dan tidak bisa memberikan manfaat. Ditumpuk bisa menimbulkan racun yang menganggu kesehatan jiwa dan raga.
Hidup berdampingan dengan hal – hal yang memberikan ketenangan dan kebahagiaan.
Melepaskan semua hal yang tidak dibutuhkan dan tidak lagi punya nilai guna..
- 26 November 2025 –