Senin pagi, saya awali dengan hati gembira. Akhir pekan saya bertemu dengan seorang teman yang sudah 11 tahun ini saya kenal dengan baik. Kami mengobrol panjang serta lama di rumahnya. Obrolan yang hangat karena sudah lama kami tidak berbicara dari hati ke hati. Rasa hangat itu terbawa sampai ke hari senin.
Saya bangun dengan badan yang segar dan pikiran yang jernih. Setelah membalas beberapa pesan di telefon genggam, lalu saya membangunkan satu persatu anak – anak. Hari ini dua anak akan makan siang di sekolah, jadi saya sedikit lebih sibuk di dapur karena ada bekal ekstra yang akan dibawa. Setelah menyiapkan baju mereka, saya turun untuk menyiapkan sarapan mereka. Suami seperti biasa sibuk dengan anak ragil yang hari ini juga jadwal ke sekolah.
Setelah rutinitas pagi terlewati, saya mengantarkan 2 anak pertama ke sekolah, sedangkan suami mengantarkan anak ragil. Sekolah mereka berbeda karena tingkatannya juga masih belum sama.
Setelah anak – anak sudah masuk ke kelas, saya memarkir sepeda di halaman luar sekolah lalu melanjutkan dengan jalan kaki. Seperti biasa, satu jam kedepan akan saya lalui dengan berjalan kaki cepat. Tanpa musik, banyak melamun, dan menikmati suasana sekitar. Cuaca pagi ini mendung, berangin kencang, dan sesekali gerimis. Sepanjang jalan, banyak sekali ide yang muncul di kepala. Pun kontemplasi hal – hal yang saya lewati beberapa waktu ini. Terkadang teringat ingatan yang tidak mengenakkan dimasa lalu. Semuanya saya coba rasakan. Tidak mencoba untuk menghindar. Menarik nafas panjang, mencoba memasukkan sebanyak mungkin udara segar.
Alhamdulillah, saya masih diberikan sehat dan langkah kaki yang kuat untuk berolahraga. Alhamdulillah saya masih diberikan kewarasan dalam berpikir dan bertindak.


Hidup di kampung, jadi pemandangan jalan kaki atau saat berlari ya aneka ria binatang. Salah satunya kambing (atau domba ya ini, ga terlalu paham).
Tidak terasa, langkah kaki kembali lagi di parkiran sekolah. Lumayan, 6.22km dengan hampir 8000 langkah. Saya kayuh sepeda menuju rumah. Sesampainya di rumah, saya langsung membuka beberapa jendela supaya angin segar masuk ke rumah, menyalakan lilin di beberapa sudut dengan aroma favorit yaitu vanilla dan paduan beberapa buah. Saya senang sekali jika rumah wangi. Rasanya menenangkan.
Lalu saya merebus air untuk membuat teh. Sembari menunggu air panas, saya mencuci beberapa piring dan peralatan masak. Lalu mengepel seluruh lantai bawah. Setelah semua beres dan bersih, saya menyeduh teh, menghangatkan bala – bala yang tadi malam saya goreng, dan menyiapkan laptop untuk menulis.
Di sinilah saya sekarang. Menikmati pagi sendiri di rumah dengan menulis, makan gorengan, dan minum teh hangat. Menghirup aroma wangi vanilla dari lilin dan segarnya angin yang masuk dari pintu dapur yang terbuka.
Hidup seperti ini, saya sangat merasa cukup. Tidak mengkhawatirkan banyak hal, tidak was – was dengan segala hal yang belum terjadi, dan tidak gampang ingin hidup yang berlebih. Secukupnya saja. Menjalani hidup dengan mengalir. Tentu saja ini rasa seperti ini tidak datang dengan tiba – tiba. Saya butuh latihan bertahun – tahun sampai bisa ditahap ini. Salah satu faktor yang membuat saya ada di titik ini karena apa yang saya ingin capai dan inginkan, sudah saya lakukan dan dapatkan sebelum pindah ke Belanda. Jadi setelah sampai sini, keinginan dan prioritas sudah beebeda. Sudah tidak lagi berambisi yang macam – macam. Hanya ingin menikmati hidup secara pelan. Sadar saat melangkah, tau kapan beristirahat, dan menerima dengan hati yang lapang saat memang harus dihentikan.
Termasuk saat saya memutuskan untuk menjadi Ibu Rumah Tangga sepenuhnya setelah berdiskusi panjang dengan suami. Dia yang selalu mendukung apapun keputusan yang ingin saya jalani dalam hidup. Selama saya suka, bahagia, dan menikmati, dia selalu ok saja. Di sinilah saya selama 8 tahun ini. Ibu Rumah Tangga dengan segala aktifitas harian yang kadang itu – itu saja, kadang ada selingan yang mengejutkan, kadang belajar hal – hal baru, dan seringnya melewati minggu dengan rutinitas yang pasti.
Hidup itu – itu saja seperti ini, ternyata yang saya inginkan dan sangat menikmati menjalaninya. Begini – begini saja yang dulu tidak bisa lakukan karena selalu tergesa melakukan semua hal. Rutinitas tiap hari dengan urusan rumah, anak – anak, suami, dan diri sendiri, itu yang membuat saya bahagia.
Merasa cukup untuk masa sekarang adalah hal yang mewah. Apalagi di era media sosial semakin hingar bingar. Membandingkan keadaan diri sendiri dengan kehidupan orang lain lewat foto atau video. Merasa kondisi diri tidak menarik dan membosankan. Hal paling penting yang sering dilupakan adalah : semua yang sudah ditampilkan di media sosial adalah versi yang terbaik. Sudah melalui proses editing, pilah pilih video atau foto yang terbaik, bahkan cerita yang dituliskan pun sudah melalui hapus tulis beberapa kali. Memang tidak akan pernah merasa cukup kalau terlalu banyak melihat yang dimiliki orang lain lalu ujungnya jadi tidak bersyukur.
Merasa cukup, dimulai dari diri sendiri. Cukup yang membuat hidup nyaman, tenang, tidak was – was, dan tidak membuat keonaran atau merugikan orang lain. Cukup saat menjalani. Secukupnya saja. Tidak perlu berlebih, tidak perlu mengambil hak orang lain.
Merasa cukup akan membuat hati tenang dan tidak kemrusung. Bahagia dengan segala yang dimiliki dan dilakukan saat ini. Menikmati setiap proses dan momen setiap harinya. Hadir secara nyata, sadar, dan tidak perlu mencari perbandingan dengan orang lain.
Cukup dengan diri sendiri, cukup dengan keadaan sendiri, cukup dengan yang ada saat ini.
Merasa cukup.
- 15 September, 2025 –