Veteranendag 2015 and Night at the Park

Hari Sabtu minggu lalu, 27 Juni 2015, ada dua acara seru di Den Haag. Pertama adalah Veteranendag dan yang kedua adalah Night at the park. Acara yang kedua ini adalah konser beberapa grup band yang diadakan sejak jam 3 sore sampai jam 9 malam ditaman yang bernama Zuiderpark. Jadi saya dan suami sudah kelayapan sejak siang sampai tengah malam baru kembali kerumah.

Veteranendag 2015

Acara nasional di Belanda ini diselenggarkan setiap tahun sebagai bentuk apresiasi dan ucapan terima kasih kepada para Veteran yang berjumlah lebih dari 150.000 orang atas jasa mereka dimasa lalu dan sekarang, supaya setiap orang mengetahui apa yang telah mereka lakukan. Acara ini dimulai sejak pukul 9 pagi sampai pukul 5 sore di Gedung Parlemen (Binnenhof) dan di Malieveld. Acaranya sendiri terdiri dari atraksi pesawat, defile dengan rute sekitar pusat kota (defile veteran, motor besar, kendaraan bermotor besar, kuda, drumband militer), pertunjukan musik, dan makan minum.

Untuk saya yang baru pertama kali melihat Veteranendag ini, sangat antusias mengikuti acaranya meskipun tidak sejak pagi. Saya baru sampai di Malieveld sekitar jam setengah dua siang, sehingga sudah tertinggal bagian atraksi pesawat militernya. Bersyukurnya defile baru dimulai. Entah kenapa saya menjadi terharu melihat para Veteran ini. Mereka masih terlihat gagah, berjalan dengan penuh senyuman melambaikan tangan kepada para warga kota yang menyaksikan veteranendag ini. Saya seketika teringat dengan para veteran di Indonesia.

  

 


 

Sampai jumpa di Veteranendag tahun depan, 25 Juni 2016
Sampai jumpa di Veteranendag tahun depan, 25 Juni 2016
 

Ketika sedang asyik melihat defile dipinggir jalan, sambil jinjit dan menjulurkan leher karena saya tidak pada barisan pertama dan terhalang bapak yang ada didepan, ternyata bapak tersebut menoleh. Saya salah, ternyata seorang kakek. Beliau dengan ramahnya menyuruh saya untuk bergeser kedepan dan memberikan ruang disebelahnya. Kemudian Beliau berbicara dengan menggunakan beberapa kalimat bahasa Indonesia. Saya tentu saja terkejut. Saya kemudian mengajak berbicara Beliau dengan menggunakan Bahasa Belanda yang masih terpatah-patah, sementara Mas Ewald menguping dibelakang. Ternyata Beliau pernah ditugaskan di Indonesia tahun 1947-1950 di Jogjakarta, Sumatera, dan Jawa Timur. Beliau sudah berumur 89 tahun saat ini, tapi masih terlihat sangat sehat, hanya pendengaran yang mulai berkurang karena beberapa kali saya harus mengulang perkataan ataupun pertanyaan. Entah karena bahasa Belanda saya yang tidak jelas atau suasana yang agak berisik sehingga membuat semakin sulit Beliau untuk menangkap pembicaraan saya. Namanya Bapak De Winter. Beliau mengatakan suka tinggal di Indonesia karena sangat indah. Tidak berapa lama, Beliau pamitan karena merasa sudah capek berdiri. Sebelumnya saya meminta ijin untuk berfoto bersama dan mengatakan akan menaruh foto ini diblog. Beliau mengijinkan. Sebenarnya saya ingin lebih lama berbincang dengan Beliau sebagai saksi sejarah, penasaran saja sebenarnya apa yang terjadi pada tahun saat Beliau ada di Indonesia. Tidak menyangka saya bisa mengobrol dengan salah satu veteran dan beliau bisa menggunakan Bahasa Indonesia meskipun terpatah-patah. 

Bersama Bapak De Winter
Bersama Bapak De Winter
 

Tidak berapa lama setelah Bapak De Winter pergi, tiba-tiba datang beberapa polisi ingin membuka jalan dimana saya berdiri. Akhirnya kami mundur perlahan agar jalan menuju Malieveld terbuka. Ada beberapa anak kecil menanyakan apakah Raja Willem Alexander akan datang, Polisi menjawab tidak. Ternyata ada iringan tiga mobil yang datang mendekat. Mas Ewald tiba-tiba sudah heboh sendiri “Itu Raja datang, cepet difoto, difoto!” sementara saya hanya tercengang memandang mobil Raja yang melintas tepat didepan mata. Saya heran, Raja datang kok tidak ada kehebohan iring-iringan Polisi yang mengawal. Hanya tiga mobil saja. Membandingkan dengan Indonesia kalau ada Presiden datang pasti sudah heboh sana sini. 

Mobil Raja
Mobil Raja
 
Hanya bisa mengabadikan lambaian tangan saja
Hanya bisa mengabadikan lambaian tangan saja
 

Untuk mengetahui lebih lengkap tentang Veteranendag, bisa langsung klik websitenya. 

Ketika keluar dari Malieveld, saya melihat ada satu tenda yang mencari dukungan agar Papua Barat merdeka.

  

Night at the Park

Ini pertama kali saya melihat konser berbayar ditaman selama 5 bulan tinggal di Den Haag. Biasanya melihat pertunjukan musik secara gratis. Kami tertarik melihat Night at the Park karena ada Duran Duran dan UB40. Dua grup band tersebut legendaris sekali. Saya tumbuh dengan lagu-lagu mereka meskipun tidak bisa dibilang saya adalah fans mereka karena hanya mengetahui beberapa lagunya. Selain 2 band tersebut, pengisi acara yang lainnya adalah Splendid, ABBA Gold, K’S Choice dan De Dijk. Kami sampai di Zuiderpark, tempat berlangsungnya konser sekitar jam 6. Kami memang sengaja ingin lesehan, sehingga kami membawa tikar lipat. Karena memang konsepnya konser ditaman, maka banyak yang menggelar tikar dan duduk-duduk santai sambil rebahan. Mas Ewald sempat tidur juga. 

Leyeh-leyeh
Leyeh-leyeh
   

Jam 20:15 UB40 tampil. Tahu diri dengan kondisi tubuh yang mungil ini, maka tempat favorit saya tentu tidak jauh-jauh dari layar TV yang besar. Kalau saya memaksakan diri untuk mendekat ke panggung, yang ada justru tidak bisa melihat apapun karena tertutup dengan postur-postur yang aduhai tinggi menjulang. Jadi saya menikmati beberapa lagu UB40 seperti Red Red Wine, Kingston Town, I’ve got you Babe dekat dengan screen. Lagu-lagu mereka yang lain samar-samar lupa liriknya. Semua bergoyang Reggae menikmati alunan musik UB40. 

UB40
UB40
 

Setelahnya, sekitar jam 21:45 giliran Duran-Duran tampil. Teriakan riuh dari penonton mengiringi para personel Duran Duran yang satu persatu tampil keatas panggung. Disekitar saya penonton yang usianya sudah senior tetap semangat menggoyangkan badan dan bersama-sama menyanyikan lagu Rio, Ordinary World, A view to kill dan beberapa lagu lainnya. Yang membuat saya heran, para personelnya masih terlihat awet muda. Simon le Bon sebagai vokalis wajahnya ya masih begitu begitu saja, awet cakepnya. Night at the Park ditutup dengan pesta kembang api yang sangat meriah. Saya yang memang pencinta kembang api sangat senang melihat pertunjukan itu. Dari website resminya, disebutkan ada 50.000 orang yang datang pada Night at the Park tersebut.

Duran Duran
Duran Duran
 

   

Hari Sabtu yang menyenangkan.

 

-Den Haag, 30 Juni 2015-

Semua foto adalah koleksi pribadi

Japanese Garden – Den Haag

Beberapa waktu lalu saya dan suami mengunjungi Japanese Garden atau dalam bahasa Belanda disebut sebagai Japanse Tuin yang berada diantara Den Haag dan Wassenaar. Kami pergi kesana bersepeda karena jaraknya memang tidak terlalu jauh dari rumah, hanya 20 menit. Japanese Garden ini, yang merupakan menjadi bagian dari Clingendael Park, terbuka untuk umum dan masuknya tanpa dipungut biaya. Clingendael park sendiri terdiri dari beberapa taman, tetapi yang terkenal adalah Japanese Garden dan Taman Tua Belanda (Old Dutch Park).Meskipun Taman Jepang ini hanya buka dua kali dalam satu tahun yaitu pada musim semi dan musim gugur dengan waktu yang pendek, hal tersebut tidak menyurutkan pengunjung untuk pergi kesana. Terlihat tempat ini penuh serta ada beberapa pasang pengantin yang melakukan sesi pemotretan. Saya iseng menghitung, sekitar 7 pasang. Clingendael Park dan Japanese Garden memang indah dengan latar belakang bunga warna warni dan hamparan rumput yang hijau. Pada saat itu, cuaca juga mendukung, matahari sedang bersinar terang.

Menurut website pemerintah kota Den Haag sejarah berdirinya Japanese Garden ini adalah ketika Marguerite M. Baroness van Brienen (1871-1939) atau disebut juga Lady Daisy melakukan beberapa kali perjalanan ke Jepang. Ketika pulang ke Belanda, dia membawa beberapa benda khas jepang seperti lentera, pavilion, tong air, patung serta tanaman khas Jepang. Ini adalah satu-satunya Taman Jepang di Belanda sejak tahun 1910, karenanya memiliki nilai sejarah yang tinggi. Japanese Garden ini menjadi tanggungjawab pemerintah kota Den Haag.

Taman jepang ini berukuran kecil, namun penataan didalamnya rapi dan asri dengan pernak pernik khas jepang tentunya dan bunga warna warni  khas jepang juga sehingga ketika disana kita merasa benar-benar sedang berada di Jepang.

Untuk menuju Taman Jepang ini, sebelumnya melewati jalan setapak yang sisi kiri dan kanannya penuh dengan bunga berwarna warni.   

        

Suasana di Japanese Garden 

Jembatan favorit untuk sesi foto. Sampai harus mengantri untuk foto disini
Jembatan favorit untuk sesi foto. Sampai harus mengantri untuk foto disini
  

     

     

  

 

Clingendael Park 

  

         

Sedang sesi foto  ditengah hamparan bunga putih.  Rasanya pengen nebeng difoto juga :D
Sedang sesi foto ditengah hamparan bunga putih. Rasanya pengen nebeng difoto juga 😀
 

Menuju Clingendael Park ini bisa ditempuh juga menggunakan kendaraan umum yaitu bis nomer 18 dan 23.

Japanese Garden dapat dikunjungi pada :

Musim semi  : 25 April sampi 7 Juni 2015 Jam 09:00-20:00 dan

Musim gugur : 10-25 Oktober 2015 jam 10:00-16:00

Clingendael Park : Clingendael 12a, 2597 VH, The Hague

-Den Haag, 24 Juni 2015-

Semua foto adalah dokumentasi pribadi-

Our Visit to Tong Tong Fair 2015 – Den Haag

Today Adek Deny and I visited the 57th Tong Tong Fair in Den Haag (The Hague, The Netherlands). The Tong Tong Fair is one of the biggest fairs in Europe with products and information about Asia and especially about Indonesia. Originally the fair started as a gathering place for people from Indonesia in the late 50s and originally was named Pasar Malam.

Den Haag was an obvious choice because after the second World War and Indonesia’s independence many people from mixed Dutch and Indonesian descent (the so called Indo’s) decided to move from tropical Indonesia to less-tropical Netherlands and the city of Den Haag was a popular place to settle. It is well known that many of the immigrants had and still have many fond and nostalgic memories of their home country and the Pasar Malam was one of the few occasions once a year to share these feelings of what the Dutch define as “weemoed”. This nostalgic atmosphere is still very vibrant and present in 2015. I noticed that the majority of the visitors is still from that first and second generation of migrants that came to the Netherlands in the 40s and 50s.

Some years ago the founders of the fair thought that it would be a good idea to broaden the scope and make it a more Asian than Indonesian fair. I don’t think they succeeded in that plan (yet) as I experienced the atmosphere as very Indonesian.

The fair is located at the Malieveld in The Hague, a huge open space and grass field where during the year all kinds of events are held. It is located in walking distance from the biggest train station in Den Haag (Centraal Station) The Tong Tong Fair is completely hosted in a complex of big temporary tents connected with -also covered- walk ways, so whether the weather is good or bad outside you will not notice it. Tickets prices range from around 10 to 14 euro for a day ticket, the price depending whether one can apply for special discounts (for students and elderly people).

The most crowded part of the fair is the Indonesian Pavilion, where hundreds of sellers of goods and food offer their supplies. Most of them are from Indonesia and going through this Pavilion personally reminded me somewhat of visiting the side streets of Jalan Malioboro in Yogyakarta. Here you can find lots of original Indonesian food, clothing and accessories, only be aware the prices are very Dutch (so not cheap)!

Another big part of the fair is the Grand Pasar, that has a less Indonesian character. In the back of the Grand Pasar is the ‘Tong Tong Podium’ where artists perform during opening hours until closing time. We personally visited a concert by Orkes Keroncong Cente Manis, which we liked well. There is also a ‘Tong Tong Theater’ where more serious subjects about Dutch-Indonesian relations are being discussed. Finally there is The Food Court with many choices to have your lunch or dinner in real Indonesian style.

Personally I never visited the fair before, but I found it all together a pleasant experience. There are lots of opportunities to buy special Indonesian products and lots of opportunities to try those products before you buy. So I guess that probably most guests come outside with a full belly, full bags and emptier wallets. Exiting the fair brings you back into the reality of the Dutch weather conditions as the rain was already waiting for us. For most of the visitors this means there will be the waiting for another year before they have a chance to relive their Indonesian past again.

You still can visit the fair because it will be opened until June 7th, 2015!

-Den Haag, May 29 2015-

All pictures are our own documentation.

Becak
Becak

Queuing into Tong Tong Fair 2015
Queuing into Tong Tong Fair 2015

Workshop how to make Batik
Workshop how to make Batik

 

INDONESIA 

 

Cobek's corner
Cobek’s corner

 

Buying
Buying “penebah” : things for cleaning bed

Malioboro's atmosphere
Malioboro’s atmosphere

.

<

p style=”text-align: justify”>

Malioboro's atmosphere
Malioboro’s atmosphere

GRAND PASAR

The phenomenal one : Akik
The phenomenal one : Akik

 

 

Orkes Keroncong Cente Manis' performance
Orkes Keroncong Cente Manis’ performance

.

FOOD

Jajanan Pasar
Jajanan Pasar

Sambal's corner
Sambal’s corner

<

p style=”text-align: justify”> 

Durian
Durian

 

Indomie's party
Indomie’s party

Indonesian' snack
Indonesian’ snack

 

And actually we bought ….

These one
These one

Finally…

Bevrijdingsdag – Bevrijdingsfestival Den Haag 2015

5 Mei adalah hari libur nasional di Belanda dan disebut sebagai Bevrijdingsdag untuk memperingati Belanda yang dibebaskan oleh sekutu dari pendudukan Jerman pada masa perang dunia kedua. Pada tanggal 4 Mei jam 8 malam selama 2 menit mengheningkan cipta untuk mengenang yang gugur, disebut sebagai Dodenherdenking. Pada waktu Dodenherdenking, suami mencari-cari saya karena akan diajak mengheningkan cipta bersama famili yang sedang main kerumah. Kemudian dia menemukan saya dikamar sedang Sholat. Dan dia merasa terharu karena dipikirnya saya sedang mengheningkan cipta melalui Sholat. Setelah saya jelaskan kalau saya tidak sedang mengheningkan cipta, tapi memang waktunya Sholat Maghrib, dia lalu meralat rasa harunya 😀

Jauh hari sebelum Bevrijdingsdag, Yayang mengajak saya untuk melihat festival musik di Rotterdam yang katanya selalu ada setiap tanggal 5 Mei, tapi ini bukan hanya di Rotterdam saja melainkan juga ada dibeberapa kota lainnya yaitu Den Haag, Amsterdam, Vlissingen, Haarlem, Almere, Utrecht, Den Bosch, Roermond, Wageningen, Zwolle, Assen, Leeuwarden, dan Groningen, namanya Bevrijdingsfestival. Tahun lalu sewaktu pertama kali saya mengunjungi Belanda, pernah melihat festival musik ini sekilas di Den Haag. Karenanya ketika Yayang mengajak, saya menjadi antusias dan akan memberi kabar sehari sebelumnya, tergantung banyak tidaknya PR dari sekolah yang harus saya kerjakan. Singkat cerita, tanggal 5 Mei kami saling update berita sejak pagi. Yayang menginformasikan kalau hari itu akan ada hujan deras jadi kami harus siap-siap jas hujan atau payung. Wah, mendengar kata hujan saya jadi males. Tapi sayang juga kalau tidak jadi karena saya ingin bertemu dengan Cinta Cahaya. Ternyata benar tengah hari hujan deras sekali, langit pekat, angin super kencang, dan ada kilat serta geluduk. Sepertinya ini geluduk dan kilat pertama yang saya rasakan sejak pindah ke Belanda. Akhirnya saya dan Yayang memutuskan batal demi keselamatan bersama. Saya kecewa tentu saja karena sudah siap-siap akan berangkat. Yayang juga menceritakan Cinta dan Cahaya juga kecewa karena mereka sudah rapi dan cantik siap akan berangkat dan bermain di Euromast. Akhirnya saya tertidur karena punggung pada hari itu sedang sakit sejak semalam sebelumnya.

Bangun tidur sekitar jam 3 sore matahari sudah cerah ceria kembali. Wah, negara ini memang cuaca cepat sekali berganti. Suami bertanya apakah saya mau jalan-jalan ke Den Haag Centrum melihat Bevrijdingsfestival. Tentu saja saya menyambut ajakannya dengan antusias. Padahal awalnya dia sama sekali tidak ada rencana keluar rumah karena sedang kejar tayang menyelesaikan Tesis. Meskipun angin bertiup sangat kencang, saya beberapa kali terseret angin dan harus digandeng suami ketika berjalan menuju Malieveld, tempat berlangsungnya acara, tapi kami tetap antusias. Suami mengatakan akan ada penampilan musisi dari Indonesia. Tidak berapa lama setelah sampai dan hampir didepan panggung, tiba-tiba saya mendengar lagu Bengawan Solo. Wow! Saya terkesima dan entah kenapa menjadi terharu. Mendengarkan lagu Bengawan Solo dinegara orang hati menjadi sangat tersentuh. Ternyata tidak hanya Bengawan Solo saja, tetapi dilanjutkan dengan lagu Sayang E. Kalau dari website Bevrijdingsfestival mereka ini adalah “Molukse en Nederlandse popmusici” jadi kolaborasi Musisi Maluku dan Belanda dan salah satu penyanyi wanitanya bernama Sandra Reemer. Kata suami, Beliau ini penyanyi dan artis senior di Belanda.

Ini adalah video yang saya rekam ketika mereka sedang perform Bengawan Solo dan Sayang E. Senangnya melihat antusias penonton ketika Bengawan Solo dinyanyikan. Ada yang berdansa, ikutan bernyanyi, bahkan anak-anak mudanya menggerakkan badan menciptakan tarian yang energik.

Setelahnya mereka menyanyikan lagu berbahasa Belanda dan bahasa Inggris yang kemudian diakhiri dengan perkenalan masing-masing anggotanya. Hati saya gembira setelah melihat penampilan mereka. Setelahnya ada penampilan dari Brainpower dan 3js Final Act. Saya hanya bertahan 1.5 jam berdiri didepan panggung karena tiba-tiba lapar dan punggung mulai nyeri. Kerumunan penonton semakin memadati depan panggung, kami meninggalkan tempat acara dengan senyum lebar karena bisa melihat Festival Musik gratisan. Menurut Yayang, artis-artis yang tampil dibeberapa kota berpindah lokasi menggunakan helikopter. Seru sekali.

-Den Haag, 6 Mei 2015-

Semua dokumentasi disini adalah milik pribadi

Malieveld - Den Haag
Malieveld – Den Haag
Penonton Bevrijdingsfestival Den Haag
Penonton Bevrijdingsfestival Den Haag

 

Penampilan 3js Final Act
Penampilan 3js Final Act

    


      

Belanja ke Pasar – Haagse Markt Den Haag

Minggu pertama ketika baru sampai di Den Haag, saya sudah bertanya ke Suami dimana pasarnya. Saya juga tidak ada bayangan pasar di Belanda (atau bahkan di Eropa) itu bentuknya seperti apa. Imajinasi saya pasarnya pasti dalam ruangan tertutup dan bersih. Suami sempat menyebutkan satu tempat, tapi saya tidak ingat persis namanya. Akhirnya pada minggu lalu saya membaca tulisan Yayang tentang Pasar Kaget di Rotterdam. Wah, saya semakin bersemangat ingin menjelajah pasar.

Akhirnya kesempatan itu datang ketika Ibu Wiwiyk, kenalan yang bekerja di Toko Indonesia didekat rumah mengirim pesan, mengajak saya ke pasar di Den Haag, namanya Haagse Markt. Dengan semangat 45 saya bilang  ke Suami, yang saya tau pasti dia setuju karena dia senang sekali kalau saya keluyuran sendiri :D. Akhirnya sabtu 21 Februari 2015 untuk pertama kalinya saya pergi ke pasar di Den Haag. Saya berangkat sendiri dari rumah naik trem dan janjian dengan Bu Wiwiyk di Haarenstraat kemudian kami pergi bareng ke pasar. Sesampainya di pasar, mungkin karena saya terlalu antusias karena pada akhirnya menginjakkan kaki di pasar, sepanjang jalan saya senyum lebar ke setiap orang hahaha norak.

Jadi, menurut pengamatan saya, Haagse Markt ini adalah pasar terbuka, luar ruangan, yang bersih (ya karena saya membandingkannya dengan pasar di Situbondo tentunya). Konon katanya menurut pak dhe Google, Haagse Markt adalah salah satu pasar luar ruangan yang terbesar di eropa dengan lebih dari 500 kios yang menjual segala macam jenis kebutuhan, dari sayur mayur, pakaian, buah, ikan, daging, keju, roti, bunga, suvenir, camilan, oleh-oleh, penjual jilbab, baju muslim, sampai kerajinan tangan. Pokoknya komplit. Saat ini terlihat beberapa ruas pasar yang sedang direnovasi. Haagse Markt ini terletak di Herman Coesterstraat di distrik Schilderswijk, bukanya hari Senin, Rabu, Jumat, dan Sabtu dari Jam 9 pagi sampai jam 5 sore. Untuk lebih lengkapnya bisa langung cek di website Haagse Markt

Tentu saja sisi pasar yang paling antusias saya datangi adalah bagian makanan, sayur mayur, buah, dan ikan. Saya terkaget-kaget beberapa sayuran yang saya beli harganya 1 euro-satu bak (bak disini maksudnya wadah satu tempat yang tidak terlalu kecil tapi tidak terlalu besar juga. Bukan bak besar untuk mencuci baju :D). Mungkin kalau dirupiahkan masih terhitung mahal ya kalau perbandingannya dengan Indonesia, tapi disini sudah sangat murah untuk ukuran Belanda dengan perbandingan belanja di supermarket. Dan ada beberapa sayuran yang jauuh lebih murah harganya dibandingkan di Indonesia, contohnya Paprika-1 euro isinya 506 paprika merah, dan alpukat mentega ukuran sedang 1 bak isi 3 buah juga harganya 1 euro. Tempat jual ikannya juga bersih dan ikannya segar-segar. Buah-buahnya juga saya beli yang 1 euro-an. Mangga (2 buah ukuran besar), alpokat, pisang (isi 7 pisang), kiwi (isi 10 buah), lemon (8 buah)-semuanya 1 euro. Raddish, timun (4 timun besar), paprika, tomat (6 tomat ukuran besar), cabe, jamur Champignon, kecambah besar, ikan asin, brokoli (isi 2 brokoli besaarr sekali), wortel (isinya segambreng banyaknya), pare semuanya satu bak 1 euro. Dan masih banyak lagi sayuran dan buah yang hitungannya 1 euro. Keadaan buah dan sayurnya juga masih segar. Ahhh, senang sekali. Kalau tidak ingat bahwa saya harus membawa hasil belanja sendiri yang sangat berat, ingin rasanya saya beli semua sayuran dan buah yang segar-segar itu. Untuk ikan, karena saya membeli salmon, hitungannya tidak berbeda jauh dengan supermarket, walaupun tetap lebih murah. Tetapi untuk ikan beku, jika beruntung bisa membeli seharga 5 euro, bahkan salmon beku juga saya beli seharga 5 euro. Pada dasarnya saya tidak bisa dan sangat tidak jago menawar, karenanya saya senang di Haagse Markt ini sistemnya tidak usah menawar. Ya apanya yang mau ditawar kalau kebanyakan yang dijual hitungannya sudah satu euro.

Ketika pulang kerumah, saya pamerkan hasil “buruan” ke Suami, dia terkaget-kaget senang. Kaget karena dia memang tidak pernah masuk pasar sebelumnya, sehingga tidak menyangka kalau barang-barang yang saya beli hampir semua seharga 1 euro. Tentu saja dia senang karena otomatis jadi hemat belanja 😀 (maklum, karena saya belum bekerja, yang bisa dilakukan untuk membantu suami adalah bersikap hemat, bijak terhadap pengeluaran :))

Dan, rabu 25 Februari 2015 kemarin, saya berangkat lagi ke pasar (kecanduan ke pasar haha), karena beberapa persediaan sayur juga udah habis. Kali ini saya berangkat sendiri saja, tidak ditemani lagi oleh Bu Wiwiyk karena beliaunya sedang bekerja. Naik trem sendiri, tidak susah. Dari tempat saya, naik tram 15 (dari pemberangkatan Nootdorp) turun di halte Rijswijkseplein/Station HS, setelah itu menyeberang jalan, lanjut naik tram 11 (jurusan Scheveningen haven) atau tram 12 (jurusan Duindorp) turun di halte Hoefkade. Kembali lagi kerumah saya juga menggunakan transportasi yang sama.

Untuk tempat jual ikan, daging, sayur mayur, buah, dan beberapa kios makanan berpusat di area Hoefkade. Sedangkan untuk tempat jualan baju, bunga, tas, suvenir, barang-barang antik, dan yang lainnya berpusat di area Hobbemaplein. Berdasarkan pengalaman, untuk membeli buah dan sayur, jangan tergoda langsung membeli karena melihat harganya yang sangat miring. Berputar lebih dahulu, karena banyak kios yang menjual dengan barang sama, tapi bisa jadi harganya lebih miring. Jadi, anggap saja jalan-jalan santai sambil cari yang lebih murah meriah. Untuk kios makanan, saya senang sekali membeli ikan goreng seharga 1,75 euro, besar ikannya, sekali makan langsung kenyang (ya kebangetan kalau sampai tidak kenyang haha). Kios ini selalu dipadati pembeli, karena antriannya panjang dan memang ikannya sangat yummy. Selain itu, favorit saya yang lain untuk oleh-oleh suami adalah pizza vegetarian di kios pizza turki. Kios ini juga ramai pembeli. Untuk kios-kios makanan yang lainnya juga menggugah selera untuk dicoba, tapi saya harus memilih kios yang halal.

Hati-hati dengan barang bawaan dan dompet serta Hp, karena kondisi pasar yang sangat ramai. Banyak polisi disekitar pasar ini karena konon katanya banyak sekali pencopet. Jadi kalau ke pasar, lebih baik uangnya langsung disiapkan ditempat yang mudah dijangkau, misalkan saku jaket, sehingga tidak perlu buka tutup dompet yang bisa riskan akibatnya. Jika ingin ke pasar tidak terlalu ramai, hari senin dan rabu dan dipagi hari. Pengalaman saya selalu kepasar siang hari sudah penuh berdesakan. Bagaimana jika belum lancar berbahasa Belanda seperti saya, apakah akan mengalami kendala jika berbelanja di Haagse Markt? jangan khawatir, penjualnya bisa berbicara menggunakan bahasa Inggris. Jadi kemarin saya berbelanja menggunakan bahasa campuran, Belanda dan Inggris. Mereka juga sangat ramah, mengenali saya dari Indonesia, dan beberapa dari mereka mengajak berbincang saya sepatah dua patah kata menggunakan bahasa Indonesia.

Itulah pengalaman saya pergi sendiri berbelanja di Haagse Markt – Den Haag, mengobati kerinduan akan pasar tradisional Indonesia. Menyenangkan? tentu saja. Saya sangat senang karena setelah ini bisa selalu berbelanja ke pasar. Pasar tradisional selalu mempunyai segudang cerita dibaliknya dengan beragam orang didalamnya.

-Den Haag, 26 Februari 2015-

Segala foto yang ada disini adalah dokumentasi pribadi

Bagian pasar yang menjual baju, sepatu, tas dan barang lainnya
Bagian pasar yang menjual baju, sepatu, tas dan barang lainnya

IMG_0419 

Kios Bunga

  

Toko yang menjual ayam dan daging yang sudah bersih kondisinya, juga ada beberapa bumbu Indonesia, juga kurma dan kue-kue hidangan puasa dan lebaran
Aneka Ikan Segar
Paprika 1 bak 1 euro
Paprika 1 bak 1 euro
Ikan super lezat segede gaban kenyang untuk makan siang
Ikan super lezat segede gaban kenyang untuk makan siang
Berpose dengan Bu Wiwiyk didepan kios ikan goreng yang antriannya super panjang, dengan hasil belanja segambreng, kenyang setelah makan ikan super lezat.
Berpose dengan Bu Wiwiyk didepan kios ikan goreng yang antriannya super panjang, dengan hasil belanja segambreng, kenyang setelah makan ikan super lezat.
Salah satu kios makanan
Salah satu kios makanan
Salah satu hasil perburuan - 1 euro
Salah satu hasil perburuan – 1 euro
Salah satu hasil perburuan - 1 euro. Jaih lebih murah dari Indonesia
Salah satu hasil perburuan – 1 euro. Jauh lebih murah dari Indonesia
Salah satu hasil perburuan - 1 euro
Salah satu hasil perburuan – 1 euro

Cerita Adaptasi – Kenalan Baru – Belajar Hal Baru

Sudah dua minggu saya berada di Belanda. Tidak terasa, seperti baru beberapa hari lalu tiba. Malah kata suami saya, seperti sudah bertahun-tahun tinggal bersama. Selama dua minggu itu juga banyak hal-dari lebih banyak hal-yang saya pelajari. Beberapa kebiasaan baru, beberapa tempat baru yang saya kunjungi, maupun bertemu beberapa kenalan baru yang bukan hanya dari Indonesia. Sejauh ini menyenangkan, meskipun ada beberapa kejadian yang memang diluar dugaan, tetapi saya selalu mengambil sisi positifnya dan menjadikan pelajaran supaya kedepannya bisa menjadi lebih baik.

Suami adalah tipe yang mendorong saya untuk selalu mandiri. Selalu memberi kesempatan saya seluasnya untuk dapat keluar rumah, tidak hanya duduk diam didalam rumah. Maksudnya baik tentu saja, agar saya lebih mengenal sejauh mungkin lingkungan baru, mengenal beberapa orang baru, dan melihat sendiri tentang kebiasan-kebiasan yang ada disini sebagai bagian dari proses adaptasi.

Seperti halnya saat beberapa waktu lalu saya akan melakukan pendaftaraan pernikahan dan lapor diri tentang keberadaan saya di Den Haag supaya dicatat di Gemeente Den Haag, berangkat sendiri tanpa didampingi suami karena dia pada waktu yang bersamaan sedang ada jadwal kuliah. Awalnya saya cemas tentu saja, apakah saya bisa melakukan sendiri atau tidak. Banyak pertanyaan “bagaimana jika” ketakutan yang tentu saja manusiawi datang bertubi ketika pertama kali harus mengurus sendiri sesuatu yang penting dan berhubungan dengan pemerintah Belanda. Tapi Suami saya berkata kalau saya selalu didampingi kemanapun pergi, lalu saya tidak akan pernah bisa belajar sesuatu, akan selalu merasa bergantung pada orang. Saya pikir, benar juga. Tidak ada yang perlu saya takutkan karena meskipun saya jauh dari kata lancar dalam berbahasa Belanda, tapi saya masih bisa berkomunikasi dengan orang-orang yang saya temui menggunakan bahasa Inggris. Akhirnya saya berangkat dengan gagah berani, membawa semua dokumen yang sudah dipersiapkan sehari sebelumnya. Setelah turun dari kereta di Stasiun Den Haag Central, saya mulai ragu dan lupa arah. Apakah harus mengambil pintu keluar sebelah kiri atau kanan. Saya gambling, mencoba yang sebelah kanan, ternyata salah. Saya kembali dengan mengambil arah sebaliknya. Kali ini ternyata benar arahnya. Dalam perjalanan ke gedung Gemeente, tiba-tiba ada yang berseru “dari Indonesia?” saya menoleh mencari sumber suara. Ternyata yang menyapa seorang bapak yang awalnya saya pikir berusia masih sekitar akhir 50 tahun. Pada akhirnya beliau sendiri yang menyebutkan kalau usianya sudah 70 tahun. Awet muda rupanya. Kami saling berkenalan, berjabat tangan dan menyebut nama masing-masing. Bapak Arthur sangat ramah, menuntun sepedanya, menjajari langkah saya sampai ke gedung. Selama perjalanan yang sangat pelan beliau bercerita banyak hal, termasuk menerangkan bahwa sudah tinggal selama 60 tahun di Belanda karena beliau berdarah campuran Nias-Belanda. Karenanya, beliau tidak terlalu lancar bahasa Indonesia. Jadi saya berbicara menggunakan bahasa Indonesia, beliau menggunakan bahasa Belanda. Entah bagaimana ceritanya, tapi kami mengerti satu sama lain apa yang dimaksudkan. Beliau menyemangati saya untuk bisa beradaptasi dengan cepat dan tidak gampang menyerah. Diakhir perbincangan, kami saling bertukar alamat email. Beliau ingin mengundang saya dan suami ke rumahnya untuk sekedar ngobrol santai saat makan malam. Katanya akan dimasakkan rendang. Saya sempat bercanda “Opa, saya tidak makan daging, kalau ada gulai kepala ikan, boleh juga” yang langsung disambut tertawa keras renyahnya. Menurut beliau, saya menyenangkan dan termasuk mandiri karena baru beberapa hari di Belanda sudah kesana sini sendiri *langsung pengen terbang karena dipuji*. Setelahnya kami saling mengucapkan salam perpisahan. Hari itu menjadi sangat menyenangkan, mengenal seseorang baru, yang tiba-tiba menyapa saya dengan ramahnya, dan membuat saya berpikir bahwa semua (mudah-mudahan akan selalu) baik-baik saja.

Dilain waktu, saya mendapati sepeda yang baru beberapa hari dibeli mengeluarkan suara aneh. Saya laporkan pada suami, berharap akan diantarkan ke tempat reparasi sepeda. Suami bilang, saya bisa pergi sendiri kesana, karena gampang dan tidak perlu didampingi. Saya kembali was-was. Jaraknya memang tidak terlalu jauh dari rumah, dan saya masih hapal rute menuju kesananya. Kembali muncul pertanyaan “bagaimana jika”. Tapi kembali saya berpikir, kalau harus menunggu suami, saya tidak bisa pergi berbelanja ke Delft karena sepeda tidak nyaman dikendarai. Kalau harus menunggu suami menemani untuk sesuatu yang bisa saya lakukan sendiri, lalu semua ikut tertunda karena dia bisanya hanya akhir pekan saja ketika libur bekerja. Lebih baik saya berangkat dan melupakan semua ketakutan. Pada akhirnya saya berangkat ke toko reparasi sepeda dan begitu sampai disana, lelaki yang melayani kami membeli sepeda mengenali saya dengan menyapa ramah “Hai Madam, an Indonesian with nice red bicycle”. Saya tersenyum lebar, kemudian mengatakan keluhan tentang sepeda. Dia melakukan pengecekan dan langsung mengerjakan. Tidak berapa lama kemudian sepeda saya sudah kembali benar, tanpa ada suara-suara yang membuat tidak nyaman untuk dikendarai. Kembali saya belajar satu hal, bahwa seringkali saya merasa terlalu ketakutan yang berlebihan. Seringkali meragukan kemampuan bahwa saya bisa melakukan sesuatu yang pada awalnya saya ragukan. Mengalahkan ketakutan diri sendiri itu tidak mudah, tetapi bukan tidak mungkin untuk dilalui. Dan setelahnya, ketika melintasi toko sepeda tersebut beberapa kali, saya bertemu kembali dengan lelaki ramah tersebut, dia selalu berseru memanggil nama saya dengan ramah “Hai Deny, an Indonesian woman”, Dennis nama lelaki itu karena disuatu kesempatan kami berkenalan satu sama lain dan berbincang sebentar dengannya.

Dalam hal urusan belanja makanan, sayuran, buah, Suami sudah mempercayakan pada saya. Karenanya saya sudah diberitahu beberapa tempat biasanya dia berbelanja. Awalnya saya juga tidak percaya diri ketika pergi berbelanja sendiri. Tapi saya sudah tidak punya alasan lagi untuk menghindar. Saya sudah punya sepeda, artinya berbelanja bukan lagi sebuah halangan. Ketika di Den Haag, sepulang dari Gemeente, saya memutuskan untuk sekalian berbelanja di Ming Kee Supermarket karena disana lengkap bumbu-bumbu Indonesia juga beberapa sayuran. Ketika saatnya membayar, wanita muda yang menjadi kasirnya mengatakan sesuatu dalam bahasa Belanda. Karena terlalu cepat, saya tidak menangkap dia berbicara apa. Hanya ada satu kata yang saya tangkap “^$^$^%#@@ Gratis(**%&$$^” Ya, kata Gratis terdengar jelas buat saya. Saya pikir apanya ya yang gratis. Saya jawab saja “Ja, ok”. Ternyata saya disuruh mengambil satu lagi jamur enoki karena kalau beli satu gratis satu. Ah, begitu rupanya. Setelah itu dia mengucapkan kalimat dengan cepat lagi, dan kembali saya mencoba menebak, mungkin disuruh memasukkan kartu. Akhirnya saya memasukkan kartu dan menekan PIN. Dia tidak berbicara lagi. Berarti tebakan saya benar. Kemudian saya berlalu, setelah mengucapkan terima kasih. Masih ada beberapa sayuran lagi yang belum saya dapatkan karena di Ming Kee tidak ada persediaan. Saya berkeliling mencari Ekoplaza. Setelah berjalan beberapa blok, akhirnya saya menemukan gedungnya. Pada saat membayar, wanita yang menjadi kasirnya berbicara sesuatu “^%%#% Bon **(%$?”. Saya hanya menangkap kata Bon. Saya menaksir yang ditanyakan adalah “Apa bonnya mau dicetak?” lalu dari hasil kira-kira tersebut saya menjawab “Nee hoor”. Rupanya jawaban kira-kira saya tadi benar, karena wanita tersebut tidak berkata apa-apa lagi. Setelah mengucapkan terima kasih, lalu saya pergi dengan senyuman. Wah, lumayan juga saya sudah mengerti beberapa hal disini, meskipun bahasa Belanda masih merangkak tidak jelas dan susah menerka apa yang dibicarakan. Intinya modal nekad saja. Bisa karena terpaksa. Bisa saja saya bilang kalau belum bisa bahasa Belanda dan berbicara menggunakan bahasa Inggris, tapi hal tersebut tidak saya lakukan karena memang niat awalnya hari itu ingin belajar berinteraksi. Ketika saya ceritakan hal ini pada suami, kami berdua sama-sama tertawa. Tentang saya yang tebak-tebak kata. Semakin memotivasi untuk segera belajar serius bahasa Belanda.

Minggu lalu, tiba-tiba saya ngiler ingin makan sambal terasi. Saya ingat kalau dulu Ibu pernah menitipkan trasi pada suami ketika dia kembali ke Belanda setelah kami menikah. Saya mulai mencari dan terus mencari ke seluruh dapur, tapi tidak kunjung ketemu. Wah, ditaruh dimana ya terasinya pikir saya. Dan saya tidak mungkin berkirim pesan ke dia yang sedang kerja hanya sekedar ingin menanyakan terasi. Padahal terasi itu enak sekali, diberi oleh teman ibu asli dari Lombok. Saya memutuskan untuk menggoreng saja karena ada terasi 1kg yang saya bawa ketika 2 minggu lalu berangkat ke Belanda. Tapi masih dalam keadaan mentah, belum digoreng atau dikukus. Tapi saya juga khawatir bagaimana cara menggoreng terasi yang aman disini tanpa harus mengganggu tetangga sekitar dengan baunya yang menggelegar. Saya ingat cerita teman yang tinggal di Jepang. Awal dia pindah, saat menggoreng terasi, tiba-tiba pintu rumahnya ada yang mengetuk. Nampak 2 polisi berdiri disana karena mendapat laporan dari tetangganya kalau ada bau bangkai keluar dari rumah teman saya itu. Tetangga tersebut khawatir ada sesuatu yang terjadi, sehingga lapor pada polisi. Pada saat teman saya bercerita, dia tertawa terbahak-bahak. Tidak mengira bahwa terasi akan berbuntut pada polisi. Lain lagi cerita seorang teman yang tinggal di Adelaide. Pada saat menggoreng terasi, pintu rumahnya digedor kencang, setelah dibuka ternyata tetangganya sangat tidak suka dengan bau yang datang dari rumah teman saya. Pada akhirnya teman saya meminta maaf dan mencoba mengirim hasil masakannya yang menggunakan terasi. Tetangga tersebut menyukai masakan teman saya, dan terasi yang menjadi biang keladinya, dan pada akhirnya mereka menjadi akrab. Teman saya bilang bahwa tidak seharusnya dia mengusik kenyamanana orang lain diatas kesenangannya akan terasi.

Berkaca dari pengalaman teman-teman tersebut, saya akhirnya menggoreng terasi dengan api kecil sekali, wajan ditutup, semua blower dinyalakan, semua jendela saya tutup. Setengah jam setelah menggoreng, tidak terjadi apa-apa, artinya aman. Baru saya tenang. Tapi ketika suami datang, dia mencium bau terasi di seantero rumah “Terasi, honey?” saya tertawa. Mungkin saya aman dari protes tetangga, tapi suami tak bisa diperdaya. Toleransi itu mudah sebenarnya, mencoba menempatkan posisi kita pada posisi orang lain. Kalau di Indonesia ketika menggoreng terasi seluruh kampung bisa mencium baunya, tapi disini saya tidak bisa berlaku yang sama. Tidak semua orang akan suka apa yang saya lakukan, jadi sebisa mungkin menjaga tingkah laku sebagai orang baru.

Begitulah cerita panjang saya tentang proses adaptasi disini. Tidak mudah dan akan berlangsung panjang. Tapi saya sangat senang malakukan itu semua. Mempelajari hal baru pasti akan menimbulkan rasa penasaran dan antuasias yang tinggi. Semoga semuanya tetap berjalan lancar sesuai harapan. Pelan tapi pasti.

Selamat hari Jumat, selamat berakhir pekan dengan Keluarga, Teman, dan Orang-orang tersayang. Semoga selalu ada cerita seru diakhir pekan teman-teman.

-Den Haag, 13 Februari 2015-

Trasi sebotol kecil yng menggorengnya dengan penuh perjuangan. Yang ada sekarang dieman-eman :D
Trasi sebotol kecil yang menggorengnya dengan penuh perjuangan. Yang ada sekarang disayang-sayang 😀