Melepaskan Yang Tidak Dibutuhkan

Ketika saya dan adik-adik masih kecil, Bapak sudah mengajarkan sebuah konsep : Membeli hanya jika membutuhkan. Dimulai dari hal-hal yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, semisal baju. Tidak disetiap hari raya kami mempunyai baju baru, tidak seperti anak-anak kecil tetangga yang selalu punya baju baru ketika lebaran tiba. Bapak dan Ibu tidak akan membelikan baju baru jika kami masih mempunyai pakaian yang layak digunakan dan masih dalam kondisi bagus. Jika memang kami sudah tidak membutuhkan lagi baju-baju tersebut dan ingin membeli baju yang baru, maka syaratnya baju yang lama dan masih dalam kondisi bagus serta layak tersebut harus diberikan kepada yang lebih membutuhkan, misalkan disumbangkan ke Panti Asuhan atau tetangga yang memang kurang mampu atau ke saudara.

Jadi intinya kalau mau membeli satu baju, satu baju dari lemari yang masih bagus harus dikeluarkan untuk disumbangkan atau diberikan. Kenapa harus baju yang masih bagus yang disumbangkan? Karena jangan sampai memberikan barang yang kita tidak suka dan dalam kondisi yang sudah tidak bagus lagi. Perlakukan orang akan menerima barang tersebut seperti kita yang menerima. Jika barangnya masih bagus dan sangat layak untuk dipakai dan digunakan, tentu saja lebih bermanfaat dan membuat orang yang menerima merasa berbahagia. Jika memang kondisinya sudah tidak bagus lebih baik dibuang.

Kebiasaan itu akhirnya terbawa sampai saya besar. Untuk segala barang, saya akan membeli kalau memang benar-benar membutuhkan, bukan hanya menginginkan saja. Saya ingat dulu ketika bekerja di Jakarta, HP yang saya miliki adalah nokia lama (lupa tipe berapa) sementara beberapa kolega di kantor selalu berganti tipe Hp dan memperolok HP saya yang hanya bisa sms dan telepon saja. Saya tidak gentar dengan olokan mereka dan tetap mempertahankan HP itu karena masih sesuai fungsiunya. Saya tidak akan membeli suatu barang hanya karena mengikuti tren saja. Sampai suatu hari, Hp tersebut benar-benar tidak bisa dipakai lagi, mungkin memang sudah saatnya mengganti setelah 6 tahun lamanya setia menemani. Setelahnya saya langsung membeli HP berbasis Android yang lumayan harganya karena sepesifikasi didalamnya memang sesuai kebutuhan.

Sampai sekarang saya tinggal hampir 11 tahun di Belanda dan punya anak tiga, hal tersebut tetap saya terapkan. Baju, ya itu – itu saja. Saya masih punya kaos yang usianya sudah lebih dari 20 tahun, masih muat di badan, saya pakai sehari – hari dan bahannya masih bagus. Jilbab pun sama. Kalau saya membeli 2 baju baru, berarti 2 baju lama harus dikeluarkan dari lemari. Baju anak – anakpun, jika ada teman yang melungsuri, dengan senang hati saya terima. Lumayan kan, budget membeli baju anak – anak di negara 4 musim yang cukup besar, bisa dialihkan ke hal – hal lainnya. Toh baju yang dilungsurkan pasti masih dalam kondisi bagus. Begitupun dengan baju anak – anak kami, jika memang sudah tidak bisa dipakai karena ukurannya terlalu kecil, saya akan pilah pilih dan berikan ke teman – teman yang mau menerima untuk anak mereka. Jika tidak ada yang mau dilungsuri, saya berikan ke Kringloopwinkel atau toko barang bekas di kampung sini. Yang sudah tidak layak, saya buang.

Saya sangat rajin beberes isi rumah. Ini saya rasa turunan dari Bapak. Dari sejak saya ngekos umur 15 tahun, kalau sedang pulang ke rumah, tugas saya mendadak jadi petugas kebersihan. Segala yang sekiranya memenuhi rumah dan tidak bisa dipakai lagi, saya buang. Ibu saya yang suka sekali menumpuk barang, biasanya marah – marah kalau barang tumpukannya saya buang. Ya termasuk makanan yang suka disimpan sampai kadaluarsa.

Dulunya, suami saya pun tukang menumpuk barang. Tidak separah Ibu memang (nanti fenomena menumpuk barang akan saya buatkan tulisan terpisah, karena sayapun pernah ada dijaman sebagai penumpuk satu barang. Tapi langsung tersadar dan jadi berubah ke haluan awal). Sejak menikah dan kami mulai tinggal bersama, kebiasaan menumpuk barangnya jadi berkurang. Kemelekatan dia akan sebuah barang jadi pelan – pelan hilang. Dia melihat saya suka mensortir segala macam yang ada di rumah, melihat saya yang tidak suka membeli barang jika tidak perlu, dan gampang melenyapkan barang dari rumah jika memang sudah tidak digunakan lagi. Dia akhirnya ketularan rajin beberes, bersih – bersih dan sekarang jadi gampang sekali untuk mensortir barang – barang yang memang waktunya disingkirkan dari rumah.

Foto di bawah dari kiri ke kanan : Saya sedang beberes sebagian kecil buku – buku di ruang perpustakaan di rumah, suami setelah beberes mendapatkan banyak sekali barang yang memang sudah harus dibuang. Foto terakhir sebelah kanan, akan saya bawa saat mudik tahun lalu. Lumayan banyak baju suami yang masih bagus bisa saya berikan ke tetangga – tetangga di desa.

Saya sendiri, memang tidak terlalu punya rasa kemelakatan yang kuat akan sebuah barang. Memang ada barang – barang tertentu yang punya nilai sejarah, akan saya simpan. Tapi hanya satu dua saja. Misalkan sarung dari Bapak yang biasa dipakai ke Masjid, saya simpan sampai sekarang. Sebagai kenang – kenangan dan sarung itu yang Beliau gunakan ke Masjid saat sholat Maghrib lalu sekitar 2 jam setelahnya Bapak meninggal. Contoh lainnya : Suami pernah membeli satu set baju olahraga untuk bayi, jauh sebelum saya hamil. Kata dia, membeli itu karena iseng saja, lucu katanya. Lalu sekitar 2 atau 3 bulan setelahnya, saya hamil dan anak yang saya kandung, berjenis kelamin sama dengan baju yang suami beli tersebut.

Hanya barang yang mempunyai nilai sejarah yang tinggi, akan saya simpan. Selebihnya, kalau sudah tidak terpakai lagi, lama tidak digunakan, dan tidak memberikan manfaat lagi, saya singkirkan. Tidak perlu lagi disimpan selain karena tidak ada tempat, juga gunanya untuk apa disimpan kalau jumlahnya terlalu banyak.

Lepaskan saja. Less is more.

Memang saya gampang melepaskan. Bukan hanya tentang barang, ke banyak hal juga. Termasuk pikiran – pikiran yang dirasa memberatkan, ya sudah lepaskan saja. Otak kapasitasnya terbatas. Lebih baik memberikan kesempatan kepada hal – hal yang bermanfaat untuk dijalani saat ini. Melepaskan apa yang sudah terjadi dimasa lalu. Jangan sampai memberatkan langkah ke depan. Melepaskan pikiran khawatir tentang masa depan. Jalani dan nikmati yang ada sekarang, yang di depan mata, dan saat ini. Supaya hati dan pikiran tetap tenang. Yang nanti ya dipikir nanti. Yang sudah selesai, ya letakkan tidak perlu disimpan lagi. Lepaskan saja rasa cemas itu. Fokus pada hari ini.

Termasuk hubungan yang saya anggap sudah tidak ada manfaatnya lagi dan tidak memberikan keberkahan dimasa mendatang. Dari hubungan pertemanan sampai persaudaraan. Tentunya setelah melalui pertimbangan yang matang. Jika dirasa sangat tidak ada faedahnya, buat apa dipertahankan. Membuat sakit diri sendiri. Penghambat banyak rejeki yang akan datang. Melepaskan untuk mendapatkan ketenangan dan keberkahan, itu jauh lebih baik. Daripada tetap dipertahankan, rasa tidak nyamannya ditumpuk, dan pura – pura tidak ada masalah. Buat apa.

Hidup di dunia cuma sekali. Minimalkan untuk menimbun hal – hal yang beracun untuk diri sendiri. Manfaatkan tiap waktu dengan berkegiatan yang menyamankan hati bersama mereka yang memberikan ketenangan hati dan keberkahan. Yang sama – sama bisa mendatangkan kebahagiaan hidup. Yang dicari dalam hidup kan ketenangan dan kebahagiaan. Kalau sudah tidak lagi bermanfaat, buat apa tetap dipertahankan.

Lepaskan saja. Hempaskan saja.

Pada sebuah masa, sesuatu memang perlu untuk dilepaskan jika memang sudah tidak dibutuhkan dan tidak bisa memberikan manfaat. Ditumpuk bisa menimbulkan racun yang menganggu kesehatan jiwa dan raga.

Hidup berdampingan dengan hal – hal yang memberikan ketenangan dan kebahagiaan.

Melepaskan semua hal yang tidak dibutuhkan dan tidak lagi punya nilai guna..

  • 26 November 2025 –

Tidak Semua Tentang Uang dan Popularitas

Awal pindah ke Belanda tahun 2015, seingat saya dunia vlog di YouTube belum semarak sekarang. Terutama yang membahas kehidupan sehari – hari diaspora Indonesia di manapun berada. Saya punya akun YouTube sejak masih di Jakarta. Jauh sebelum pindah ke Belanda. Akun tersebut, saya isi video – video random kompilasi saat sedang jalan – jalan, kulineran, bahkan nonton konser. Kualitas video ya tentu saja secanggih Sony Ericsson Xperia Arc S warna Fuschia pada jaman itu di dunia Android. Sekarang kalau dilihat lagi, buram dan agak ngeblur hahaha. Dari dulu memang saya suka sekali membuat dokumentasi dalam bentuk tulisan, foto, dan video. Karena itulah, setiap ganti Hp (yang dari awal punya sampai sekarang masih bisa dihitung jari), yang saya prioritaskan adalah kamera dan megapixelnya.

Setelah pindah ke Belanda, saya tetap mengunggah beberapa dokumentasi tentang acara – acara di Belanda yang saya datangi, menonton konser, bahkan saat suami bermain piano (tapi memvideokan dari belakang, jadi tampak punggung:))). Tentu saja, semua itu untuk dokumentasi sendiri alias tidak pernah saya promosikan. Dulu ya mana terpikir tentang jumlah pengikut. Membuat dokumentasi video ya karena senang saja. Bukan supaya ditonton orang banyak atau mendapatkan pengikut yang bombastis jumlahnya.

Begitupun akun twitter, sejak punya pertama kali punya berbelas tahun lalu, saya mengibaratkan twitter itu sebagai taman bermain. Tempat saya mencari hiburan. Tidak pernah terpikir sejak awal untuk mengumpulkan pengikut yang super banyak. Yang saya tulis di sana ya opini pribadi, cuitan random seperti terjebak macet di Jakarta, terjebak banjir, menang kuis Detik, sampai kehidupan di Belanda, resep masakan dan baking, hal – hal receh tidak penting, ataupun pengalaman pribadi lainnya. Sangat jarang saya menuliskan tentang keluarga. Ternyata di kemudian hari pengikut akun twitter saya makin bertambah banyak. Kata mereka, suka dengan hal – hal yang saya tuliskan, opini yang saya bagikan, maupun foto – foto yang saya unggah. Ada sih yang tidak suka juga, sampai setiap saat membuat cuitan nyinyiran tentang saya. Tapi saya anggap mereka debu debu yang ga ada manfaatnya saja alias ga penting. Mending tetap fokus menebarkan hal – hal baik lewat tulisan. Meski demikian, sampai sebelum rehat dari semua media sosial, tidak ada dalam otak saya terlintas untuk mencari popularitas. Kalau ada yang suka, ya Alhamdulillah. Artinya hobi saya menulis yang tersalurkan lewat media sosial, bisa membawa berkah. Membuat bahagia yang membaca.

Sampai beberapa kali saya mendapatkan tawaran dari beberapa merek terkenal di Indonesia maupun beberapa startup, untuk bekerjasama dengan mereka. Semuanya tidak saya terima. Setelah mempelajari, memang tidak sejalan saja dengan tujuan saya dalam bermedia sosial. Bukan menolak rejeki, tapi saya ingin berlaku jujur. Bukan hanya mengejar uang lalu mengorbankan integritas. Saya tidak ingin melakukan suatu hal jika memang tidak sesuai dengan hati nurani. Untuk rejeki, Insya Allah akan ada jalan lainnya yang lebih berkah dan memberikan manfaat.

Yang pasti, sejak punya pengikut banyak, saya jadi rajin mempromosikan dagangan para UMKM yang Amanah dan memang saya pernah coba sendiri rasanya atau saya kirim ke saudara dan teman di Indonesia dan meminta mereka untuk mereview. Jadi saya tau kualitas produk mereka. Tanpa mencoba sendiri, ya bagaimana saya bisa mempromosikan. Minimal, ada review dari teman – teman dan saudara dekat. Alhamdulillah, beberapa yang saya bantu promosi di akun twitter (atau di Instagram sebelum saya rehat) berterima kasih sekarang jadi banyak pembeli dan banyak yang membeli ulang. Bahkan yang di Indonesia, pesanan sampai ke Eropa, Australia, dll. Sedangkan mereka yang berjualan di Belanda juga kalau enak dan sesuai selera saya, pun saya promosikan. Kalau laris kan saya ikut senang.

Inilah yang saya maksud bahwa rejeki itu bukan hanya selalu tentang mendapatkan uang. Saya mempunyai rejeki mendapatkan banyak pengikut di media sosial, ya saya teruskan berbagi berkah dengan mempromosikan secara gratis usaha orang – orang yang amanah di media sosial. Punya pengikut banyak itu bukan tentang populer saja. Tidak semua orang punya tujuan untuk populer saat bermain media sosial. Ada yang memang ingin memanfaatkan untuk misi sosial.

Berbicara tentang kepopuleran, setelah kami mempunyai anak, beberapa saudara saya di Indonesia bilang kenapa saya tidak membuat vlog kehidupan sehari – hari selama di Belanda. Mereka bilang banyak orang Indonesia yang tinggal di luar negeri dan punya anak, membuat vlog keluarga yang memperlihatkan kehidupan sehari – hari dengan anak – anak dan pasangan. Kata mereka, “Biar terkenal Den seperti mereka,” Saya selalu tersenyum kalau ada saudara yang berkomentar seperti itu.

Pun ada beberapa orang di Belanda sini, memberikan masukan yang sama, “Buat vlog gitu lho Den, kan kamu suka bikin video. Kalian sekeluarga suka jalan – jalan, anak – anakmu cakep, kegiatanmu banyak, pasti nanti kamu jadi terkenal trus bisa menghasilkan uang” Lagi – lagi saya tersenyum.

Beberapa pengikut saya di twitter juga begitu. Menyarankan pada saya untuk membuat vlog tentang kegiatan masak dan baking, karena memang saya sering membagikan resep masakan dan baking di twitter (juga di Instagram).

Jaman sekarang, rasanya semua orang yang tinggal di Luar Negeri itu dituntut harus terkenal dan menghasilkan uang lewat vlog, lewat media sosial, ataupun lewat media lainnya. Rasanya kalau memilih jalan sunyi yang biasa – biasa saja akan ada saja komentar, “Sayang lho kamu kan sudah tinggal di Belanda, bikinlah vlog supaya terkenal dan setidaknya banyak orang tau tentang keluarga kalian” Saya sih tidak masalah ya diberikan komentar seperti itu. Tapi, sayapun bisa memilih jalan sendiri. Untuk tidak menjadi terkenal ataupun menjadikan media sosial sebagai jalan mendapatkan uang banyak. Setidaknya tidak, sampai saat ini.


Bahwa, saya dan keluarga tidak perlu terkenal dengan cara mengunggah kegiatan sehari – hari kami lewat vlog sehingga semua orang di dunia bisa melihat dan memberikan komentar. Kami sudah sangat bahagia dan tenang dengan tetap menjaga privasi. Tidak populer tidak masalah.

Bahwa, kami ingin kehidupan anak – anak kami tetaplah sebagai anak – anak saja yang jauh dari sorotan media sosial, selama mereka masih belum bisa berpendapat secara sadar dan belum bisa memberikan ijin apakah foto atau video mereka bisa diunggah di internet. Biarkan mereka tumbuh besar selayaknya anak – anak saja, gembira dan ceria di kehidupan nyata.

Bahwa, tidak semua orang yang tinggal di Luar Negeri dan punya media sosial itu tujuannya ingin terkenal. Tidak semuanya tentang popularitas. Ada yang senang dan nyaman menikmati serta menjalani kehidupan tanpa memikirkan popularitas, tanpa mencari validasi ataupun butuh puja puji. Hidup yang sunyi senyap pun sangat membahagiakan. Tenang jauh dari keriuhan dunia maya.

Bahwa, Saya senang dan bahagia memilih jalan sunyi seperti ini. Saya tetap setiap saat mendokumentasikan kehidupan sehari – hari lewat foto, video, maupun tulisan. Tapi saya pilah dan pilih mana yang memang bisa saya bagi, mana yang tetap saya simpan sendiri sebagai dokumentasi keluarga.

Bahwa, masa – masa untuk mencari validasi buat saya itu sudah lewat. Itu masa – masa di Indonesia (khususnya waktu di Jakarta). Di sini saya hanya ingin menikmati hidup yang pelan dan sadar. Menikmati setiap waktu dengan tenang. Hadir secara nyata dan penuh. Sudah bukan waktunya lagi buat saya mengejar pengakuan orang lain. Saya sudah merasa cukup dengan apa yang saya jalani setiap harinya. Rejeki tidak selalu harus berupa materi. Rejeki bisa saja dalam bentuk membantu orang lain yang membutuhkan dan menjadi jalan berkah.

Bahwa, memang benar saya terlalu mager untuk membuat vlog hahaha ini masalah utamanya. Kerja saya sehari – hari sudah tak terhingga sibuknya. Sudah banyak kan yang membuat vlog kegiatan sehari – hari kehidupan diaspora di banyak negara. Ya biar mereka saja. Saya salut dengan komitmennya. Apalagi yang punya anak banyak. Salut dengan tenaga dan pengorbanan waktunya. Pasti tidak mudah. Kalau saya, jujur tidak sanggup. Saya lebih memilih menulis yang panjang di blog.

Bahwa, menjadi diaspora yang biasa – biasa saja, bukanlah sebuah dosa. Tidak perlu semuanya harus dibagikan di depan kamera untuk diunggah dan ditonton khalayak ramai. Tidak semua diaspora harus sama jalan hidupnya. Tidak semua harus membuat vlog atau jadi konten kreator.

Bahwa, saya tetap akan menulis, menjadi blogger, dan melaksanakan kegiatan lainnya yang saya suka, tanpa perlu dibebani dengan tanggung jawab menyenangkan orang lain atau menjadi pribadi yang berbeda supaya nampak sempurna di mata orang lain.

Bahwa, tidak semua tentang uang dan popularitas.

Hidup saya saat ini sudah sangat cukup, membuat nyaman, tenang, dan bahagia.

Apalagi yang harus dicari?

  • 19 November 2025 –

Ngeblog Sudah Tidak Tren Lagi?

Dunia blog saat ini, tidak seramai 11 tahun lalu saat saya mulai menulis di WordPress. Sebelum aktif di sini, saya juga rajin menulis di Blogspot, Multiply, Tumblr. Friendster termasuk tidak ya, karena dulu juga rajin curhat di sana. Ya tulisan saya di blog memang tidak jauh dari curhat, cuma tampilannya saja yang berbeda. Kalau di Blogspot, curhat dalam bentuk puisi. Di Multiply sering menuliskan kegundahan dalam bentuk tulisan pendek.

Di WordPress, saya mulai belajar menulis panjang tentang dokumentasi kehidupan sehari – hari, peristiwa terkini yang terjadi, cerita jalan – jalan, sampai cerita keluarga. Menulis di sini, dari saya dan suami belum menikah, sampai sekarang kami sudah punya anak tiga. Hanya saja, untuk cerita tentang anak – anak, memang saya batasi tidak saya buka semua di sini. Cerita tentang suami juga, tidak terlalu banyak. Saya membatasi menuliskan tentang keluarga, berkaitan dengan privasi. Sebagian besar yang saya tuliskan di sini ya tentang kegiatan saya, kegelisahan, maupun uneg – uneg di kepala yang perlu dikeluarkan.

Blog ini awalnya dibuat karena komitmen kami berdua untuk menulis, pun karena suami suka menulis. Itu kenapa nama blognya Deny dan Ewald. Walaupun Denald sendiri bukan singkatan nama kami berdua (meskipun kalau cocoklogi sebenarnya bisa ya hahaha). Awal – awal memang masih dijalur yang benar, suami masih menulis di sini. Lama – lama dia mangkir dan menulis di blognya sendiri. Lah, bagaimana ini :))) Ya sudah, selanjutnya saya sendiri yang solo karir di sini.

Denald itu nama alias yang sudah saya gunakan sejak SMP. Denald kependekan dari Deny suka Donald hahaha iya, Donald Duck. Saya memang penggemar Donald.

Seingat saya, 2014 sampai sekitar sebelum pandemi, WordPress masih ramai. Masih banyak yang menulis lalu saling berbalas komentar. Dari cerita sehari – hari yang ringan sampai pembahasan berat seperti politik. Dari yang hanya kenal di dunia blog, sampai kopi darat dan berteman sampai sekarang. Saya masih berteman baik sampai saat ini dengan beberapa blogger yang kenal di WordPress kisaran tahun 2014 – 2017, sering jalan bareng, ngobrol nyambung, ketemuan kalau mudik, sampai nggosip di WhatsApp. Ada juga yang sudah tidak sejalan lagi. Namanya dinamika kehidupan, ada yang datang dan ada yang pergi. Tidak mengapa.


Semakin tahun, saya mulai merasa dunia blog semakin sepi, terutama di WordPress. Entah untuk media blog yang lain. Setidaknya beberapa blogger yang saya ikuti sudah jarang sekali menulis, bahkan memutuskan tidak menulis di blog lagi dan pindah ke media sosial. Misal lebih aktif menulis di twitter, Quora, Substack atau beralih jadi konten kreator di tiktok, Youtube, dan Instagram. Semakin maraknya media sosial, bisa dipahami kalau ngeblog itu jadi hal yang membutuhkan ekstra. Bukan hanya ekstra fokus, waktu, pun tenaga. Sementara menulis di media sosial, bisa dengan cerita singkat atau bahkan tanpa cerita hanya unggah foto atau video saja. Menulis panjang di blog lebih nyaman di depan laptop atau komputer, sedangkan di media sosial bisa dilakukan melalui telefon genggam. Belum lagi, ada yang sudah membayar biaya anggota per tahun di blog kemudian jarang menulis, berasa rugi uang. Sedangkan di media sosial, gratis.

Sayapun mengakui, sejak pandemi, menulis di WordPress frekuensinya jadi jarang. Apalagi sejak di twitter saya pelan – pelan mempunyai banyak pengikut, akhirnya lebih aktif di sana. Interaksinya pun menyenangkan. Instan dan menemukan komunitas baru. Bisa dijadikan tempat berjejaring. Menulis di blog jadi bolong – bolong. Ditambah aktifitas saya di dunia nyata yang memang lumayan menyita waktu. Mengurus 3 anak yang super aktif, ada bisnis yang dikerjakan, berjibaku dengan kegiatan sehari – hari, dan menyoba menyeimbangkan peran antara sebagai istri dan tidak melupakan diri sendiri.

Setahun belakang ini, saya pun menambah media sosial di Instagram dan Threads. Memang cari perkara baru nambah medsos ini. Dipikir kebanyakan waktu padahal sehari – hari bisa duduk cantik saja sudah Alhamdulillah :))) Makin jaranglah saya ngeblog. Terlena dengan “mainan” baru. Terlena dengan segala kenyamanan di sana. Meskipun pada akhirnya, saya putuskan untuk hiatus di semua platform media sosial yang saya punya sejak 6 bulan terakhir. Bosen juga ternyata dan saya ingin kembali fokus dengan dunia nyata. Fokus dengan diri sendiri.

Saya kembali lagi aktif ngeblog 3 bulan belakang ini. Sejak awal ngeblog dulu, memang tujuan saya untuk mendokumentasikan dan menumpahkan apa yang ada di kepala, secara runtun. Dari kecil saya memang suka menulis. Bahkan karena suka menulis, saya pernah ikut keroyokan menulis di beberapa buku. Ceritanya saya tuliskan di sini. Dulu senang sekali kalau setelah menulis lalu ada yang meninggalkan komentar. Saling berbalas jawaban. Sekarang menyadari WordPress mulai sepi, jadi saya sudah niatkan bahwa ada atau tidak ada yang komen, menulis tetap berjalan. Kalau ada yang baca Alhamdulillah, tidak ada yang baca ya tidak masalah. Ada yang meninggalkan komentar saya senang, kalau tidak ada yang komentar sama sekali, ya sama senangnya.

Kesenangan ngeblog sekarang buat saya mulai bergeser. Bukan lagi tentang interaksi antar blogger, tapi lebih ke berinteraksi dengan pikiran sendiri. Berkoneksi dengan diri sendiri. Dulu juga begitu, sekarang lebih intensif lagi. Perlahan mulai menata kembali fokus di otak yang sempat kocar kacir karena terlalu aktif di media sosial dengan kesenangan instan dan konten yang pendek – pendek. Sekarang lebih berteman dengan sunyi di blog. Saya menulis sekarang untuk meditasi dan ketenangan diri. Bukan lagi untuk mencari gegap gempita tenar ataupun pujian. Dan kesenangan ngeblog memang tidak tergantikan, buat saya.

Tentang semangat ngeblog, saya pernah menuliskan tema ini juga saat hari blogger Nasional tahun 2021. Silahkan baca di sini. Sama dengan yang saya tuliskan di sana, sampai kapanpun, saya akan tetap semangat ngeblog. Rasanya beda antara menulis di blog dan di media sosial. Di blog selain bisa menulis panjang, juga bisa melatih runtun dan fokus. Sedangkan di media sosial, memang lebih gampang dan ringkes, tapi rasanya berbeda. Kurang penuh, ada ruang kosong yang tidak bisa terisi oleh menu – menu canggih media yang lain.

Kalaupun saat saya menulis panjang di media sosial, misal Instagram, tetap saja tidak dibaca dengan tuntas oleh mereka yang melihat foto yang saya unggah. Tetap menanyakan apa yang sudah ditulis di sana. Ingin tepuk kepal, tapi ya sudah, mencoba memahami. Karakteristik pengguna Instagram memang suka yang singkat padat. Memang harusnya di Instagram itu tidak untuk menulis panjang tapi mengunggah foto dengan cerita yang ringkas. Saya yang biasa menulis di blog, lumayan kagok juga ketika saat itu mencoba aktif di sana. Bahkan mengunggah Insta Story saja, pasti ada cerita panjangnya hahaha. Susahlah saya beradaptasi. Walau ternyata ya banyak yang suka dengan unggahan story saya yang penuh cerita itu. Karena kalau membuat story, saya selalu persiapkan dengan matang. Tidak asal unggah. Pasti ada cerita yang dituliskan.

Buat saya, menulis di blog tetaplah yang terbaik. Meski ngeblog bukan tren lagi di masa kini, saya akan tetap setiap menulis di sini.

Terima kasih untuk kalian yang sudah mampir ke blog saya dan membaca segala tulisan dari semua suasana hati, opini, cerita perjalanan, ataupun cerita acak lainnya. Terima kasih untuk yang meninggalkan komentar. Terima kasih sudah menyediakan waktu untuk bertahan membaca sampai selesai.

Selamat hari blogger Nasional.

Mari kita semarakkan lagi dunia blog.

Para blogger, yuk nulis di sini lagi!

  • 27 Oktober 2025 –

Etika Menerima Kartu Ucapan

Pagi ini setelah mengantarkan anak – anak ke sekolah, saya melanjutkan aktifitas dengan berjalan kaki cepat. Lumayan, bisa sampai 7km setara dengan -hampir- 9600 langkah. Ditengah jalan kaki, saya melihat pelangi. Senang sekali karena sudah lama tidak melihat penampakannya. Memang cuaca tadi pagi sedang labil. Antara mendung dan tiba – tiba cuaca cerah. Hanya saja karena anginnya kencang, jadi hawanya lumayan dingin. Saya juga bertemu pasuka soang yang sedang berjemur. Sesampainya kembali di rumah, saya membuat jus yang isinya beet, wortel, timun, jahe, dan air lemon. Untuk makan siang, saya masak tumis kangkung, menggoreng ikan makarel, dan telur dadar.

Seperti biasa, saat berjalan kaki, tiba – tiba ada saja ide ini dan itu muncul. Salah satunya ide untuk menulis di blog. Dari sekian banyak ide yang muncul, akhirnya saya memutuskan untuk menuliskan seperti yang judul di atas, tentang Etika saat menerima kartu ucapan. Tapi ide tulisan ini bukan saat saya jalan kaki, melainkan saat menemani anak ragil bermain di taman.

Mumpung juga, sebentar lagi masuk ke musim saling berkirim kartu ucapan selamat Natal dan Tahun Baru di Belanda. Walaupun sebenarnya, secara umum tulisan saya ini bisa diaplikasikan bukan hanya saat menerima kartu ucapan, pun ketika menerima kiriman kartupos, atau kartu – kartu lainnya.

Sebenarnya ini hal yang simpel, sederhana, tapi tidak semua orang paham etikanya. Setidaknya, paham untuk sekadar memberi kabar ataupun mengucapkan terima kasih.

Saat menerima kartu ucapan, entah itu ucapan Natal, tahun baru, Idul Fitri, ulang tahun, atau kartu pemberitahuan kelahiran bayi (di Belanda disebut Geboortekaart), bahkan kartu kematian, normalnya kan langsung mengabari si pengirim, bahwa kartu yang mereka kirimkan sudah diterima dan juga mengucapkan terima kasih karena sudah dikirimi kartu. Simpel kan sebenarnya, tapi tidak semua orang paham dan bisa melakukan hal ini. Entah karena malas atau tidak peduli. Dengan alasan sibuk atau ya sudah, “ngapain musti ngabari” Padahal mengabari kalau kartunya sudah sampai itu, bisa menenangkan pengirim bahwa kartu dari mereka sudah sampai pada alamat yang benar. Kalau tidak ada kabar, bisa jadi kartunya nyasar karena salah dari petugas pos atau mungkin dari pengirim salah menuliskan alamat. Jadi bisa dikirim kartu yang baru.

Pun saat menerima kartupos. Saat sudah menerima, langsung kasih kabar kalau kartu dari mereka sudah sampai dan ucapkan terima kasih.

Hal sederhana seperti ini sudah masuk dalam etika, saya rasa. Saat ada orang yang mengirimkan kartu ucapan atau kartupos, artinya kita punya tempat yang spesial di dalam hidup mereka. Diingat saat sedang bepergian atau diingat saat ada kabar baik bahkan juga kabar duka. Kalau hubungannya tidak terlalu dekat, mana mungkin orang tersebut memberikan dan mengirimkan kartu untuk kita. Kalau tidak pernah saling ngobrol atau berinteraksi secara intens sebelumnya, tidak mungkin kan ujug – ujug dikirimi kartu. Nah karena hubungan yang dekat itu, paling tidak kita punya kontak telefon atau email atau mungkin private message di media sosial. Jadi ya, etikanya kan bisa langsung mengabari kalau kartunya sudah sampai.

Etika ini sangat gampang dilakukan tapi entah kenapa ada saja orang – orang di luar sana yang susah sekali untuk melaksanakannya. Selain tentang etika, sebenarnya memberi kabar tentang kartu yang sudah sampai itu juga bentuk menghargai. Memberikan apresiasi pada pengirim. Percayalah, bagi oarng yang mengirimkan kartu, tidak ada hal yang lebih membahagiakan selain menerima kabar bahwa kartunya sudah sampai. Itu saja. Syukur – syukur kalau diberikan ucapan terima kasih juga.

Karena itulah, saya sangat mengapresiasi kepada mereka yang saya kirimi kartu dan memberi kabar kalau kartunya sudah sampai, sebelum saya bertanya. Saya pun melakukan hal yang sama jika menerima kartu. Setelah menerima, saya langsung memberikan kabar kalau kartu dari mereka sudah sampai dan saya ucapkan terima kasih. Gampang banget lho dan tidak perlu ditunda – tunda sampai lupa. Berasa kok tidak menghargai.

Kalau saya sendiri, memang punya pengalaman dengan beberapa orang yang seperti ini. Dikirim kartu, eh tidak ada kabar apakah kartu yang saya kirimkan sudah sampai atau belum. Menunggu sampai seminggu kok juga tidak ada kabar padahal ke alamat yang lain sudah sampai. Akhirnya saya tanyakan langsung. Ternyata sudah sampai seminggu lalu tapi lupa ngabari dengan alasan sibuk. Sesibuk – sibuknya orang, masa sih dari 24 jam tidak punya waktu satu menit untuk mengirimkan pesan. Biasanya orang seperti ini langsung saya coret dari daftar yang akan saya kirimi lagi. Atau malah mengabarinya lewat akun media sosial padahal punya nomer telfon saya. Duh, kenapa tidak mengabari langsung malah lewat media sosial. Biasanya sih setelahnya, ya sudah saya tidak kirimi lagi. Cukup tau saja.

Terbaca rewel ya saya untuk perkara yang nampak sederhana ini. Memang iya. Sederhana tapi ini tentang etika dan rasa menghargai. Itu saja sebenarnya.

Jadi semoga yang membaca tulisan saya kali ini, ketika suatu ketika nanti menerima kartu ucapan atau kartu pos atau kartu yang lain – lain, jangan lupa untuk memberi kabar kepada pengirim bahwa kartunya sudah sampai dan jangan lupa untuk mengucapkan terima kasih. Jangan memberikan beban pikiran pada si pengirim padahal kita sudah diingat dan dijadikan bagian dari berita yang dikirimkan lewat kartu.

Atau kalau kemaren – kemaren tidak memberikan kabar ketika kartu sudah diterima, tolong jangan dijadikan kebiasaan ya. Ayo saatnya berubah. Jangan mbidheg kalau kata orang Jawa. Artinya jangan diam saja. Gak elok rasanya.

Kecuali, kartu tagihan dari kantor pajak, ya kalau ini ga usah diberi kabar pengirimnya. Urusannya sudah lain. Laksanakan saja kewajiban asal sesuai dengan perhitungan.

  • 22 September 2025 –

Merasakan Bosan

Rute lari pagi

Pernahkan mencoba lari jarak jauh tanpa suara musik di telinga?

Pernahkah menunggu kereta datang selama 15 menit dengan memperhatikan sekitar dan melamun?

Pernahkan jalan kaki pagi atau sore hari tanpa membawa telepon?

Pernahkah duduk terdiam di taman memperhatikan air di danau kecil yang dilewati bebek – bebek hilir mudik?

Pernahkah menyetrika tanpa diselingi dengan melihat TV atau sambil menelepon?

Jika semua jawabannya adalah IYA, pernahkah merasakan bosan saat melakukan itu semua?

Saya memperhatikan dan tentu saja pernah mengalami sendiri, manusia jaman sekarang sepertinya jarang sekali merasakan bosan. Ada waktu kosong 10 menit, langsung tergesa mengambil telefon genggam dari tas atau kantong celana dan membuka media sosial. Ada waktu santai 15 menit di taman, mata tidak lepas dari scrolling Hp. Saat berjalan kaki pagi atau sore hari, jari tangan sibuk memilih lagu yang akan didengarkan lewat earphone sepanjang rute.

Otak kita tidak diberikan kesempatan untuk istirahat. Untuk berjeda dengan segala aktifitas. Kita takut merasa bosan. Merasa bahwa bosan adalah sesuatu yang tidak menyenangkan. Merasa bahwa bosan adalah perasaan yang tidak produktif. Merasa bosan adalah sebuah momok yang harus disingkirkan.

Rute lari pagi ini yang tampak membosankan karena langit abu – abu, tapi bisa memberikan ide untuk menulis di blog.

Padahal, jika kita diam saja sejenak 10 menit tanpa melakukan apapun, otak kita pun sedang beristirahat. Memberikan kesempatan badan dan pikiran untuk santai sejenak.

Sejak kecil, kami mengajari anak – anak untuk belajar berteman dengan bosan. Bagaimana caranya? dengan tidak memberikan mereka tablet, telefon genggam, tontonan TV saat umurnya belum cukup. Saat mereka sudah cukup umurpun, penggunaannya tetap kami batasi. Mereka sudah terbiasa bermain dengan apa yang ada di rumah. Justru, mereka jadi lebih kreatif mengisi waktu. Misal dengan membaca buku, berbincang, dan bergurau menciptakan sebuah cerita. Menggambar, atau bahkan bermain tebak – tebakan. Kalau sudah bosan, ya mereka diam saja duduk di sofa sambil melamun, lalu lama – lama jadi tertidur sendiri.

Hal tersebut juga terjadi saat kami sedang road trip jarak jauh. Selama perjalanan, kami tidak pernah memberikan permainan elektronik. Mereka bermain dengan segala apa yang sudah dipersiapkan sendiri. Misal boneka, buku bacaan, rubik, mobil – mobilan, dll. Jika sudah bosan, kami semua bermain tebak – tebakan. Kalau sudah bosan lagi, kami makan. Kami selingi juga dengan saling bercerita dan bergurau. Jika sudah capai, mereka akan memperhatikan jalan, melamun, dan lama – lama tertidur. Bahkan waktu kami roadtrip di Andalusia, anak kami yang pertama saat itu berusia 4 tahun, bisa menciptakan lagu dengan lirik karangan dia sendiri hahaha.

Kami sampai menjuluki mereka professor melamun dan ahli di bidang bosan :))))

Bagaimana bisa mereka terbiasa tanpa distraksi Hp atau tablet atau TV? Selain karena memang sudah kami biasakan dan mereka terbiasa, kamipun memberikan contoh. Kami tidak pernah sibuk main Hp saat bersama mereka. Tidak pernah mata cuma tertuju di tablet atau laptop saat bersama anak – anak. Tentu saja jika diberikan contoh langsung, akan lebih gampang buat mereka untuk meniru. Bukankah anak adalah peniru yang ulung. Karenanya, orang dewasa di sekitarnya seharusnya memberikan contoh yang baik.

Jika anak – anak tidak takut merasa bosan karena sudah dibiasakan, sebenarnya hal tersebut bisa diterapkan pada orang dewasa. Bisa dilatih. Jika selama ini kita bangun tidur hal pertama yang dilakukan adalah mengambil Hp dan langsung buka media sosial, bisa dicoba perlahan untuk meniadakan kebiasaan itu. Coba saat pertama membuka mata, ya sudah melamun saja. Memikirkan atau mengosongkan pikiran. Pergi ke kamar mandi lalu ke ruangan yang lain tanpa membawa Hp.

Atau misal kalau menunggu bus atau kereta yang belum datang, mulai dibiasakan tidak perlu terburu – buru mengambil Hp lalu sibuk membuka media sosial. Sambil duduk, kita bisa memperhatikan kondisi sekitar. Oh ada papan pengumuman, coba deh dibaca isinya apa. Oh ada kios kecil, coba ah masuk siapa tau ada yang menarik. Atau ya sekedar duduk saja diam melamun sampai kereta datang. Memperhatikan orang sekitar. Biasanya ada saja yang menarik untuk diperhatikan. Saya juga beberapa kali memberikan pujian jika melihat ada orang yang memakai pakaian yang kece, parfume dengan aroma yang saya suka, atau memberikan pujian ke seorang Oma yang memakai kutek warna menyala.

Tidak perlu takut bosan. Sesekali, merasakan bosan itu perlu. Tidak perlu langsung diberikan distraksi saat punya waktu kosong 10 menit. Otak juga butuh istirahat. Mata juga perlu santai sejenak.

Sesekali perlu juga dicoba berkegiatan yang Tanpa Suara Musik.

Jika sudah mulai pelan – pelan dilatih untuk berjarak dengan hal – hal yang gampang menganggu fokus dan konsentrasi, lama – lama kita akan berteman akrab dengan rasa bosan. Tidak takut lagi. Tidak harus tau semua hal tentang kehidupan orang lain di media sosial. Yang ada hanya diri sendiri.

Dari bosan yang sudah kita rasakan, justru sering muncul ide – ide ajaib yang muncul. Ide kreatif untuk masak makan siang, ide nulis di blog, teringat untuk menghubungi teman dekat, atau sesederhana tiba – tiba merasa kangen dengan suami.

Coba deh, sesekali merasakan bosan. Karena bosan tidak semenakutkan itu untuk dirasakan. Atau bosan tidak semembosankan jika memang sudah jadi bagian dari keseharian.

*Ide menuliskan tema ini, saya dapatkan pagi ini ketika lari sepanjang 6km. Lari pagi tanpa mendengarkan musik, bisa mendapatkan banyak ide buat saya. Salah satunya, ide menuliskan topik ini. Saya hanya membutuhkan waktu 1 jam untuk menyelesaikan tulisan ini, tanpa terdistraksi dengan telefon genggam, tanpa terdistraksi dengan media sosial. Tanpa musik. Hanya ditemani segelas susu coklat panas yang sesekali saya minum. Fokus dan bisa tuntas menyampaikan ide yang terpendam sejak pagi hari. Sembari menunggu suami pulang dari rapat orangtua di sekolah anak, tulisan ini sudah selesai.

  • 9 Agustus, 2025 –

Bersuara Untuk Indonesia!

Akhirnya hari ini datang juga. Saat saya memilih untuk bersuara untuk Indonesia. Saat hati saya sudah muak dengan ketamakan dan kerakusan sebuah keluarga dan penjilat – penjilat yang bersembunyi dibalik kekuasaannya.

Dulu, saya pernah ada dalam barisan pemilihnya. Saat muka polos dan niat tulusnya masih terpampang nyata dan hasil kerjanya bisa kita rasakan manfaatnya bersama. Dulu saya masih percaya bahwa pemimpin akan selalu membela rakyatnya. Tidak akan memenuhi kepentingan perutnya saja. Setidaknya harapan itu pernah ada setelah era orde baru sudah tiada. Sepolos itu hati saya pernah berharap.

Sampai perlahan tapi pasti, pemimpin yang satu ini mulai menunjukkan gelagat keluar dari batas. Ada banyak kepentingan rupanya yang sudah dia rencanakan. Rakyat kemudian menjadi bagian samar dalam tahun – tahun terakhir kepemimpinannya. Kepentingan lainnya lebih penting untuk didahulukan. Kepentingan keluarga dia lebih tepatnya. Menempatkan seluruh anggota keluarga pada posisi strategis di pemerintahan. Menjadikan calon pemimpin tertinggi meski tanpa ada ilmu yang menyertai.

Sejak Pemilu tahun ini, muak itu mulai datang. Ketika aturan tentang umur capres cawapres mulai diobrak abrik hanya untuk kepentingan satu orang. Entah apa yang orang ini punya sehingga mereka yang berwenang rasanya langsung tunduk. Akhirnya kesampaian juga dia bisa mencarikan kerja untuk anak tertuanya. Lalu kejadian di Olimpiade membuat saya makin eneg. Saat dia melalukan video call dengan 2 pemenang medali emas Indonesia di Olimpiade, tapi dia malah bertanya ke salah satu atlet : atlet apa ya Mas? kok bisa nanya begitu. Seorang pemimpin lho ini.

Keributan berlangsung lagi. Kali ini dalam rangka mencarikan pekerjaan anak laki bungsunya. Dia mau mengobrak abrik lagi peraturan yang ada. Kali ini saya tidak bisa tinggal diam.

Saya sudah capek melihat mereka yang punya kekuasaan mempermainkan rakyat. Yang digadang – gadang sebagai wakil rakyat malah hanya mewakili keluarga tertentu. Saya sudah capek mereka berpesta di atas duka rakyat. Saya sudah capek mendengar ketidakpedulian mereka saat rakyat sedang berjuang sehari – hari memenuhi kebutuhan hidupnya. Saya sudah capek menjadi rakyat yang hanya melihat saja segala kekacauan yang ada di negara Indonesia tercinta. Saya capek menahan rasa marah melihat gaya hidup anggota keluarga mereka yang lainnya memamerkan kekayaan saat di negaranya rakyat sedang memperjuangkan haknya. Saya adalah bagian dari rakyat yang capek dan muak dengan apa yang terjadi akhir – akhir ini.

Saya harus bersuara. Meski mungkin suara saya tidak terlalu berarti banyak karena pengikut di twitter jumlahnya bukan yang bombastis angkanya, paling tidak saya bersuara. Menjadi bagian dari perubahan. Saya bersuara meski tidak bisa ikut turun ke jalan. Saya bersuara lewat media sosial dan blog yang saya punya. Saya bersuara lewat tulisan.
Saya bersuara karena peduli dengan Indonesia.

Menyuarakan keresahan, ketidakpuasan, membantu menyebarkan informasi tentang donasi untuk membantu logistik mereka yang berdemo, membantu menyebarkan info titik temu mulai demo, berdonasi untuk pemenuhan logistik mereka yang turun ke jalan, menyebarkan secara luas informasi apapun yang sekiranya bisa membantu untuk menggagalkan keculasan satu keluarga dan para pemimpin yang dzolim.

Hari ini dan sampai kapanpun jika diperlukan, saya akan tetap berisik mengkritisi keserakahan para pemimpin di Indonesia. Saya akan mengawal proses demokrasi sebisa dan semampu saya melalui platform media sosial yang saya punya. Jiwa dan raga saya memang di Belanda, namun pikiran saya selalu tak pernah meninggalkan Indonesia. Keluarga besar saya ada di sana.

Inilah cara saya bersuara untuk Indonesia. Semoga langkah kecil yang saya lakukan hari ini dan kapanpun itu, bisa jadi bagian menjadikan Indonesia lepas dari keserakahan para pemimpinnya yang dzolim. Saya memang tidak tinggal di Indonesia selama 10 tahun ini, tapi darah yang mengalir dalam tubuh saya adalah darah orang – orang yang saya sayangi asli Indonesia. Saya tidak akan lupa akar darimana berasal.

Sejauh apapun saya melangkah, Indonesia tidak akan pernah terlupa. Ada dalam tiap denyut nadi dan darah yang mengalir dalam raga.

“Indonesia tanahku, tumpah darahku. Tempat aku dilahirkan, tempat aku dibesarkan. Tempat orang – orang yang aku sayangi tinggal dan menitipkan harapan”

Saya tidak akan pernah berhenti untuk bersuara. Saya tidak bisa berjuang dengan fisik ada di sana, saya akan berjuang dengan cara yang saya bisa. Tetap mengawal apapun kebenaran dan perjuangan kebaikan demi memusnahkan kerakusan dan keculasan pemimpin yang menghamba pada uang dan kekuasaan.

Mengutip apa yang diucapkan Reza Rahardian dalam orasinya, “Negara ini bukan milik keluarga tertentu”

Negara ini milik semua rakyat Indonesia.

Saya akan tetap bersuara demi Indonesia tercinta dan mereka yang saya sayangi di sana. Suara sekecil apapun saya yakin gaungnya akan terdengar jauh dan lantang.

Saya akan tetap mengawal proses ini.

Terima kasih saya ucapkan pada mereka yang turun ke jalan, berdemo dalam tenang dan memperjuangkan sampai menang. Terima kasih.

Panjang umur perjuangan dan pembela kebenaran!

-22 Agustus 2024-

Ingin Membuktikan Apa?

Mulai musim semi di Belanda meski dinginnya ga karuan

Suatu malam, disalah satu pembicaraan kami sebelum tidur, saya tiba – tiba teringat sesuatu :

Saya : Kapan – kapan pengen deh nulis khusus tentang kamu. Semacam apresiasi buat kamu atas semua yang sudah kamu lakukan selama kita menikah. Jadi nulis yang baik – baiknya. Semacam yang indah – indah gitu. Segala hal baik yang sudah kamu lakukan *lalu yang baca nahan – nahan mual di perut.

Suami : Oh ya bagus itu, biar aku sesekali tampil lah jadi pemeran utama di blog kamu. Bukan sekedar bayangan *huahaha bayangan, ngakak waktu itu. Tulis ya yang bagus – bagus, yang banyak *lah rikues Pak Suami.

Saya : Eh tapi, nanti dipikir kita ada lagi ada masalah. Kan aku ga pernah nulis panjang lebar tentang kamu. Tiba – tiba membahas kamu, semacam mencurigakan. Biasanya kan gitu, kalau ada pasangan yang jarang atau bahkan ga pernah ngomongin hubungan mereka secara terbuka, trus tiba – tiba sering muncul dengan foto dan cerita yang indah – indah, biasanya kan ada sesuatu yang disembunyikan. Lalu akhirannya, terjadi sesuatu. Kamu pernah mengamati hal itu ga?

Suami : oh ya, bener juga. Aku juga sering memperhatikan hal ini. Sama pemikiran kita…….. *pembicaraan pun berlanjut makin seru.

Suami istri kompak nggosip berkedok menganalisa tingkah laku manusia.


Saya pada dasarnya suka mengamati sekitar, apapun itu, manusia, hewan, bahkan kerikil – kerikil. Sejak kecil sudah seperti itu. Makin bertambah umur, makin terasah apalagi sejak nyemplung di dunia riset (kualitatif). Makanya saya lebih senang tidak terlalu berisik kalau sedang dalam suatu kelompok, karena saya sibuk mengamati. Lalu dari hasil pengamatan tersebut, biasanya kepala saya akan sibuk menganalisa, cari – cari referensi semacam jurnal atau artikel. Atau ya hanya sekedar mengamati dan menganalisa di kepala saja. Ujung – ujungnya, jadi bahan tulisan. Pernah beberapa teman ngomong seperti ini : hati – hati loe – loe pada sama Deny, otaknya tuh ga pernah berhenti mikir. Kelihatannya dia diem, tapi kepalanya penuh ide buat nulis. Daun ga gerak aja bisa dibuat tulisan panjang sama dia. Jadi, hati – hati sama gelagat kalian, bisa – bisa jadi bahan tulisannya.

Saya ngakak parah sih kalau ada yang komentar seperti itu, karena benar adanya. Saya tidak menggosip kelakuan secara personal, tapi saya suka mengamati, menganalisa, dan ujung – ujungnya hasil analisa pribadi jadi bahan tulisan. Senang saja saya mengamati tingkah laku manusia.

Tapi pada hasil amatan dalam tulisan ini, cuma sekedar amatan tanpa ada bukti ilmiah yang mendukung. Hanya sekedar mengamati fenomena sosial yang terjadi sejak saya mulai ngeh dengan media sosial, diantara kalangan pertemanan, pesohor, ataupun saudara sendiri. Ini tentunya tidak bisa gebyah uyah atau pukul rata ya, hanya beberapa yang tak luput dari amatan saya, kok ya pas kejadian. Dan sekali lagi, tidak ada yang salah dalam membagikan cerita romantis dan foto – foto bahagia dengan pasangan. Sama sekali tidak salah karena itu hak setiap orang. Pada dasarnya memang media sosial diciptakan untuk berbagi hal apapun kan.

Banyak pasangan yang memilih untuk berbagi cerita kehidupan sehari – hari, cerita percintaan, ataupun foto – foto mesra yang diunggah ke khalayak umum. Tak sedikit pasangan juga memutuskan hal sebaliknya, menyimpan dan tidak mau berbagi hal – hal ke media sosial, yang mereka anggap masuk ranah pribadi, dengan alasan menjaga privasi. Yang memilih berbagi foto mesra dan cerita kehidupan bersama pasangan, alasannya banyak. Ada yang memang hanya sekedar berbagi cerita, berbagi momen bahagia, syukur – syukur bisa menginsipirasi yang melihat dan membaca. Ada beberapa juga yang ternyata sedang menyembunyikan gundah gulana lalu ingin menunjukkan pada dunia bahwa mereka sedang baik – baik saja dengan menuliskan hal – hak baik tentang pasangan, mengunggah foto yang ceria, ataupun memuji setinggi langit apa yang sudah dilakukan pasangan.

Untuk mereka yang masuk pada kelompok terakhir, biasanya yang tidak pernah atau sangat jarang muncul hadir di media sosial bersama pasangannya, lalu mak bedundug ikut meramaikan jagad media sosial dengan segala cerita indah dan puja puji untuk pasangan. Biasanya saya langsung curiga wahh ini ada apa ya. Insting langsung berbicara. Tapi yah, itu kan hanya Suudzon saya saja. Meski banyak juga yang akhirnya terbukti seperti hipotesa awal saya.

Saya sendiri, sudah lama sekali tidak pernah menampilkan foto suami di akun media sosial maupun di blog. Apalagi follower twitter saya makin banyak, jadi tidak bisa sebablas dulu lagi untuk menuliskan dan menampilkan foto di sana. Bagus juga seperti itu. Jadi saya punya rem cakram. Punya filter. Hanya 2 tahun pertama kalau tidak salah, saya menampilkan foto suami di blog. Setelahnya tidak sama sekali. Kalau untuk bercerita, ya pasti masih saya ceritakan.

Sama halnya dengan anak – anak. Baru beberapa tahun terakhir saya mulai membuka diri untuk mengatakan bahwa saya adalah seorang Ibu yang punya anak tiga. Sebelumnya, saya lumayan tertutup tentang anak – anak. Sekarang saya ceritakan beberapa kali di media sosial tentang anak – anak, secara umum, tanpa menyebutkan umur, jenis kelamin, dan foto. Dan yang saya ceritakan pun, bukan hal yang spesifik.

Banyak yang bertanya (ya beberapa oranglah, ga banyak banget) kenapa saya tidak terbuka tentang keluarga, paling tidak pamer foto anak dan suami. Jawabannya simple : saya menghargai privasi mereka dan saya takut kejahatan mengintai. Itu saja. Toh saya tidak harus membuktikan apapun kepada dunia tentang keluarga saya. Mereka yang saya jumpai di dunia nyata mengetahui dengan pasti, itu saja sudah lebih dari cukup. Selebihnya saya memilih menyimpang dan tidak membagikan pada dunia luas yang saya tidak tau seberapa aman di luar sana.

Kembali lagi ke pembahasan tentang pasangan yang tiba – tiba memunculkan foto berdua atau cerita kemesraan, padahal sebelumnya tidak, ya biarkan saja. Bukan hak saya untuk menghakimi kalau mereka sedang ada masalah atau memang sedang dalam masa romantis. Meski menganalisa dan membahas dengan sirkel terdekat tetap berjalan. Saya sudah tidak adil sejak dalam pikiran.

Mau pamer untuk membuktikan sesuatu silahkan. Mau pamer ya karena sedang jatuh cinta bertubi dengan pasangan ya silahkan. Tidak usah kepikiran nanti orang lain mikir ini dan itu. Yang tau kebenarannya, ya cuma kamu.

Kalian sendiri bagaimana, apa tipe yang ga masalah menampilkan foto pasangan dan anak – anak di media sosial? atau ya sudah disimpen saja, ngapain ditampilkan.

-29 Februari 2024-

*Tulisan ini intinya apa? Ya ga ada hahaha. Saya sedang meneruskan tulisan yang ada di draft saja. Daripada cuma tersimpan ga jelas, sayang. Jadi saya teruskan, meski ngalor ngidul ga jelas. Lumayan kan, blog jadi terisi lagi :))))

Bentuk Badanku, Pilihan Olahragaku, Bukan Urusanmu

Jam tangan, sepatu lari dan satu - satunya baju lari yang saya punya sejak tahun 2015

Tidak ada latar belakang apapun yang mendasari tulisan saya kali ini. Bukan pengalaman pribadi juga. Hanya sebagai pengingat diri sendiri atau yang membaca -mungkin-, bahwa bentuk badan dan pilihan olahraga orang lain, bukanlah urusan kita. Kecuali Anda adalah instruktur olahraga, dokter, ahli gizi, atau dietist yang dibayar seseorang untuk mengubah bentuk badannya supaya lebih sehat. Jika tidak, sekali lagi, buka urusanmu. Apalagi menjadi tanggungjawab kita yang berujung pada body shaming. Yang menjadi urusan dan tanggungjawab kita, adalah badan kita sendiri, pun pilihan olahraga yang kita jalani saat ini.

Oh sebenarnya, tulisan ini ada dengan sedikit pemicu pengamatan pribadi di twitter tentang orang – orang yang gampang sekali mengomentari a.k.a julid alias nyinyir melihat pilihan olahraga orang lain dan bentuk badan mereka. Padahal yang berkomentar pedas tersebut pernah ada di posisi orang yang dikomentari. Jadi saya bertanya – tanya : Kok bisa ya nyinyir terhadap keadaan orang lain, padahal dia sendiri pernah di posisi yang tidak menyenangkan tersebut.

Sebelum mulai jauh membahas, saya ingin bercerita tentang diri sendiri dulu sehubungan dengan olahraga dan bentuk badan.

OLAHRAGA

Dari kecil, saya suka sekali yang namanya berolahraga. Kalau ada yang mengenal saya sejak lama, pasti sudah tau hal ini. Banyak jenis olahraga yang sudah saya coba, dalam rangka ingin mencari yang mana sesuai dengan kesukaan. Dari Karate, Taekwondo, Voli, Badminton, Yoga, Pilates, jalan cepat, Lari, Renang, Sepak Takraw, sampai olahraga di rumah mengikuti channel di Youtube. Pindah ke Belanda, olahraga saya bertambah satu, yaitu bersepeda. Ya karena ke mana – mana menggunakan sepeda. Bukan sepeda yang khusus untuk race.

Dari sekian banyak jenis olahraga tersebut, yang saya tekuni dan lumayan menghasilkan prestasi adalah karate dan lari. Karate yang sudah saya ikuti dengan tekun dari SD sampai SMA, sudah menghantarkan sampai sabuk coklat akhir dan pernah ikut kejuaraan Kata tingkat karesidenan. Bahkan saat kerja di Jakarta, saya sempat mengajar ekstrakurikuler karate di salah satu SD di Jakarta Timur. Sedangkan Lari, saya sudah sering ikut lomba sejak SD sampai saat ini. Saat ujian akhir Ebtanas di SMA, praktek lari, saya menjadi yang tercepat satu sekolah diantara para murid perempuan. Saya mendapatkan nilai olahraga yang tinggi.

Entah darimana kesukaan saya terhadap olahraga awalnya datang. Yang pasti, olahraga bukanlah sesuatu yang baru dalam hidup saya. Sampai saat inipun, saya masih (usahakan untuk rutin) berolahraga. Saya ikut senang, beberapa tahun ke belakang, dengan makin banyaknya pilihan media sosial semacam tiktok (walaupun saya tidak punya akunnya) ataupun channel YouTube, semakin banyak yang memamerkan kegiatan olahraganya. Termasuk saya, tentu saja.

Saya pamer kegiatan olahraga, tidak ada maksud tertentu, selain memang pamer haha. Murni pamer. Ya termasuk menulis di sini juga dalam rangka pamer. Apakah lantas dalam kegiatan pamer tersebut saya berusaha menyelipkan upaya untuk mengajak orang lain ikut rajin seperti saya? Oh tentu tidak! Lha saya saja males kalau diajak orang untuk olahraga, jadi saya pun tidak “berkampanye” dengan mengajak orang lain ikut olahraga. Kalau ada orang yang sedang memamerkan kegiatan olahraganya lalu diakhiri dengan tulisan “Saya saja bisa, pasti kamu juga bisa” pasti akan saya jawab dalam hati “Ya kamu aja kalau begitu, saya mau leyeh – leyeh menikmati hidup”. Saya pun tidak memandang sebelah mata orang yang tidak ada keinginan olahraga. Pikiran saya simpel : duh bukan urusan saya. Mau orang olahraga kek, nggak kek, rugi untungnya ditanggung masing – masing.

Kalau ada yang termotivasi dengan ikut berolahraga juga setelah melihat aktivitas pamer saya di twitter (saya menerima beberapa komentar tentang ini), wah ya saya senang sekali. Minimal, pamer yang saya lakukan menghasilkan nilai positif. Kalau tidak adapun, saya tetap pamer.

Hal inipun berlaku dengan jenis dan tempat olahraga. Orang senyamannya saja mau olahraga di mana, mau pake apa. Kalau saya, dari dulu memang tidak suka olahraga di Gym. Sudah pernah mencoba saat kerja di Jakarta, tapi ternyata saya tidak cocok. Jadi setelahnya sampai sekarang, olahraga di Gym, bukan pilihan. Saya lebih nyaman workout di rumah dengan memilih channel YouTube olahraga mana yang sesuai kebutuhan. Kalau dilakukan di rumah, bisa saya sambi dengan memanggang roti di oven, menunggu masakan matang, atau bahkan ajang bermain dengan anak. Buat saya lebih murah juga karena gratisan haha.

Jam tangan, sepatu lari dan satu - satunya baju lari yang saya punya sejak tahun 2015
Jam tangan, sepatu lari dan satu – satunya baju lari yang saya punya sejak tahun 2015

Untuk apa yang saya kenakan, ada sepatu lari, barang olahraga mahal yang saya punya. Kalau ini, memang saya khususkan beli yang bagus kualitasnya. Untuk lari rutin, supaya tidak cedera kaki, saya pilih sepatu yang kualitasnya bagus, tentu saja harganya mahal. Selain itu, saya juga punya smartwatch yang meskipun tidak beli sendiri melainkan hadiah ulangtahun, tapi itu harganya mahal. Selebihnya, penunjang olahraga yang saya punya, kualitasnya biasa saja dan harganya terjangkau. Tidak perlu khusus.

Apa lantas saya mengucilkan dan nyinyir kalau melihat orang yang tidak menggunakan penunjang olahraga yang bermerek? Duh, saya tidak punya banyak waktu untuk menelisik satu persatu apa yang dipakai orang. Mau bermerek bagus atau tidak ada merek, bukan urusan saya. Apa yang nyaman dipakai orang, tidak menjadi tanggungjawab saya. Kan mereka beli pakai duit sendiri, tidak minta saya. Lalu kenapa saya musti nyinyir, seperti tidak ada kegiatan yang bermanfaat lainnya saja.

BENTUK BADAN SAYA

Bentuk badan saya sejak kecil sampai sebelum melahirkan, kurus. Tinggi badan saya pun ya tidak tinggi. Jadi kalau dilihat, saya ini kecil. Berat badan saat kuliah sampai sebelum melahirkan, berkisar dari 45kg sampai 51kg. Saya susah gemuk, gampang kurus. Porsi makan saya, jangan ditanya, bar bar saking banyaknya. Saya tidak suka menyamil, tapi suka makan berat.

Setelah rangkaian yang tanpa putus dari hamil melahirkan menyusui – hamil lagi melahirkan lagi menyusui lagi, lalu kembali hamil lagi beruntun, bentuk badan saya mulai berubah. Saya tau dengan pasti yang menyebabkan kenapa pernah ada di satu masa berat badan sampai 80kg. Ya jelas saja karena tidak memperhatikan asupan makan dan malas berolahraga. Saya tidak pernah mengkambinghitamkan proses hamil melahirkan dan menyusui sebagai penyebab terbesar lonjakan berat badan, meskipun faktor hormon ada pengaruhnya. Saya dengan sadar tau bahwa berat badan saya naik dengan pesat karena tidak rutin olahraga dan terlalu sembarangan makan. Hanya menuruti keinginan lidah saja tanpa memperhatikan kandungannya. Lebih menuruti kata hati untuk selonjoran saja dengan scrolling media sosial sampai beberapa jam tanpa menyisihkan waktu minimal 30 menit untuk berolahraga. Saya sadar dengan pasti kenapa bentuk badan berubah.

Lalu dengan sadar juga, saya harus mengubah gaya hidup tersebut. Pemicunya adalah telapak kaki saya mulai terasa sakit setelah bangun tidur. Artinya ada yang tidak beres. Perlahan, saya mulai kembali berolahraga secara rutin, mengatur pola makan lebih sehat dan tidur lebih berkualitas saat malam hari. Setelahnya, setelah 1 tahun, berat badan saya turun ke 57kg dari 80kg. Lumayan lah ini, melalui proses panjang akhirnya stabil di angka segitu, sebelum akhirnya naik lagi karena hamil. Hamilpun, saya tetap usahakan untuk rutin olahraga dan tidak nggragas makan supaya badan tidak terlalu menggemuk.

Saya tidak pernah punya isu tidak percaya diri dengan bentuk badan. Saat berat 80kg, perasaan saya ya biasa saja, karena saya tau pasti penyebabnya. Jadi saya menerima dengan sadar bahwa saya gemuk, ya karena salah diri sendiri kenapa malas olahraga dan makan sembarangan, padahal kalau sudah umur 40 tahun segala proses metabolisme jadi melambat.

BODY SHAMING

Mungkin ya, ini mungkin, analisa abal – abal, karena saya tidak pernah punya isu pribadi tentang tidak percaya diri terhadap bentuk badan sendiri, jadi saya tidak terpikir untuk nyinyir tentang bentuk badan orang lain, ataupun pilihan olahraga orang lain. Saya terlalu fokus dengan diri sendiri. Entah kalau misalnya saya pernah punya rasa tidak percaya diri terhadap badan sendiri, apakah jadi kacang lupa kulit atau malah punya empati yang besar. Rasanya, saya tetap yang seperti sekarang. Tidak terlalu ngurusi bentuk badan atau pilihan olahraga orang.

Seperti yang saya tuliskan di awal, tentang keheranan saya terhadap orang yang (gampang sekali) berkata tidak menyenangkan akan bentuk badan orang lain, padahal dia pernah di posisi tersebut dan merasakan ketidaknyamanannya, apa motivasi yang mendasari.

Misal begini : A pernah menuliskan kalau dulu badannya pernah gemuk (entah penyebabnya apa, tidak disebutkan). Lalu dengan kesadaran penuh, dia mengubah gaya hidupnya. Rajin berolahraga, makan lebih sehat, dan memperhatikan segala aspek yang berhubungan dengan hal tersebut. Dengan proses dan perjuangan panjang, bentuk badannya berubah lebih langsing berotot berisi atau apapun namanya, pokoknya lebih bagus dari sebelumnya. Pola makan pun berubah jadi lebih sehat dan kualitas hidup yang lain pun mengikuti jadi lebih baik. Saya senang membacanya dan ikut merasakan bahagia karena dia sudah mencapai yang diinginkan terkait hidup lebih sehat.

Namun, entah kenapa A ini juga jadi gampang nyinyir ke orang yang badannya gemuk dan santai memperolok menggunakan kata – kata semacam, “pahanya gendut ya” atau “pantatnya lebar kayak wajan” atau “kerempeng banget badannya'” dan kalimat tak pantas lainnya. Pun kalau misalkan melihat ada yang olahraga “cuma” bermodalkan channel olahraga di YouTube, trus disindir, “kalau badannya mau jadi, ya bayar lebih lah ke gym, ga bisa cuma di rumah saja olahraganya”.

Si A ini, mendadak jadi pongah. Padahal, dia pernah ada di situasi yang tidak menyenangkan saat badannya tidak sebagus sekarang atau saat hari – harinya tidak diisi dengan kegiatan di gym yang bayaran tiap bulannya mahal. Dia pernah merasakan saat orang – orang nyinyir ke dia. Nah, kenapa sekarang saat sudah terlepas dari keadaan yang dulu, malah sikapnya sama seperti orang – orang yang berkata tidak menyenangkan tersebut? Bukankah dia tau kalau itu rasanya tidak menyenangkan?

Hal seperti ini tidak hanya beberapa kali saya baca di twitter, bahkan saya saksikan langsung di dunia nyata. Kasarnya : kenapa kamu memperolok bentuk badan seseorang yang tidak sesuai standarmu, padahal kamu pernah ada diposisi yang diperolok tersebut dan pernah merasakan sendiri rasa tidak nyaman bahkan sakit hatinya.

Mengapa harus meneruskan perasaan tidak nyaman tersebut pada orang lain, apa motifnya? meneruskan dendam, atau ada hal masuk akal lainnya? Atau kamu merasa tidak percaya diri dengan badanmu saat ini? Bukankan orang yang sudah nyaman dengan dirinya sendiri, tidak ada waktu dan keinginan untuk berkomentar jelek terhadap badan ataupun kegiatan olahraga orang lain.

Kalau perkataan tersebut sampai terlontarkan pada saya, dengan lantang respon saya : BADANKU, PILIHAN OLAHRAGAKU, BUKAN URUSANMU!

Kita tidak pernah tau ada perjuangan apa dibalik badan seseorang. Kita tidak pernah tau. Bersikap bijaklah dengan jari dan mulutmu.

Semoga saya tidak akan pernah jadi bagian orang dengan mulut atau jari tanpa kendali mengomentari bentuk badan orang lain

-21 Maret 2023-

Tidak Semua Hal Perlu Dikomentari

Cukup soto ayam saja yang pedas. Komentar jangan pedas

Pada suatu era, saya gampang sekali berkomentar. Dari komentar yang membangun sampai paling menyebalkan. Dari komentar yang memang perlu sampai yang tidak penting. Pokoknya, saya harus berkomentar.

Ada hal – hal yang memang membutuhkan komentar, masukan, ide atau saran. Misalnya, yang berhubungan dengan pekerjaan, teman yang membutuhkan saran, suami yang bertanya ide atau masukan untuk pekerjaaannya, bahkan saudara yang minta tolong dikasih urun pendapat tentang permasalahan yang sedang dihadapinya.

Tapi ada banyak hal juga yag sebenarnya tidak perlu – perlu banget untuk dikomentari. Nah saya, pernah ada di periode menyebalkan karena menjadi polisi komentar. Semua hal perlu saya komentari, kasih masukan, bahkan hal yang sebenarnya receh remeh saya kasih komentar dalam rangka ingin mengkoreksi apa yang diucapkan atau dituliskan.

Kenapa saya tuliskan kalau hal yang pernah saya lakukan tersebut menyebalkan? Karena kalau dipikirkan ke belakang lagi, saya sudah merusak kebahagiaan atau kesenangan banyak orang. Hanya dari sebuah komentar yang saya lontarkan yang saya pikir hanya sebuah tulisan atau ucapan tak ada makna, ternyata bisa merusakkan suasana hati. Saya seperti ingin meluruskan banyak hal, padahal tanpa perlu saya luruskan pun, tidak akan merusak tatanan dunia.

Contoh 1 : Kalau ada yang menuliskan yang berhubungan tentang sample data atau populasi, saya langsung berlagak paling pintar statistiknya. Misal : Ada yang menuliskan “Orang Belanda terbukti paling pelit sedunia”. Sebagai lulusan Statistik memang paling tidak bisa melihat tulisan atau status tanpa data yang jelas. Dulu akan saya komentari seperti “Ada datanya tidak yang mendukung opini kamu? Kalau tidak ada angka yang pasti, lebih baik dituliskan : berdasarkan pengalaman pribadi saya. Jadi tidak akan menggiring opini yang mengaminkan hal tersebut

Contoh 2 : Kalau ada orang yang menuliskan hal yang baru diketahui padahal saya sudah tau lama, biasanya saya suka menyelutuk. Misal : Eh aku baru tau lho kalau minuman B ini rasanya enak banget. beli ini lagi ah kapan – kapan. Dulu saya akan memberikan komentar : Lah ke mana aja kamu selama ini. Itu sudah lama tau ada di supermarket. Aku sampai bosen minumnya. Sekarang malah ga doyan.

Contoh 3 : Kalau ada yang menunjukkan suatu benda yang dia sukai dan saya tidak suka, akan saya kasih komentar berdasarkan preferensi saya pribadi. Misal : Aku tuh suka banget lho sama sepatu ini. Warnanya keren kan ya, cakep pula bentuknya. Aku mau beli ah. Dulu akan saya beri komentar : Wah, warnanya aku ga suka. Bentuknya apalagi, kayak yang murahan gitu.

Banyak sekali contoh lainnya. Ada saja komentar saya yang bisa merusak suasana hati maupun suasana nyata pada saat itu. Seperti ingin menganggu atau tidak senang melihat orang lain sedang menikmati apa yang ada di depannya. Atau ingin terlihat paling jago di bidang tersebut atau ingin terlihat paling beda. Sangat menyebalkan.

Untunglah dengan bertambahnya umur dan makin bertambah pengalaman hidup, saya jadi lebih banyak belajar untuk mengendalikan komentar. Apalagi diera media sosial yang semakin jadi sahabat sehari – hari karena lekat di hati, rasanya setiap orang punya banyak waktu untuk berkomentar, dari yang super pedas sampai yang biasa saja.

Cukup soto ayam saja yang pedas. Komentar jangan pedas
Cukup soto ayam saja yang pedas. Komentar jangan pedas

Saya sekarang lebih seringnya menjadi pengamat saja. Tidak terlalu vokal memberikan komentar terutama di media sosial. Kalaupun mau rasan – rasan, ya saya lakukan di lingkaran yang memang saya percaya. Patokan saya adalah tidak semua hal perlu dikomentari atau perlu mendapatkan komentar. Pilih dan pilah.

Kalau ada yang menuliskan seperti contoh 1 yang saya tuliskan di atas, jika tidak akan menjadikan kebohongan publik, ya akan saya lewati saja. Tidak perlu saya tanyakan dari mana asal datanya. Meskipun di kepala saya sudah melekat ajaran dari perkuliahan : speak based on data, tapi ya pusing juga kalau tiap hal perlu saya koreksi samplingnya, populasinya, CI atau alfa errornya. Lha ini saya dosen kesasar atau gimana. Kalaupun saya melihat ada yang menuliskan hal yang saya ketahui pasti itu tidak benar, kalau tidak terlalu signifikan salahnya, ya saya lewati saja. Tidak perlu semua hal saya betulkan.

Kalau ada yang menuliskan contoh 2, meskipun saya sudah tau lama, sekarang biasanya akan saya komentar : Oh iya, aku pernah mencoba juga. Memang enak. Sudah cukup begini saja. Kalau contoh nomer 3, sekarang saya akan berkomentar : Kalau kamu suka, beli saja. Apalagi warna dan bentuknya kamu banget kan. Tidak perlu menambahkan pendapat pribadi saya. Wong ya tidak ada yang bertanya pendapat saya. Intinya saya tidak mau lagi merusak suasana hati mereka yang sedang bergembira atau menikmati hal yang baru. Turut bergembira saja. Ga perlu sok iyes.

Jika ada yang sedang curhat, saya selalu jadi pendengar yang baik. Kalau tidak ditanya pendapat, ya saya dengarkan. Paling tidal, ikut bersimpati atau berusaha menenangkan. Kalau ditanya pendapat, baru saya akan berpendapat secara keseluruhan. Bukan atas pengalaman pribadi. Nanti jadinya kompetisi penderitaan seperti yang pernah saya tuliskan di sini.

Biarkan orang lain merasakan dengan cara masing – masing kesenangan yang ingin mereka lakukan. Jika hal tersebut tidak menganggu hidup saya, ya sudah tidak perlu dijadikan sebuah perkara. Simpan energi untuk hal – hal yang lebih positif. Komentar saja untuk hal – hal yang menyenangkan. Tidak perlu semua hal perlu dibenahi lewat komentar.

Seringkali menjadi seorang pengamat itu lebih menyenangkan. Apalagi membaca komentar – komentar di twitter kalau ada cuitan saya mendadak jadi viral. Ada saja yang bertengkar karena pro dan kontra. Ya sudah saya simak saja. Lumayan menghibur.

Tidak semua hal perlu dikomentari. Tidak semua perkara perlu dibetulkan atau dikoreksi. Tidak semua hal butuh komentar. Diam saja membaca, kalau masih mengganjal ya sampaikan dengan kalimat yang baik. Kalau masih mengganjal, ya salurkan lewat rasan – rasan dengan lingkaran yang terpercaya. Itulah gunanya punya circle terdekat. Buat tempat analisa keadaan, bahasa halus dari rasan rasan haha.

Jaman sekarang bukan saja pepatah mulutmu harimaumu yang relevan. Tapi jarimu harimaumu. Jaga mulut dan jari.

Tidak perlu ngotot di dunia maya dengan mereka yang kita tidak tau siapa dia. Rugi jiwa raga.

Buat saya, hidup seperti itu lebih simpel.

-20 September-

*Kalau mau komentar di postingan saya yang mana saja, tentu boleh lho ya. Tidak perlu sungkan. Monggo kalau mau komen. Tidak dilarang.

Tentang Kebahagiaan

Bakers gonna bake

Beberapa hari lalu, saya bertemu dengan seorang teman setelah kelas baking. Kami hanya berbincang sebentar karena memang waktu yang kami punya tidak banyak. Disela pembicaraan yang topiknya ke sana dan ke sini, dia lalu bertanya : Apakah ini yang ingin kamu jalani sekarang? Apa ini membuatmu bahagia?

Saya butuh waktu beberapa detik untuk bereaksi, mencoba untuk mencerna pertanyaannya. Nampak biasa tapi sebenernya pertanyaan yang sulit.

Hidup saya selama hampir 8 tahun di Belanda sangat jauh berbeda dengan kehidupan saya di Indonesia. Di negara yang pada akhirnya saya panggil sebagai rumah kedua, tempat di mana saya menciptakan sebuah keluarga, hidup saya jauh lebih baik. Secara batin, secara spiritual, secara kematangan berpikir, dan bahagia yang saya rasakan dari dalam.

Umur dan waktu jelas berpengaruh dengan diri saya saat ini. Sewaktu di Indonesia, saya jauh lebih muda dengan segala ambisi dan keinginan yang menggebu. Saya rasa, itu wajar. Ada banyak hal yang ingin saya kejar. Ada banyak penasaran yang ingin saya tuntaskan. Ada banyak puncak yang ingin saya taklukkan. Dan ya, saya sudah mendapatkan itu semua. Saya hanya menghidupi diri sendiri, tidak punya kewajiban menghidupi orangtua dan anggota keluarga yang lainnya. Saya hidup lebih dari cukup secara materi dan keduniawian.

Yang saya rasakan tidak wajar adalah, saya melakukan semua hal tersebut karena ingin membuktikan bahwa saya hebat, saya cemerlang, dan saya layak untuk mendapatkan pujian. Akhirnya saya merasa kelelahan karena selalu mengejar pengakuan khalayak ramai. Saya mendapatkan semua yang saya targetkan. Saya mendapatkan apresiasi yang besar. Saya sukses secara karier dan harta atas kerja keras penuh lelah. Namun saya lupa menanyakan apa diri saya bahagia. Saya lupa untuk melihat ke dalam apakah benar ini yang saya ingin lakukan. Saya selalu berlari seperti orang kehausan mencari sumber air tapi tak juga menemukan. Saya tak pernah puas ketika sudah sampai pada satu titik tujuan. Saya tersengal – sengal. Saya capek. Semua saya dapatkan. Namun jauh di dalam hati, saya kesepian, saya merasa sendiri di tengah segala apa yang saya capai. Ternyata, saya tidak sebahagia yang dipikirkan. Saya merasa kosong. Hati saya seperti pasar, ramai. Hati saya susah mendapatkan ketenangan. Kemrusung.

Bakers gonna bake
Bakers gonna bake

Ketika umur bertambah, lingkaran pertemanan makin mengecil, punya lingkungan baru untuk tempat hidup, jauh dari keluarga, sontak cara pandang saya pun berubah. Tidak dalam waktu yang singkat, saya akhirnya lebih bisa berdamai dengan pikiran dan keinginan. Saya belajar menerima diri sendiri. Saya punya kesempatan untuk jauh dari keramaian dan tidak lagi memenuhi ekpektasi banyak orang.

Saya belajar untuk meredam hasrat supaya dunia melihat saya. Saya belajar untuk membahagiakan diri sendiri, bukan apa yang orang lain ingin lihat dari saya. Saya belajar untuk sadar secara keseluruhan. Sadar pikiran, sadar hati, sadar jiwa, dan sadar perbuatan. Saya belajar untuk bersyukur dari hal sekecil apapun. Belajar menerima bahwa marah adalah hal yang wajar. Belajar memahami bahwa manusiapun punya waktu untuk rapuh, sedih. Saya belajar menerima semua perasaan tersebut. Menerima bahwa saya berhak untuk lelah. Menerima bahwa saya tidak harus bisa semua. Menerima bahwa saya ternyata bukan seorang pribadi yang mampu segalanya. Saya menerima bahwa saya punya keterbatasan. Dan itu, tidak apa – apa. Saya menerima diri saya sendiri, seutuhnya. Diri yang bertahun lamanya, tercampakkan oleh keinginan untuk diakui. Pengakuan yang tak pernah berujung untuk dituju.

Saya belajar untuk bahagia dengan cara yang saya inginkan. Saya, pada akhirnya tau alur hati untuk lebih tenang. Saya, yang seiring berjalan waktu lebih banyak berucap syukur secara sadar. Saya bisa merasakan bahagia yang asalnya dari hati, bukan dari pengakuan orang lain. Hati saya jauh lebih tenang. Otak yang selalu ramai dengan pikiran yang ke sana dan kesini, perlahan mulai reda. Resah dengan kekhawatiran yang berlebih akan apa yang terjadi esok dan lusa, perlahan mulai menurun kadarnya.

Saya belajar untuk menerima.

Butuh latihan panjang untuk sampai pada titik menerima diri sendiri apa adanya. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk bisa mencintai diri sepenuhnya. Butuh banyak dialog dengan pikiran maupun orang – orang yang bisa saya jadikan tempat untuk diskusi, bahwa saya ternyata tidak sehebat yang orang lain lihat selama ini. Saya akhirnya menerima konsep bahwa dunia ini hanya tempat singgah yang sejatinya butuh untuk dijalani sewajarnya saja. Segala hal yang diluar jangkauan, berusaha untuk tidak saya risaukan lagi.

Semua yang saya putuskan saat ini, yang saya jalani sekarang, yang saya rasakan hari ini, adalah hasil saya menengok ke dalam. Hasil dari saya banyak berdialog dengan diri sendiri. Tidak lagi saya sibuk berpikir apakah orang akan melihat saya hebat, apakah orang akan melihat saya sempurna, atau apakah mereka akan senang dengan pencapaian yang saya raih. Saya selesai dengan itu semua.

Saya menjalani hidup saat ini, hari per hari. Bersyukur untuk hari ini, besok jalani syukur yang lainnya. Jangan dibuat resah. Lelah cukup untuk hari ini, besok pasti akan ada lelah yang lainnya. Kesukaran untuk hari ini, cukupkan sampai di sini. Besok akan ada cerita yang lainnya. Semakin banyak syukur yang saya sematkan di hati, dengan segala naik dan turun hari per hari, semakin saya lebih bahagia dengan diri sendiri. Bahagia yang membuat tenang.

Apa yang saya lakukan saat ini, segala keputusan yang saya jalani sekarang, segala dinamika hidup yang saya hadapi langkah per langkah, sudah cukup untuk membuat saya bahagia tanpa resah dengan penilaian orang. Saya mencukupkan batin dan pikiran. Saya mencukupkan keinginan. Saya mencukupkan kebutuhan. Saya merasa cukup.

Batin saya lebih bahagia dan ingin menjalani apa yang sudah menjadi keputusan hidup saat ini, sekarang. Apa yang akan terjadi esok hari, nanti, ataupun bertahun di depan, lepaskan saja. Tak perlu saya risaukan. Hidup sudah ada takaran dan aturannya. Hidup sudah ada jatahnya.

Langkah per langkah, hari per hari. Cukup dan bersyukur. Bahagia untuk hari kemaren, saat ini, dan sekarang.

-9 September 2022-