Kenangan Masa Kecil Saat Ramadan

Sore ini sewaktu saya duduk di balkon memperhatikan anak-anak kecil tetangga bermain, entah kenapa tiba-tiba ingatan terlempar saat Ramadan ketika masih kecil. Banyak sekali kenangan masa kecil saat Ramadan tiba. Ada kenangan menyenangkan, ada yang tidak menyenangkan, tetapi secara keseluruhan banyak kenangan menyenangkan jika diingat lagi sekarang. Tentu saja hal tersebut menimbulkan senyuman. Maklum saja, saat kecil meskipun saya tergolong anak yang agak pendiam tetapi terkategorikan sedikit nakal, itu pikir saya setelah besar.

PONDOK PESANTREN

Awal Ramadan, pasti ada pondok pesantren. Kegiatan pondok pesantren ini selalu saya tunggu setiap tahunnya. Jadi, pondok pesantren ini adalah kegiatan sekolah yang mewajibkan muridnya menginap di sekolah dalam jangka waktu satu malam (kadang sampai dua malam juga). Tapi saya lupa apakah pondok pesantren ini diadakan saat hari efektif sekolah atau saat hari minggu. Kegiatan pondok pesantren ini fokusnya memperbanyak ibadah secara bersama-sama seperti tarawih, tadarusan, belajar agama, sholat wajib berjamaah, sahur, dan berbuka puasa. Menginap di sekolah bersama teman-teman itu rasanya menyenangkan. Terkadang kami tidak bisa tidur sampai sahur, cekikikan didalam kelas yang digunakan sebagai ruangan menginap yang beralaskan tikar, sampai ditegur Bapak dan Ibu Guru yang sedang bertugas.

Saat masih SD, sekolah saya itu letaknya persis di belakang rumah. Jadi kalau waktunya sahur, saya sering pulang ke rumah karena menu Ibu lebih menarik dari menu yang disediakan di sekolah. Saya memang agak rewel kalau masalah sahur, tidak bisa makan terlalu banyak dan seringnya malas bangun. Kalau pulang ke rumah selalu menyelinap dan naik lewat pagar belakang sekolah, makan cepat-cepat di rumah lalu kembali lagi ke sekolah sebelum sholat subuh berjamaah. Beberapa kali lolos tapi seringnya ketahuan sama guru saat memanjat pagar sekolah. Guru sampai bosan menghukum saya karena sering memanjat pagar sekolah. Kesenangan memanjat ini rupanya terus berlanjut sampai SMA, karena dulu saya sering memanjat pagar belakang sekolah kalau ingin pulang lebih cepat (mbolos) *jangan ditiru :D.

Terakhir mengikuti pondok pesantren sepertinya ketika SMP. Kalau SMP senang ikut pondok pesantren motivasinya berbeda, karena bisa sering barengan sama yang ditaksir *ini pondok pesantren malah lirik-lirikan :p

MENCATAT ISI CERAMAH SAAT TARAWIH

Setiap Ramadan, saat SD (SMP juga ga ya? lupa) selalu ada tugas merangkum isi ceramah setelah tarawih. Kami diberikan buku kegiatan selama Ramadan dan buku itu dikumpulkan saat Ramadan selesai. Saya ini anaknya malas tarawih berjamaah, maksudnya tarawih bersama di musholla dekat rumah ataupun di masjid yang agak jauh dari rumah. Di sekolah juga sebenarnya diadakan tarawih, tapi saya hampir tidak pernah datang. Alasannya macam-macam, dari yang mengantuk, kekenyangan sewaktu buka puasa, ada ulangan jadi harus belajar, dan masih banyak alasan lainnya. Tapi dari berbagai macam alasan tersebut, cuma satu kata yang bisa merangkum semua : malas. Bapak dan Ibu tidak pernah memaksa anak-anaknya tarawih, hanya kadang malu sama Bapak kalau sering diajak tarawih banyak menolaknya. Saya sering bilang ke Bapak untuk jalan dulu ke masjid, nanti saya menyusul. Benar sih saya menyusul berangkat pakai mukena, bawa sajadah, dan buku untuk mencatat rangkuman ceramah. Tapi saya berangkatnya kira-kira saat ceramah saja. Setelah ceramah selesai, ya saya pulang lagi.

Selain cara di atas, saya biasanya mencontek isi ceramah milik teman. Jadi saya baca dulu secara keseluruhan, lalu saya mengarang bebas sesuai yang ada di kepala tetapi isinya tidak terlalu menyimpang. Karena jiwa mengarang bebas yang terpupuk sejak dini tersebutlah menjadikan saya selalu mendapatkan nilai bagus saat pelajaran bahasa Indonesia mengarang dan menulis. Lha bagaimana, imajinasinya sudah terlatih, bahkan mengarang rangkuman ceramah agama hasil mencontek 😀

Oh ada satu yang membuat saya tertarik datang tarawih di musholla dekat rumah kalau sorenya Ibu memberi tahu bahwa saat tadarusan akan ada camilan dan makanan enak. Biasanya camilannya ada tahu berontak, hongkong (ote ote), trus makanannya ada bakso, soto, sate. Wah, saya pasti mau tarawih bersama. Saya memang gampang dipancing makanan sejak kecil sampai sekarang, imannya suka lemah kalau berhubungan dengan makanan *ngikik.

BERDIAM DIRI DI KAMAR MANDI

Jaman saya masih kecil masih belum terlalu tenar yang namanya AC, sedangkan Situbondo kan panasnya luar biasa, maklum pinggir pantai. Jangankan AC, kipas angin saja kami tidak punya. Adanya kipas besar terbuat dari bambu buat mengipasi sate. Jadi kalau siang hari pintu rumah dibuka lebar agar angin dan udara bisa masuk ke segala penjuru dalam rumah, tapi udara yang masuk tetap panas rasanya. Hari biasa saja saya seringkali haus dan merasa gerah, apalagi saat Ramadan, rasa haus dan panasnya terasa berkali lipat. Akhirnya saya seringnya berdiam diri di kamar mandi sambil baca buku dan sering sampai tertidur. Satu-satunya ruangan dalam rumah yang berhawa sejuk ya kamar mandi. Saya membawa kursi kecil dari rotan ke dalam kamar mandi, saya tutup pintunya dan berdiam diri disana sepanjang siang. Awalnya mbak yang bantu di rumah kaget karena saya tidak keluar dari kamar mandi dalam waktu lama, diketok pintunya tidak ada jawaban, digedor tetap tidak bergeming, sampai mbak memanggil tetangga. Saya tertidur pulas sekali waktu itu sampai tidak mendengar apa-apa, walhasil menghebohkan mbak dan tetangga.

MAKAN, MINUM LALU PURA-PURA LEMAS

Apakah di kamar mandi saya tidak tergoda untuk menenggak atau meminum air dari keran? wah ya tentu saja sangat tergoda. Seingat saya saat usia SD, saya sering batal puasa karena sengaja makan dan minum. Maklum, tidak kuat dengan lapar dan haus. Situbondo memang panasnya benar-benar membuat lemah iman anak kecil (ini merujuk pada saya maksudnya). Jadi akalnya begini : saya masuk kamar mandi untuk wudhu atau sekedar berdiam diri sekalian minum air dari keran. Waktu itu sih tidak terpikir airnya kotor atau bersih ya yang penting tidak haus lagi. Nah kalau lewat dapur, saya mengendap-endap kaki berjingkat mampir ke lemari penyimpanan sisa makanan sahur. Biasanya masih ada tempe atau tahu yang sisa. Waktu itu kami belum punya kulkas jadi sisa makanan ditaruh lemari khusus makanan.

Dengan mencomot makanan dari lemari dan minum air dari keran, walhasil saya segar kembali dong ya. Tapi kalau saya menampakkan muka segar cerah ceria akan menimbulkan kecurigaan Bapak dan Ibu kalau mereka sampai di rumah setelah pulang kerja. Akhirnya saya pura-pura lemas sampai waktu buka puasa tiba. Mudah-mudahan adik-adik saya tidak ada yang mengikuti kelicikan kakaknya ini. Waktu saya sedang beraksi sih rumah sedang sepi, adik-adik tidur dan mbak yang bantu sedang setrika atau tidur siang juga, sementara saya bergerilya.

BENCI SUARA PETASAN DAN ORKES SAHUR KELILING

Dua hal yang paling dibenci ketika Ramadan ditempat tinggal saya yaitu suara petasan dan orkes sahur keliling. Rumah orangtua bersebelahan dengan gang kecil, karena memang letak rumah diujung. Nah, sekitar jam 2 pagi, orkes ini mulai beroperasi. Suaranya berisik sekali dengan pukulan alat-alat dapur segala panci, tutup panci, botol kaca, dan teriakan “sahuuur… sahuuuur”. Suaranya benar-benar membuat emosi. Saya kalau terbangun karena suara orkes tersebut, satu hari mood pasti jelek. Kesal sekali. Pernah suatu ketika karena sudah terlalu kesal, saya teriak dari dalam kamar supaya jangan berisik. Besoknya saya didatangi Pak RT tidak boleh teriak ke pasukan orkes tersebut karena memang tugas mereka membangunkan penduduk untuk bangun sahur. Tapi saya bilang kalau terganggu dengan suara berisiknya dan keberatan kalau mereka lewat gang. Tetapi protes anak kecil rupanya tidak membuahkan hasil, tetap saja orkes cempreng berisik dan mengganggu tersebut beroperasi dengan suara kencangnya. Tapi kata adik saya sekarang sudah mulai berkurang, tidak setiap hari beroperasi. Syukurlah.

Selain orkes sahur keliling tersebut, petasan juga selalu membuat kesal luar biasa. Pasti yang membaca ini tahu lah bagaimana mengagetkannya suara petasan dan itu selalu membuat dada saya jadi berdebar-debar. Iya kalau berdebarnya dirasakan saat bertemu pujaan hati, lha ini ndredeg, kalo kata orang jawa, pas dengar suara mercon. Adik saya selalu menangis kalau mendengar suara mercon, Bapak selalu marah-marah dan mengejar anak-anak yang bermain mercon dekat rumah. Ramadan bukannya tadarusan atau tidur di rumah masing-masing malah membuat emosi orang saja dengan membakar petasan.

MENUNGGU MAKANAN DARI MASJID

Menjelang Idul Fitri, kami sekeluarga biasanya pulang ke Ambulu, tempat asal Bapak. Dibandingkan pulang ke Nganjuk tempat asal Ibu, pulang ke Ambulu lebih sering kami lakukan karena memang letaknya lebih dekat dengan Situbondo. Rumah Mbah bersebelahan dengan Masjid. Ada satu hal yang selalu saya rindu saat Ramadan seperti ini yaitu menunggu  makanan dari Masjid. Jadi, setiap berbuka puasa, setiap hari pasti ada yang mengirimkan makanan ke Masjid untuk berbuka puasa. Karena banyak yang mengirim, akhirnya makanannya berlebih. Nah, adik atau sepupu saya pasti membawa pulang ke rumah setelah sholat Maghrib berjamaah, lalu kami di rumah makan bersama-sama apa yang ada dalam wadah berkat tersebut (ini saya tidak tahu ya bahasa Indonesia nya tempat berkat, wadah dari plastik yang bolong-bolong). Ketika makanan datang, Mbah atau Bude selalu mengatakan “ayo dipurak saiki panganane” yang artinya ayok dimakan bersama-sama sekarang makanannya. Ah, jadi kangen keluarga Ambulu.

Beberapa hal tersebut seringnya membuat saya selalu terkenang masa kecil saat Ramadan seperti ini. Kenakalan masa kecil, kenangan manis, kelucuan maupun rasa kesal yang tidak akan pernah saya lupakan.

Saya suka tertawa sendiri kalau melihat gambar plesetan ini

sumber : http://www.merdeka.com/peristiwa/meme-lucu-nggak-fokus-saat-puasa.html
sumber : http://www.merdeka.com/peristiwa/meme-lucu-nggak-fokus-saat-puasa.html
sumber : http://www.merdeka.com/peristiwa/meme-lucu-nggak-fokus-saat-puasa.html
sumber : http://www.merdeka.com/peristiwa/meme-lucu-nggak-fokus-saat-puasa.html

Kalau kamu, punya kenangan masa kecil saat Ramadan yang tidak pernah lupa?

-Den Haag, 19 Juni 2016-