Terjebak Macet

Saya menjadi teringat cerita tentang terjebak kemacetan lalu lintas Jakarta karena pembicaraan dengan Anggi dan Dani di twitter. Saya terkagum dengan diri sendiri betapa pernah survive selama 6 tahun diantara hingar bingar jalanan Ibukota. Tentang cerita terjebak macet, saya mempunyai beberapa versi yang akan terus diingat sampai kapanpun. Bukan hanya karena tempat dan kejadian perkara tetapi waktu yang luar biasa lama yang mengakibatkan membengkaknya argo taksi.

Iya, ketika bekerja di Jakarta selama 6 tahun pada satu perusahaan yang sama, untuk urusan kantor kemana-mana saya menggunakan taksi biru. Harusnya saya menggunakan mobil karena memang untuk departemen marketing pada posisi tertentu disediakan mobil oleh kantor dan setelah 5 tahun akan menjadi milik pribadi. Tetapi karena tidak bisa menyetir, dan trauma berkendara setelah kecelakaan naik sepeda motor di Surabaya, akhirnya saya minta dialihkan naik taksi saja. Marketing memang kerjanya kesana kemari apalagi kalau ada event produk baru ataupun iklan baru, maka dapat dipastikan aktifitas dilapangan lebih meningkat. Walhasil saya sangat akrab dengan lalu lintas Jakarta.

Sekitar tahun 2007 atau 2008 (saya lupa pastinya) ketika banjir mengepung Jakarta, pada saat itu saya sedang ada meeting dengan salah satu agensi riset di Menara Jamsostek Gatot Subroto. Sejak pagi sebenarnya sudah hujan. Tetapi saya tidak menyangka kalau tengah hari sampai menjelang sore hujan semakin lebat. Sekitar jam 5 sore, hujan lebat dan petir semakin menjadi. Saya naik taksi pulang dan menurut sopir taksi jalanan menuju Rawamangun (tempat kos saya) macet parah. Saya bilang tidak masalah yang penting saya pulang, capek ingin segera tidur karena selama 2 hari berturut harus begadang mengerjakan materi riset ke luar kota. Kebiasaan saya kalau naik kendaraan umum, entah itu taksi atau metromini, bemo atau kopaja sekalipun selalu tertidur nyenyak. Jadi saya sudah sangat percaya diri berpesan pada bapak sopir untuk membangunkan saya kalau sudah keluar dari tol rawamangun. Kemudian saya tertidur begitu taksi keluar dari Menara Jamsostek. Rasanya saya sudah tertidur sekian lama sampai terbangun dan bertanya sudah sampai mana. Dengan tenang beliau menjawab “itu Menara Jamsosteknya masih kelihatan dibelakang, Bu.” Wah, saya terkejut. Lalu melihat arloji, ternyata sudah satu jam saya tertidur dan taksi ini masih berjalan beberapa puluh meter dari menara jamsostek. Dua jam berlalu. Tiga jam berlalu. Entah sudah berapa episode tidur-bangun-tidur-bangun lagi dari ngobrol berbagai hal dengan bapak sopir sampai kami capek sendiri berbincang-bincang. Dan saya dengan selamat sampai kos, total perjalanan sekitar 4.5 jam. Normalnya sih hanya 45 menit. Tetapi 4 jam terjebak macet tidak bisa kemana-mana, tidak ada pilihan naik ojek karena ojekpun tidak nampak terlihat, jadi pengalaman super “indah” akan kota Jakarta. Berapa saya harus bayar taksi? jangan ditanya, yang pasti bagian keuangan dikantor juga ikut terbelalak.

Disuatu waktu ketika saya sedang tugas ke Surabaya, tiba-tiba bapak bos menelepon. Saya diharuskan pulang pada hari itu juga padahal berdasarkan jadwal pesawat baru keesokan hari kembali ke Jakarta. Saya harus pulang pada hari itu karena esok hari harus hadir di meeting. Sesampainya di Soetta sudah malam, tetapi saya harus langsung ke kantor menyelesaikan materi presentasi dengan bos. Setengah jam menunggu taksi biru tapi armada sedang kosong. Bos menelepon untuk menggunakan taksi seadanya saja asalkan cepat sampai kantor. Saya bilang kalau taksi yang ada dan terdekat adalah burung silver. Beliau mengiyakan dan saya riang gembira tentunya, kapan lagi bisa naik taksi mahal itu. Kesempatan pikir saya. Setelah masuk tol, tiba-tiba taksi berhenti, katanya macet. Saya tertidur dengan harapan ketika terbangun sudah sampai di Talavera TB Simatupang, letak kantor pusat (karena kantor untuk bagian marketing ada di Pulo Gadung). Dan ketika terbangun, ternyata masih juga dijalan tol. Sedangkan bos sudah senewen menelepon berkali-kali. Saya katakan kalau sedang macet parah sudah satu jam tidak bergerak sama sekali. Sedangkan saya juga senewen karena kebelet pipis, bencana ditengah jalan tol terjebak macet. Singkat cerita, saya sampai kantor hampir jam 12 malam dengan total perjalanan 3 jam. Normalnya tidak sampai satu jam. Dan ternyata penyebab kemacetan adalah ada kecelakaan. Biaya taksinya kembali membuat bagian keuangan hanya geleng-geleng kepala.

Jalan dari Talavera masuk jalan tol menuju arah Rawamangun juga dipastikan macet total kalau jam pulang kantor. Kenapa saya tidak nongkrong-nongkrong cantik minum kopi atau lainnya untuk menunggu macet reda? Sesekali memang saya lakukan, tapi seringkali saya langsung pulang. Sudah terlalu kebanyakan nongkrong dengan agensi iklan kalau sedang meeting.

Pada saat suami berkunjung ke Jakarta tahun kemarin, saya ajak dia ke TMII. Dan setelah dari sana kami berencana mengunjungi keluarga adik ibu yang ada di Bekasi. Pulangnya kami naik angkot yang kecil. Macetnya parah. Kami sampai salah tingkah didalam kendaraan. Mati gaya. Akhirnya setelah 2 jam terjebak macet, kami putuskan untuk naik ojek saja menuju Bekasi. Tidak hanya itu, berkali-kali kami juga terjebak macet ketika menghabisakan waktu 5 hari di Jakarta. Dan Suami semakin heran ketika jam 5 pagi kami melewati tol dari Bekasi menuju Jakarta, mobil-mobil sudah “parkir” rapi di dalam jalan tol. Bayangkan saja, jam 5 pagi. Suami sampai geleng kepala tidak habis pikir, namanya jalan bebas hambatan tapi hambatan dimana-mana. Awalnya suami berencana ingin tinggal di Jakarta-nantinya-, memutuskan untuk mencari kota lain saja. Dia tidak tahan kalau setiap saat harus berdamai dengan kemacetan.

Been there.
Been there.

Saya baru mengenal macet dalam arti yang sebenarnya ketika tinggal di Jakarta dan beberapa kali kunjungan ke Bandung. Karena sebelumnya kota yang saya tinggali yaitu Surabaya, Situbondo dan Jember tentu saja tidak ada macet. Bahkan ketika tahun 2012 saya kembali lagi ke Surabaya, lalu lintasnya memang semakin padat dari 6 tahun sebelumnya ketika saya meninggalkan Surabaya, tetapi tidak sampai macet parah. Di Den Haag tentu saja saya tidak pernah lagi merasakan macet. Beberapa kali memang ada pada situasi ketika kendaraan jalannya merambat, tetapi tidak sampai berhenti total berjam-jam. Kalau Suami sudah mulai ngomel-ngomel dengan kendaraan yang jalan perlahan, saya selalu bilang “sudah ga usah ngomel-ngomel, ga ingat macet di Jakarta seperti apa?”

Itu beberapa pengalaman saya tentang terjebak kemacetan di Jakarta, dari sekian banyak pengalaman terjebak macet selama 6 tahun tinggal disana. Jalanan Jakarta penuh jebakan batman, maju mundur cantik kena semua :p. Kadang saya heran, betah juga ya 6 tahun diantara huru hara jalanan Jakarta. Jangan salah, seringkali saya rindu dengan kota itu. Banyak cerita indah disana. Banyak pengalaman tak terlupakan tentang pekerjaan, hubungan pertemanan, hubungan kerja sampai hubungan asmara :D. Semoga kedepannya Jakarta akan jauh lebih baik berbenah diri, terutama lalu lintasnya.

Punya cerita seru juga tentang terjebak kemacetan?

Selamat berakhir pekan, semoga akhir pekannya menyenangkan dan tidak terjebak dalam kemacetan

Info selipan. Pak Ahok akan datang ke Rotterdam 19-23 September 2015. Entah kenapa saya senaaang sekali. Sebagai pengagum berat beliau, berharap mudah-mudahan papasan dijalan (ya mungkin saja beliaunya lagi pengen nyobain makan direstaurant Indonesia di Den Haag-ngarep banget :D)

-Den Haag, 17 September 2015-

Foto dipinjam dari edorusyanto.wordpress.com.