Tidak Semua Hal Perlu Dikomentari

Pada suatu era, saya gampang sekali berkomentar. Dari komentar yang membangun sampai paling menyebalkan. Dari komentar yang memang perlu sampai yang tidak penting. Pokoknya, saya harus berkomentar.

Ada hal – hal yang memang membutuhkan komentar, masukan, ide atau saran. Misalnya, yang berhubungan dengan pekerjaan, teman yang membutuhkan saran, suami yang bertanya ide atau masukan untuk pekerjaaannya, bahkan saudara yang minta tolong dikasih urun pendapat tentang permasalahan yang sedang dihadapinya.

Tapi ada banyak hal juga yag sebenarnya tidak perlu – perlu banget untuk dikomentari. Nah saya, pernah ada di periode menyebalkan karena menjadi polisi komentar. Semua hal perlu saya komentari, kasih masukan, bahkan hal yang sebenarnya receh remeh saya kasih komentar dalam rangka ingin mengkoreksi apa yang diucapkan atau dituliskan.

Kenapa saya tuliskan kalau hal yang pernah saya lakukan tersebut menyebalkan? Karena kalau dipikirkan ke belakang lagi, saya sudah merusak kebahagiaan atau kesenangan banyak orang. Hanya dari sebuah komentar yang saya lontarkan yang saya pikir hanya sebuah tulisan atau ucapan tak ada makna, ternyata bisa merusakkan suasana hati. Saya seperti ingin meluruskan banyak hal, padahal tanpa perlu saya luruskan pun, tidak akan merusak tatanan dunia.

Contoh 1 : Kalau ada yang menuliskan yang berhubungan tentang sample data atau populasi, saya langsung berlagak paling pintar statistiknya. Misal : Ada yang menuliskan “Orang Belanda terbukti paling pelit sedunia”. Sebagai lulusan Statistik memang paling tidak bisa melihat tulisan atau status tanpa data yang jelas. Dulu akan saya komentari seperti “Ada datanya tidak yang mendukung opini kamu? Kalau tidak ada angka yang pasti, lebih baik dituliskan : berdasarkan pengalaman pribadi saya. Jadi tidak akan menggiring opini yang mengaminkan hal tersebut

Contoh 2 : Kalau ada orang yang menuliskan hal yang baru diketahui padahal saya sudah tau lama, biasanya saya suka menyelutuk. Misal : Eh aku baru tau lho kalau minuman B ini rasanya enak banget. beli ini lagi ah kapan – kapan. Dulu saya akan memberikan komentar : Lah ke mana aja kamu selama ini. Itu sudah lama tau ada di supermarket. Aku sampai bosen minumnya. Sekarang malah ga doyan.

Contoh 3 : Kalau ada yang menunjukkan suatu benda yang dia sukai dan saya tidak suka, akan saya kasih komentar berdasarkan preferensi saya pribadi. Misal : Aku tuh suka banget lho sama sepatu ini. Warnanya keren kan ya, cakep pula bentuknya. Aku mau beli ah. Dulu akan saya beri komentar : Wah, warnanya aku ga suka. Bentuknya apalagi, kayak yang murahan gitu.

Banyak sekali contoh lainnya. Ada saja komentar saya yang bisa merusak suasana hati maupun suasana nyata pada saat itu. Seperti ingin menganggu atau tidak senang melihat orang lain sedang menikmati apa yang ada di depannya. Atau ingin terlihat paling jago di bidang tersebut atau ingin terlihat paling beda. Sangat menyebalkan.

Untunglah dengan bertambahnya umur dan makin bertambah pengalaman hidup, saya jadi lebih banyak belajar untuk mengendalikan komentar. Apalagi diera media sosial yang semakin jadi sahabat sehari – hari karena lekat di hati, rasanya setiap orang punya banyak waktu untuk berkomentar, dari yang super pedas sampai yang biasa saja.

Cukup soto ayam saja yang pedas. Komentar jangan pedas
Cukup soto ayam saja yang pedas. Komentar jangan pedas

Saya sekarang lebih seringnya menjadi pengamat saja. Tidak terlalu vokal memberikan komentar terutama di media sosial. Kalaupun mau rasan – rasan, ya saya lakukan di lingkaran yang memang saya percaya. Patokan saya adalah tidak semua hal perlu dikomentari atau perlu mendapatkan komentar. Pilih dan pilah.

Kalau ada yang menuliskan seperti contoh 1 yang saya tuliskan di atas, jika tidak akan menjadikan kebohongan publik, ya akan saya lewati saja. Tidak perlu saya tanyakan dari mana asal datanya. Meskipun di kepala saya sudah melekat ajaran dari perkuliahan : speak based on data, tapi ya pusing juga kalau tiap hal perlu saya koreksi samplingnya, populasinya, CI atau alfa errornya. Lha ini saya dosen kesasar atau gimana. Kalaupun saya melihat ada yang menuliskan hal yang saya ketahui pasti itu tidak benar, kalau tidak terlalu signifikan salahnya, ya saya lewati saja. Tidak perlu semua hal saya betulkan.

Kalau ada yang menuliskan contoh 2, meskipun saya sudah tau lama, sekarang biasanya akan saya komentar : Oh iya, aku pernah mencoba juga. Memang enak. Sudah cukup begini saja. Kalau contoh nomer 3, sekarang saya akan berkomentar : Kalau kamu suka, beli saja. Apalagi warna dan bentuknya kamu banget kan. Tidak perlu menambahkan pendapat pribadi saya. Wong ya tidak ada yang bertanya pendapat saya. Intinya saya tidak mau lagi merusak suasana hati mereka yang sedang bergembira atau menikmati hal yang baru. Turut bergembira saja. Ga perlu sok iyes.

Jika ada yang sedang curhat, saya selalu jadi pendengar yang baik. Kalau tidak ditanya pendapat, ya saya dengarkan. Paling tidal, ikut bersimpati atau berusaha menenangkan. Kalau ditanya pendapat, baru saya akan berpendapat secara keseluruhan. Bukan atas pengalaman pribadi. Nanti jadinya kompetisi penderitaan seperti yang pernah saya tuliskan di sini.

Biarkan orang lain merasakan dengan cara masing – masing kesenangan yang ingin mereka lakukan. Jika hal tersebut tidak menganggu hidup saya, ya sudah tidak perlu dijadikan sebuah perkara. Simpan energi untuk hal – hal yang lebih positif. Komentar saja untuk hal – hal yang menyenangkan. Tidak perlu semua hal perlu dibenahi lewat komentar.

Seringkali menjadi seorang pengamat itu lebih menyenangkan. Apalagi membaca komentar – komentar di twitter kalau ada cuitan saya mendadak jadi viral. Ada saja yang bertengkar karena pro dan kontra. Ya sudah saya simak saja. Lumayan menghibur.

Tidak semua hal perlu dikomentari. Tidak semua perkara perlu dibetulkan atau dikoreksi. Tidak semua hal butuh komentar. Diam saja membaca, kalau masih mengganjal ya sampaikan dengan kalimat yang baik. Kalau masih mengganjal, ya salurkan lewat rasan – rasan dengan lingkaran yang terpercaya. Itulah gunanya punya circle terdekat. Buat tempat analisa keadaan, bahasa halus dari rasan rasan haha.

Jaman sekarang bukan saja pepatah mulutmu harimaumu yang relevan. Tapi jarimu harimaumu. Jaga mulut dan jari.

Tidak perlu ngotot di dunia maya dengan mereka yang kita tidak tau siapa dia. Rugi jiwa raga.

Buat saya, hidup seperti itu lebih simpel.

-20 September-

*Kalau mau komentar di postingan saya yang mana saja, tentu boleh lho ya. Tidak perlu sungkan. Monggo kalau mau komen. Tidak dilarang.

6 thoughts on “Tidak Semua Hal Perlu Dikomentari

  1. Pingback: yehyeh
  2. Soal komentar ini tergantung suasana hati juga sih Den, kalau gatel pengen komen karena yang kubaca ga sesuai dg pendapatku ya kukomen. Isi komen bisa berbeda antara orang yg kukenal atau tidak haha misal aja di Twitter kalau ada tweet rame ya ku komen jujur, klo yg tweet kukenal tp berbeda pendapat klo ga bisa kukomen pakai kalimat halus ya mending ga usah komen 😆 . Iya sih semua yg kita lihat, kita baca ga melulu perlu dikomentari (dituliskan), paling komen dalam hati saja haha ..

    1. Sama Nel, aku makin nambah tua, makin komen dalam hati aja. Nyinyir dan julid di kepala paling banter sama suami yang jelas dia ga ngerti apa yg kuceritakan haha. Sama teman2 lingkaran terdekat juga

  3. Ini bener banget. Menohok sekali haha, karena aku demen banget mengoreksi orang, yang menurutku bisa jadi bahan “pengetahuan” buat dia kedepannya, dan aku kadang lupa bahwa itu nyebelin banget. I need to reduce this behaviour and create inner peace, jadi tidak gampang ter-trigger oleh postingan orang orang. Tengkiu remindernya Den.

    1. Karena aku juga gitu Va, gampang ngomentari hal2 sik ga krusial, yang lama2 kupikir kok menyebalkan ya hahaha. Kalau komentar yang ringan2 saja ga masalah ya tentu saja. Cuma kalau apa2 aku betulkan atas nama aku lebih tau itu, ngeselin lek tak pikir2. Padahal orangnya nanya aja nggak. Makanya aku mau merubah pelan2.

Thank you for your comment(s)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.