Tentang Frankfurt Book Fair 2015

Frankfurt Book Fair (FBF) adalah pameran buku terbesar dan tertua didunia, lebih dari 500 tahun usianya. Dikutip dari website resminya, tentang sejarah awal FBF :

The history of the Frankfurt Book Fair dates back to the 15th century, when Johannes Gutenberg first invented movable type – only a few kilometers down the road from Frankfurt. Frankfurt remained the central and undisputed European book fair city through to the 17th century. In the course of political and cultural upheaval, in the 18th century Leipzig then came to play the part. In 1949, that early Frankfurt book fair tradition was given a new lease of life: 205 German exhibitors assembled on Sept. 18-23 in Frankfurt’s Paulskirche for the first post-War book fair. More than 60 trade-fair years later, the Frankfurt Book Fair is the largest of its kind in the world – and the hallmark for global activities in the field of culture.

Frankfurt Book Fair adalah tempat bertemunya pelaku industri buku, media, pemegang hak cipta yang datang dari seluruh penjuru dunia. Acara ini digelar setiap tahun pada pertengahan bulan oktober. Jadi pada saat tersebut akan ada banyak sekali penulis buku, penerbit, penjual buku, agen bahkan produser film yang bertemu untuk menciptakan sesuatu yang baru. Partisipannya sebanyak 132 negara dengan jumlah pengunjung mencapai ratusan ribu orang. Hal lain yang tidak kalah menariknya adalah setiap tahun selalu ada tamu kehormatan. Pada tahun 2015 ini Indonesia menjadi tamu kehormatan. FBF tahun ini dilaksanakan pada tanggal 14-18 Oktober 2015.

Sekitar 7 atau 8 tahun lalu saya selalu memimpikan untuk bisa pergi ke acara ini. Saya rajin memupuk mimpi tersebut. Setiap tahun saya selalu membaca liputannya. Saya selalu mempunyai harapan besar bahwa suatu saat mimpi tersebut akan terwujud. Alasannya sederhana, karena saya cinta buku. Saya suka aroma kertasnya, saya suka sensasi ketika membalik halamannya dan yang terpenting adalah saya cinta membaca buku. Bersyukur tahun 2015 ini salah satu harapan saya (diantara banyak sekali mimpi) bisa menjadi nyata bertepatan dengan Indonesia menjadi tamu kehormatan. Dan yang membuat saya semakin semangat adalah saya ingin bertemu beberapa penulis yang saya idolakan sejak buku pertama mereka terbit, bahkan satu penulis sudah saya idolakan sejak dia menjadi penyanyi. Jadi bisa dibayangkan betapa girangnya saya. Kami berangkat dari Den Haag jam 3 dini hari berkendara selama 6 jam dengan berhenti 2 kali karena suami tidur sebentar dan setelahnya mencari tempat sarapan. Keluar dari parkiran mobil, sudah ada bis yang disediakan untuk antar jemput dari dan ke gedung FBF. Tepat jam 10 pagi pada 17 Oktober 2015 saya menginjakkan kaki pertama kali dalam area FBF. Suami selalu memegangi tangan saya ketika kami sedang berjalan, bukan karena supaya tampak mesra, tetapi karena saya selalu berjalan cepat kesana kemari karena terlalu antusias dan suasana saat itu memang sedang ramai sekali.

Akhirnya kesampaian juga kesini
Akhirnya kesampaian juga kesini

FBF dibuka untuk umum hanya pada 2 hari terakhir yaitu 17 dan 18 Oktober 2015. Area FBF sendiri dibagi menjadi 5 gedung utama. Untuk detailnya bisa dilihat pada foto dibawah ini. Ukuran masing-masing gedung atau hall tersebut sangat luas sekali. Kalau ada yang pernah masuk ke Graha ITS Surabaya, maka gedung-gedung tersebut lebih luas dibandingkan Graha ITS Surabaya, per lantainya. Bayangkan saja seperti hall 6 yang mempunyai 4 lantai, mengitari setiap lantai pada semua gedung membutuhkan tenaga ekstra, termasuk kaki yang kuat. Karenanya, alas kaki yang nyaman sangat dibutuhkan untuk berkeliling. Yang menyenangkan adalah jika kita ingin menuju hall-hall yang lain, tidak harus keluar gedung karena setiap hall terhubung satu sama lain disetiap lantai. Karena Indonesia sebagai tamu kehormatan, maka Indonesia menempati paviliun lantai 1 (F1) sebagai pusat acara dan hall 4.0 serta 4.1 untuk sesi talkshow dan tempat beberapa penerbit.

Denah FBF 2015
Denah FBF 2015
Disalah satu sudut hall.
Disalah satu sudut hall.
Salah satu hall.
Salah satu hall.
Disalah satu lorong ditengah hall. Iya, ini masih tengahnya.
Disepertiga lorong pada salah satu lantai hall. Iya, ini masih sepertiganya.

Indonesia Sebagai Tamu Kehormatan

Akhirnya pada tahun 2015 ini Indonesia menjadi tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair. Menjadi tamu kehormatan pada acara yang yang berusia lebih dari 500 tahun tersebut merupakan kesempatan berharga. Menurut Pak Anies Baswedan dalam pidatonya bahwa kesempatan berharga ini bukan hanya untuk memperkenalkan Indonesia tetapi juga mengajak Eropa melakukan percakapan lintas budaya yang lebih luas. Mengusung tema Islands of Imagination, Muhamad Thamrin sebagai Arsitek yang dipercaya untuk menggarap area paviliun tersebut menjadi area yang penuh desain cantik. Dalam paviliun tersebut terdapat tujuh pulau yang masing-masing memiliki unsur budaya di Indonesia. Pulau-pulau tersebut adalah : Island of Scenes, Island of Spices, Islands of Illumination, Island of Inquiry, Island of Tales, Island of Images, dan Island of Images.

image9

image10

Masing-masing pulau menyajikan Indonesia dalam cara yang berbeda. Island of Spices yang mengajak pengunjung untuk berpetualang dan mengenal keragaman Indonesia melalui rempah dan kekayaan kulinernya. Island of Scenes menampilkan Indonesia dari sisi pentas dan pertunjukan budaya. Island of Illumination menampilkan naskah dan manuskrip kuno yang menjadikan awal sastra yang ada saat ini. Island of Inquiry menampilkan sains dan kebudayaan Indonesia dalam bentuk digital. Islands of Tales memberikan nuansa berbeda yaitu memperlihatkan negeri dongeng Nusantara dengan suara dan proyeksi gambar bergerak. Pada bagian Island of Words diperuntukkan bagi para peminat kartun, cerita bergambar, novel grafis dan animasi. Sedangkan bagian yang terakhir adalah Island of Words menampilkan beragam buku karya penulis Indonesia dengan visual dan konten yang menarik.

image19

Sejak saat persiapan sampai hari terakhir acara, perkembangan dan beritanya bisa diikuti langsung melalui website resmi Islands of Imagination, akun Facebook Pulau Imaji dan akun twitter @pulauimaji. Kuliner Indonesia juga berjaya disini. Tidak hanya masakan saja yang disajikan, tetapi rempah Indonesia juga diperkenalkan pada pengunjung. Saya melihat ada beberapa pengunjung tidak hanya mencium rempah-rempah tersebut, tetapi juga mencicipinya. 25 chef sampai didatangkan langsung dari Indonesia seperti William Wongso sebagai ketua kulinernya, Bondan Winarno, Sisca Soewitomo, Barra Pattiradjawane, dan masih banyak yang lainnya. Menu yang disajikan dikantin Indonesia adalah gado-gado (6.5 euro), sayur kapau (9.5 euro), asinan Jakarta (5.9 euro), ayam rica-rica (9.5 euro), dan dessert klappertart (lupa harganya berapa). Sejak sebelum jam makan siang, antrian sudah panjang. Selain demo memasak, juga dibuka kelas memasak yang diikuti oleh pelajar dan anak muda. Kelas memasak ini salah satu contohnya adalah mengajarkan cara membuat kolak pisang dan pepes ikan. Dari situs CNN Indonesia, disebutkan bahwa peserta sangat antusias.

Rempah Indonesia
Rempah Indonesia
Sesi pengenalan rempah
Sesi pengenalan rempah (@pulauimaji)
Antrian mengular pada saat makan siang
Antrian mengular pada saat makan siang

 

Pojok minuman
Pojok minuman
Sayur Kapau
Sayur Kapau
Gado-gado
Gado-gado

Apa Yang Kami Lakukan

Awal datang, saya langsung menuju hall terdekat yaitu hall 4. Bersyukurnya langsung menemukan stand Gramedia yang sedang mengetengahkan talkshow tentang buku anak-anak. Setelah puas berkeliling di hall 4.0 dan 4.1 kami langsung menuju Paviliun yang ternyata sedang berlangsung sesi Leila S.Chudori dan Laksmi Pamuntjak tentang buku mereka masing-masing yaitu Amba dan Pulang. Karena saya datangnya telat, jadi mendapat tempat dibelakang para pembicara, karena penuh dengan penonton. Diantara penonton saya melihat Taufik Ismail dan Bapak BJ Habibie. Setelah sesi mereka selesai, kami langsung menuju kantin. Kami memesan sayur kapau dan gado-gado (suami ini selalu yang dipesan dimana-mana kalau tidak soto ayam ya gado-gado). Sekitar jam 1 kami bergegas menuju hall 4.3, berputar sebentar dan sebelum jam 2 saya sudah duduk manis menunggu sesi Dewi Lestari dan Ika Natassa jam 2 siang di stand nasional.

Sesi Laksmi Pamuntjak dan Leila S.Chudori (@pulauimaji)
Sesi Laksmi Pamuntjak dan Leila S.Chudori (@pulauimaji)
Sesi Dewi Lestari dan Ika Natassa. Penuh.
Sesi Dewi Lestari dan Ika Natassa. Penuh.

Sejak Dewi Lestari menjadi penyanyi, saya sudah mengidolakan dia. Lagu ciptaannya yang berjudul Satu Bintang di Langit Kelam menjadi salah satu lagu favorit sampai saat ini. Dan ketika dia mengeluarkan buku pertamanya yang berjudul Supernova : Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh (2001) bisa ditebak setelahnya saya selalu membeli karya-karyanya, lengkap sampai Gelombang. Saya mengagumi setiap karakter yang dia ciptakan, cara dia membawa pembaca untuk hanyut dalam setiap cerita yang dia tulisakan. Pada buku Perahu Kertas, saya sampai tersedu sedan ketika membacanya. Jadi, salah satu mimpi saya sejak lama juga adalah bisa bertemu langsung dengan Dewi Lestari, berbincang sebentar, meminta tanda tangan dibukunya, dan foto bersama. Jadi ketika tahu Dewi Lestari akan ada sesi dihari sabtu bersama Ika Natassa yang bertema “Woman and The City” saya tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Selama 30 menit saya mendengarkan dengan anteng talkshow dalam bahasa inggris tersebut. Sampai sesi tanya jawab, saya langsung mengacungkan tangan, padahal pada saat itu saya belum tahu apa yang akan ditanyakan (kebiasaan!!). Pikir saya, mumpung ada kesempatan. Dan saat itu saya satu-satunya orang yang mengacungkan tangan. Inilah yang direkam suami ketika saya bertanya (bagian saya bertanya dipotong supaya tidak terlalu panjang).

Dan pada akhirnya saya bisa mewujudkan impian. Meminta tanda tangan, berbincang sebentar dan berfoto bersama Dewi Lestari. Bahagia luar biasa dan tidak terkira rasanya.

Akhirnya kesampaian juga foto bersama
Akhirnya kesampaian juga foto bersama

Misi selanjutnya adalah menemui penulis idola yang kedua, yaitu Andrea Hirata. Saya menyukai bukunya sejak Laskar Pelangi. Buku dan film Laskar Pelangi sukses membuat saya menangis sekaligus semakin yakin akan kekuatan mimpi, doa dan kegigihan dalam mewujudkan mimpi kita. Sejak saat itu saya semakin berani untuk bermimpi dan berusaha keras serta cerdas untuk mewujudkan setiap mimpi tersebut. Rasanya masih tidak percaya juga bisa meminta tandatangan pada buku terbaru Andrea Hirata yang berjudul Ayah. Terus terang saya belum membaca Ayah sama sekali karena baru mendapatkan buku tersebut dari seorang teman yang ke Den Haag 2 hari sebelum saya berangkat ke Frankfurt. Beruntung, pikir saya.

Andrea Hirata dan buku Ayah yang ditandatanganinya
Andrea Hirata dan buku Ayah yang ditandatanganinya

Beberapa waktu sebelum berangkat ke FBF, saya sudah membuat janji dengan Fe dan Mindy untuk bertemu. Tetapi saya tidak punya akses internet selama di Frankfurt, jadi agak merasa kesusahan awalnya harus menemui mereka dimana ketika sudah sampai dilokasi FBF. Akhirnya kami bertemu secara tidak sengaja di Paviliun ketika melihat sesi Leila S. Chudori dan Laksmi Pamuntjak. Akhirnya bertemu juga dengan mereka. Saya mengenal Fe karena follow blognya cerita4musim dan membaca tulisan-tulisannya di jalan2liburan. Kalau Mindy saya mengenal dari grup whatsapp Instagram yang anggotanya semua bermukim di Eropa, bernama KompakersEropa. Mereka berdua adalah dua diantara enam orang penulis buku Menghirup Dunia. Selain ingin kopdaran dengan mereka, tentu saja juga ingin meminta tanda tangan mereka dibuku Menghirup Dunia saya. Senang rasanya akhirnya bertemu dua orang yang selama ini hanya dikenal melalui dunia maya. Mindy dan Fe sangat ramah.

Bersama Fe dan Mindy dalam sesi tandatangan buku Menghirup Dunia. Terima kasih buat suami Fe yang meminjamkan punggungnya :)
Bersama Fe dan Mindy dalam sesi tandatangan buku Menghirup Dunia. Terima kasih buat suami Fe yang meminjamkan punggungnya 🙂

Selain sesi kopdaran dengan mereka, saya juga membuat janji untuk bertemu dengan anggota KompakersEropa yang lain yaitu Beth. Akhirnya berjumpa juga dengan Ibu yang jago fotografi ini. Beth supel sekali orangnya. Saya langsung merasa nyaman berbincang meskipun sebentar sekali dengan dia. Sebenarnya saya juga membuat janji dengan anggota KompakersEropa yang lain pada minggu pagi, tetapi terpaksa saya membatalkan karena kondisi yang tidak memungkinkan.

Bersama Beth dan Mindy
Bersama Beth dan Mindy

Bagaimana rasanya setelah datang ke FBF 2015? Bahagia tidak terkatakan. Satu mimpi saya akhirnya terwujud dan mendapat bonus bertemu langsung dengan penulis idola, melihat secara langsung banyak penulis dan pekerja seni yang hadir disana, bertatap muka dengan orang-orang ternama tanah air, juga kopdar dengan beberapa orang yang selama ini tahunya hanya dari dunia maya saja. Frankfurt Book Fair ini semacam surga dunia buat saya karena melihat buku dimana-mana. Walaupun kaki saya pegal sekali pada malam harinya karena seharian berjalan menyusuri setiap lantai setiap hall, tetapi kegembiraan sedikit mengurangi rasa capek tersebut. Ya hitung-hitung latihan tawaf. Rasanya ingin mengikuti semua acara disana termasuk melihat suguhan tarian Indonesia pada saat happy hour di Paviliun, tetapi badan saya dan suami ingin segera diistirahatkan. Satu hari memang tidak cukup untuk mengitari semua hall. Dua hari memang waktu yang ideal.

Apakah saya memborong buku disana? Niat awalnya memang ingin berbelanja buku sebanyak-banyaknya. Tapi apa daya buku dijual hanya pada hari terakhir. Tetapi sore hari Gramedia mengadakan obral buku dengan judul yang sudah ditentukan. Akhirnya saya membeli beberapa buku yang menarik disana.

Beberapa stand buku lainnya

image15 image17 image18

Pengalaman yang tidak akan terlupakan. Untuk tahun depan tamu kehormatannya adalah Belanda dan Belgia. Tahun depan giliran suami yang antusias datang. Secara keseluruhan saya merasa terharu dan bangga dengan tampilnya Indonesia sebagai tamu kehormatan di FBF ini. Melihat dan merasa dekat dengan Indonesia ketika saya sedang jauh dari Indonesia. Angkat topi kepada Goenawan Mohammad selaku Ketua Komite Nasional Pelaksana serta sekitar 80 penulis dan total 300 orang budayawan maupun seniman yang berkumpul dan mensukseskan peran Indonesia sebagai guest of honor pada acara bergengsi tersebut. Meskipun banyak kritik disana sini tentang tidak sempurnanya Indonesia sejak tahap persiapan yang super mepet sampai pada acara berakhir, tetapi langkah awal ini membawa optimisme tersendiri akan Indonesia dan Industri buku Indonesia dimata Internasional. Bukankah perjalanan panjang dan besar selalu diawali dengan langkah yang kecil. Jika tidak dimulai saat ini, maka tidak akan pernah tampak juga perubahaan besarnya dikemudian hari.

-Den Haag, 20 oktober 2015-

Semua foto adalah dokumentasi pribadi kecuali yang menyertakan sumbernya langsung pada bagian bawah foto.

JFC – Jember Fashion Carnaval 2013

Pada tanggal 26-30 Agustus 2015 lalu diselenggarakan karnaval berkelas Internasional di Jember. Acara ini digelar setiap tahun semenjak 14 tahun yang lalu. Jember Fashion Carnaval (JFC) adalah karnaval yang menampilkan karya kreatif anak bangsa di catwalk sepanjang kurang lebih 3.6km pada jalan utama di Jember dan diklaim sebagai catwalk terpanjang didunia. Tema yang diusung oleh JFC berbeda setiap tahun. Pada tahun 2015 JFC mengusung tema Outframe Artwear Carnival yang dibagi menjadi 10 defile yaitu Majapahit, Ikebana, Fossil, Parrot, Circle, Pegasus, Lionfish, Egypt, Melanesia dan Reog. JFC gaungnya sudah sampai mancanegara sehingga setiap tahun acara ini diliput tidak hanya oleh media dalam negeri tetapi juga melibatkan media luar negeri. Tidak hanya ratusan ribu penonton, ribuan media, fotografer, dan observer hadir menyaksikan kemegahan JFC. Karena JFC, Jember mempunyai sebutan baru sebagai  “The World Fashion Carnival City,” dimana sebelumnya Jember dikenal hanya sebagai kota tembakau.

Pencetus berdirinya JFC ini adalah Dynand Fariz, seorang pendidik dibidang fashion yang merupakan warga Jember dan menempuh pendidikan terakhirnya di Paris. Dynand Fariz mempunyai rumah mode yang bernama House of Dynand Fariz yang terletak dikota Jember. Keinginan Fariz untuk memperkenalkan Jember ke dunia Internasional nampaknya berhasil. Jember yang dulunya dikenal sebagai kota kecil, sekarang Jember mampu menarik perhatian dunia fashion, baik nasional maupun Internasional.

Sepanjang 3.6 km memakai wedges JFC
Sepanjang 3.6 km memakai wedges JFC
Ini pasti berat sekali, sampai memakai roda
Ini pasti berat sekali, sampai memakai roda
Keren ya
Keren ya

Saya berkesampatan menyaksikan JFC pada tahun 2013. Pada saat itu JFC mengusung tema Artechsion yang merupakan kependekan dari Art-Technology-Illusion. Sebagai seseorang yang lahir di Jember, keluarga besar dari Bapak juga sampai sekarang tinggal disana, dan disana adalah rumah kedua bagi kami sekeluarga, rasanya malu hati kalau sampai tidak menyempatkan diri melihat acara Internasional ini. Tidak dapat dipungkiri, menyaksikan JFC dari pinggir jalan membutuhkan perjuangan ekstra karena harus bersaing dengan beribu orang untuk mendapatkan tempat strategis paling depan guna melihat secara jelas peserta yang tampil di catwalk.

DSC_8721

Kurungan ayampun ada
Kurungan ayampun ada

DSC_8748

Pada saat itu saya bersama adik harus berpanas ria dan berdesakan, merangsek sampai barisan terdepan dipinggir jalan dekat alun-alun Jember tempat dimulainya JFC. Sebenarnya bisa saja tidak harus berdesakan dengan cara membeli tiket sehingga bisa menikmati jalannya JFC ditempat yang lebih nyaman. Tetapi tiket JFC ini cepat sekali habis terjual dalam waktu yang tidak lama sejak diumumkan di website mereka.

Penuh dengan pigura
Penuh dengan pigura

DSC_8691_1

DSC_8707

Mereka yang menggunakan kostum ini bukanlah model professional melainkan anak-anak yang kebanyakan direkrut dari pelajar sekitar kota Jember sampai ke desa-desa. Terbayang kan bagaimana rasanya menggunakan kostum yang super kreatif, berjalan sepanjang 3.6km dibawah matahari yang terik dan hawa yang super panas. Biasanya JFC ini dimulai sekitar pukul 1 siang dan berakhir sekitar pukul 6 malam

Jadi bagaimana, tertarik untuk menyaksikan kemegahan JFC? Jangan sampai terlewat jadwalnya untuk tahun depan. Yuk datang ke Jember dan kunjungi karnaval yang menampilkan karya anak bangsa serta gaungnya sudah diakui didunia Internasional. Dengan datang ke Jember, selain bisa menyaksikan JFC, juga dapat mengunjungi Pantai Papuma. Saya pernah menuliskan tentang keindahan Pantai Papuma sebelumnya. Tentu saja saya bangga sebagai orang Jember :).

DSC_8676

-Den Haag, 30 Agustus 2015-

Semua foto adalah dokumentasi pribadi yang diambil menggunakan kamera Hp

International Fireworks Festival 2015 – Scheveningen Den Haag

International Fireworks Festival atau dalam bahasa Belanda adalah Internationaal Vuurwerk Festival merupakan kompetisi Internasional kembang api tahunan yang diselenggarakan setiap musim panas di pantai Scheveningen, Den Haag. Tahun ini sudah memasuki pelaksanaan yang ke 36. Peserta tahun ini dari negara Polandia, Italia, Jerman, Belanda, China, Korea, Jepang, dan Spanyol. Pelaksanaannya bertahap yaitu pada tanggal 14, 15, 21, dan 22 Agustus 2015, dua peserta dalam satu hari. Karena ini adalah kompetisi Internasional, maka ada juri yang memberikan penilaian. Selama sekitar 15 menit masing-masing negara akan unjuk kehebatan dimana 80% dari kembang api yang dibawa diproduksi dinegara masing-masing. Pada tahun ini pemenangnya adalah Spanyol, Belanda, dan Italia masing-masing secara berurutan nomer 1, 2, dan 3. Menurut berita di Telegraaf.nl total pengunjung sejak hari pertama diperkirakan sekitar 400.000 orang. Untuk lebih lengkapnya tentang festival ini, dapat dikunjungi pada website resmi mereka.

Sejak kecil saya senang melihat pertunjukan kembang api. Di Situbondo selalu ada setahun sekali, meskipun tidak besar-besaran karena kembang api sangat mahal harganya. Karenanya, ketika tahu ada festival kembang api di Scheveningen, sejak jauh hari saya sudah berunding dengan suami kapan akan melihatnya. Akhirnya disepakati kami akan melihat dihari terakhir. Dan sejak jauh hari juga saya sangat berharap cuaca akan cerah diakhir pekan, karena selama seminggu menjelang festival, hujan mengguyur Belanda tanpa henti. Kami sudah menduga sejak awal kalau acara ini pasti dipadati penonton karena jika cuaca cerah, pantai pasti penuh, selain itu acara ini gratis. Karenanya, kami memutuskan untuk naik sepeda saja ke Scheveningen supaya pulangnya lebih leluasa dan tidak terjebak macet. Dengan tempo bersepeda saya yang sedang-sedang saja, kami membutuhkan waktu 2 jam PP. Benar saja, ketika kami sampai disana sekitar jam 6 petang, pantainya sudah sangat penuh dengan orang-orang yang berjemur ataupun melakukan aktifitas dipantai lainnya. Untuk menunggu sampai jam 21:45 dimana pertunjukan pertama baru dimulai, kami berjalan bergandengan tangan menyusuri pantai.

Ramai
Ramai

Kami naik ke tower yang memang disediakan khusus untuk aktivitas Bungee dari ketinggian 60 meter. Antriannya panjang sekali. Satu kali lompat 70 euro. Bisa juga lompat bersama 2 orang. Saya yang memang tidak berani dengan aktifitas ini, hanya menjadi pengamat saja dari atas. Suami sebenarnya tertarik, tapi melihat antriannya, dia jadi mengurungkan niat. Dan saya bilang, mending nanti saja kalau ke Bali. Tempatnya lebih bagus karena diatas tebing. Saya suka mengamati tingkah orang-orang yang sedang berbungee ria. Ada satu yang menarik perhatian saya. Mereka naik ke mesin penggereknya berdua. Satu orang ini sejak awal seperti sedang merekam pakai Hp. Mungkin mereka sedang live di Periscope, ujar saya ke suami. Nah, saat teman satunya loncat, yang diatas dengan sigap menjulurkan Hpnya. Saya khawatir yang diatas ini karena terlalu antusiasnya ikut loncat juga 😀 atau tiba-tiba angin kencang trus Hpnya nyemplung laut. Tapi secara keseluruhan, selama orang-orang ini loncat tidak ada teriakan sama sekali. Kan ga seru ya kalau tidak teriak-teriak heboh. Saya tidak tahu apa memang merekanya yang tidak suka teriak-teriak heboh, atau memang ada aturan tidak boleh teriak, atau kata Febi di IG mereka sudah terlanjur pingsan duluan *ngikik *padahal kalau saya yang disana mungkin memang akan pingsan karena tidak berani.

IMG_4185

Cihuyy ya. Ngeri-ngeri sedap lihatnya. Pose dulu dong sebelum menukik. Demi eksistensi :D Untung yang diatas ga ikutan heboh. Ngeri juga Hpnya takut nyemplung :D
Cihuyy ya. Ngeri-ngeri sedap lihatnya. Pose dulu dong sebelum menukik. Demi eksistensi 😀 Untung yang diatas ga ikutan heboh. Ngeri juga Hpnya takut nyemplung 😀

Setelah bosan berkeliling, lalu kami mencari tempat strategis dibibir pantai. Saya yang memang dari awal niat piknik, sudah membawa tikar, buku bacaan, minuman, dan bekal. Semakin malam, semakin banyak yang datang. Sekitar pukul 21.30 saya melihat kapal-kapal besar mulai berjejer ditengah laut. Tepat pukul 21:45 pertunjukan kembang api dari China dimulai. Selama 15 menit penonton dibius dengan kemeriahan kembang api dilangit yang ditembakkan dari kapal ditengah laut. Setelah selesai, kami harus menunggu selama 30 menit untuk pertunjukan kembang api dari Spanyol. Jam 22:30 pertunjukan terakhir dimulai. Spanyol ini seru sekali bentuk-bentuknya. Ada yang meyerupai orbit galaxy. Luar biasa rasanya melihat pertunjukan kembang api ini. Saya merekam bagian terakhir saja.

Sunset
Sunset
Kapal yang sedang bersiap untuk menembakkan kembang api
Kapal yang sedang bersiap untuk menembakkan kembang api

Pengalaman yang tidak terlupa. Seru melihat kompetisi kembang api tingkat Internasional langsung dari pantai. Seru dengan kemeriahannya. Teman saya bertanya kok suara kembang apinya beda ya dengan yang di Indonesia. Saya bilang kalau yang didengar dia di Indonesia bukan suara kembang api, tetapi petasan :D.

Ternyata setelah pertunjukan kembang api selesai, masih ada acara lainnya dipanggung yang telah disediakan. Kami langsung pulang karena memang sudah sangat malam. Kami harus menempuh waktu 1 jam naik sepeda untuk menuju rumah. Musim panas selalu menyenangkan dengan berbagai macam acara, dengan catatan penting : jika cuacanya cerah ceria.

-Den Haag, 23 Agustus 2015-

Semua dokumentasi adalah milik pribadi

Swan Market – Den Haag

Saya senang sekali kalau sedang Summer seperti ini. Kenapa? Tentu saja karena bisa sering merasakan hangatnya Matahari. Meskipun cuaca di Belanda juga masih sering hujan, tetapi seringkali diakhir pekan cuaca menjadi sangat menyenangkan. Matahari bersinar cerah sehingga sayang sekali kalau akhir pekan hanya dihabiskan dengan berdiam diri dirumah. Saya dan Suami selalu mencari informasi tentang acara disekitar Den Haag atau kota lainnya yang bisa didatangi ketika hari sabtu atau minggu. Iya, kami biasanya hanya menghabiskan satu hari diluar, satu hari lainnya kami gunakan untuk leyeh-leyeh dirumah atau mengunjungi Mertua.

Satu bulan lalu, tepatnya 19 Juli 2015, kami mendatangi Swan Market yang diadakan di Kerkplein Den Haag. Sebenarnya apa sih Swan Market itu? Kalau ditilik dari namanya jelas ini adalah Pasar. Jika dibaca dari situs resminya, Swan Market adalah pasar yang menjual segala sesuatu yang berhubungan dengan gaya hidup, produk makanan olahan rumahan (homemade), aksesoris, interior rumah, barang-barang vintage, juga ada beberapa food truck, serta ada live musicnya. Sebenarnya pasar yang seperti ini bukan pertama yang saya datangi. Karena pada bulan Juni saya berkesempatan mengunjungi Arnhem untuk melihat Sonsbeekmarkt (tulisan tentang ini menyusul). Serupa, tapi tidak sama karena kalau di Sonsbeekmarkt diadakan ditaman yang bagus sekali bernama Sonsbeekpark hari minggu pertama disetiap bulannya, sedangkan Swan Market ini yang di Den Haag diadakan di Centrum dekat gereja, dan kota pelaksanaannyapun bisa berpindah. Swan Market dimulai saat musim dingin tahun 2010 di Rotterdam. Swan Market diadakan di Den Haag, Rotterdam, Dordrecht dan Tilburg. Selain di Belanda, Swan Market juga ada di Antwerpen, Belgia.

Aneka jenis Jamur
Aneka jenis Jamur

Aneka jenis telenan
Aneka jenis telenan

Aneka jenis barang-barang vintage
Aneka jenis barang-barang vintage

Pada dasarnya saya senang mengunjungi pasar-pasar yang jenisnya seperti ini karena bisa mencicipi beraneka jenis makanan, meskipun untuk saya harus memilih mana yang bisa dimakan dan yang tidak. Dan mematut diri disetiap tenda melihat barang-barang apa yang ada disana, memperhatikan satu persatu, merupakan keasyikan tersendiri. Kali ini kami memborong aneka jenis jamur yang masih segar. Serta bisa menikmati live music sambil kita makan dan minum serta beristirahat sejenak.

  
Mungkin jika ada yang sedang disekitar Den Haag, bisa mendatangi Swan Market tanggal 16 Agustus 2015, atau langsung cek website resminya untuk melihat jadwal yang terdekat dikotamu. 

Ini enak sekali. Namanya Kokos Balletjes.. Kelapa muda parut dikasih gula trus digoreng. Varian rasanya juga bermacam-macam. Ada yang campur coklat, orisinil, rasa vanila. dll. Bude saya di Ambulu sering membuat seperti ini. Tapi lupa apa namanya kalau di Ambulu.
Ini enak sekali. Namanya Kokos Balletjes.. Kelapa muda parut dikasih gula trus digoreng. Varian rasanya juga bermacam-macam. Ada yang campur coklat, orisinil, rasa vanila. dll. Bude saya di Ambulu sering membuat seperti ini. Tapi lupa apa namanya kalau di Ambulu.

Selamat berakhir pekan bersama keluarga, teman dan orang-orang tersayang. Semoga akhir pekan ini cuaca cerah ceria di Belanda, karena kalau tidak ada halangan ingin melihat pesta kembang api dipantai Scheveningen. 

-Den Haag, 14 Agustus 2015-

Semua foto adalah dokumen pribadi.

Veteranendag 2015 and Night at the Park

Hari Sabtu minggu lalu, 27 Juni 2015, ada dua acara seru di Den Haag. Pertama adalah Veteranendag dan yang kedua adalah Night at the park. Acara yang kedua ini adalah konser beberapa grup band yang diadakan sejak jam 3 sore sampai jam 9 malam ditaman yang bernama Zuiderpark. Jadi saya dan suami sudah kelayapan sejak siang sampai tengah malam baru kembali kerumah.

Veteranendag 2015

Acara nasional di Belanda ini diselenggarkan setiap tahun sebagai bentuk apresiasi dan ucapan terima kasih kepada para Veteran yang berjumlah lebih dari 150.000 orang atas jasa mereka dimasa lalu dan sekarang, supaya setiap orang mengetahui apa yang telah mereka lakukan. Acara ini dimulai sejak pukul 9 pagi sampai pukul 5 sore di Gedung Parlemen (Binnenhof) dan di Malieveld. Acaranya sendiri terdiri dari atraksi pesawat, defile dengan rute sekitar pusat kota (defile veteran, motor besar, kendaraan bermotor besar, kuda, drumband militer), pertunjukan musik, dan makan minum.

Untuk saya yang baru pertama kali melihat Veteranendag ini, sangat antusias mengikuti acaranya meskipun tidak sejak pagi. Saya baru sampai di Malieveld sekitar jam setengah dua siang, sehingga sudah tertinggal bagian atraksi pesawat militernya. Bersyukurnya defile baru dimulai. Entah kenapa saya menjadi terharu melihat para Veteran ini. Mereka masih terlihat gagah, berjalan dengan penuh senyuman melambaikan tangan kepada para warga kota yang menyaksikan veteranendag ini. Saya seketika teringat dengan para veteran di Indonesia.

  

 


 

Sampai jumpa di Veteranendag tahun depan, 25 Juni 2016
Sampai jumpa di Veteranendag tahun depan, 25 Juni 2016
 

Ketika sedang asyik melihat defile dipinggir jalan, sambil jinjit dan menjulurkan leher karena saya tidak pada barisan pertama dan terhalang bapak yang ada didepan, ternyata bapak tersebut menoleh. Saya salah, ternyata seorang kakek. Beliau dengan ramahnya menyuruh saya untuk bergeser kedepan dan memberikan ruang disebelahnya. Kemudian Beliau berbicara dengan menggunakan beberapa kalimat bahasa Indonesia. Saya tentu saja terkejut. Saya kemudian mengajak berbicara Beliau dengan menggunakan Bahasa Belanda yang masih terpatah-patah, sementara Mas Ewald menguping dibelakang. Ternyata Beliau pernah ditugaskan di Indonesia tahun 1947-1950 di Jogjakarta, Sumatera, dan Jawa Timur. Beliau sudah berumur 89 tahun saat ini, tapi masih terlihat sangat sehat, hanya pendengaran yang mulai berkurang karena beberapa kali saya harus mengulang perkataan ataupun pertanyaan. Entah karena bahasa Belanda saya yang tidak jelas atau suasana yang agak berisik sehingga membuat semakin sulit Beliau untuk menangkap pembicaraan saya. Namanya Bapak De Winter. Beliau mengatakan suka tinggal di Indonesia karena sangat indah. Tidak berapa lama, Beliau pamitan karena merasa sudah capek berdiri. Sebelumnya saya meminta ijin untuk berfoto bersama dan mengatakan akan menaruh foto ini diblog. Beliau mengijinkan. Sebenarnya saya ingin lebih lama berbincang dengan Beliau sebagai saksi sejarah, penasaran saja sebenarnya apa yang terjadi pada tahun saat Beliau ada di Indonesia. Tidak menyangka saya bisa mengobrol dengan salah satu veteran dan beliau bisa menggunakan Bahasa Indonesia meskipun terpatah-patah. 

Bersama Bapak De Winter
Bersama Bapak De Winter
 

Tidak berapa lama setelah Bapak De Winter pergi, tiba-tiba datang beberapa polisi ingin membuka jalan dimana saya berdiri. Akhirnya kami mundur perlahan agar jalan menuju Malieveld terbuka. Ada beberapa anak kecil menanyakan apakah Raja Willem Alexander akan datang, Polisi menjawab tidak. Ternyata ada iringan tiga mobil yang datang mendekat. Mas Ewald tiba-tiba sudah heboh sendiri “Itu Raja datang, cepet difoto, difoto!” sementara saya hanya tercengang memandang mobil Raja yang melintas tepat didepan mata. Saya heran, Raja datang kok tidak ada kehebohan iring-iringan Polisi yang mengawal. Hanya tiga mobil saja. Membandingkan dengan Indonesia kalau ada Presiden datang pasti sudah heboh sana sini. 

Mobil Raja
Mobil Raja
 
Hanya bisa mengabadikan lambaian tangan saja
Hanya bisa mengabadikan lambaian tangan saja
 

Untuk mengetahui lebih lengkap tentang Veteranendag, bisa langsung klik websitenya. 

Ketika keluar dari Malieveld, saya melihat ada satu tenda yang mencari dukungan agar Papua Barat merdeka.

  

Night at the Park

Ini pertama kali saya melihat konser berbayar ditaman selama 5 bulan tinggal di Den Haag. Biasanya melihat pertunjukan musik secara gratis. Kami tertarik melihat Night at the Park karena ada Duran Duran dan UB40. Dua grup band tersebut legendaris sekali. Saya tumbuh dengan lagu-lagu mereka meskipun tidak bisa dibilang saya adalah fans mereka karena hanya mengetahui beberapa lagunya. Selain 2 band tersebut, pengisi acara yang lainnya adalah Splendid, ABBA Gold, K’S Choice dan De Dijk. Kami sampai di Zuiderpark, tempat berlangsungnya konser sekitar jam 6. Kami memang sengaja ingin lesehan, sehingga kami membawa tikar lipat. Karena memang konsepnya konser ditaman, maka banyak yang menggelar tikar dan duduk-duduk santai sambil rebahan. Mas Ewald sempat tidur juga. 

Leyeh-leyeh
Leyeh-leyeh
   

Jam 20:15 UB40 tampil. Tahu diri dengan kondisi tubuh yang mungil ini, maka tempat favorit saya tentu tidak jauh-jauh dari layar TV yang besar. Kalau saya memaksakan diri untuk mendekat ke panggung, yang ada justru tidak bisa melihat apapun karena tertutup dengan postur-postur yang aduhai tinggi menjulang. Jadi saya menikmati beberapa lagu UB40 seperti Red Red Wine, Kingston Town, I’ve got you Babe dekat dengan screen. Lagu-lagu mereka yang lain samar-samar lupa liriknya. Semua bergoyang Reggae menikmati alunan musik UB40. 

UB40
UB40
 

Setelahnya, sekitar jam 21:45 giliran Duran-Duran tampil. Teriakan riuh dari penonton mengiringi para personel Duran Duran yang satu persatu tampil keatas panggung. Disekitar saya penonton yang usianya sudah senior tetap semangat menggoyangkan badan dan bersama-sama menyanyikan lagu Rio, Ordinary World, A view to kill dan beberapa lagu lainnya. Yang membuat saya heran, para personelnya masih terlihat awet muda. Simon le Bon sebagai vokalis wajahnya ya masih begitu begitu saja, awet cakepnya. Night at the Park ditutup dengan pesta kembang api yang sangat meriah. Saya yang memang pencinta kembang api sangat senang melihat pertunjukan itu. Dari website resminya, disebutkan ada 50.000 orang yang datang pada Night at the Park tersebut.

Duran Duran
Duran Duran
 

   

Hari Sabtu yang menyenangkan.

 

-Den Haag, 30 Juni 2015-

Semua foto adalah koleksi pribadi

Japanese Garden – Den Haag

Beberapa waktu lalu saya dan suami mengunjungi Japanese Garden atau dalam bahasa Belanda disebut sebagai Japanse Tuin yang berada diantara Den Haag dan Wassenaar. Kami pergi kesana bersepeda karena jaraknya memang tidak terlalu jauh dari rumah, hanya 20 menit. Japanese Garden ini, yang merupakan menjadi bagian dari Clingendael Park, terbuka untuk umum dan masuknya tanpa dipungut biaya. Clingendael park sendiri terdiri dari beberapa taman, tetapi yang terkenal adalah Japanese Garden dan Taman Tua Belanda (Old Dutch Park).Meskipun Taman Jepang ini hanya buka dua kali dalam satu tahun yaitu pada musim semi dan musim gugur dengan waktu yang pendek, hal tersebut tidak menyurutkan pengunjung untuk pergi kesana. Terlihat tempat ini penuh serta ada beberapa pasang pengantin yang melakukan sesi pemotretan. Saya iseng menghitung, sekitar 7 pasang. Clingendael Park dan Japanese Garden memang indah dengan latar belakang bunga warna warni dan hamparan rumput yang hijau. Pada saat itu, cuaca juga mendukung, matahari sedang bersinar terang.

Menurut website pemerintah kota Den Haag sejarah berdirinya Japanese Garden ini adalah ketika Marguerite M. Baroness van Brienen (1871-1939) atau disebut juga Lady Daisy melakukan beberapa kali perjalanan ke Jepang. Ketika pulang ke Belanda, dia membawa beberapa benda khas jepang seperti lentera, pavilion, tong air, patung serta tanaman khas Jepang. Ini adalah satu-satunya Taman Jepang di Belanda sejak tahun 1910, karenanya memiliki nilai sejarah yang tinggi. Japanese Garden ini menjadi tanggungjawab pemerintah kota Den Haag.

Taman jepang ini berukuran kecil, namun penataan didalamnya rapi dan asri dengan pernak pernik khas jepang tentunya dan bunga warna warni  khas jepang juga sehingga ketika disana kita merasa benar-benar sedang berada di Jepang.

Untuk menuju Taman Jepang ini, sebelumnya melewati jalan setapak yang sisi kiri dan kanannya penuh dengan bunga berwarna warni.   

        

Suasana di Japanese Garden 

Jembatan favorit untuk sesi foto. Sampai harus mengantri untuk foto disini
Jembatan favorit untuk sesi foto. Sampai harus mengantri untuk foto disini
  

     

     

  

 

Clingendael Park 

  

         

Sedang sesi foto  ditengah hamparan bunga putih.  Rasanya pengen nebeng difoto juga :D
Sedang sesi foto ditengah hamparan bunga putih. Rasanya pengen nebeng difoto juga 😀
 

Menuju Clingendael Park ini bisa ditempuh juga menggunakan kendaraan umum yaitu bis nomer 18 dan 23.

Japanese Garden dapat dikunjungi pada :

Musim semi  : 25 April sampi 7 Juni 2015 Jam 09:00-20:00 dan

Musim gugur : 10-25 Oktober 2015 jam 10:00-16:00

Clingendael Park : Clingendael 12a, 2597 VH, The Hague

-Den Haag, 24 Juni 2015-

Semua foto adalah dokumentasi pribadi-

Menyusuri Giethoorn – Desa Unik di Belanda

Ini tulisan yang tertunda untuk diposting. Menjelang hari ulang tahun akhir Maret 2015, Suami terus-terusan bertanya ulang tahun maunya apa, dirayakan dimana, dan mau hadiah apa. Saya sebenarnya ingin ini itu (ngelunjak), tapi waktu itu suasana masih berduka setelah Papa meninggal, akhirnya saya memutuskan seminggu sebelum ulang tahun ingin pergi jalan-jalan yang dekat saja, sekalian untuk menghibur suami juga, dan tidak enak rasanya kalau ingin makan-makan dengan keluarga besar karena masih dalam suasana berduka.

Ketika masih di Surabaya, saya pernah melihat beberapa kali postingan di Instagram tentang desa seperti di Venice-Italia (Saya melihat dimajalah dan TV) yang banyak jembatan dan perahunya, yang ada di Belanda. Saya bertanya ke Suami apakah tempatnya jauh, karena ingin pergi kesana. Kata suami tidak terlalu jauh, 2 jam naik mobil dari Den Haag. Akhirnya diputuskan Jumat malam 26 Maret 2015 berangkat dengan menyewa mobil, karena mobil Suami rusak dan berencana dijual juga 😀 *sekalian iklan. Suami sudah reservasi Bed&Breakfast. Setelah menempuh 2 jam perjalanan, ditambah berhenti sebentar untuk istirahat, akhirnya kami sampai ke Steenwijk, berputar mencari alamat rumahnya ternyata belum ketemu juga. Singkat cerita kami memutuskan untuk menginap dihotel saja karena Suami juga mendapatkan email dari pemilik rumah kalau kami terlalu malam sampainya sehingga tidak bisa lagi untuk check in.

Akhirnya kami menginap di Hotel De Harmonie. Harga semalamnya 97 euro sudah termasuk sarapan. Kamarnya bersih, rapi, dan pelayanan dihotel lumayan bagus. Keesokan harinya kami bangun pagi karena melihat matahari lumayan bersinar terang. Cepat-cepat kami berjalan kaki ke desanya, hanya sekitar 10 menit dari hotel. Jadi Giethoorn ini terletak di Steenwijk, Overijssel. Konon katanya kalau saya membaca dari beberapa artikel, Giethoorn yang dikenal dengan Venice-nya Belanda ini mempunyai 180 jembatan dan rumah-rumah yang unik. Tetapi hati-hati kalau terlalu asyik foto-foto dan tidak memperhatikan tanda, bisa kesasar ke halaman rumah orang karena beberapa rumah ada tanda didepan pintunya tidak ingin dikunjungi.

Karena akhir Maret cuaca masih tidak menentu, maka kami juga tidak menaruh harapan tinggi cuaca akan terang sepanjang hari. Diatas jam 10 pagi, mendung mulai pekat dan tidak berapa lama hujan turun dengan suhu 5 derajat celcius, dingin sekali. Jadi kami berjalan kaki sepanjang desa dengan menggunakan payung. Kami juga tidak mencoba jasa perahu yang harganya 15 euro per 55 menit karena sudah bisa menyusuri sepanjang desa dengan berjalan kaki. Kalau cuaca cerah dan langitnya bagus, mungkin kami akan menyewa perahu agar bisa menyusuri danaunya juga. Kesan yang saya dapat setelah menyusuri Giethoorn : menyenangkan karena sepi (mungkin karena belum musim liburan sehingga tidak banyak turis. Saya membayangkan kalau musim panas pasti ramai sekali desa ini oleh turis), dan rumah-rumahnya juga unik dengan warna warni dan bentuknya yang bagus. Suami sempat berujar kalau rumah-rumah yang ada di Giethoorn mengingatkan pada cerita dongeng-dongeng. Dan satu lagi, sewaktu berjalan kaki sepanjang Giethoorn, saya merasa suasananya romantis, cocok untuk tempat bulan madu, atau pacaran dengan suami. Saya sempat bilang ke Suami pada saat berjalan “Saya kok merasa makin jatuh cinta ya sama kamu disini,” dan suamipun hidungnya kembang kempis :p.

Selamat berakhir pekan bersama keluarga, pasangan, dan teman-teman tersayang

-Den Haag, 17 April 2015-

Semua foto adalah dokumentasi pribadi

Giethoorn

        

 

Bentuk rumah yang unik

       

   

        

Turis yang naik perahu dan kehujanan menggunakan payung. Padahal hujan deras dan dingin sekali.

To live without your own car (The Greenwheels alternative)

Greenwheels car

Lately I faced a dilemma because my trustworthy Chrysler PT Cruiser, the car I had been driving since 2006 is starting to show its age and I was faced with rather high costs for maintenance of the car. On the other hand in my current situation I only use a car very irregularly and mostly for short distances, anyway hardly enough to justify a big investment in a new car.

So I started to look for alternatives and became interested in Greenwheels. Greenwheels is a Dutch company that already is in business since 1995. Now and then I saw these cars drive with their remarkable color settings of red and green. I always suspected it had to do something with the Dutch railways (NS) because it carried their logo on the side of the car, but this was not really the case, although Greenwheels offer services combined with NS. From their website I understand they operate in Netherlands and Germany only, a subbranch in the United Kingdom was terminated recently.

The way Greenwheels operates is not similar to a car renting company. Greenwheels does not have the same infrastructure as a car renting company, where you pick up your car from a central spot, usually near a station or industrial site (at least that is the case here in the Netherlands). Greenwheels have special marked parking places in a great number of decentralised spots all over Netherlands. In my case that means that the closest location where I can pick up a car is a 800 meter distance (ca, 15-20 minutes walk from home). They have 3 pricing models for private renters and three pricing models (monthly subscriptions) for businesses, based on a light, medium and heavy use. I choose the regular business package, with a price of € 25 euros per month. Besides the fixed monthly costs I pay in my case (costs differ with the package you choose):

  • an hourly fee (€ 3,10)
  • a fee for every kilometer you drive (€ 0,12 per km)
  • a fee for gasoline (currently € 0,0998 per km).

They offer on their website an Excel sheet through which you can calculate your monthly costs and choose the appropriate package.

Greenwheels developed a leaflet that instructs you on the most important things considering their customs when renting their cars.

Yesterday I made my first reservation and had a car (Peugeot 107) available for the afternoon. So here is my first hands on experience with this type of car renting.

To gain entrance to the car you need a card from the company or an OV chipcard, the most common card in Netherlands to use for public transport. That went well, the car opened without a hitch and the next step is to open the dashboard compartment and take out the board computer and a small book that contains notes about the damages to the car.

Before you drive off you have to inspect the car and see if there are any new damages. I did find a new small damage and had to report to Greenwheels. Because they only seemed to have one telephone number for all their services it took a long time for me to connect to someone to report the damage. So I already almost had the car rented for half an hour, when I was ready to take off, that felt like a bit disappointing, the contact person from Greenwheels was nice to offer a half hour reduction on my renting period. From the board computer you take out the keys of the car and the board computer also contains an ATM style card to tank gasoline (Greenwheels expect you to go tanking when the gasoline is around 1/4 from a full tank).

Greenwheels car
Greenwheels car

The car itself was not really super clean, a bit dusty and the windows could need a  wash. Because we had a busy schedule at the end of the renting period you feel a bit the same pressure when you are constantly watching the clock in order to catch a train or bus, in this case to return the car in time.

My costs for renting a car in the afternoon were ((€ 0,12 +€ 0,0998) * 50 km) + (€ 3,10 * 4,5 hrs) = ca. € 25, (excluded the monthly subscription fee that you should take into account and divide by the number of trips you make in a month). Not really that cheap was my first impression.

So all in all the first experience felt a bit cumbersome because there are many things to take in account when you hire the car (see the leaflet). I still feel a bit unsure about some aspects (for example what happens if you miss a damage, what happens then?). There is -in my case- still a certain distance to pick up the car (almost 40 minutes to walk to the car and to return home walking). The car itself did not feel very clean.

Maybe when you get more experience with this type of renting you become more acquainted with it, but for now I am not yet convinced this will be really something for me.

Menyusuri Leiden

Hari minggu kemarin rencananya tidak pergi kemana-mana. Ingin baca-baca buku dirumah sambil menemani Suami yang sedang mengerjakan tesis. Tiba-tiba sabtu malam Suami mengutarakan niat untuk mengajak saya ke Leiden hari minggunya karena ada beberapa literatur yang harus dipinjam dari perpustakaan. Wah saya senang sekali karena bisa napak tilas jejak Lintang salah satu tokoh dibuku Negeri Van Oranje. Karena buku inilah obsesi saya untuk melanjutkan kuliah di Belanda semakin menjadi. Ternyata jalan cerita berubah, ke Belanda bukan karena kuliah, tetapi menikah 🙂

Hari minggu 15 Februari 2015, cuaca cerah, 6 derajat celcius, matahari bersinar terang, tetapi angin masih membawa hawa dingin yang menggigit. Kami tiba di Leiden Centraal jam 1 siang. Rencananya makan dulu, karena belum ada makanan masuk perut pada saat siang. Apa daya restoran yang ingin dituju belum buka. Akhirnya kami memutuskan langsung menuju perpustakaan sambil jalan-jalan menyusuri beberapa tempat yang sering dikunjungi wisatawan. Kincir angin tempat Museum De Valk. Kami tidak masuk kedalamnya, hanya melewati sepintas. Museum De Valk juga merupakan salah satu icon Leiden. Kemudian kami juga berkunjung ke de Burcht, benteng yang menyerupai kastil dibangun pada tahun 1150 sebagai tempat pertahanan warga Leiden dari bahaya banjir pada saat itu (menurut informasi yang tertera dipapan pintu masuknya). Dari atas de Burcht kita juga bisa melihat keindahan sekeliling kota Leiden dan melihat dengan jelas objek-objek wisata penting ko­ta itu mulai dari gedung Balai Kota, Gereja Pieterkerk, St Pancras­kerk, Museum Windmill, Morrspoort, Academy Building sampai Hortus Botanicus. Bahkan ada yang menyebutkan, jika singgah ke Leiden tetapi belum ke de Burcht, sama saja belum berkunjung ke Leiden.

Setelahnya kami menyusuri jalan disebelah kanal melihat gedung pemerintahan, Gereja dan Universitas Leiden. Karena saya tidak mempunyai kartu anggota jadi tidak boleh masuk kedalam perpustakaan (bisa masuk setelah mengisi form, tapi kemarin saya belum melakukannya. Mungkin kunjungan berikutnya), maka saya jalan-jalan sekitaran kampus saja. Leiden juga terkenal sebagai kota kelahiran Rembrandt van Rijn, dan kemarin begitu ketemu dengan rumahnya malah lupa difoto. Ada museum yang terkenal lainnya juga di Leiden yaitu Rijksmuseum van Oudheden (kami tidak masuk, hanya lewat didepannya saja). Selain itu, di Leiden juga terkenal dengan dinding-dinding yang bertuliskan puisi sastrawan terkenal dunia. Saya juga menjumpai masjid di lingkungan Universitas Leiden.

Hortus Botanicus merupakan tempat yang kami kunjungi terakhir. Jadi, menurut keterangan yang ada di papan pintu masuknya, Hortus Botanicus ini adalah kebun raya tertua di Belanda dan salah satu yang tertua didunia. Hortus Botanicus mempunyai hubungan sejarah dengan Kebun Raya Bogor yang didirikan oleh C.G.L Reindwart pada tahun 1817 yang dikemudian hari manjadi salah satu pejabat di Hortus Botanicus. Karena masih musim dingin, tidak banyak bunga yang bisa kami temui. Satu yang berkesan yaitu rumah kaca yang beriklim tropis mengingatkan saya akan tegalan rumah mbah didesa. Masuk kedalam Hortus Botanicus ini membayar 7 euro atau gratis jika mempunyai kartu tanda mahasiswa di Universitas Leiden.

Dibawah ini beberapa foto hasil jalan-jalan di minggu siang 🙂

Kincir angin tempat Museum De Valk
Kincir angin Museum De Valk

IMG_0247

Kantor pemerintahan Leiden. Sedang proses Renovasi
Kantor pemerintahan Leiden. Sedang proses Renovasi
Karena hari minggu kemarin matahari sedang cerah ceria, banyak yang mencari kehangatan sambil ngobrol-ngobrol. Meskipun udara tetap dingin, tetapi lumayan dapat sinar matahari
Karena hari minggu kemarin matahari sedang cerah ceria, banyak yang mencari kehangatan sambil ngobrol-ngobrol. Meskipun udara tetap dingin, tetapi lumayan dapat sinar matahari
de Burcht. Benteng di Leiden yang dibangun pada tahun 1150 sebagai tempat pertahanan warga Leiden dari bahaya Banjir
de Burcht. Benteng di Leiden yang dibangun pada tahun 1150 sebagai tempat pertahanan warga Leiden dari bahaya Banjir
Pemandangan kota yang bisa dilihat dari atas benteng De Burcht
Pemandangan kota yang bisa dilihat dari atas de Burcht
De Burcht. Burcht sendiri artinya adalah Benteng
de Burcht. Burcht sendiri artinya adalah Benteng

IMG_0301

Hortus Botanicus Universiteit Leiden
Hortus Botanicus Universiteit Leiden
Rumah kaca yang beriklim tropis. Asli mirip banget dengan tegalan mbah di Jember
Rumah kaca yang beriklim tropis. Asli mirip banget dengan tegalan mbah di Jember
Bunganya masih kecil
Bunganya masih kecil
Disekitar Hortus Botanicus
Disekitar Hortus Botanicus
Karena tidak boleh masuk kedalam perpustakaannya, akhirnya saya muter-muter diseputar kampusnya.
Karena tidak bisa masuk kedalam perpustakaannya, akhirnya saya muter-muter diseputar kampusnya.
Lingkungan kampus Universitas Leiden
Lingkungan kampus Universitas Leiden
Lingkungan kampus Universitas Leiden
Lingkungan kampus Universitas Leiden
Terdapat Masjid dilingkungan kampus Universitas Leiden : Masjid Al Hijra
Terdapat Masjid dilingkungan kampus Universitas Leiden : Masjid Al Hijra
Gerbang Leiden sebelah barat. Lambang dari Leiden adalah dua kunci merah yang saling menyilang dengan latar belakang putih. Leiden disebut sebagai "Sleutelstad" ("kota kunci")
Gerbang Leiden sebelah barat. Lambang dari Leiden adalah dua kunci merah yang saling menyilang dengan latar belakang putih. Leiden disebut sebagai “Sleutelstad” (“kota kunci”)
Jalan setapak menuju Gereja
Jalan setapak menuju Gereja
Gereja sekaligus menjadi tempat berlangsungnya beberapa kegiatan pemerintahan
Gereja sekaligus menjadi tempat berlangsungnya beberapa kegiatan pemerintahan
Menurut Suami, ini pompa air letaknya disamping Gereja
Menurut Suami, ini adalah pompa air yang usianya sudah sangat tua, letaknya disamping Gereja
Bangunan sebelah kiri Rijksmuseum van Oudheden
Bangunan sebelah kiri Rijksmuseum van Oudheden

IMG_0238

Kapal yang bersandar di Kanal pada aliran sungai Rijn
Kapal yang bersandar di Kanal pada aliran sungai Rijn

KULINER :

SELERA ANDA

Setelah puas berjalan-jalan, juga karena sudah sangat lapar, maka selanjutnya adalah makan. Pilihan jatuh di Restoran Indonesia Selera Anda. Letaknya dekat sekali dengan Leiden Centraal, sekitar 5 menit jalan kaki. Restoran ini menyediakan makanan yang langsung bisa dipilih dari etalase, kemudian dipanaskan menggunakan microwave. Paketnya juga bermacam. Secara rasa, menurut kami standar, tidak ada yang istimewa, dan tidak ada rasa khasnya. Ruangannya bersih terdiri dari 5 meja. Dari pengamatan, yang datang ke Selera Anda kebanyakan membeli dibawa pulang. Pelayanannya ramah, sempat berbincang juga dengan bapak-bapak yang menunggu didepan restoran.

Selera Anda
Selera Anda
Variasi makanannya
Variasi makanannya
Nasi, 2 jenis lauk, 2 jenis sayur dan telur = 10.75 Euro
Salah satu paketnya : Nasi, 2 jenis lauk, 2 jenis sayur dan telur = 10.75 Euro
Suasana dalam restorannya
Suasana dalam restorannya

ES KRIM

IMG_0357

"Forget Love... I'd rather fall in Chocolate!"
“Forget Love… I’d rather fall in Chocolate!”
Pilihan Es Krimnya
Pilihan Es Krimnya
Yummmyy!!
Yummmyy!!

Dan jalan-jalan 4 jam hari itu ditutup dengan es krim coklat yang lezat. Kami berdua memang penggemar es krim. Jadi bisa dipastikan kalau sedang jalan-jalan yang dicari es krim.

Semoga foto-foto yang tersajikan tidak membosankan meskipun ceritanya hanya sekilas saja.

Semua foto yang ada disini adalah dokumentasi pribadi

-Den Haag, 18 Februari 2015-