Cerita si Tukang Nitip!

Sedikit buku dari banyak buku hasil nitip sewaktu Ibu ke Belanda

Saya!! ya ini mau menceritakan diri sendiri sih. Saya memang tukang nitip sejak dulu kala. Seringnya nitip makanan sewaktu masih di Indonesia. Saya kan sudah tinggal pisah dari orangtua sejak umur 15 tahun, ngekos. Nah 2 tahun pertama jaman SMA, ngekosnya sudah termasuk 3 kali makan, jarang sekali njajan. Maklum ya, kan masih bergantung dari kiriman orangtua jadinya harus hemat. Dan beruntungnya lagi, pas SMA sering dapat traktiran ulang tahun dari penghuni SMA yang sebagian besar tajir (yang tajir ya, saya bagian yang ditraktir, tapi ga pernah nraktir haha).  Tapi, kalau ada uang lebih akhir bulan, biasanya saya juga suka jajan. Sekedar makan bakso Pak Kus depan Kristus Raja yang mahal untuk ukuran anak kos saat itu (haduh jadi kangen makan basko Pak Kus, apa kabar ya. Pentolnya krenyes-krenyes enak). Nah, kalau teman-teman kos mau njajan di sana, saya biasanya nitip, males keluar kos. Atau kalau misalkan teman-teman kos mau beli rujak cingur, saya juga nitip. Intinya saya terkenal sebagai tukang nitip beli makanan.

Sewaktu kuliah, makan sudah pasti di luar karena saya tinggal di rumah kos yang hanya rumah saja tanpa pemilik kos. Meskipun disediakan dapur (satu rumah ada 5 penghuni kos), saya jarang masak kecuali akhir pekan kalau sedang tidak ada jadwal kegiatan di kampus. Intinya sering beli. Nah ini juga saya sering nitip beli makanan ke penghuni kos yang lain. Sampai ketika bekerja pertama kali, di kantor yang ada di Rungkut Industri, makan siang sudah disediakan di kantin. Masih ingat betul saya makan siang di kantor ini super mewah menunya setiap hari. Dalam seminggu pasti disediakan 3 hari camilan, dua kali sehari yang juga mewah. Intinya kerja di perusahaan ini membuat badan saya dari mahasiswa yang ngirit makan menjadi badan karyawan yang ginuk-ginuk kebanyakan makan hahaha. Selama kerja di perusahaan ini, saya jarang beli makanan di luar karena kalau lembur, makan malam juga disediakan. Jadi, untuk sementara status sebagai tukang nitip makanan jeda dulu.

Pindah kerja ke Jakarta, kantor juga menyediakan makan siang. Walaupun begitu, karena saya seringnya tidak cocok dengan menunya, jadi sering beli makanan di luar. Apalagi kalau pagi hari, jam 8 rekan-rekan sudah datang dan membicarakan rencana makan siang di mana, jadi saya sudah terbayang nanti mau nitip makanan apa (siapa yang kerja kantoran dan seperti ini juga, baru jam 8 pagi sudah merencanakan makan siang apa? :))). Dan di kantor ini, saya kembali terkenal sebagai tukang titip makanan. Sampai beberapa kali saya dengan tidak sungkannya nitip beli makanan ke atasan langsung haha.

Kalau membaca narasi di atas, rasanya saya jadi orang yang menyebalkan ya selalu nitip beli makanan. Tenang, sebelum berpikir begitu, saya kasih tahu sesuatu : Saya tidak akan nitip kalau tidak ditawari. Jadi biasanya mereka yang akan menawari saya mau nitip apa tidak, kalau mau nitip belinya makanan apa. Dan saya selalu memberi uang dimuka, tidak pinjam uang dulu. Duh menuliskan cerita tentang nitip makanan, saya jadi kangen dengan ketoprak langganan makan siang di sebelah kantor dan soto mie yang ada di Masjid kawasan Industru Pulo Gadung. Setelah saya pikir-pikir, selama 8 tahun kerja di Indonesia di dua perusahaan kok semuanya di kawasan Industri ya meskipun beda kota.

Sewaktu di kantor yang terakhir ini, kerja saya seringnya keluar kota. Jadi dalam satu bulan, dalam tiga minggu saya tugas ke luar kota di seluruh Indonesia. Untuk kota-kota tertentu yang memang terkenal dengan jajanan khasnya misalkan kalau ke Medan ada Bolu Meranti atau di Makassar ada otak-otak Bu Eli, orang kantor yang satu ruangan sering nitip beli oleh-oleh. Mereka kasih uang dulu, belinya apa saja, nanti saya yang bawakan ke kantor. Karma sering nitip makanan pas makan siang jadinya kalau ke luar kota sering dititipin beli oleh-oleh. Saya sih tidak keberatan ya waktu itu karena mereka selalu kasih saya uang dimuka dan ketika di tempat tujuan juga saya tidak susah belinya karena sudah tahu tempatnya. Membawanya juga tidak susah karena semua akomodasi dibayari kantor. Simbiosis mutualisme jadinya.

Tapi ada satu hal yang jadi pegangan saya selama ini : Saya tidak mau nitip atau minta oleh-oleh kepada mereka yang sedang liburan. Kalau dibelikan, saya terima. Kalau ditawari, saya pikir-pikir dulu. Intinya lebih baik mengucapkan : Selamat liburan dan semoga lancar dan selamat diperjalanan sampai kembali lagi, daripada saya mengucapkan : eh nitip oleh-oleh donk atau eh nitip belikan ini donk. Mereka kan mau liburan ya, jangan lah saya merepotkan jadwal liburan mereka dengan minta nitip oleh-oleh atau nitip sesuatu yang malah merepotkan liburan mereka. Karena, saya pun tidak mau dititipi yang aneh-aneh ataupun yang tidak aneh-aneh saat saya pergi liburan. Saya kalau liburan memang jarang woro-woro (termasuk di media sosial), selesai liburan baru saya pamer-pamer cerita dan foto. Bukan karena apa, saya lebih senang menikmati liburan dengan cara saya, konsentrasi penuh dengan tujuan liburan.

Sejak pindah ke Belanda, jenis titipan saya berubah, bukan lagi tentang makanan. Mau nyombong sedikit, di kampung tempat saya tinggal sekarang, makanan Indonesia gampang sekali dapatnya apalagi bahan-bahan makanan yang rasanya mustahil didapat semacam daun kelor, keluwek, kedondong, belimbing wuluh, gampang dapatnya. Makanya saya jarang sekali titip makanan kalau ada yang menawari. Titipan saya selama di Belanda seringnya jenisnya cuma satu : buku bacaan dalam bahasa Indonesia. Kecuali sewaktu adik dan Ibu saya ke sini tahun kemarin, saya nitip makanan yang benar-benar spesifik seperti bandeng asap Sidoarjo, Kerupuk Gadung, ikan asin, terasi puger dan makanan yang spesifik lainnya. Ya karena mereka keluarga saya jadinya saya tidak sungkan-sungkan untuk nitip, mumpung kan ya haha. Tombo kangen hampir 4 tahun belum pulang sama sekali ke Indonesia. Tapi titipan buku juga tidak lupa.

Sedikit buku dari banyak buku hasil nitip sewaktu Ibu ke Belanda
Sedikit buku dari banyak buku hasil nitip sewaktu Ibu ke Belanda

Biasanya nih, kalau ada yang akan ke Belanda atau mereka yang akan liburan ke Indonesia, entah itu kenalan atau teman, mereka akan nanya saya mau nitip apa. Saya lihat dulu, seberapa dekat saya dengan mereka. Kalau tidak dekat sekali, ya saya tidak nitip. Kalau sudah kenal lama, saya nanya boleh tidak kalau saya titip buku dan maksimal berapa banyak bisanya atau berapa kilogram. Nanti kalau sudah ok, saya akan membeli buku secara online lalu mengirimkan ke alamat mereka. Jadi mereka tidak susah payah untuk mencari di toko buku. Saya sebagai pihak penitip juga cukup tahu dirilah, sudah bagus mereka menawari, jangan lah sampai direpotkan beli juga.

Dengan suami saya juga sering nitip. Dari nitip beli cabe di toko oriental sampai beli pembalut di toko serba ada. Suami kan kerjanya di daerah kota, strategis tempatnya ke segala toko dekat. Sebelum pulang kerja biasanya dia nanya saya, ada yang mau titip dibeli tidak. Kalau tidak ada ya dia langsung pulang ke rumah. Kalau ada, ya dia mampir dulu. Rumah kami sebenarnya dekat juga ke pusat perbelanjaan. Tapi kalau cuaca sedang hujan atau dingin minta ampun atau bersalju, saya malas ke luar rumah kalau tidak ada janji. Menyempatkan diri kadang-kadang hanya untuk sekedar jalan sore. Makanya, kalau suami menawari dititipi, saya tidak menyia-nyiakan kesempatan.

Itulah sekilas cerita tentang diri sendiri sebagai tukang titip. Jadi tau kan kalau ada yang menawari saya mau nitip apa, nanti saya akan nitip buku (haha ini ke PD an sekali ada yang akan menawari dititipi). Kalau kalian, suka nitip juga tidak, biasanya nitip apa? atau malah kesal kalau dititipi?

-Nootdorp, 19 November 2018-