Gelar Akademis di Undangan Pernikahan

sepatu

Minggu lalu, tanpa angin tanpa hujan, tiba-tiba saya menanyakan di grup wa yang isinya teman-teman dekat perihal apakah mereka akan mencantumkan gelar akademis di undangan pernikahan. Setelahnya kami terlibat diskusi yang malah berujung saya teringat dengan pengalaman tidak mengenakkan di masa lalu menyangkut gelar akademis ini. Pengalaman tidak mengenakkan disingkirkan dulu karena sudah menjadi masa lalu karena yang menarik perhatian saya tentang pencantuman gelar akademis di undangan pernikahan. Saya dan suami tidak mencantumkan gelar di undangan pernikahan, terus terang saya lupa alasannya apa. Yang pasti jauh sebelum menikah saya memang punya angan-angan tidak akan mencantumkan gelar akademis pada undangan. Tidak ada alasan khusus hanya memang tidak ingin saja. Bersyukurnya memang Ibu tidak ikut campur banyak pada konsep perkawinan kami termasuk undangan dari segi desain, kata-kata, bahkan sampai pada pencantuman gelar. Semua diserahkan pada kami.

Tidak adanya intervensi dari Ibu masalah undangan pernikahan ini juga terlihat pada undangan pernikahan adik yang menikah setahun sebelum saya. Adik dan suaminya mencantumkan gelar akademis pada undangan pernikahan mereka, saya juga tidak tahu pasti alasannya kenapa. Mencantumkan atau tidak mencantumkan pasti punya alasan masing-masing, tidak ada yang salah dan ini tentang selera. Ibu dan keluarga saya juga tidak pernah mempermasalahkan dan mudah-mudahan tidak ada rasan-rasan di luar sana.

Undangan pernikahan saya dan suami cukup sederhana kalau dilihat dari desainnya. Saya meminta tolong adik teman yang sudah saya kenal baik dan lulusan dari desain produk untuk membuat desain undangan. Awalnya tentu saja saya mencari ide undangan di internet. Ingin ini dan itu, pokoknya banyak inginnya lama-lama pusing sendiri. Waktu itu saya juga tidak punya waktu banyak untuk berpikir terlalu njlimet karena saya sudah kena tegur dosen pembimbing gara-gara telat mengerjakan revisi tesis. Suami membuat desain awal undangan. Kami bertukar ide lewat email juga whatsapp. Maklum ya waktu itu belum ada telefon gratisan di wa dan juga kami tidak suka skype-an, jadi ya membicarakan tentang pernikahan lewat wa atau email karena suami menelepon setiap dua minggu sekali. Setelah tahu apa yang kami inginkan, lalu saya menyampaikan gagasan kami kepada kenalan tersebut dan dia merangkumnya dalam desain undangan yang kami revisi beberapa kali sampai hasil final. Kami sangat senang dengan hasil akhirnya yang memang semua idenya dari kami ditambah beberapa masukan dari yang membuat. Jadi sentuhan personalnya ada. Tetapi karena kami hanya memesan sebanyak 110 undangan (kami mengundang hanya 100 orang di Indonesia dan mengirim untuk keluarga dan teman-teman suami sebanyak 10 orang sebagai pemberitahuan), maka biaya produksinya lumayan membengkak karena kalau membuat undangan kan ada jumlah minimalnya sedangkan kami kurang dari jumlah minimal. Kami pikir, ya sudah lah tidak apa-apa, karena memang sudah sepakat dengan keluarga kalau kami mengundang yang dekat saja, jadi 100 undangan sudah cukup.

Jadi undangan pernikahan kami menggunakan dua bahasa yaitu Indonesia dan Inggris tetapi tetap di dalam satu undangan. Bagian luarnya ada amplopnya tetapi tidak menutup secara keseluruhan undangan intinya. Seperti ini penampakannya. Ini foto tahun 2014 ketika saya kirimkan ke suami tentang hasil akhirnya.

Ini tampak depan undangan dan amplopnya. Isi undangannya mecungul sedikit karena memang amplopnya tidak menutup menyeluruh
Ini tampak depan undangan dan amplopnya. Isi undangannya mecungul sedikit karena memang amplopnya tidak menutup menyeluruh. Ada kesalahan tulisan pada “you’re invited” yang akhirnya saya koreksi satu persatu. Untung cuma 110 (masih untung :D)
Tampak belakang sampul undangan menyertakan nama kedua orang tua.
Tampak belakang sampul undangan menyertakan nama kedua orang tua.
Tampak luar depan undangan intinya. Maksudnya menggabungkan dua hal yaitu Jawa dan Belanda. Lho Jawanya darimana? Bentuk yang warna merah itu seperti bentuk yang di wayang-wayang (lupa namanya). Sedangkan bunga tulip ya mewakil Belanda. Kenapa warna merah? Karena saya suka warna merah :D *jawaban simpel
Tampak luar depan undangan intinya. Maksudnya ingin menggabungkan dua hal yaitu Jawa (saya) dan Belanda (suami). Lho Jawanya darimana? Bentuk yang warna merah itu terinspirasi dari bentuk yang di wayang-wayang (lupa namanya). Sedangkan bunga tulip ya mewakil Belanda. Kenapa warna merah? Karena saya suka warna merah 😀 *jawaban simpel. Kata-katanya saya lupa siapa yang membuat, apakah saya ataukah suami.
Ini untuk membuka ke isi undangannya. Maksudnya kayak membuka pagar, yang diumpamakan kami akan memasuki babak baru dalam kehidupan jadi seperti masuk ke dalam kehidupan yang akan kami jalani berdua dengan dibuka oleh pernikahan
Ini untuk membuka ke isi undangannya. Maksudnya kayak membuka pagar, yang diumpamakan kami akan memasuki babak baru dalam kehidupan jadi seperti masuk ke dalam kehidupan yang akan kami jalani berdua dengan dibuka oleh pernikahan.

Isi undangannya tidak saya sertakan ya karena akan banyak hal perlu di tutup dan saya malas mengeditnya *alasan opooo iki :))). Halaman awal undangan berbahasa Indonesia, lalu kalau diangkat kertasnya, ada halaman dibawahnya yang untuk bahasa Inggris. Kalau ada yang bertanya kenapa menyertakan gambar bagian bawah tubuh yang menyorot saya memakai rok dan menggunakan converse dan suami menggunakan converse juga? Karena seperti itulah saat kami pertama bertemu. Saya menggunakan rok dan memakai converse warna merah(meskipun di undangan warnanya tidak merah), sedangkan suami memakai converse warna hitam. Itu ide dan desain awal gambarnya dari suami yang disempurnakan oleh pembuat undangan. Cerita tentang sepatu juga beberapa kali saya sertakan linknya di beberapa tulisan. Sekarang saya sertakan lagi dan bisa dibaca di sini.

Lho kok malah berpanjang lebar pembukaannya pamer undangan kami :))). Kembali lagi ke topik. Jadi, dari hasil ngobrol dengan teman-teman dekat di grup wa yang tentu saja diselingi guyonan receh ala kami, ada beberapa hal kenapa orang mencantumkan atau tidak mencantumkan gelar akademis di undangan pernikahan mereka (kami tentu saja membicarakan tentang undangan pernikahan di Indonesia karena tidak terlalu mengerti tentang undangan pernikahan di luar negeri) :

  • Mencantumkan Gelar Akademis = Kebanggaan

Bisa dipahami karena semakin banyak gelarnya maka orang semakin tahu pendidikannya sampai setinggi apa. Tentu tidak ada yang salah dengan hal ini karena bisa memberi tahu orang lain (undangan) bahwa kedua pasangan ini lulusan dari fakultas apa (kalau misalkan ada yang mikir ini gelarnya dari fakultas apa), lulusan dalam negeri atau luar negeri, dan itu memang memberikan rasa bangga tersendiri. Tidak munafik juga kalau ada yang bertanya saya lulusan apa darimana ya saya beritahu dan saya bangga, bahkan saya pernah menulis postingan di blog ini. Tapi kalau tidak ada yang bertanya ya saya diam saja.

  • Mencantumkan Gelar Akademis Karena Permintaan Orangtua

Meskipun pasangan calon pengantin tidak ingin mencantumkan gelar, tapi karena orangtua menginginkannya, maka demi membahagiakan orangtua mereka memenuhi permintaan dengan mencantumkan gelar akademis pada undangan pernikahan. Atau mungkin dengan mengambil jalan tengah, membuat dua macam undangan yang berbeda. Satu mencantumkan yang undangannya diberikan untuk teman-teman pengantin sedangkan yang menggunakan gelar diberikan kepada teman-teman kedua orangtua. Ingat, pernikahan di Indonesia kebanyakan adalah hajat orangtua juga sehingga orangtua juga mempunyai andil besar untuk menentukan ini dan itu.

  • Mencantumkan Gelar Akademis Tanpa Alasan Tertentu

Ini seperti adik saya, mencantumkan gelar akademis tanpa ada alasan khusus. Mereka melihat lumrahnya undangan pada umumnya, jadi mereka ya ikut mencantumkan juga.

  • Mencantumkan Gelar Akademis Siapa Tahu Membuka Jalan Rejeki

Namanya rejeki tidak ada yang tahu kan datangnya darimana. Siapa tahu dengan mencantumkan gelar akademis maka terbuka juga pintu rejeki yang lebih baik. Jadi misalkan ada teman dari salah satu orangtua begitu mengetahui pengantinnya bergelar misalkan Teknik Mesin, lalu ternyata Beliau sedang membutuhkan lulusan Teknik Mesin di kantornya, nah siapa tahu beliau menawarkan untuk menginterview pengantin yang bergelar Sarjana Teknik untuk bekerja di kantornya dengan gaji lebih besar dan posisi lebih baik dari sebelumnya. Ini permisalan saja ya.

  • Tidak Mencantumkan Gelar Akademis Karena Kedua Mempelai Gelarnya Tidak Satu Tingkat

Ada yang memang seperti ini. Karena calon pengantin gelarnya tidak satu tingkat (misalkan Sarjana dengan Ahli Madya atau Sarjana dengan Master atau lulusan SMA dengan Master, dsb), maka lebih baik tidak mencantumkan saja. Misalkan gelar akademis pengantin wanita lebih tinggi dibandingkan gelar pengantin pria, atau sebaliknya, daripada menjadi bahan pembicaraan diantara para undangan atau tetangga, maka gelar akademis tidak disertakan pada undangan. Kalau kata teman saya, “Masyarakat kita ini kan selo selo hidupnya. Gelar akademis yang tidak sama saja bisa jadi bahan gunjingan.” Atau ada kemungkinan lain misalkan salah satu calon pengantin merasa tidak nyaman karena gelar antara keduanya tidak satu tingkat (atau tidak satu level), jadi diambil jalan tengah tidak usah mencantumkan saja.

  • Tidak Mencantumkan Gelar Akademis Karena Undangan Pernikahan Bukan CV

Kalau ini jawaban suami ketika saya tanya dua hari lalu. Saya bertanya kenapa ya waktu itu kok dia tidak meminta untuk mencantumkan gelar pada undangan pernikahan kami. Dia malah kaget kenapa harus dicantumkan karena undangan pernikahan kan bukan CV (Curriculum Vitae). Dia bilang, “Lho kita kan akan menikah bukan mau melamar pekerjaan. Kenapa harus mencantumkan gelar akademis?” Dan ternyata dia baru tahu kalau di Indonesia mencantumkan gelar akademis di undangan pernikahan itu sudah biasa, maksudnya bukan hal baru lagi. Dia hanya senyum-senyum saja.

  • Tidak Mencantumkan Gelar Akademis Tanpa Alasan Tertentu

Tanpa alasan tertentu ini seperti yang saya lakukan. Karena saya tidak mempunyai alasan yang kuat kenapa saya harus menyertakan gelar akademis pada undangan pernikahan kami, makanya saya tidak menyertakan. Rasanya lebih nyaman mencantumkan nama asli saya dan suami tanpa ada gelar akademis ataupun gelar akademis kedua orangtua atau misalkan gelar haji ataupun hajjah jika ada yang punya.

Tapi kembali lagi ya karena memang ini sudah biasa di Indonesia maka tidak ada yang salah tentang pencantuman ataupun tidak mencantumkan gelar akademis ataupun gelar-gelar lainnya (misalkan gelar di suku Jawa atau gelar suku lainnya). Semuanya sah-sah saja karena kembali lagi sesuai dengan tingkat kepentingan dan selera. Yang memasang gelar tidak akan didenda, yang tidak memasang pun juga tidak akan masuk penjara, begitu kira-kira permisalannya.

Nah, tapi saya tetap penasaran nih ingin bertanya kepada yang membaca tulisan ini. Kalau yang sudah menikah apakah dulu menyertakan gelar akademis (atau gelar lainnya) pada undangan pernikahan dan pertimbangannya apa. Kalau yang belum menikah, sudah mempunyai rencana nanti ingin mencantumkan atau tidak gelar akademis (dan gelar lainnya) pada undangan pernikahan dan kalau boleh tau pertimbangannya apa. Atau kalau yang mempunyai pendapat lain, monggo lho bisa dituliskan pada kolom komentar. Saya sangat tertarik membaca dan mengetahui pendapat kalian.

-Nootdorp, 10 Januari 2017-