Tong Tong Fair 2016 dan Eka Kurniawan

Emping dan Speekoek

Minggu lalu kami mengunjungi kembali Tong Tong Fair, setelah tahun kemarin pertama kalinya kami melihat secara langsung kemeriahan Tong Tong Fair. Cerita tentang kemeriahan tahun lalu dan sejarah Tong Tong Fair bisa dibaca pada tulisan suami di sini. Awalnya tahun ini kami, terutama saya tidak berencana datang, karena saya fikir pasti kurang lebih sama isinya. Pikiran itu berubah ketika suatu hari saya membaca pada akun resmi Tong Tong Fair di twitter yang mengatakan bahwa salah satu penulis Indonesia akan datang. Memang setiap tahunnya penulis Indonesia ada yang datang untuk mengisi acara. Kalau tahun kemari Leila S. Chudori. Tahun ini giliran Eka Kurniawan. Begitu tahu bahwa Eka Kurniawan akan mengisi acara di Tong Tong Fair, serta merta saya jadi tertarik untuk datang.

Ketertarikan untuk melihat langsung Eka Kurniawan karena sebulan sebelumnya saya meminta tolong Dita yang sedang berlibur ke Belanda untuk membawakan dua buah buku dia. Buku yang saya titip berjudul Lelaki Harimau dan Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas. Dan rasa penasaran itu semakin menjadi karena beberapa waktu lalu buku Lelaki Harimau mendapatkan penghargaan The Man Booker International Prize.

Saya memberitahu suami kalau akan datang ke Tong Tong Fair (TTF), eh ternyata dia ingin ikutan. Dia memang selalu senang datang kalau ada acara yang berhubungan dengan Indonesia, meskipun TTF ini tidak sepenuhnya Indonesia ya. Aslinya dia senang datang ke sini karena bisa incip-incip makanan gratis, saya juga sih *ngikik.

Karena memang ini bazar yang besar sekali, isinya bukan hanya tentang makanan saja tetapi juga mencakup pertunjukan, seni budaya, menjual segala macam barang, pelatihan, bahkan pertunjukan wayang saja ada di sini. Hal yang saya ingat sewaktu kesana, di salah satu tempat yang menyediakan emping dan spekkoek, saya makan empingnya berulang kali sementara suami berbincang dengan Ibu yang jaga sambil berungkali juga makan spekkoek, sampai Ibu tersebut menawari saya untuk membawa pulang emping ditaruh tas kertas. Saya jadi malu, akhirnya menolak, padahal aslinya mau :p

Emping dan Speekoek
Emping dan Spekkoek
Jajanan Pasar. Cendolnya elalu jadi bintang utama, antriannya panjang sekali mau beli cendol nangka dan es campur
Jajanan Pasar. Cendolnya selalu jadi bintang utama, antriannya panjang sekali mau beli cendol nangka dan es campur
Seperti di Malioboro
Seperti di Malioboro
Seperti di Pekan Raya Jakarta
Seperti di Pekan Raya Jakarta

Saya yang memang niatnya hanya ingin melihat Eka Kurniawan, tidak berniat membeli apapun di dalam. Apalagi ketika tahu bahwa memang tenda tenda yang ada di dalam sama persis dengan tahun kemarin. Tapi niat hanyalah sebatas niat, begitu melewati tenda yang menjual segala jenis petis, terasi, ikan asin, ikan teri, iman goyah juga. Untung saja saya membawa uang sedikit, jadi akhirnya bisa terkontrol, itupun musti pinjam uang suami untuk membayar ikan asin sepat. Tapi senang sekali saya pulang ke rumah dengan membawa ikan asin, ikan teri, petis, dan terasi.

Seperti di Pasar Genteng Surabaya, segala macam petis, terasi, kerupuk, ikan teri dan sebagainya ada dan lengkap
Seperti di Pasar Genteng Surabaya, segala macam petis, terasi, kerupuk, ikan teri dan sebagainya ada dan lengkap
Guling terlihat dimana mana
Guling terlihat dimana mana

Ketika saatnya makan tiba, ini adalah hal yang sulit karena harus memilih dari segala macam pilihan yang banyak tersedia di depan mata. Saking banyaknya, seperti halnya tahun kemarin, kami sampai bolak balik membaca menunya apa saja di semua tempat makan tersebut. Akhirnya kami memilih satu tempat makan yang nampak ramai, berharapnya makanannya enak. Tapi ternyata setelah makanan datang, rasanya biasa saja. Pada saat saya membaca menu, suami sampai menunggu lama karena saya tidak juga memutuskan akan makan apa. Dia bertanya kenapa lama sekali. Saya bilang ingin makan sesuatu yang saya tidak bisa masak di rumah. Dia lalu menjawab “kalau mau makan ya makan saja, tidak usah sampai berpikir bisa masak sendiri apa tidak di rumah. Sesekali makan masakan orang lain.” Ya, kan saya inginnya memakan sesuatu yang saya sulit memasaknya *pembelaan.

Akhirnya makan nasi rames dan nasi pedas Bali
Akhirnya makan nasi rames dan nasi pedas Bali

Eka Kurniawan

Nama Eka Kurniawan sebenarnya tidak terlalu asing buat saya karena sepertinya dulu saya pernah membaca bukunya yang berjudul O, tapi sama-samar ingat. Dua buku yang dibawakan Dita sampai sekarang belum selesai semua saya baca, terus terang karena saya agak ngos-ngosan membacanya. Ceritanya bagus, pemilihan katanya juga indah, alurnya keren, cuma mungkin otak saya yang agak susah mencerna. Jadi butuh waktu agak lama untuk menyelesaikan dua buku tersebut, itupun saya selang seling membaca buku yang lain.

Sesi Eka Kurniawan diadakan di ruangan Theater Tong Tong Fair. Tidak disangka hampir satu ruangan terisi penuh, tetapi kebanyakan yang datang adalah mereka yang sekitar umur diatas 45 tahun, beberapa jurnalis juga, serta mahasiswa Leiden. Kenapa saya tahu? karena sewaktu antri masuk, saya menguping pembicaraan.

Eka Kurniawan ini lucu juga ternyata, sepanjang acara suasana gayeng dengan jawaban-jawaban santai tapi mengena yang ditanyakan oleh Wim Manuhutu, seorang historian. Cantik itu luka merupakan novel pertama Eka Kurniawan, pertama kali diterbitkan tahun 2002 oleh penerbit asal Jogjakarta. Waktu itu diterbitkan tidak dalam jumlah banyak karena Eka Kurniawan memang tidak mentargetkan bahwa novel pertamanya ini untuk pangsa pasar yang besar.  Ternyata berbelas tahun kemudian novel ini malah diterjemahkan oleh penerbit dari Inggris dan sebelumnya diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Dan sekarang Cantik Itu Luka (Schoonheid is een Vloek) sedang dikerjakan penerbit dari Belanda untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda.

Beberapa fakta yang saya baru tahu tentang Eka Kurniawan, ternyata dia adalah penulis skenario sinetron Disini Ada Setan. Wah, saya tidak menyangka dia adalah orang di balik layar sinetron yang saya tidak suka sama sekali. Dia mengatakan saat itu menulis baginya adalah hobi, tetapi dia juga harus melihat kenyataan bahwa hidup bukan hanya sekedar hobi, hidup juga butuh uang, itu yang membuat dia terjun ke industri pertelevisian. Saat Eka Kurniawan memulai menulis novel, dia banyak belajar dari novel-novel Roman Picisan.

Pada saat acara selesai dilanjutkan dengan sesi tanda tangan buku, antrian tidak terlalu banyak. Tidak berapa lama saya sudah berhadapan langsung dengannya, berbincang sebentar karena dia tidak menyangka ada yang membawa buku selain Cantik Itu Luka. Komentar suami, “kok antriannya tidak sepanjang waktu kamu minta tanda tangan Dewi Lestari ya? DanEka Kurniawan ini kok orangnya malu-malu ya, jadi terkesan kamu yang agresif.” Wah, saya jadi terbahak-bahak mendengar kalimat terakhir, tidak sadar kalau terlihat agresif :P. Segmen pembaca Eka Kurniawan pastinya berbeda dengan Dee, jadinya ya tidak seramai Dee. Mas Ewald ini memang senang sekali mengikuti cerita tentang beberapa penulis Indonesia, karena dia ingin tahu buku seperti apa yang disukai oleh istrinya. Apalagi kalau sampai bisa bertemu dengan penulisnya, jadi dia tahu secara nyata penulisnya seperti apa.

Sesi Eka Kurniawan
Sesi Eka Kurniawan

Senang akhirnya bisa lebih mengenal sosok Eka Kurniawan dari perbincangan di acara ini selama kurang lebih satu jam. Sekarang tugasnya adalah menyelesaikan membaca bukunya.

Selamat berakhir pekan, apa rencana akhir pekan kalian?

-Den Haag, 10 Juni 2016-

Semua foto adalah dokumentasi pribadi