Ramadan Pertama di Belanda

Bulan Ramadan ini adalah Ramadan pertama saya di Belanda. Sudah 21 hari terlewati, dimana sebagai perempuan saya tentu tidak penuh selama 21 hari tersebut. Saya baru berbagi cerita tentang pengalaman puasa menjelang penghabisan Ramadan karena ingin mengobservasi dahulu perubahan apa yang terjadi dari 14 jam lama waktu puasa di Indonesia menjadi 19 jam lama waktu puasa di Belanda. Sebenarnya saya tidak terlalu kaget karena sebelum Ramadan sudah mencoba latihan dengan melakukan beberapa puasa sunnah misalkan puasa senin kamis dan puasa daud tetapi pada saat itu masih belum memasuki musim panas dimana waktu siang lamanya tidak terlalu panjang. Dan puasa Ramadan kali ini tentu saja berbeda karena waktu dari subuh sampai maghrib berselang 19 jam dikarenakan memasuki musim panas.

Karena berbeda lamanya dengan Indonesia maka tantangannya juga berbeda. Kalau puasa di Surabaya atau Jakarta atau Situbondo atau Jember (ini empat kota yang memang jadi tempat tinggal selama di Indonesia) tantangan terberat adalah panasnya yang super dahsyat. Kenapa saya mengatakan demikian karena bukan hanya hawa panas tapi udara yang tidak segar. Jadi meskipun waktu berpuasa lebih pendek dibandingkan Belanda tapi saya merasa lebih nyaman berpuasa di Belanda meskipun beberapa waktu lalu panasnya sampai 38 derajat. Tetapi karena udaranya lebih segar jadi saya merasa lebih nyaman dibadan meskipun panasnya sudah menyerupai Surabaya.

Tantangan kedua adalah masalah waktu. Dengan jeda waktu berbuka sampai subuh yang hanya berselang 5 jam (Subuh sekitar jam 3 pagi dan Maghrib sekitar jam 10 malam) maka saya harus menyiasati bagaimana bisa melakukan aktifitas berbuka puasa, sholat Maghrib, Sholat Isya (waktu Isya sekitar jam 12 malam), Sholat Taraweh (kadang-kadang kalau masih ada waktu saya juga sempatkan sholat Tahajjud), sahur, dan Sholat subuh. Untuk tadarusan (baca Al Qur’an) saya lakukan setelah atau sebelum waktu sholat wajib lainnya. Awalnya sempat keteteran karena masih belum memahami ritmenya. Seiring berjalannya waktu, saya mulai bisa mengatur jadwalnya. Jadi jam 10 saya buka puasa minum air putih dan buah, kemudian sholat Maghrib. Setelahnya saya makan berat. Jam 11 malam saya usahakan untuk tidur, lebih tepatnya dipaksakan untuk tidur supaya badan disempatkan untuk istirahat. Jam 2 pagi bangun lalu sholat Isya lanjut taraweh. Kemudian saya sahur sambil menunggu waktu sholat Subuh. Sekitar jam 3.30 pagi saya tidur lagi lalu bangun jam 6 pagi. Kalau sedang ada jadwal sekolah, saya siap-siap untuk berangkat. Tapi kalau tidak sedang sekolah, saya bantu suami untuk menyiapkan keperluan dia ke kantor. Entah mengapa badan selalu selalu terbangun jam 6 pagi dan setelahnya tidak bisa tidur lagi sampai waktu tidur dimalam hari.  Begitulah cara pengaturan kegiatan saya.

Selang beberapa lama sebelum saya benar-benar mengetahui ritmenya, ada informasi dari seorang teman yang tinggal di Norwegia tentang fatwa dari Mekkah tentang puasa yang dilakukan dinegara dengan lama waktu siang lebih dari 18 jam. Jadi untuk kota yang latitudenya diatas 50 bisa mengikuti waktu puasa Mekkah dengan jam sholat yang sudah diperhitungkan dengan acuan pada Mekkah, lebih jelasnya bisa dilihat disini tentang pembagian waktu sholatnya. Karena ini adalah Fatwa yang artinya adalah pendapat dari orang (atau sekelompok orang) yang ahli terhadap suatu masalah, maka Fatwa ini sifatnya tidak mengikat. Jadi bagi mereka yang merasa kesusahan berpuasa lebih dari 18 jam karena alasan kesehatan atau merasa tidak khusyuk melaksanakan ibadah malam dengan waktu yang sangat terbatas atau karena alasan lainnya yang memang sifatnya personal antara satu orang dan yang lainnya, maka bisa dan diperbolehkan untuk mengikuti fatwa dari Mekkah tersebut. Tetapi harus diingat bahwa Fatwa tersebut tidak bisa disalahgunakan untuk kepentingan pribadi yang sifatnya hanya ingin berpuasa dalam waktu yang lebih pendek tanpa alasan yang logis. Namun kembali lagi, yang mengetahui mampu atau tidaknya hanya orang yang bersangkutan. Wallahu A’lam Bishawab. Informasi tentang Fatwa ini bisa dibaca lebih lengkap disini dan disini.

Jadi karena awalnya masih keteteran mengatur jadwal dan merasa tidak khusyuk untuk beribadah malam dengan waktu yang sangat pendek, dengan adanya informasi tentang Fatwa tersebut maka saya mengikuti puasa waktu Mekkah karena Den Haag latitudenya adalah 52 sehingga sudah memenuhi syarat. Jadi yang awalnya 19 jam waktu puasa, saya merubahnya menjadi 15 jam (jam 5.30 pagi waktu Subuh dan jam 8.30 malam waktu sholat Maghrib), mengikuti jam sholat yang sudah ditetapkan dengan mengikuti waktu Mekkah. Sambil jalan saya memantapkan hati untuk mencari informasi terkait supaya saya merasa lebih yakin. Tetapi selang beberapa hari saya memutuskan untuk kembali lagi mengikuti waktu puasa awal dengan mengikuti jadwal dari KBRI Den Haag. Saya memutuskan untuk kembali bepuasa dengan waktu awal karena pertama merasa belum cukup ilmu untuk mendalami tentang Fatwa tersebut dan kedua saya merasa masih mampu untuk puasa 19 jam. Kalau untuk mengatur jadwal ibadah malam, saya yakin pasti ada jalan keluarnya supaya ibadah lebih khusyuk. Jadi saya kembali berpuasa 19 jam karena secara pribadi, saya yang tidak memiliki cukup alasan kuat untuk mengikuti waktu Mekkah. Berpuasa memang bukan tentang berlomba lebih lama dalam waktu berpuasa, tetapi lebih kepada arti dari puasa itu sendiri yaitu menahan diri dari suatu perbuatan, misalnya menahan diri dari makan dan minum. Maksud dan tujuan puasa ialah menahan hawa nafsu dan meningkatkan iman dan taqwa kepada Allah swt, serta menjaga diri dari segala hal yang dapat membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari dengan niat dan beberapa syarat. Nah Fatwa sendiri dibuat dengan syarat dan kondisi tertentu seperti yang sudah saya sebutkan diatas sebagai jalan keluar supaya tetap bisa melakukan ibadah puasa.

Ramadan-mubarak-ikeethalal.nl_

Bagaimana dengan pengaturan makan? Secara keseluruhan tidak ada bedanya jenis makanan yang saya konsumsi ketika puasa di Indonesia maupun di Belanda. Sejak dulu kalau sahur saya tidak bisa makan jenis makanan yang kompleks. Untuk sahur saya makan buah dengan variasi maksimal 3 jenis buah dimana pisang wajib ada karena mengandung karbohidrat kompleks. Buah lainnya biasanya apel, pisang atau anggur atau buah lainnya. Saya merasa kalau sahur dengan buah kenyangnya awet lama dibandingkan makan nasi beserta lauk pauk lengkap. Ketika berbuka saya awali dengan minum air putih lalu makan kurma dan buah. Kemudian setelah sholat Maghrib saya baru makan sayuran segar (raw vegetables), nasi dan lauk (lauknya didominasi tahu dan tempe, sesekali ikan karena saya tidak makan daging dan ayam). Jadi yang wajib adalah buah dan sayur. Untuk pengaturan minum air putih, saya minumnya tidak sekaligus banyak dalam satu waktu tetapi sebotol demi sebotol namun bertahap. Alhamdulillah dengan pengaturan makan seperti itu badan tidak gampang lelah meskipun beraktifitas seharian misalkan sekolah ataupun mengerjakan pekerjaan lainnya dengan mondar mandir bersepeda atau jalan kaki atau naik kendaraan umum. Jadi selama Ramadan, kegiatan masih sama dengan sebelum berpuasa. Tidak ada bedanya. Sampai sekarang saya turun berat badan 2kg. Saya juga masih melakukan olahraga ringan seperti lari disore hari dengan waktu yang tidak terlalu lama.

Begitulah cerita saya (yang lumayan panjang) tentang pengalaman puasa pertama di Belanda. Dari pengaturan jadwal ibadah, perubahan waktu puasa yang berganti dari 19 jam ke 15 jam kembali lagi ke 19 jam, dan pengaturan makan dan asupan gizi yang masuk ketubuh. Dan saya merasa senang sekali puasa di Belanda. Seperti yang sudah saya sebutkan tadi karena udaranya lebih segar sehingga puasa menjadi tidak terasa meskipun ada saat saat tertentu panasnya lumayan nylekit. Pasti ada masa sulit misalnya saya kangen dengan suasana puasa bersama keluarga, kangen masakan ibu, kangen dengar suara tadarus di Masjid, kangen suasana berburu takjil dsb. Tapi ketika masa sulit itu datang saya selalu mengatakan dalam hati untuk menikmati saja setiap waktu dengan ikhlas dan riang gembira selama Ramadan ini. Toh hanya selama sebulan diantara 12 bulan dalam satu tahun. Jangan dibuat susah dan menggerutu. Satu lagi kenapa saya senang melalui Ramadan di Belanda yaitu, terbebas dari suara mercon yang selalu membuat kaget dan gemetar kalo tiba-tiba terdengar dimalam hari atau pagi buta.

Selamat melanjutkan sisa hari Ramadan buat yang melaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Minggu depan sudah lebaran. Insya Allah kita dipertemukan lagi Ramadan yang akan datang dengan kualitas ibadah yang lebih baik.

Oh ya, kalau ada yang ingin tahu saya mudik apa tidak? Tidak, saya mau jalan-jalan sama Suami setelah lebaran. Sayang sudah jauh-jauh ke Eropa masak iya baru sebentar pulang lagi ke Indonesia.

-Den Haag, 8 Juli 2015-