Teruntukmu

Semuanya aku mulai dengan sesuatu yang sederhana

Menyukaimu karena hal sederhana

Merindumu juga dengan cara yang sederhana

Berpikir sederhana sehingga berusaha untuk tidak membencimu karena sesuatu

Bahkan aku selalu berdoa dengan bahasa yang sederhana

Aku hanya sanggup berbuat yang sederhana

Namun jangan paksa aku untuk bermimpi yang sederhana

Karena sesuatu yang berhubungan dengan kamu, tak pernah sederhana

Pengharapanku

Setapak menujumu

Lantunan rasa yang setia bergelayut disetiap langkahku

Dan rajutan doa yang terselip dalam desah asaku

Semua aku lakukan dengan cara yang luar biasa

Karena kamu memang istimewa

Teruntukmu, yang (tak pernah lupa untuk) tersebut disetiap sujudku

-Banjarmasin, 13 Desember 2011-

Selain senang menulis cerita pendek, terapi yang lain ketika perasaaan sedang tidak nyaman ataupun sedang senang, saya juga selalu menumpahkan dalam sebuah puisi. Iya, entah kenapa saya selalu menyukai bertutur melalui sebuah puisi. Puisi bagi saya adalah cara untuk berimajinasi, berkhayal, dan memperkaya kosakata Bahasa Indonesia. Bagaimana tidak, saya selalu melihat padanan kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) setiap saya menulis puisi, agar kata-kata yang tercipta tidak monoton. Seperti yang sudah pernah saya ceritakan sebelumnya disini bahwa salah satu puisi saya pernah masuk dalam sebuah buku antologi. Tapi, apapun itu, menulis bagi saya adalah sebuah kesenangan. Puisi, cerita pendek, maupun tulisan ringan lainnya adalah cara saya untuk berekspresi. Bersyukur kalau ternyata menjadi berguna bagi yang membaca. Makin senang jika membuat jadi bertambah teman dan saling berbagi pengetahuan.

Jadi, apa yang suka kamu lakukan untuk berekspresi?

-Situbondo, 11 Desember 2014-

301113 – Masa Dimana Semuanya Bermula

Prosesi Jawa

Hari ini setahun yang lalu…

Saya dan kamu adalah dua asing dalam ruang yang berbeda. Kamu melihat saya, tanpa ada niat untuk menyapa. Hanya memandang dari sudut ruang yang berbeda. Saya memulai menyapa kamu. Tanpa ada rasa, tanpa ada asa. Hanya sebuah sapaan biasa. Iseng tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Kamu membalas sapaan saya, lugas, tegas, tanpa ada kata yang bias. Kita kemudian saling bertegur sapa, memulai percakapan yang jauh dari kata istimewa. Saya dan kamu memulai semuanya dari sepotong kata. Delapan bulan kemudian, saya dan kamu melebur menjadi kita, berucap janji setia saling menjaga selamanya dan tidak akan menyia-nyiakan yang telah dipersatukanNya menjadi ikatan yang tidak akan lepas seberapa kuat goncangan dan ujian yang ada dihadapan.

Hari ini setahun kemudian…

Saya dan kamu telah berubah menjadi kita dalam ruang yang sama. Kita yang pada awalnya memulai dengan sapa yang sederhana, melanjutkan langkah dengan sebongkah doa agar niat tetap kuat, saling bergandengan tangan sampai maut memisahkan. Meskipun saat ini kita masih terpisah oleh jarak namun selalu yakin bahwa keikhlasan hati untuk saling bersama mampu meretas rentang yang membentang. Jalan kita masih panjang dan tidak pernah tahu apa yang ada didepan. Mari kita jalani segalanya secara sederhana namun dengan langkah luar biasa. Langkah penuh cinta, saling berbagi tawa, suka dan duka dalam balutan doa.

Teruntuk kamu, suami dan teman terbaik dalam hidupku, Mas Ewald. Terima kasih sudah menemukan saya. The most wonderful thing i decided to do was to share my life and heart with you. Thank you

NB : 301113 adalah mahar pernikahan kami, sebuah penanda tentang masa dimana semuanya bermula.

Dan puisi dibawah ini saya tulis pada waktu itu untuk seseorang yang kelak akan menjadi imam saya. Sekarang coretan kata ini saya berikan untuk suami tercinta sebagai tanda mata karena yakin telah menjadikan saya sebagai istrinya.

Coretan Kata Untuk Suami Tercinta
Coretan Kata Untuk Suami Tercinta

-Surabaya, 30 November 2014-

Tuan Bersuara Merdu

Tuan, aku melihatmu terpaku menatap bulir hujan yang perlahan luruh ke tanah aspal didepan kedai kopi. Sudah satu jam berlalu, bahkan kopimu pun sudah mulai membeku. Namun rahang kerasmu tetap termangu menatap rintik air yang menari riang, seolah ingin mengajakmu berdendang.

Tuan, aku duduk disudut ruang, hanya mampu menatapmu bimbang. Tanganku gelisah memainkan cangkir yang tak berisi apa – apa, pun air yang tak berwarna. Menggerakkan kaki dengan irama tak berarah, gelisah. Aku mencoba bertahan hanya untuk sekedar menatap lekuk indah wajahmu, ingin merasakan setiap hembusan hangat nafasmu, walaupun semua hanya dalam imajinasiku karena kita terpisah oleh rindu.

Tuan, biarkan aku menebak apa yang engkau pikirkan. Sebenarnya aku tidak pintar membaca isi kepala, namun aku sudah terlatih meraba isi hati, apalagi hatimu. Berhentilah berpura – pura karena kita tidak lagi di era mereka, gadis berkepang dua dan anak lelaki bercelana pipa,  yang saling menyatakan cinta tanpa berani bertatap mata.

Tuan, jangan mengikat terlalu erat pada masa lalu. Nanti engkau merasa nyaman disitu dan tak mau beranjak menuju awal yang baru.

Tuan, aku bukan ingin menunggu. Aku hanya ingin mempersilahkanmu untuk menghampiriku dan melantunkan semua mimpi yang telah engkau susun dikepalamu. Meracaukan kastil asa yang kau bangun melalui lempengan doa.

Tuan, aku bukanlah cermin yang indah untukmu dan kau bukan pula cermin yang sempurna untukku. Kita hanyalah dua insan yang terperangkap bisu, saling bertumpu pada gerimis waktu.

Tuan, Tuhan tidak akan pernah menangkupkan tangan kita jika kau tidak berusaha untuk menelusupkan jemarimu diantara hangat kepalan tanganku, lalu menggenggam dan membawanya menelusuri ruang hatimu.

Tuan, aku tidak mau banyak bicara ataupun bertanya. Teriring doaku yang selalu menyelimutimu sampai saatnya nanti aku dan kamu bersatu.

Untukmu, yang selalu kusebut dengan, Tuan bersuara merdu.

-Jakarta, 8 Agustus 2011-

Gambar dipinjam dari sini