Perlakuan Tidak Menyenangkan Saat Periode Mudik ke Indonesia

Taman Harmoni - Surabaya Timur

Mudik yang saya tunggu selama 7 tahun lebih sejak pindah ke Belanda akhirnya terlaksana juga. Kami 9 minggu tinggal di Indonesia. Saya sudah menuliskan cerita mudik kami bagian awal di sini. Tentu saja mudik yang penuh dengan suka cita karena bisa bertemu hampir seluruh keluarga besar. Walaupun mudik pertama ini saya hanya dengan 2 anak balita, tanpa suami, tidak menjadikan suasana mudik berkurang keceriaannya. Justru saya banyak bersyukur suami saya tidak ikut karena kami bisa puas dengan keluarga tanpa harus “terbebani” untuk liburan ke tempat tertentu. Kalau dengan suami suasananya pasti beda ya karena pasti dia maunya liburan juga. Sementara buat saya liburan ya artinya berkumpul dengan keluarga, mengunjungi keluarga di beberapa kota.

Mudik hanya dengan dua balita, tentu membawa banyak cerita. Dari cerita haru, bahagia, penuh kejutan, sampai cerita yang tidak menyenangkan. Kali ini saya akan berbagi cerita yang tidak menyenangkan dulu. Cerita yang bahagia menyusul kemudian akan saya tuliskan.

Sebagai anak berdarah Indonesia dan Belanda, dua balita kami tentu saja wajahnya akan sangat berbeda dengan anak – anak asli Indonesia. Bukan hanya wajah, kulit dan rambutnya juga beda. Singkatnya, penampilan mereka memang lebih kental ke bapaknya dibandingkan Ibunya. Meskipun ya kalau diperhatikan lebih jauh, pasti adalah bagian dari wajahnya yang mirip saya. Cuma ya itu, kalau dilihat sekilas ya mirip bapaknya semua. Ini dari pendapat keluarga, teman – teman dan tetangga di Belanda. Selain itu, anak – anak kami bisa dengan lancar berbahasa Indonesia meskipun dengan aksen Belanda. Jadi ini juga salah satu penarik perhatian orang yang mendengarkan selama di Indonesia. Mereka bisa berbicara dengan lancar bahasa Indonesia, Belanda, dan Inggris.

Nah karena saya sadar 100% bahwa penampilan mereka akan mencolok mata, jadi saya harus ekstra mengawasi selama di Indonesia. Konsen saya adalah penculikan dan juga kebiasaan orang Indonesia pada umumnya misalkan colek – colek anak kecil, cubit pipi sampai mencium tanpa ijin. Ada beberapa kejadian sesuai perkiraan saya yang sangat tidak menyenangkan, sebagian besar menyangkut ke anak – anak.

Tulisan ini panjang, jadi butuh waktu yang lumayan lama untuk membacanya.

MATA MENGAWASI DARI UJUNG MATA SAMPAI UJUNG KAKI

Pertama menginjakkan kaki kembali di Indonesia, Bandara Soetta lebih tepatnya, saya langsung mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan. Hanya selang beberapa menit setelah saya keluar dari pesawat dan menuntaskan segala administrasi yang berhubungan dengan Covid, langsung saya dihadapkan pada kenyataan bahwa di negara saya dilahirkan ini banyak hal yang tidak terlalu dipikirkan kepantasan saat dilakukan.

Saat di loket imigrasi yang saat itu sangat sepi (tidak ada antrian di belakang kami), setelah petugas mengecek paspor saya dan anak – anak, mereka (ada 2 orang) meminta saya untuk melepaskan masker untuk dicocokkan dengan foto yang ada di paspor. Lalu secara bergantian melihat antara saya dan anak – anak. Lalu saya disuruh mundur ke belakang, kembali mata mereka melihat saya, kali ini dari wajah sampai ujung kaki. Lalu melihat kembali ke anak – anak. Salah satu dari mereka berkata, “Anaknya ya Bu?” Saya langsung jawab dengan cepat, “Betul Pak, anak – anak saya semua. Kenapa Pak?” Dijawab lagi sama dia, “kok beda ya Bu. Ga ada yang mirip sama Ibu. Bapaknya Bule ya?”

Saya dalam posisi sudah sangat kecapaian dari sebelum berangkat karena drama hasil PCR positif yang sangat menguras emosi dan airmata, malam sebelumnya tidak bisa tidur dengan nyenyak, selama di pesawat juga saya tidak terlalu bisa tidur punggung sakit karena anak saya yang terakhir minta dipangku saat tidur biar kakaknya tidur selonjoran, begitu sampai di Indonesia mendapatkan pertanyaan dan tatapan seperti itu. Kalau saya turuti emosi, bisa saja saya menyemprot karena perkataan mereka tidak sopan. Tapi saya sudah tidak punya energi lebih. Saya menjawab, “Saya membawa lengkap fotocopy akta lahir keduanya dan surat keterangan ijin dari suami saya, apa perlu dibuktikan kalau saya ibunya?”

Mereka tidak komen apa – apa. Bahkan mengucapkan maaf juga tidak. Paspor kami dikembalikan. Sudah begitu saja. Sambutan pertama di imigrasi benar – benar “berkesan”. Kalau mengingat lagi sekarang, saya masih terbawa emosi. Memandang orang dari atas ke bawah itu sangat tidak sopan.

Sebagai informasi, aturan di Belanda kalau mau membawa anak ke luar Belanda hanya dengan salah satu orangtuanya, maka perlu surat persetujuan orangtua yang satunya. Jadi ada surat pernyataan dan ditandatangi yang menyatakan memberikan ijin kepada orangtua lainnya untuk membawa anak ke luar Belanda. Dokumen lainnya yang perlu dibawa adalah (fotokopi) akta lahir anak tersebut (karena di dalamnya tercantum nama kedua orangtua). Kalau anak sudah usia wajib sekolah, butuh surat pengantar dari sekolah jika bepergiannya di luar liburan resmi sekolah. Dokumen – dokumen ini ditunjukkan ke pihak imigrasi jika ditanyakan. Jadi tidak perlu sampai meneliti kemiripan fisik (muka) apalagi sampai memberikan komentar sangat tidak mirip. Cukup dari surat dan dokumen resmi.

COLEK PIPI DAN BADAN

Masih kejadian di Bandara saat kami pertama tiba. Jadi selepas imigrasi dan pemeriksaan barang, kami harus pindah terminal untuk melanjutkan penerbangan ke Surabaya. Nah di pintu keluar terminal datang ke terminal selanjutnya, ada petugas yang tiba – tiba mencolek pipi anak saya yang kecil saat melewati dia. Sebelum saya sempat menegur, anak saya sudah berteriak duluan dengan suara yang sangat nyaring : STOOOOPP!! Ga boleh pegang – pegang!! (dia ngomong dalam bahasa Indonesia). Dia memang paling tidak suka dipegang orang yang tidak dikenal. Lalu petugasnya malah komentar : Ga boleh teriak – teriak. Ga sopan.

Saya langsung menegur : Bapak yang tidak sopan, tidak bertanya dulu langsung main cowel – cowel anak saya. Dia ga mau dipegang Pak, makanya dia teriak. Lalu saya ajak anak – anak menjauh dari sana.

Kejadian ini tidak sekali dua kali. Sering sekali dari orang yang tidak dikenal. Kalau kami ke suatu tempat, meleng sedikit saja langsung ada yang nyolek pipi anak – anak bahkan sampai anak – anak pernah menangis karena dicubit pipinya. Langsung saya marahi orang itu dengan suara keras : Saya bisa laporkan kamu ke polisi ya karena sudah menyakiti anak – anak saya dengan mencubit begitu sampai mereka menangis. Ga sopan sama sekali!!

Tau tidak ditanggapi apa? : Halah, wong cuma dipegang gemes gitu kok. Berlebihan sekali sampai lapor polisi. Anak artis juga bukan. Masak mau pegang pipi aja musti ijin. Saya langsung muntab dikasih jawaban begitu. Saya langsung sumpah serapah dia dan menyingkir dari sana. Benar – benar sampai bingung musti komentar apa. Ga paham lagi dengan logika berpikir seperti itu.

LONTARAN KATA – KATA YANG SANGAT TIDAK SOPAN

Ini lebih ke arah sedih ya saat saya mengingat kembali ada beberapa kata yang terlontarkan dan sangatlah tidak sopan. Sedih kenapa orang begitu gampang melontarkan pertanyaan tanpa konfirmasi sebelumnya. Langsung main asumsi sendiri. Ada beberapa cerita yang saya akan tuliskan satu persatu.

  • CERITA PERTAMA

Di sebuah mall besar di kawasan Surabaya Timur, saat saya akan masuk ke dalam, ada pemeriksaan peduli lindungi. Karena waktu itu modem data saya belum datang, jadi saya malas menghidupkan data internasional. Saya mencari kertas bukti vaksin yang bisa dipakai verifikasi. Saat sedang mencari kertas di tas, salah satu petugasnya tiba – tiba bertanya, “Sudah lama mbak kerja dengan mereka?” sambil melihat ke anak – anak saya. “Bagaimana Pak, maksudnya, saya tidak paham” saya bertanya kembali. “Mbaknya sudah lama kerja sama orangtua mereka?” Sambil melihat bergantian antara muka saya yang tertutup masker dan ke anak – anak. “Saya Ibu kandung mereka” Saya menjawab dengan tegas sambil melihat langsung ke mata bapak yang bertanya tadi. “Oh silahkan masuk Mbak, ga usah dicari kertasnya. Masuk saja.”

Saya sampai ketenggengen ditanya seperti itu. Saking ketenggengan sampai mau marah saja tidak bisa.

  • CERITA KEDUA

Masih di mall yang sama. Jadi saya ke mall ini ingin mencari camilan buat anak – anak. Ini hari pertama saya keluar dari hotel setelah malam sebelumnya tiba di Surabaya dari penerbangan panjang Belanda – Jakarta – Surabaya. Jadi saya masih belum mempelajari suasana sekitar hotel seperti apa. Saya sudah tau mall ini, karena dekat dengan tempat kuliah. Nah saat masuk ke supermarket yang menjual makanan – makanan impor, di pintu depannya ada petugas. Dia tidak menanyakan peduli lindungi, malah bertanya, Wes suwe mbak dadi rewange arek – arek. Lucu – lucu yo rupane.” Terjemahannya : -Sudah lama Mbak jadi pembantunya anak – anak? wajahnya lucu – lucu ya-

Saya langsung jawab sambil menahan marah dan airmata saking kesalnya, “Saya Ibu kandung mereka. Belajar sopan santun ya Pak kalau bertanya.” Lalu saya masuk ke dalam dengan penuh kekesalan. Benar – benar membuyarkan mood saya hari itu.

  • CERITA KETIGA

Saat naik taksi di Jakarta, arah dari hotel ke rumah bulek saya. Sudah duduk di dalam taksi, anak – anak mulailah ngobrol sendiri. Mereka ngobrol tentu saja bahasa campuran antara Indonesia, Belanda dan Inggris. Lalu sopir taksinya melihat dari kaca spion, “Lucu ya ngomongnya campur – campur. Pintar bahasa Indonesianya. Asalnya darimana mereka Mbak?” Saya jawab pendek, “Belanda Pak.” Lalu dia bertanya lagi, “Orangtuanya apa tinggal di Indonesia kok mereka bisa bahasa Indonesia?” Saya jawab pendek lagi, “Nggak, Pak” Dia melanjutkan, “Mbaknya sudah lama kerja sama orangtuanya ya, sampai mereka manggil Ibu ke Mbak.” Saya jawab lagi, “Saya memang Ibu kandung mereka Pak. Saya ga kerja sama mereka.” Ya Allah keseeell banget!!

Saat saya ceritakan ke suami, sampai saya menangis. Suamipun marah kenapa orang Indonesia (tentu saja yang saya ceritakan di atas) dengan gampangnya bisa melontarkan perkataan kasar dan tidak sopan seperti itu. Saya bilang ke dia kalau saya capek ke mana – mana hampir selalu disangka sebagai pengasuh mereka. Saya sampai bilang : untung kamu ga ikut pulang. Bayangkan kalau aku jalan – jalan sama kalian, bisa selalu disangka kerja sama kalian, bukan dilihat sebagai istrimu dan ibu dari anak – anak. Dan kejadian ini selalu saya dapatkan di kota besar. Bukan di kota kecil. Padahal saat bertanya seperti itu, muka saya tertutup masker, sehingga mereka tidak melihat seutuhnya wajah saya. Sampai ada masanya saya jadi mengamati sendiri apa sebeda itukah wajah saya dengan anak – anak. Apa tidak ada miripnya. Padahal ya selama ini mereka yang sudah ketemu langsung dengan anak – anak, bilang kalau garis wajah mereka campuran dari saya dan bapaknya. Kenapa begitu di Indonesia, adaa saja komentar yang membuat hati saya down sampai ke arah tidak percaya diri. Ini hanya saya alami selama mudik 9 minggu di Indonesia. Di Belanda tidak pernah saya mendengar komentar seperti itu.

Malah saya sampai mikir apa penampilan saya ini tidak mencerminkan Ibu dari anak – anak berdarah campur atau gimana, apa terlalu lusuh atau kurang mewah. Apa saya harus berpenampilan penuh dengan merek – merek mahal jadi tidak diragukan sebagai Ibu mereka. Apa tampilan saya kurang mentereng jadi tidak pantas dilihat jadi istrinya orang Belanda. Kenapa saya selalu dicurigai bukan Ibu mereka selama di kota – kota besar di Indonesia. Sedih lho ini menuliskan seperti ini. Saya yang mengandung mereka dan melahirkan. Sampai airmata saya keluar lagi mengingat kejadian waktu mudik. Nelongso. Saya tidak pernah mendapatkan perlakuan seperti ini selama di Belanda.

Taman Harmoni - Surabaya Timur
Taman Harmoni – Surabaya Timur

NYOSOR CIUM PIPI

Sejak anak – anak masih di bawah tiga tahun, bahkan sejak masih bayi, kami sudah mengajarkan pendidikan sex dimulai dari penyebutan secara benar anggota tubuh dan alat kelamin. Penis untuk pria dan vagina untuk wanita. Sebelum masuk usia sekolah, kami mulai mengkomunikasikan siapa saja yang boleh dan tidak boleh menyentuh alat kelamin mereka. Bahkan untuk mencium pipi pun, kami bertanya lebih dulu boleh tidak, untuk mengajarkan privasi , respect dan batasan pada anggota tubuh mereka. Kalau mereka tidak membolehkan, kami tidak akan memaksa. Hal ini sering terjadi. Saat mereka tidak mood, saya ingin mencium pipi mereka karena gemas misalkan, ya mereka tidak mau. Saya tidak memaksa.

Begitu juga untuk urusan mengambil foto mereka. Kami selalu meminta ijin boleh tidak untuk difoto. Mau tidak difoto. Kalau mereka tidak mau, ya kami tidak memaksa. Jadi mereka sudah punya batasan dan tau kapan batasan tersebut digunakan. Terhadap badan dan privasi. Sekalinya kami merusak batasan yang mereka sudah bangun, takutnya mereka tidak merasa nyaman lagi dengan kami. Padahal yang ingin kami bangun adalah mereka merasa nyaman dan aman di dalam keluarga. Bahwa rumah dan keluarga adalah tempat yang aman dan nyaman selamanya meskipun mereka sudah tidak bersama kami lagi. Bahwa mereka percaya dengan kami dari contoh yang kami berikan.

Di Indonesia, beberapa ibu – ibu terutama yang tidak saya kenal sama sekali, langsung nyosor mencium anak – anak. Bayangkan, langsung mencium pipi mereka. Karena mereka sudah kami ajari hal – hal yang kami sebutkan di atas, reaksi saat dicium, mereka kaget dan langsung membentak : STOOPP!! GA BOLEH CIUM – CIUM PIPI!! dilanjutkan dengan sikap badan membersihkan pipi yang dicium tersebut dengan pergelangan tangan. Saya pun langsung menegur dengan geram dan keras : Ibu, yang sopan ya. Jangan kurang ajar asal main cium anak orang sembarangan!! Jaga sopan santunnya. Saya ngomong kencang sambil nunjuk – nunjuk muka si Ibu itu. Marah, kesal dan sedih campur jadi satu. Membayangkan pipi anak – anak sudah ketempelan kuman virus apa, kan saya tidak tau sehat apa tidak orang – orang itu.

Hal tersebut kejadian beberapa kali. Tukang sosor ada di mana – mana. Dan ini bukan dari pihak orang yang saya kenal. Dan selalu di kota besar yang saya datangi. Bayangkan, mengerikan sekali ini. Sangat kurang ajar.

MENYODORKAN TANGAN UNTUK SALIM

Sebenarnya ini pertanyaan saya sejak dulu kala. Ada obsesi apa dengan orang Indonesia yang nampaknya selalu menyodorkan tangan kepada anak kecil atau yang lebih muda dalam posisi untuk dicium. Salim dalam kata pendeknya. Saya sendiri melakukan salim hanya kepada keluarga dekat yang jauh lebih tua. Misalkan : Ibuk, Bapak, Mbah Putri, Bude. Selebihnya saya tidak salim. Hanya salaman sambil agak menundukkan badan. Bagaimanapun juga, saya masih produk didikan generasi lama dimana gesture badan itu wujud dari kesopanan.

Saya paham karena diajarkan kalau salim adalah bentuk kesopanan. Hanya, saya tidak mengajarkan cara ini kepada anak – anak. Ada dua alasan :

  • Higienis. Ini alasan utama karena tidak tau kondisi tangan seseorang seperti apa. Tidak yakin bahwa tangannya bersih dalam artian sudah dicuci sebelumnya. Bisa saja setelah memegang sesuatu atau setelah mengerjakan sesuatu. Jadi daripada ragu, mending tidak usah sekalian. Apalagi dalam situasi Covid kan, kalau perlu tidak usah berjabat tangan.
  • Tinggal di Belanda tidak ada salim. Saya tidak pernah mengajarkan salim ke anak – anak karena mereka tinggal di Belanda dan salim tidak ada dalam budaya sini. Saya tidak mau membuat mereka bingung, pun orang lain bingung kalau mereka melakukannya. Saya hanya komunikasikan bahwa di Indonesia, anak – anak biasa salim kepada orangtuanya. Atau yang lebih muda kepada yang dituakan atau lebih tua. Tentu saja mereka bertanya kenapa ada salim. Saya jelaskan bahwa di Indonesia, salim adalah bentuk kesopanan. Kamipun bilang kalau mereka tidak perlu salim kepada kami.

Sebelum mudik, jauh hari sudah saya komunikasikan ke mereka bahwa saat nanti di Indonesia, hanya boleh salim ke Mbahnya (Ibu saya) saja. Selebihnya tidak boleh, jabat tangan saja sudah cukup. Karena alasan higienis dan covid. Jadi kalau ada yang menyodorkan tangannya untuk salim, jawab saja tidak mau. Mereka sudah paham dan mengerti alasan tidak boleh salim ke sembarang orang.

Pada saatnya, memang banyak yang menyodorkan tangan dalam posisi salim. Bahkan tidak segan – segan menyorongkan punggung tangan ke hidung anak – anak. Mereka langsung dengan tegas bilang : Tidak boleh salim takut tangannya kotor. Kalau yang paling kecil akan bilang secara singkat : Aku ga mau salim.

Oh tentu saja saya mendapatkan banyak sekali teguran kenapa kok mengajarkan hal yang “tidak sopan” ke anak – anak. Kenapa kok sok banget jadi anak bule. Dan banyak komentar pedas lainnya (bukan dari keluarga dekat). Saya jawab saja dengan santai : Mereka tau sendiri mana yang boleh dan tidak. Saya mengajarkan yang menurut saya dan suami benar.

Saya tidak mau ambil pusing. My kids my rules. Selama Ibuk saya selaku mbah mereka tidak protes, disenyumi saja kalau ada yang berkomentar tidak nyaman.

MEMVIDEOKAN TANPA IJIN

Poin ini tidak kalah membuat darah mendidih kalau diingat lagi pada saat kejadian. Di Belanda, yang namanya privacy itu sangat kuat dijaga. Kami sudah terbiasa dengan ini. Di sekolah anak – anak, sejak awal masuk sudah ada formulir persetujuan apakah foto anak bisa diunggah ke website sekolah atau media sosial milik sekolah. Dan kami, sejak awal mereka mulai mengenal bangku sekolah, selalu memilih tidak ingin pihak sekolah membagikan foto mereka di website atau media sosial. Hanya mengijinkan untuk dibagikan di grup orangtua per kelas. Sampai saat ini pun saya dan suami masih dengan kesepakatan bersama untuk tidak mengunggah foto anak – anak di media sosial manapun selama mereka masih belum bisa berpendapat secara sadar apakah fotonya boleh diunggah ke medsos orangtuanya. Bahkan kalau ada kegiatan, orangtua murid selalu anteng tidak mengambil foto atau memvideokan karena tau pihak sekolah sudah ada dokumentasinya. Atau jika diijinkan, kami masing – masing tau diri untuk disimpan sebagai dokumentasi pribadi.

Di Indonesia, kesadaran tentang privasi (terutama pada anak) rupanya agak kurang ya. Paling tidak ini yang saya amati selama di sana. Ada beberapa kejadian tidak mengenakkan yang saya alami :

  • Cerita 1 di dua lokasi indoor playground di Surabaya

Selama di kota besar, saya selalu ke Indoor Playground yang berada di dalam mall. Kalau harus ke outdoor playground, saya terus terang tidak kuat hawa panasnya. Kibar bendera putih. Anak – anak setiap hari pasti bermain di luar kalau di Belanda. Jadi selama di Indonesia, merekapun ingin seperti itu. Untuk mencari nyamannya, ya saya datang ke indoor playground. Di tempat yang pertama, setelah kami masuk ke dalam dan anak – anak mulai bermain, tanpa ada pemberitahuan apa – apa, si Mbak penjaganya tiba – tiba menyorongkan kamera persis di depan muka anak – anak saya yang sedang bermain. Saya yang menunggu dari kejauhan (masih di dalam area) awalnya bingung. Lalu otak saya cepat sadar, oh pasti itu akan diunggah di media sosial mereka. Saya langsung mendatangi dia dan bertanya baik – baik apakah dia sedang merekam dan untuk apa merekam anak – anak saya. Dia bilang untuk bahan promosi di media sosial mereka. Saya katakan kalau saya keberatan dan minta dia untuk menghapus video yang sudah dibuat. Saya juga bilang untuk meminta ijin dulu sebelum merekam. Dia meminta maaf dan menghapus video tersebut di depan saya.

Lalu tidak berapa lama kemudian, saya melihat dia merekam anak – anak yang lain secara dekat. Jadi bukan dari jarak jauh memperlihatkan keseluruhan ruangan. Orang tua si anak – anak ini senang – senang saja anaknya direkam. Ya saya sadari beda orangtua beda aturan ya. Kalaupun yang sedang bertugas merekam secara keseluruhan ruangan, saya tidak akan keberatan karena jatuhnya sudah masuk ruang publik ya. Toh muka anak – anak tidak akan tersorot secara jelas. Saya tidak masalah dengan hal tersebut. Tapi kalau langsung mereka jarak dekat satu persatu saat sedang main, saya keberatan.

Di playground kedua di lokasi berbeda, saya mengalami hal yang nyaris sama. Tiba – tiba ada petugas yang mengikuti anak – anak saat bermain dan merekamnya. Langsung saya tegur juga dan minta videonya untuk dihapus. Mereka memang menghapusnya karena saya menunggu langsung sampai videonya benar – benar terhapus.

Mungkin di Indonesia menjadi hal yang biasa memvideokan anak orang lain tanpa ijin. Saya tidak terbiasa dengan hal tersebut jadinya saya tegur dan minta video tersebut dihapuskan.

  • Cerita 2 di indoor playground di Jember

Ditengah permainan, anak bungsu saya tiba – tiba cranky. Saya melihat dulu dari jauh. Tapi dia masih menangis dan tambah nyaring. Saya lihat dengan jelas, seorang Ibu yang duduk dekat dia, arah membelakangi saya, merekam anak saya yang menangis. Saya bisa melihat saat saya berjalan menuju anak saya. Saya lalu tegur Ibunya, “Bu, sedang merekam anak saya?” Dia menoleh, “Oh anaknya ya Bu. Lucu sekali ya, gemas saya makanya saya rekam. Mukanya bule sekali ya Bu, bapaknya bule ya?” Saya jawab “Bisa dihapus Bu rekamannya? Saya tidak memberi ijin Ibu buat merekam dan Ibu tidak ada ijin apa – apa merekam anak saya yang sedang menangis. Itu namanya pelaggaran Bu” Dia langsung minta maaf dan menghapus rekaman video itu.

Gila yaaaa, ada anak nangis sempat – sempatnya ambil video dan itu anak orang lain pula. Dia ini seorang Ibu lho yang anaknya main di situ juga. Lihatlah, ga ada yang namanya menghormati privasi orang lain. Anak orang divideokan sembarangan yang entah nanti itu buat apa. Lancang sekali. Buat konten media sosial dia atau buat apa, saya ga paham. Yok opo cak, kok gampang men mideo – mideo anak e uwong liyo.

Perkara privasi ini memanglah PR besar di Indonesia.

  • Cerita 3 anak tetangga

Saat kami mengunjungi tetangga di rumah orangtua saya yang satunya, anaknya yang memang dekat dengan saya sejak kecil merekam anak – anak saya bermain. Saya biarkan saja dengan asumsi bahwa dia kan sudah besar dan baru lulus kuliah. Saya berpikirnya dia merekam untuk dokumentasi pribadi. Sampai besok paginya saat saya ke sana lagi untuk menitipkan anak – anak karena saya mau laser kutil – kutil di wajah, tetangga saya ini bilang kalau banyak yang berkomentar lucu di video yang dibuat anaknya. Wah, saya langsung kaget dan bertanya ke anaknya itu diunggah ke mana video yang dia buat. Dia bilang di whatsapp status. Saya bilang ke dia : kamu boleh merekam anak – anak karena saya kenal kamu, tapi buat dokumentasi pribadi saja ya siapa tau nanti kangen sama mereka. Jangan diunggah ke whatsapp story atau di media sosial manapun. Buat diri sendiri saja.

Setelahnya, dia sama sekali tidak mau merekam atau memfoto anak – anak. Jadi, daripada main asumsi, harusnya saya sampaikan saja di awal perihal video atau foto. Karena memang tidak semua orang sensitif perihal membagikan foto atau video yang harus seijin dulu.

  • Cerita 4 random lainnya.

Saat itu kami selesai main di indoor playground di kota yang sama dengan cerita nomer 3, kami duduk – duduk di depan pusat pertokoannya karena menunggu dijemput adik saya. Anak – anak bermain sendiri. Tidak jauh di depan saya duduk, ada dua perempuan berjilbab panjang yang sedang memegang telefon. Awalnya saya pikir mereka sedang posisi video call an. Lama – lama saya curiga karena mata mereka bergantian antara lihat telefon dan melihat anak – anak. Sesekali mereka bisik – bisik ngomong : duh lucunyaa, bule banget. Belum sempat saya berdiri untuk bertanya apa mereka sedang memvideokan anak – anak atau ambil foto, salah satu dari mereka tiba – tiba menghampiri si sulung trus memberikan instruksi : hai hai, coba bilang halooo, say haaiii. Dia benar – benar menyorongkan Hp nya dalam posisi vertikal persis depan muka si sulung. Saya langsung berdiri dan menegur, “Mbak, sedang apa ya?” Dia jawab, “oh ini live di IG karena anak ini lucu sekali, bule banget. Ini banyak yang komen pada suka.” Saya langsung dengan suara keras, “Matikan sekarang HPnya. Dia anak saya dan saya tidak memberikan ijin apapun sebelumnya untuk merekam anak – anak saya, mengambil fotonya bahkan menaruhnya di live IG kamu. Sangat tidak sopan ya itu. Lancang! Sudah sedewasa ini perihal sopan santun sesederhana ini saja tidak bisa. Bisa saya lihat galery fotonya, kalau ada foto atau video anak – anak, saya minta dihapus sekarang juga.” Lalu dia menunjukkan galery foto yang ternyata ada beberapa foto dan rekaman video anak – anak. Dia langsung menghapus, minta maaf, dan pergi dari situ bersama temannya.

Ya Allah Live IG Cak!! Kene sing ibuk e ae ga tau live2an kok iki dadi nggawe konten anak e uwong liyo.

Ngeri sekali kan kalau ada orang yang tidak dikenal tiba – tiba mengambil video, foto tanpa sepengetahuan kita. Apalagi ini video atau foto anak – anak. Saya tidak tau nanti akan berakhir di mana foto mereka. Jaman sekarang banyak hal bisa terjadi. Susah payah kami menjaga mereka, eh orang lain berlaku sembarangan. Jadi saya melakukan sebisa mungkin pencegahan yang masih bisa saya jangkau dan bisa saya kendalikan. Ini memvideokan yang ketahuan mata ya, entah apa ada yang memvideokan atau memfoto yang tidak ketahuan lalu diunggah di medsos dengan narasi sendiri seperti yang akhir – akhir ini banyak terjadi. Entahlah.

Begitulah beberapa cerita tidak menyenangkan yang saya alami kebanyakan menyangkut anak – anak dan kejadiannya di kota besar. Di desa, kampung dan kota kecil malah ga ada yang peduli. Kami dianggap manusia normal. Apalagi keluarga besar saya, tidak memperlakukan kami istimewa dan tidak sibuk foto – foto atau memvideokan anak – anak. Biasa saja. Kalau diingat lagi memang menyakitkan dan membuat marah. Bagaimanapun, ini bagian dari cerita mudik kami yang ada bagian menyebalkannya, harus saya tuliskan di blog sebagai bahan pengingat diri sendiri dan yang membaca bahwa kejadian – kejadian ini nyata kami alami dan supaya jadi pembelajaran bagi siapapun yang baca (juga kami) tentunya untuk berhati – hati. Memang yang namanya kejadian tak terduga pasti akan selalu ada. Hanya saja, bisa jadi gambaran untuk mereka yang akan membawa anak – anak mudik ke Indonesia, terutama yang penampilannya mencolok mata karena berdarah campuran, untuk lebih berhati – hati. Saya yang sudah mempersiapkan diri sangat berhati – hati saja, masih menemui hal – hal yang seperti ini.

Kembali lagi, ini cara kami menjaga anak – anak. Pasti akan beda aturan dengan keluarga yang lain. Jadi yang saya ceritakan pada tulisan kali ini, berbeda dengan value keluarga kami dan masuk area yang tidak menyenangkan.

Semoga tulisan saya ini dibaca oleh mereka – mereka yang sering diam – diam memvideokan anak – anak atau mengambil foto tanpa ijin maupun kejadian random lainnya, yang suka mencolek maupun mencium anak – anak sembarangan, yang suka menghakimi penampilan Ibu yang tidak mirip anaknya, dan yang gampang melontarkan perkataan tidak sopan. Bertobatlah bertobatlah!! Perbuatan Anda Anda sekalian sangatlah tidak terpuji dan di luar batas kesopanan. Lancang dan kurang ajar!

  • 4 Oktober 2022-

Tidak Semua Hal Perlu Dikomentari

Cukup soto ayam saja yang pedas. Komentar jangan pedas

Pada suatu era, saya gampang sekali berkomentar. Dari komentar yang membangun sampai paling menyebalkan. Dari komentar yang memang perlu sampai yang tidak penting. Pokoknya, saya harus berkomentar.

Ada hal – hal yang memang membutuhkan komentar, masukan, ide atau saran. Misalnya, yang berhubungan dengan pekerjaan, teman yang membutuhkan saran, suami yang bertanya ide atau masukan untuk pekerjaaannya, bahkan saudara yang minta tolong dikasih urun pendapat tentang permasalahan yang sedang dihadapinya.

Tapi ada banyak hal juga yag sebenarnya tidak perlu – perlu banget untuk dikomentari. Nah saya, pernah ada di periode menyebalkan karena menjadi polisi komentar. Semua hal perlu saya komentari, kasih masukan, bahkan hal yang sebenarnya receh remeh saya kasih komentar dalam rangka ingin mengkoreksi apa yang diucapkan atau dituliskan.

Kenapa saya tuliskan kalau hal yang pernah saya lakukan tersebut menyebalkan? Karena kalau dipikirkan ke belakang lagi, saya sudah merusak kebahagiaan atau kesenangan banyak orang. Hanya dari sebuah komentar yang saya lontarkan yang saya pikir hanya sebuah tulisan atau ucapan tak ada makna, ternyata bisa merusakkan suasana hati. Saya seperti ingin meluruskan banyak hal, padahal tanpa perlu saya luruskan pun, tidak akan merusak tatanan dunia.

Contoh 1 : Kalau ada yang menuliskan yang berhubungan tentang sample data atau populasi, saya langsung berlagak paling pintar statistiknya. Misal : Ada yang menuliskan “Orang Belanda terbukti paling pelit sedunia”. Sebagai lulusan Statistik memang paling tidak bisa melihat tulisan atau status tanpa data yang jelas. Dulu akan saya komentari seperti “Ada datanya tidak yang mendukung opini kamu? Kalau tidak ada angka yang pasti, lebih baik dituliskan : berdasarkan pengalaman pribadi saya. Jadi tidak akan menggiring opini yang mengaminkan hal tersebut

Contoh 2 : Kalau ada orang yang menuliskan hal yang baru diketahui padahal saya sudah tau lama, biasanya saya suka menyelutuk. Misal : Eh aku baru tau lho kalau minuman B ini rasanya enak banget. beli ini lagi ah kapan – kapan. Dulu saya akan memberikan komentar : Lah ke mana aja kamu selama ini. Itu sudah lama tau ada di supermarket. Aku sampai bosen minumnya. Sekarang malah ga doyan.

Contoh 3 : Kalau ada yang menunjukkan suatu benda yang dia sukai dan saya tidak suka, akan saya kasih komentar berdasarkan preferensi saya pribadi. Misal : Aku tuh suka banget lho sama sepatu ini. Warnanya keren kan ya, cakep pula bentuknya. Aku mau beli ah. Dulu akan saya beri komentar : Wah, warnanya aku ga suka. Bentuknya apalagi, kayak yang murahan gitu.

Banyak sekali contoh lainnya. Ada saja komentar saya yang bisa merusak suasana hati maupun suasana nyata pada saat itu. Seperti ingin menganggu atau tidak senang melihat orang lain sedang menikmati apa yang ada di depannya. Atau ingin terlihat paling jago di bidang tersebut atau ingin terlihat paling beda. Sangat menyebalkan.

Untunglah dengan bertambahnya umur dan makin bertambah pengalaman hidup, saya jadi lebih banyak belajar untuk mengendalikan komentar. Apalagi diera media sosial yang semakin jadi sahabat sehari – hari karena lekat di hati, rasanya setiap orang punya banyak waktu untuk berkomentar, dari yang super pedas sampai yang biasa saja.

Cukup soto ayam saja yang pedas. Komentar jangan pedas
Cukup soto ayam saja yang pedas. Komentar jangan pedas

Saya sekarang lebih seringnya menjadi pengamat saja. Tidak terlalu vokal memberikan komentar terutama di media sosial. Kalaupun mau rasan – rasan, ya saya lakukan di lingkaran yang memang saya percaya. Patokan saya adalah tidak semua hal perlu dikomentari atau perlu mendapatkan komentar. Pilih dan pilah.

Kalau ada yang menuliskan seperti contoh 1 yang saya tuliskan di atas, jika tidak akan menjadikan kebohongan publik, ya akan saya lewati saja. Tidak perlu saya tanyakan dari mana asal datanya. Meskipun di kepala saya sudah melekat ajaran dari perkuliahan : speak based on data, tapi ya pusing juga kalau tiap hal perlu saya koreksi samplingnya, populasinya, CI atau alfa errornya. Lha ini saya dosen kesasar atau gimana. Kalaupun saya melihat ada yang menuliskan hal yang saya ketahui pasti itu tidak benar, kalau tidak terlalu signifikan salahnya, ya saya lewati saja. Tidak perlu semua hal saya betulkan.

Kalau ada yang menuliskan contoh 2, meskipun saya sudah tau lama, sekarang biasanya akan saya komentar : Oh iya, aku pernah mencoba juga. Memang enak. Sudah cukup begini saja. Kalau contoh nomer 3, sekarang saya akan berkomentar : Kalau kamu suka, beli saja. Apalagi warna dan bentuknya kamu banget kan. Tidak perlu menambahkan pendapat pribadi saya. Wong ya tidak ada yang bertanya pendapat saya. Intinya saya tidak mau lagi merusak suasana hati mereka yang sedang bergembira atau menikmati hal yang baru. Turut bergembira saja. Ga perlu sok iyes.

Jika ada yang sedang curhat, saya selalu jadi pendengar yang baik. Kalau tidak ditanya pendapat, ya saya dengarkan. Paling tidal, ikut bersimpati atau berusaha menenangkan. Kalau ditanya pendapat, baru saya akan berpendapat secara keseluruhan. Bukan atas pengalaman pribadi. Nanti jadinya kompetisi penderitaan seperti yang pernah saya tuliskan di sini.

Biarkan orang lain merasakan dengan cara masing – masing kesenangan yang ingin mereka lakukan. Jika hal tersebut tidak menganggu hidup saya, ya sudah tidak perlu dijadikan sebuah perkara. Simpan energi untuk hal – hal yang lebih positif. Komentar saja untuk hal – hal yang menyenangkan. Tidak perlu semua hal perlu dibenahi lewat komentar.

Seringkali menjadi seorang pengamat itu lebih menyenangkan. Apalagi membaca komentar – komentar di twitter kalau ada cuitan saya mendadak jadi viral. Ada saja yang bertengkar karena pro dan kontra. Ya sudah saya simak saja. Lumayan menghibur.

Tidak semua hal perlu dikomentari. Tidak semua perkara perlu dibetulkan atau dikoreksi. Tidak semua hal butuh komentar. Diam saja membaca, kalau masih mengganjal ya sampaikan dengan kalimat yang baik. Kalau masih mengganjal, ya salurkan lewat rasan – rasan dengan lingkaran yang terpercaya. Itulah gunanya punya circle terdekat. Buat tempat analisa keadaan, bahasa halus dari rasan rasan haha.

Jaman sekarang bukan saja pepatah mulutmu harimaumu yang relevan. Tapi jarimu harimaumu. Jaga mulut dan jari.

Tidak perlu ngotot di dunia maya dengan mereka yang kita tidak tau siapa dia. Rugi jiwa raga.

Buat saya, hidup seperti itu lebih simpel.

-20 September-

*Kalau mau komentar di postingan saya yang mana saja, tentu boleh lho ya. Tidak perlu sungkan. Monggo kalau mau komen. Tidak dilarang.

Bahasa Cinta Lewat Makanan

Memasakkan tetangga saat mereka sekeluarga sedang terkena Corona. Sop ayam sayur, cake, dan mie goreng.

Love Language.

Saya sudah menyadari sejak dulu kala kalau bahasa cinta yang saya berikan ke orang terdekat dan orang lain itu adalah sentuhan dan pujian. Saya sangat suka memeluk suami dan anak – anak tentu saja, keluarga dan beberapa teman dekat. Saya gampang sekali bilang I love You ke anak – anak dan suami. Sebaliknya, anak – anak pun jadi terbiasa mengucapkan I love you atau Ik hou van jou kepada kami. Hanya saja, suami memang bukan tipe orang yang gampang mengucapkan tersebut. Jadi kalau sampai dia mengucapkan kalimat tersebut, sebuah keajaiban sedang terjadi haha. Buat saya akhirnya tidak menjadi masalah karena ungkapan cinta dia lewat perbuatan.

Saya pun gampang memberikan pujian buat siapapun. Misalkan di tram ada Oma yang bajunya bagus, ya saya lontarkan saja omongan : Dress Anda warnanya bagus. Kalau anak – anak mulai bisa naik sepeda, saya puji : goed gedaan! Keren sudah bisa naik sepeda. Pun ke suami misalkan dia projectnya lolos, saya kasih apresiasi : selamat, aku bangga sama kamu. Ke siapapun memang saya gampang memuji.

Saya pun sebaliknya, senang sekali dipeluk atau dicium. Pun selalu tersenyum bahagia kalau mendapatkan apresiasi. Misalnya setelah masak, kalau rasanya cocok, anak – anak akan bilang : Ibu, masakannya enak. Terima kasih ya sudah memasak. Akhirnya anak – anak pun terbiasa untuk mengapresiasi hal – hal kecil di sekitar mereka. Bukan hanya untuk lingkungan keluarga, tapi untuk siapapun.

Rasanya saya sudah melambung di udara :)). Perhatian – perhatian kecil seperti itu membuat hati saya gembira. Oh satu lagi, mungkin bahasa cinta untuk orang lain yang saya lakukan selama ini adalah saya selalu senang merawat dan memberikan perhatian. Sangat totalitas.

Saya pikir hal – hal di atas yang selama ini menjadi bahasa cinta dan biasa diberikan. Sampai beberapa waktu lalu, ada seorang teman menyelutuk : bahasa cintamu ini selalu berbagi makanan dan hasil masakanmu ya. Setiap kali ketemu, ga pernah kamu ga ngasih makanan hasil masakanmu.

Lalu saya tertegun dan mencoba mikir ke belakang. Ternyata iya lho. Saya tidak pernah berpikir bahwa berbagi makanan, masak untuk orang lain, mengundang orang – orang ke rumah untuk makan bersama itu adalah sebuah bahasa cinta. Saya mikirnya ya hal yang biasa dan wajar. Setelah saya pikirkan berhari – hari, bener juga ya, ini merupakan bahasa cinta saya. Berbagi makanan, berkirim ahsil baking, memasakkan makanan untuk orang lain, dan mengundang makan ke rumah.

Awalnya sepertinya karena saya terbiasa melihat Ibuk berbagi makanan kepada siapa saja. Dari mereka yang tidak mampu, teman, saudara, tetangga, mengirim makanan ke semua orang, memasak makanan dalam jumlah banyak karena selain disimpan sendiri juga supaya bisa dibagikan ke beberapa orang. Dengan melihat yang dilakukan Ibuk, rasanya tanpa disadari saya menjadi pengikut Beliau dan melakukan hal yang serupa.

Sejak SD kalau saya mengingat lagi ke belakang, saya selalu membawa makanan yang saya masak sendiri untuk dimakan bersama teman – teman di sekolah. Setiap ada kegiatan di sekolah, saya selalu membawa bekal lebih supaya bisa makan bersama. Hal tersebut selalu saya lakukan sampai dunia perkuliahan. Meskipun posisi saya ngekos, tapi karena ada dapur yang bisa dipakai bersama, saya sering masak juga.

Sewaktu kerja, saya juga sering masak lalu membawa makanan ke kantor dan dimakan bersama seruangan. Seru rasanya. Seringnya saya membawa puding coklat dan vla vanilla. Wah itu laku sekali, katanya enak. Jadi di kantor saya terkenal dengan segala gorengan yang saya buat, sambel, dan puding coklat.

Saat kuliah S2 (10 tahun lalu), setelah saya ingat lagi, saya terkenal sebagai tukang masak diantara teman – teman haha. Setiap hari ada saja masakan yang saya bawa ke kampus. Paling terkenal ya nasi goreng pedes dengan potongan wortel. Saya juga sering mengundang teman – teman untuk makan di rumah. Tanpa ada acara tertentu. Ya makan bersama saja. Saya sering masak dalam jumlah banyak, beragam, dan makan bareng dengan mereka. Intinya saya senang mengundang teman – teman.

Testimoni teman - teman masa kuliah S2
Testimoni teman – teman masa kuliah S2
Testimoni teman – teman masa kuliah S2
Testimoni teman - teman masa kuliah S2
Testimoni teman – teman masa kuliah S2

Masak sendiri semua makanan ini untuk merayakan acara ulang tahun di rumah kos, tahun 2014, bersama teman - teman kuliah S2
Masak sendiri semua makanan ini untuk merayakan acara ulang tahun di rumah kos, tahun 2014, bersama teman – teman kuliah S2

Setelah pindah ke Belanda, rupanya kebiasaan tersebut tetap saya lakukan sampai sekarang. Saya senang sekali memasak dalam jumlah banyak lalu dibagikan ke para tetangga. Pun mengirim makanan untuk teman – teman jauh maupun saudara. Sampai Mama mertua protes : Deny, jangan sering kirim kue, nanti Mama gendut *ngakak. Sejak saya mulai rajin baking, untuk acara khusus di sekolah misalkan Sinterklaas, libur musim panas, Natal. saya selalu berbagi hasil baking kepada para guru anak – anak. Natal tahun lalu saya membagikan bingkisan berisi macarons, cookies, dan brownies.

Bingkisan akhir tahun - sweets- untuk guru di sekolah anak - anak
Bingkisan akhir tahun – sweets- untuk guru di sekolah anak – anak

Sewaktu pandemi, saya juga sering berkirim hasil baking lewat pos untuk beberapa teman. Berpikir bahwa waktu itu keadaan sangat sulit, jadi semoga kiriman yang manis – manis dari saya bisa memberikan suasana jadi sedikit lebih menyenangkan. Beberapa orang yang saya kirimi paket cookies, merasa terkejut dan terharu. Saya senang mengetahui kalau hal tersebut membuat mereka jadi bahagia.

Saya juga berkirim makanan saat ada teman atau tetangga dalam keadaan sakit atau sedang ada kesusahan. Semampunya saya saja karena mikir kalau ada makanan, sedikit bisa mengobati sedih dan bisa mengurangi beban karena ada makanan hangat yang bisa dimakan.

Memasakkan tetangga saat mereka sekeluarga sedang terkena Corona. Sop ayam sayur, cake, dan mie goreng.
Memasakkan tetangga saat mereka sekeluarga sedang terkena Corona. Sop ayam sayur, cake, dan mie goreng.
Untuk teman yang sedang mendapatkan ujian kehidupan
Untuk teman yang sedang mendapatkan ujian kehidupan

Bukan hanya itu saja, saya juga sangat senang mengundang siapapun ke rumah. Tidak harus teman dekat. Ini benar – benar siapapun asal sudah kenal sebelumnya. Misalkan : Oh, nanti pengen masak sayur asem pake ikan asin ah. Eh ngundang Putri enak nih makan bareng. Jadi saya berkirim pesan ke Putri apa hari ini dia kerja apa tidak. Kalau tidak, saya ajak makan siang di rumah. Ini karena rumah Putri dekat dengan rumah saya haha. Segampang itu mengudang untuk makan di rumah. Entah kenapa, saya senang saja kalau bisa makan rame – rame. Suami saya pun tidak keberatan, malah dia sudah terbiasa dengan saya mengundang mereka yang tidak terlalu saya kenal dengan dekat. Ada juga sih peserta tetap yang biasanya akan saya ajak makan di rumah. Atau kalau saya sedang masak banyak tapi tidak sempat untuk ngundang, biasanya saya akan bagikan makanan tersebut dan minta dijemput karena tidak bisa mengantar ke rumah mereka. Ya mereka senang menjemputnya. Ada satu tetangga Indonesia sampai hapal, kalau saya sudah kirim pesan, pasti ada limpahan makanan untuk mereka :)))

Meskipun saya tinggal jauh dengan saudara dan teman – teman baik di Indonesia, saya pun tetap sering berkirim makanan buat mereka. Saya pesan ke restoran atau katering rumahan atau beberapa kenalan yang punya usaha bakery, beli untuk dikirimkan kepada mereka. Bahasa cinta lewat makanan tetap tersampaikan 🙂

Satu lagi yang jadi kebiasaan saya berhubungan dengan makanan, setiap main ke rumah teman atau kenalan, pasti saya akan membawa makanan. Pasti itu. Kalau acara ulang tahun pun biasanya saya akan bawa makanan juga, tapi tidak banyak. Misalnya, cupcake atau roti atau makanan lainnya. Untuk disimpan tuan rumahnya. Dan kalau kami mengadakan acara di rumah, saya selalu membuat porsi yang lebih. Tujuannya supaya tamu undangan ada yang dibawa pulang a.k.a bungkus bawa pulang. Tamu kenyang karena makanan di acara dan juga pulang ke rumah membawa makanan.

Itu kenapa sewaktu mudik, yang paling banyak saya bawa sebagai oleh – oleh, ya makanan. Pikir saya, kalau oleh – oleh makanan itu nyata adanya. Bisa langsung dimakan meskipun sisi kenangannya kurang. Karena langsung habis kan. Dan juga saat kembali ke Belanda, saya berkirim oleh – oleh makanan ke beberapa orang, keluarga di sini juga gurunya anak – anak. Semua saya beri oleh – oleh makanan khas beberapa kota yang saya singgahi selama di Indonesia.

Memang menyenangkan buat saya berbagi makanan. Ada yang menanyakan di twitter apakah saya melakukan itu semua hanya untuk mereka yang klik di hati? Tidak juga, saya melakukan itu untuk semua orang. Bahkan mungkin orang yang sedang tidak berhubungan baik, tetap saja saya berbagi makanan ke mereka. Pas kuliah beberapa kali adik kelas yang saya tidak kenal baik juga pengen ikutan makan di rumah, ya saya terima saja haha lumayan meramaikan suasana. Saya tidak bia sa pelit untuk urusan makanan. Entah kenapa, saya berpikir tidak akan pernah merasa dan menjadi rugi untuk berbagi makanan.

Tentu saja saya masak kalau sedang mood ya. Kalau tidak mood ya tidak saya paksakan, nanti bukannya merasa gembira malah tekanan batin :)))

Bahasa cinta lewat makanan, berbagi hasil masakan sendiri atau hasil baking, mengirimkan, dan mengundang orang – orang makan di rumah, ternyata memang menggembirakan buat saya. Ada rasa bahagia yang luar biasa dan kepuasan tersendiri melakukan hal tersebut.

Sekarang saya paham, bahwa yang selama ini saya lakukan dan tidak menyadari kalau itu juga merupakan bahasa cinta adalah Berbagi makanan.

Bahasa cinta kalian, apa?

-13 September 2022-

Tentang Kebahagiaan

Bakers gonna bake

Beberapa hari lalu, saya bertemu dengan seorang teman setelah kelas baking. Kami hanya berbincang sebentar karena memang waktu yang kami punya tidak banyak. Disela pembicaraan yang topiknya ke sana dan ke sini, dia lalu bertanya : Apakah ini yang ingin kamu jalani sekarang? Apa ini membuatmu bahagia?

Saya butuh waktu beberapa detik untuk bereaksi, mencoba untuk mencerna pertanyaannya. Nampak biasa tapi sebenernya pertanyaan yang sulit.

Hidup saya selama hampir 8 tahun di Belanda sangat jauh berbeda dengan kehidupan saya di Indonesia. Di negara yang pada akhirnya saya panggil sebagai rumah kedua, tempat di mana saya menciptakan sebuah keluarga, hidup saya jauh lebih baik. Secara batin, secara spiritual, secara kematangan berpikir, dan bahagia yang saya rasakan dari dalam.

Umur dan waktu jelas berpengaruh dengan diri saya saat ini. Sewaktu di Indonesia, saya jauh lebih muda dengan segala ambisi dan keinginan yang menggebu. Saya rasa, itu wajar. Ada banyak hal yang ingin saya kejar. Ada banyak penasaran yang ingin saya tuntaskan. Ada banyak puncak yang ingin saya taklukkan. Dan ya, saya sudah mendapatkan itu semua. Saya hanya menghidupi diri sendiri, tidak punya kewajiban menghidupi orangtua dan anggota keluarga yang lainnya. Saya hidup lebih dari cukup secara materi dan keduniawian.

Yang saya rasakan tidak wajar adalah, saya melakukan semua hal tersebut karena ingin membuktikan bahwa saya hebat, saya cemerlang, dan saya layak untuk mendapatkan pujian. Akhirnya saya merasa kelelahan karena selalu mengejar pengakuan khalayak ramai. Saya mendapatkan semua yang saya targetkan. Saya mendapatkan apresiasi yang besar. Saya sukses secara karier dan harta atas kerja keras penuh lelah. Namun saya lupa menanyakan apa diri saya bahagia. Saya lupa untuk melihat ke dalam apakah benar ini yang saya ingin lakukan. Saya selalu berlari seperti orang kehausan mencari sumber air tapi tak juga menemukan. Saya tak pernah puas ketika sudah sampai pada satu titik tujuan. Saya tersengal – sengal. Saya capek. Semua saya dapatkan. Namun jauh di dalam hati, saya kesepian, saya merasa sendiri di tengah segala apa yang saya capai. Ternyata, saya tidak sebahagia yang dipikirkan. Saya merasa kosong. Hati saya seperti pasar, ramai. Hati saya susah mendapatkan ketenangan. Kemrusung.

Bakers gonna bake
Bakers gonna bake

Ketika umur bertambah, lingkaran pertemanan makin mengecil, punya lingkungan baru untuk tempat hidup, jauh dari keluarga, sontak cara pandang saya pun berubah. Tidak dalam waktu yang singkat, saya akhirnya lebih bisa berdamai dengan pikiran dan keinginan. Saya belajar menerima diri sendiri. Saya punya kesempatan untuk jauh dari keramaian dan tidak lagi memenuhi ekpektasi banyak orang.

Saya belajar untuk meredam hasrat supaya dunia melihat saya. Saya belajar untuk membahagiakan diri sendiri, bukan apa yang orang lain ingin lihat dari saya. Saya belajar untuk sadar secara keseluruhan. Sadar pikiran, sadar hati, sadar jiwa, dan sadar perbuatan. Saya belajar untuk bersyukur dari hal sekecil apapun. Belajar menerima bahwa marah adalah hal yang wajar. Belajar memahami bahwa manusiapun punya waktu untuk rapuh, sedih. Saya belajar menerima semua perasaan tersebut. Menerima bahwa saya berhak untuk lelah. Menerima bahwa saya tidak harus bisa semua. Menerima bahwa saya ternyata bukan seorang pribadi yang mampu segalanya. Saya menerima bahwa saya punya keterbatasan. Dan itu, tidak apa – apa. Saya menerima diri saya sendiri, seutuhnya. Diri yang bertahun lamanya, tercampakkan oleh keinginan untuk diakui. Pengakuan yang tak pernah berujung untuk dituju.

Saya belajar untuk bahagia dengan cara yang saya inginkan. Saya, pada akhirnya tau alur hati untuk lebih tenang. Saya, yang seiring berjalan waktu lebih banyak berucap syukur secara sadar. Saya bisa merasakan bahagia yang asalnya dari hati, bukan dari pengakuan orang lain. Hati saya jauh lebih tenang. Otak yang selalu ramai dengan pikiran yang ke sana dan kesini, perlahan mulai reda. Resah dengan kekhawatiran yang berlebih akan apa yang terjadi esok dan lusa, perlahan mulai menurun kadarnya.

Saya belajar untuk menerima.

Butuh latihan panjang untuk sampai pada titik menerima diri sendiri apa adanya. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk bisa mencintai diri sepenuhnya. Butuh banyak dialog dengan pikiran maupun orang – orang yang bisa saya jadikan tempat untuk diskusi, bahwa saya ternyata tidak sehebat yang orang lain lihat selama ini. Saya akhirnya menerima konsep bahwa dunia ini hanya tempat singgah yang sejatinya butuh untuk dijalani sewajarnya saja. Segala hal yang diluar jangkauan, berusaha untuk tidak saya risaukan lagi.

Semua yang saya putuskan saat ini, yang saya jalani sekarang, yang saya rasakan hari ini, adalah hasil saya menengok ke dalam. Hasil dari saya banyak berdialog dengan diri sendiri. Tidak lagi saya sibuk berpikir apakah orang akan melihat saya hebat, apakah orang akan melihat saya sempurna, atau apakah mereka akan senang dengan pencapaian yang saya raih. Saya selesai dengan itu semua.

Saya menjalani hidup saat ini, hari per hari. Bersyukur untuk hari ini, besok jalani syukur yang lainnya. Jangan dibuat resah. Lelah cukup untuk hari ini, besok pasti akan ada lelah yang lainnya. Kesukaran untuk hari ini, cukupkan sampai di sini. Besok akan ada cerita yang lainnya. Semakin banyak syukur yang saya sematkan di hati, dengan segala naik dan turun hari per hari, semakin saya lebih bahagia dengan diri sendiri. Bahagia yang membuat tenang.

Apa yang saya lakukan saat ini, segala keputusan yang saya jalani sekarang, segala dinamika hidup yang saya hadapi langkah per langkah, sudah cukup untuk membuat saya bahagia tanpa resah dengan penilaian orang. Saya mencukupkan batin dan pikiran. Saya mencukupkan keinginan. Saya mencukupkan kebutuhan. Saya merasa cukup.

Batin saya lebih bahagia dan ingin menjalani apa yang sudah menjadi keputusan hidup saat ini, sekarang. Apa yang akan terjadi esok hari, nanti, ataupun bertahun di depan, lepaskan saja. Tak perlu saya risaukan. Hidup sudah ada takaran dan aturannya. Hidup sudah ada jatahnya.

Langkah per langkah, hari per hari. Cukup dan bersyukur. Bahagia untuk hari kemaren, saat ini, dan sekarang.

-9 September 2022-

Akhirnya Mudik! (-Persiapan-)

Koper yang dibawa saat mudik pertama kali

Pecah rekor juga tahun 2022 menjadi -pada akhirnya- tahun mudik. Setelah 7 tahun (lebih beberapa bulan) sejak tahun 2015 awal pindah ke Belanda, tidak pernah mudik sama sekali. Setelah dari 2016 rencana mudik selalu tidak jadi atau malah tertunda. Dari akhir 2016 mudik masih sebatas wacana alias belum sampai beli tiket, tahun 2020 awal kami sudah membeli tiket. Saat itu, masih belum terdengar dengan serius selentingan tentang Covid yang akan mempengaruhi segala sendi kehidupan di seluruh dunia. Setelah tiket di tangan, 2 bulan kemudian Covid mulai masuk Belanda disusul lockdown dan tidak disarankan bepergian ke LN oleh pemerintah Belanda sampai beberapa bulan lamanya. Ditambah kondisi di Indonesia sangat suram (ya sama saja di Belanda pun kala itu).

Walhasil 2020 tidak jadi mudik lagi padahal kabar sudah tersiar ke seluruh keluarga besar di Indonesia kalau anak hilang ini (saking lamanya tidak mudik) sudah membeli tiket. Tahun 2021 tidak jadi mudik lagi karena di Indonesia lebih chaos keadaannya ditambah waktu karantina yang lama. Setiap tahun rasanya memberikan harapan palsu pada keluarga di Indonesia, terutama Ibu dan adik – adik. Tahun 2022 awal, saya tidak berani berencana pulang karena waktu karantina yang berubah tak tentu. Bahkan saat detik – detik kami akan mengganti tiket, karantina jadi 14 hari. Guendeng! lapo ae 14 hari nang hotel iku dikurung ga isok nang endi – endi. Ada satu lagi yang membuat cemas, bukan covid di Indonesia tapi Demam Berdarah waktu bulan Februari meningkat kasusnya. Saya khawatir karena selama di Indonesia kami akan tinggal di desa yang dikelilingi tegalan dan banyak sekali nyamuknya. Ditambah lagi saat itu musim hujan. Makanya niatan untuk mudik masih maju mundur. Ragu.

PADA AKHIRNYA

Saya sebenarnya ingin bersikeras mudik tahun 2022 karena tahun ini kesempatan terakhir kami bisa berlibur di luar liburan resmi sekolah. Dan juga, saya ingin sekali berpuasa Ramadan dan Lebaran bersama keluarga besar di sana. Awal April sudah mulai Ramadan dan awal Mei Lebaran. Jadi saya sangat ingin saat Ramadan sudah ada di Indonesia. Keputusan mudik masih maju mundur terkendala : waktu karantina yang berubah setiap saat dan suami masih belum bisa masuk Indonesia menggunakan visa turis (bahkan VOA pun ditiadakan). Untuk karantina, meskipun dengan berat hati akhirnya kami berkompromi : Ok lah ga masalah karantina merelakan uang untuk bayar hotel supaya dikurung di dalam. Yang penting mudik.

Permasalahan karantina, sudah tercapai kata sepakat. Saya mulai mencari informasi hotel yang cocok untuk kami sekeluarga. Cocok di sini terutama luas ruangan, makanan, dan juga budgetnya.

Permasalahan kedua, visa suami. Ada cara mengakali dengan menggunakan visa bisnis melalui agen perjalanan. Saya mulai mencari informasi agen perjalanan yang terpercaya, mengirimkan email caranya bagaimana, dokumen apa saja yang disiapkan, dan biayanya berapa. Semua sudah jelas hanya kok rasanya tidak sreg ya. Seperti masuk ke Indonesia dengan berbohong. Semacam was – was. Nanti kalau ada apa – apa bagaimana. Perkara visa ini akhirnya mbuletisasi tiada arah sampai awal Maret.

Yang menjadi permasalahan pamungkas adalah, suami baru saja pindah kerja. Kami mikirnya masa iya baru pindah kerja trus cuti liburan dalam waktu yang lama. Kami waktu itu rencana akan 6 minggu tinggal di Indonesia. Menghitung misalkan waktu karantina 14 hari, tersisa 4 minggu dihabiskan bersama keluarga. Akhirnya jadi ragu lagi, ga enak juga sama kantor yang baru. Belum apa – apa kerja, sudah ambil liburan yang lama.

Akhirnya awal Maret kami sepakat dengan satu hal yang sebenarnya tidak ingin kami lakukan. Saya dengan legowo bilang ke suami : ya sudah, aku mudik saja sama anak – anak. Soalnya kalau nunggu kamu, kok ruwet tiada akhir ya. Kayaknya sih bisa aku sama mereka saja mudiknya. Kayaknya ya (masih terdengar ragu – ragu saat itu). Suami menyetujui karena dia sadar diri sumber keruwetan ini adalah dia hahaha.

Keputusan sudah ok, saya mudik hanya dengan anak – anak saja, dua balita, tanpa suami. Selanjutnya, mengurus tiket.

TIKET

Tiket yang kami beli tahun 2020, oleh pihak Garuda selalu diperpanjang otomatis tiap tahun. Waktu itu ada dua pilihan, memperpanjang waktu tiket atau diminta kembali uang dalam bentuk voucher. Kami memilih yang pertama karena memang kami sudah berencana mudik meskipun waktunya entah kapan.

Saya lalu menghubungi Garuda untuk mengganti nama suami jadi nama anak kami yang terakhir. Karena saat membeli tiket awal, dia masih yang gratisan (ya tidak gratisan, hanya membayar sekian euro). Mendapat jawaban dari Garuda kalau prosesnya maksimal 2 minggu. Lalu saya mulai menentukan tanggal kapan berangkat ke Indonesia dan kapan kembali ke Belanda.

Tidak sampai seminggu, sudah ada jawaban dari Garuda kalau anak kami sudah bisa mengurus tiket atas nama sendiri, limpahan tiket dari suami. Tanpa ada biaya tambahan, kami malah mendapatkan kembalian uang lumayan dalam bentuk voucher. Kami mulai mengurus tiket untuk bertiga. Saya mengurus tiket melalui fasilitas Chat di website mereka juga meminta fasilitas meet and assistance karena saya membawa 2 balita sendirian, juga meminta menu makan khusus anak.

Minggu kedua Maret, tiket sudah ada di tangan. Selanjutnya mengurus segala macam dokumen.

DOKUMEN PERJALANAN DAN VAKSIN

Meskipun belum ada waktu pasti akan mudik, berbekal optimis, saya mulai mempersiapkan dokumen – dokumen atau melengkapi persyaratan mudik sejak awal Februari. Dimulai dengan mendaftarkan vaksin ke kementrian kesehatan Indonesia karena butuh waktu lama untuk mendapatkan persetujuan apakah vaksin yang sudah dilakukan sesuai standar mereka. Ternyata dalam waktu 4 hari saya sudah mendapatkan jawaban disetujui. Saya sudah vaksin sampai booster. Lalu saya mulai mengotak- atik aplikasi peduli lindungi. Mulai mempelajari bagaimana cara kerjanya.

Setelah mendapatkan tiket, kami mulai mengurus ijin sekolah anak – anak, mendaftarkan vaksin perjalanan untuk mereka. Anak – anak mendapatkan 3 vaksin (yang bayarnya aduhai mahal tidak diganti asuransi) yaitu : hepatitis A dan typhus 2 kali. Dokumen lain yang saya persiapkan adalah mengisi segala macam formulir : Formulir yang harus diisi suami menyatakan dia mengijinkan saya membawa anak – anak keluar Belanda, formulir deklarasi kesehatan, ngeprint bukti vaksin, lalu ada beberapa dokumen lainnya. Yang tidak kalah pentingnya, saya cetak semua dokumen yang sebenarnya sudah ada versi digitalnya. Jaga – jaga saja supaya ada backup-nya. Nampak ribet ya, karena memang saat saya mudik itu, masih kondisi yang ribet. Apalagi saya mudik sendiri tidak bersama suami, jadi saya meminimalisir segala error yang mungkin akan terjadi di lapangan. Tidak terbayang kalau bawa dua balita sendirian ditambah ada ruwet dengan dokumen. Jadinya mending ribet di awal daripada ruwet di akhir.

MENCARI HOTEL KARANTINA

Tanggal berangkat sudah ada, saya lalu menghubungi hotel yang masuk sebagai hotel resmi karantina. Kalau tidak salah ingat, waktu itu karantina sudah berkurang jadi 9 hari dari 14 hari. Hotel yang saya pilih ini juga hasil memantau grup orang – orang Indonesia yang tinggal di Belanda yang sudah mudik dan beberapa orang lainnya yang akan mudik juga. Mereka biasanya akan memberikan testimoni keadaan hotel. Yang jadi pembicaraan hangat saat itu adalah hotel yang memberikan hasil tes pcr positif. Istilahnya hotel yang mengcovidkan. Berita ini simpang siur dan jelas dipertanyakan kebenarannya. Tapi ya lagi – lagi, untuk amannya, entah itu benar atau tidak, saya menghindari hotel – hotel yang disebutkan.

Setiap hari sebelum hari H berangkat, jumlah hari karantina pun berubah. Bersyukurnya, berubahnya jadi berkurang bukan bertambah. Dari 14 hari menjadi 9 hari, jadi 7 hari, 5 hari, 3 hari. Dan Alhamdulillah, seminggu persis sebelum kami berangkat, ada pengumuman resmi dari pemerintah Indonesia jika pelaku perjalanan dari luar negeri tidak perlu lagi karantina tapi tetap menunjukkan hasil negatif tes pcr maksimal 48 jam (kalau tidak salah ingat 48 jam ya) sejak sample diambil. Perkara karantina terlewati, pada akhirnya tidak ada karantina. Sujud syukur, waktu dan uang terselamatkan. Saya langsung mencari hotel di Surabaya karena rencana akan singgah dulu di Surabaya selama seminggu. Ada banyak yang harus saya urus dan ingin bertemu dengan beberapa teman sekalian istirahat sebelum ke rumah Ibu.

Koper yang dibawa saat mudik pertama kali
Koper yang dibawa saat mudik pertama kali

MEMBELI OLEH – OLEH DAN MENCICIL PACKING

Hiburan saat tegang memantau perkembangan di Indonesia dan menyiapkan segala macam dokumen adalah membeli oleh – oleh. Karena 7 tahun tidak pulang sama sekali, jadi saya membeli oleh – oleh dalam jumlah yang lumayan banyak. Jatah bagasi dari Garuda dengan 3 penumpang total 90kg, jatah di kabin total 21kg. Jadi lumayan banyak kan. Setiap hunting oleh – oleh atau souvenir, hati saya mendadak gembira meskipun mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Untungnya, saat 2020 akan pulang, saya sudah membeli souvenir juga. Jadi, kali ini saya tidak terlalu banyak menambahi. Yang saya bawa sebagai oleh – oleh adalah aneka macam coklat (total sepertinya lebih dari 10kg coklat. Karena menjelang paskah, jadi coklat yang ada juga lucu – lucu bentuknya). Coklat ini saya beli dari yang mewah sampai yang biasa saja. Dari yang harga normal sampai yang harga diskon. Lengkaplah koleksi coklat yang saya bawa mudik. Selain itu saya juga membeli aneka macam parfum yang dibeli di Action. Baju – baju dan tas saya beli di Primark dan HnM. Beberapa macam pernak pernik lucu saya beli online dan action. Kalau coklat saya beli di Lidl, AH, Jumbo dan Action. Lalu saya membeli beberapa souvenir di So Low.

Selain coklat, tak lupa saya bawa camilan khas Belanda yaitu stroopwaffle. Ada beberapa jenis camilan lain juga yang saya bawa. Untuk baju, saya tidak membawa terlalu banyak. Saya pikir, kalau memang kurang saya bisa meminjam baju adik. Untuk baju anak – anakpun saya tidak terlalu membawa banyak. Toh di Indonesia hawanya panas, jadi kalau butuh bisa beli di pasar atau meminjam baju anak – anaknya adik. Perlengkapan lain yang saya bawa beberapa macam obat – obat dan salep. Bawaan saya dan anak – anak cukup untuk 1 koper. Satu koper isi oleh – oleh, sedangkan 1 koper sisanya isi jastipan. Saya membuka jastip supaya mengisi koper daripada kosong kan, lumayan juga menghasilkan uang haha. Intinya saat berangkat ke Indonesia saya membawa barang seminim mungkin supaya saat kembali ke Belanda, segala macam koper bisa saya isi makanan – makanan dan pernak pernik dari Indonesia.

Untuk di kabin saya tidak terlalu banyak membawa barang. Satu koper, tas ransel kecil isi baju dan keperluan anak-anak plus saya, satu tas jinjing isi dokumen dan mainan anak – anak. Total waktu berangkat saya membawa 3 koper besar di bagasi (total sekitar 60kg), koper kecil di kabin, satu tas punggung dan satu tas jinjing. Koper yang di kabin dibantu bawa oleh assistance dari Garuda.

NEXT

Cerita akan berlanjut di postingan berikutnya. Termasuk drama tes pcr dimana 12 jam sebelum keberangkatan hasil tes saya positif. Lalu bagaimana caranya saya bisa tetap naik pesawat sementara hasil tes pcr saya positif? ikuti di postingan selanjutnya.

-Agustus 2022-

Tanpa Basa Basi

Epen - Zuid Limburg (NL)

Beberapa hari lalu, saya melihat status salah satu mutual di Facebook yang membahas betapa orang Belanda itu kalau ngomong atau menyampaikan sesuatu tanpa basa basi. Dia menuliskan sebuah cerita. Ada seorang Expat yang baru pindah ke Belanda, mengirimkan teh satu kotak ke tetangga orang Belanda, sebelah rumah persis. Maksudnya tentu baik, sebagai salam perkenalan dan semacam oleh – oleh gitu mungkin ya. Tidak jelas juga apakah saat memberikan diterima langsung oleh tetangga atau cuma dicentelkan di pintu rumah si tetangga, karena teh sekotak tersebut pada akhirnya dikembalikan kepada si Expat.

Bukan hanya dikembalikan saja tapi juga ada catatannya. Dituliskan kalau si Tetangga ini berterima kasih sudah diberikan teh sekotak. Hanya saja, si tetangga tidak mengkonsumsi teh dengan rasa tersebut. Jadi daripada dibuang, lebih baik dia kembalikan saja. Dia malah menyarankan untuk menukar saja teh tersebut dengan rasa yang dia konsumsi. Jadi akan bisa diminum.

Membaca cerita tersebut, saya tertawa terbahak. Saya punya cerita yang nyaris mirip. Bedanya, ini pengalaman saya langsung. Jadi begini ceritanya.

Saya sudah terbiasa mengirimkan makanan Indonesia yang saya masak ke Mama Mertua yang tinggalnya tidak jauh dari rumah kami. Biasanya suami yang membawa sambil main ke sana. Dia ke rumah Mamanya pasti seminggu sekali. Kalau saya bisa seminggu sekali atau 2 minggu sekali. Sejauh ini, semua yang saya masak, Beliau suka. Saya tau pasti omongan Beliau ini tanpa basa basi, kalau dibilang enak ya berarti betul enak. Kalau Beliau bilang tidak terlalu suka, artinya masih bisa dimakan tapi besok – besok jangan dikasih lagi. Jadi tidak pernah berpura – pura suka padahal makanan dibuang.

Beberapa tahun lalu (lupa tepatnya kapan, kira – kira ya sekitar 4 tahun lalu), saya memberikan olahan tempe ke Mama. Saya tau kalau Mama tidak terlalu suka tempe. Beliau lebih suka olahan tahu. Tapi saya ingat, saat datang sebagai turis tahun 2014 dan mengundang seluruh keluarga ke rumah (calon) suami untuk makan malam sebelum saya kembali ke Indonesia, Beliau memuji olahan tempe yang saya sajikan beserta makanan Indonesia lainnya. Bahkan Beliau meminta dibungkuskan untuk dibawa pulang. Papa mertua, yang saat itu masih ada, juga suka. Berbekal ingatan itu, saya lalu kembali memasak olahan yang sama. Ini semacam orek tempe tapi agak basah. Tidak terlalu kering.

Saya berikan ke suami untuk dibawa ke rumah Mama. Seperti biasa, saat menerima, Mama lalu mengirimkan pesan ke saya, mengucapkan terima kasih dan akan dimakan nanti saat makan malam. Dan biasanya pula, setelah makan Mama akan kembali mengirimkan pesan untuk bilang rasa masakan saya bagaimana. Keesokan harinya, tengah hari lebih tepatnya, suami menerima telepon dari Mama. Saya mendengar mereka bercakap dan salah satu obrolannya tentang Tempe. “Wah, ada apa nih,” pikir saya. Setelah telepon ditutup, suami agak ragu – ragu ngomong. Setelah saya desak, dia cerita kalau Mama tidak suka masakan tempe yang saya berikan. Beliau menelepon suami untuk mengambil kembali tempe tersebut karena masih ada banyak yang belum dimakan. Beliau bilang daripada dibuang kan lebih baik dikembalikan. Jadi suami disuruh ke rumah untuk mengambil tempe yang masih ada.

Setelah mendengar cerita suami, saya beberapa detik tertegun sambil mikir, “wow, super sekali ya orang Belanda.” Lalu saya tertawa terbahak. Suami yang awalnya takut saya akan marah atau tersinggung karena masakan saya dikembalikan, kaget melihat saya tertawa. Saya bilang, “meskipun aku tau Mama selalu direct kalau ngomong, tapi baru kali ini aku lebih tau Mama yang lebih direct. Ya sudah ambil nanti ya tempenya, kita makan di sini bersama.” Lalu kami tertawa bareng.

Cerita ini sudah jadi rahasia umum. Sering saya ceritakan ke teman – teman. Bahkan di keluarga besar kami cerita ini semacam jadi bahan pembicaraan hangat. Apa saya tersinggung diperlakukan Mama seperti itu? Tentu tidak. Kaget iya, tapi tidak marah atau tersinggung. Saya tau Mama orangnya sangat direct kalau ngomong. Dan benar apa kata Beliau, daripada dibilang tempenya enak padahal tidak suka lalu dibuang, lebih baik dikembalikan jadi bisa saya makan bersama suami.

Bagaimana, dari 2 cerita tersebut, ada bayangan orang Belanda seperti apa ya. Saya tidak men-generelasi bahwa semua orang Belanda seperti ini. Pasti ada prosentase yang masih berbasa basi kalau ngomong. Tapi saya yakin tanpa harus survey, tidak banyak jumlahnya. Sebelum bersalah sangka, orang Belanda kalau papasan gampang menyapa : hallo, hoi, goedemorgen, middag dan sebagainya. Jadi ramah dan direct. Ada satu cerita lagi. Kalau memberikan kado, beberapa orang yang saya kenal juga menyertakan faktur pembelian. Alasannya, kalau pilihan kadonya tidak disukai, bisa langsung ditukar dengan barang yang sesuai keinginan penerima kado. Itu kenapa, di Belanda sangat biasa kalau ada yang mengundang ulang tahun atau sekedar ingin memberikan hadiah untuk acara tertentu, yang diundang akan bertanya : ingin kado apa? Atau si pengundang akan memberikan daftar barang yang bisa diberikan saat acara. Memang tidak ada sisi surprise nya. Buat saya, lebih berguna seperti itu, jadi barang yang diberikan sesuai kebutuhan penerima.

Epen - Zuid Limburg (NL)
Epen – Zuid Limburg (NL)

Saat baru pindah ke Belanda, saya tidak punya banyak kenalan dan juga tidak terlalu sibuk mencari teman sesama orang Indonesia. Saya langsung mendaftar sekolah bahasa Belanda dan mencari kegiatan sebagai sukarelawan untuk memperlancar bahasa Belanda dan berkegiatan. Tidak berapa lama, saya juga diterima bekerja. Tidak sampai 3 bulan pertama di Belanda, saya langsung mengetahui kalau orang Belanda secara umum omongannya apa adanya, tak terlalu banyak basa basi. Kalau mau mengkritik, ya langsung tanpa muter – muter dulu alur obrolannya. Kalau mau diskusi ya langsung ke pokok pembicaraan. Kalau mau memuji ya langsung memuji. Sebelumnya kan lingkup pergaulan saya hanya sebatas suami dan keluarganya. Kalau suami sih sudah tau dari awal kalau omongannya ya, tajem :)))). Setelah terjun langsung ke lapangan, lebih tau apa yang sering orang bilang kalau orang Belanda itu dikenal direct.

Untuk saya tidak terlalu jadi masalah. Hanya kaget biasa. Tidak sampai yang mengganggu kehidupan sehari – hari. Kalau ada omongan dari mereka yang saya kurang setuju, ya langsung saya jawab juga apa adanya. Kalau diskusi, ya saya akan menyampaikan opini langsung jika memang ada. Kalau saya menerima kritikan, ya saya terima dengan lapang dada kalau memang sesuai. Kalau tidak sesuai, saya akan ajak dialog. Saat itu juga. Beruntungnya, saya lahir dan besar di lingkungan Jawa Timur wilayah timur. Di area ini, orang ngomong tanpa tedeng aling – aling. Kalau A ya A, B ya B. Kalau tidak suka ya ngomong di depan, bukan bermanis muka di depan lalu di belakang ngomongin sampai berbusa. Setiap ada masalah ya diselesaikan dulu dengan yang bersangkutan sampai tuntas. Setelahnya ya selesai. Yang penting diselesaikan dulu dengan orangnya. Perkara nanti ada rasan – rasan di belakang, tergantung situasi haha. Sewaktu kerja di Jakarta, saya suka dijuluki bonek sama orang kantor. Bahkan bos saya sendiri suka ngomong gini : cuma loe nih den yang berani ngomong begitu sama bos besar. Ini berkaitan dengan pekerjaan tentu saja. Kalau saya punya opini yang relevan, ya saya sampaikan langsung

Saya memang tidak terlalu suka berbasa basi bermulut manis. Makanya saya paling anti dengan namanya orang yang bermuka dua dan suka menikung dari belakang. Dan saya punya radar yang kuat untuk hal ini. Hidup cuma sekali, jangan sampai terperosok dalam lubang si manis bermuka dua suka mengadu domba. Saya paling tidak bisa berpura – pura. Kalau sudah tidak suka dengan orang, ya sudah. Kelihatan dari muka atau perilaku saya.

Ada satu teman baik di Belanda yang sama – sama berasal dari Jatim dan saya kenal sebelum pindah dan berteman baik sampai sekarang, dulu pernah ngomong begini “koen ancene cocok hidup di Belanda. Cocok sama orang Belanda. Ga perlu susah payah berintegrasi. Lek ngomong tas tes koyok clurit menyabet ulu hati. Memang benar yang kamu omongkan, meskipun mungkin ga bisa diterima oleh lawan bicara. Malah disangka omonganmu nylekit padahal yo ancene kenyataane sing kamu omongno ngono. Ancene kebenaran itu seringnya susah diterima banyak orang.” Hahaha saya cuma terbahak mendengarnya. Benar sih. Padahal de’e lek ngomong ga kalah pedes e, clurit ae kalah :))) *Iya kamu, lak mesti moco blogku tho, dadi bukan rasan – rasan yo iki :))).

Saya sih cocok ya dengan kultur tanpa basa basi seperti di Belanda ini atau orang Jatim bagian timur pada umumnya. Tanpa basa basi yang melihat sikon juga, yang elegan cara menyampaikannya. Langsung pada pokok utama bahasan. Runtun dan detail. Tidak lantas langsung sruduk hantam segala arah tanpa ada pemicunya. Wong gendeng lek iku.

*Perdana nulis lagi setelah 5 bulan absen

-28 Agustus 2022-

Pertambahan Usia

Bunga ulangtahun

“Kok ga ada beritanya ultah, Mbak?” Kata salah seorang teman yang mengetahui saya berulang tahun pada hari tersebut, di minggu ini.

Jangankan dia, saya saja nyaris lupa kalau tidak melihat suami yang diam – diam membawa bunga pada H-1, maksud hati ingin memberi kejutan tapi malah kepergok saya yang mau mengambil tepung di halaman belakang. Tapi saya bilang ke dia “Aku besok pura -pura kaget dan terharu kok pas kamu kasih bunga. Tenang saja, anggap saja aku ga pernah lihat bunga itu.” hahaha lawak.

Pertambahan tahun ini, seperti tahun – tahun sebelumnya, spesial dengan cerita dibaliknya. Tahun ini tidak ada kado liburan karena saya sedang sibuk mengurus sesuatu. Tahun ini ulangtahun rasa tegang karena yang saya urus tersebut lumayan menyita perhatian dan menguras tenaga. Tahun ini tak ada nasi kuning tumpengan dan tart yang biasa saya buat sendiri. Ulangtahun kali ini istimewa karena saya masih dalam rangka pemulihan setelah terkena serangan Covid-19, dua kali. Sekarang lumayan mulai membaik dan makin membaik. Kapan – kapan saya ceritakan di sini tentang akhirnya saya kena juga Covid-19 setelah dua tahun bisa menghindar.

Bunga ulangtahun
Bunga ulangtahun

Cerita istimewa lainnya, mendapatkan ucapan ulangtahun dari semua pasukan, dari para sahabat dan teman – teman terdekat, dari Mama mertua, Ibu dan adik – adik saya. Pagi hari diberikan bunga -yang saya benar – benar tampakkan muka kaget dan terharu disusul suara tertawa dari suami melihat ekspresi jago akting ala saya-. Makan malam yang rencana awal dari minggu lalu inginnya di Scheveningen, akhirnya berubah haluan di restoran Yunani dekat rumah karena cuaca minggu ini mendadak dingin. Padahal minggu lalu kami serumah sudah bersandal jepit dan berkaos tipis saat keluar rumah. Bahkan yang lainnya sudah bercelana pendek. Masuk minggu ini, suhu jadi ngedrop. Dini hari ini, di sekitar Den Haag salju turun dengan deras dan pagi hari terlihat menumpuk tebal. Menjelang sore, salju mulai mencair. Dingin tidak karuan.

Makanan laut di restoran Yunani
Daging domba

Kembali ke cerita ulangtahun, seperti biasa juga, setiap ulang tahun atau hari – hari penting lainnya, saya menyiapkan dana khusus untuk berbagi berkah. Kali ini saya memesan 25 porsi ricebowl lewat Mbak Tami di twitter (akun at Tha_mieee) dan bersama beberapa donatur lainnya bisa membagikan sekitar 70 porsi kepada mereka yang berhak dihari Jumat ini.

Salju pagi jam setengah delapan saat kami sudah di jalan menuju suatu tempat

Harapan dan doa saya tidak muluk – muluk ulangtahun kali ini. Sehat panjang umur lengkap bersama keluarga tercinta saya dan selalu bisa berbagi berkah buat semuanya. Satu lagi, semoga tahun ini saya bisa bekerja di Bakery.

-1 April 2022-

Tahun Baru 2022

Tiramisu tahun baru 2022

Tahun dengan angka yang cantik. Selamat tahun baru semuanya. Sehat dan banyak berkah ya tahun ini. Harapan tidak muluk – muluk. Semoga keadaan dunia terkait Corona makin membaik. Karantina di Indonesia dihapuskan atau paling tidak jadi 2 hari sajalah, cukup. Saya pengen sekali mudik. Lalu apalagi ya, kami sekeluarga tetap komplit, sehat, bahagia dan lancar rejeki supaya makin banyak untuk berbagi. Usaha saya makin berkembang, mulai nambah pembeli dan rencana saya ikut beberapa kelas baking lancar tanpa hambatan.

Cerita malam tahun baru sama seperti tahun – tahun sebelumnya. Jam 8 sudah leyeh – leyeh di kasur sambil mainan twitter dengan mata sayup – sayup mengantuk. Tapi ada yang spesial sebenarnya tahun ini. Untuk pertama kalinya, kami melakukan tradisi keluarga di Belanda pada umumnya, malam tahun baru dengan gourmetten. Ini semacam BBQ an tapi dalam rumah pake alat listrik. Terharu juga akhirnya merasakan apa yang dilakukan keluarga Belanda lainnya hahaha agak norak memang saya. Ayam, daging, dan ikannya ya beli jadi sajalah yang sudah dibumbuin di supermarket kebanggaan orang Belanda :)))

Gourmetten

Selain itu, ya jelas yang tidak boleh ketinggalan, gerombolan Oliebollen, berlinerbollen, dan apelbeignet. Pastinya, ini beli semua karena saya malas membuat sendiri. Saya tidak terlalu suka oliebollen. Entah kenapa tekstur roti goreng, lebih cocok di lidah saya. Kalau berlinerbollen, saya suka karena ada vla vanilla di tengahnya. Pagi hari, saya memanggang sourdough bread dan siangnya sourdough baguette untuk dimakan saat gourmetten. Sorenya saya sempat membuat Tiramisu lalu masak beberapa printilan untuk tumpeng nasi kuning.

Berlinerbollen. Apelbeignet dan oliebollen
Sourdough bread with special patroon

Sama seperti tahun lalu, kembang api dilarang saat malam tahun baru. Tapi saya juga tidak tahu apakah ada denda atau cuma larangan saja karena ya tetap saja suara jedar jeder masih mengudara. Sebagai penyuka kembang api, ya saya nikmati saja suara jedar jeder dan warna warni di udara saat jam 12 malam. Saya melihat dari kamar sambil rebahan. Sebenarnya saya sudah tertidur sebelum jam 12 malam, padahal niatnya melek. Apadaya, sudah menjelang sepuh, gampang mengantuk. Pas jam 12 malam, terbangun ya karena suara kembang api. Saya bangunkan suami, seperti biasa mengucapkan selamat tahun baru sambil berdoa untuk harapan – harapan yang terucapkan. Saya bangunkan penghuni kamar -kamar sebelah, tak ada yang bergerak. Lalu saya kembali tidur.

Tiramisu

Hari ini, sejak pagi saya sibuk menyiapkan tumpeng nasi kuning. Ini semacam kebiasaan saja kalau tahun baru saya membuat tumpeng. Sebagai bentuk syukuran atas tahun yang telah terlewati dengan segala suka dukanya. Juga sebagai syukur awal tahun dengan segala harapan dan doa yang terucap untuk tahun ini. Dan seperti biasa juga, saya berbagi ke tetangga. Ditambah, saya berikan ke satu keluarga Indonesia yang baru saja saya kenal dan tinggalnya tidak jauh dari rumah kami. Kami satu almamater, jadi senang rasanya kenal orang Indonesia di dekat rumah dan ada latar belakang yang sedikit sama.

Bagi – bagi nasi kuning

Biasanya saya membuat nasi kuning langsung dari rice cooker. Kali ini saya niat pakai aron trus dikukus karena mencoba campuran beras basmati dan beras pandan. Hasil memang tidak khianat dari usaha karena teksturnya saya lebih suka yang hari ini dibandingkan yang sebelumnya dari rice cooker dan hanya menggunakan beras pandan. Jadi berikutnya kalau membuat nasi uduk, saya akan coba kombinasi beras ini.

Karena baru pertama kali menggunakan basmati, jadi saat membentuk tumpengnya agak kesulitan. Tidak terlalu lengket, langsung ambyaarr haha. Jadilah gunungnya agak longsor. Tak ada foto cantik tumpeng tahun ini karena tumpeng tak maksimal bentuknya. Lalu saya bentuk saja pakai mangkok kecil. Minimal supaya rapi tampilannya.

Tumpeng yang longsor gunungnya

Sorenya, kami ke rumah tetangga. Ini juga semacam tradisi, setiap tanggal 1 Januari, kami pasti ke sana karena ada undangan untuk makan oliebollen (sekalian mengantar nasi kuning). Sebenarnya untuk silaturrahmi saja sih, karena makanan yang disediakan bukan hanya Oliebollen saja. Lumayan juga variasinya untuk standar orang Belanda yang mengundang tamu *uhukk!

Selama 2 jam di sana, kami pulang ke rumah. Rangkaian acara malam tahun baru dan pas tanggal 1 januari sudah usai.

Semoga segala harapan baik tahun ini bisa terlaksana dan tercapai. Dimudahkan segala urusan dan dijauhkan dari segala marabahaya. Sehat dan bahagia untuk kita semua.

First sweets in 2022

– 1 Januari 2022 –

Cerita Natal Tahun 2021

Christmas Taart

Seminggu lalu, aturan di Belanda diperketat lagi terkait dengan Corona. Bahasa kerennya, Hard Lockdown. Apapun istilahnya, ya rasanya jadi terbiasa dengan keadaan ini. Hanya, terselip rasa sedih karena artinya Natal tahun ini tidak bisa kumpul keluarga lagi. Terakhir kami kumpul keluarga besar di sini waktu Natal 2019. Kami pergi ke restoran di sebuah hotel, semua memakai baju yang kece – kece dan makan malam yang agak fancy. Saya lahir dan besar di keluarga yang merayakan apapun dan kumpul – kumpul dengan keluarga besar, jadi momen keluarga ngumpul itu selalu membuat saya senang. Karenanya bisa dibayangkan, sejak 24 Desember pagi, hati saya sudah mendung. Sudahlah mudik entah kapan hilalnya belum terlihat, Belanda lockdown begini semua tutup kecuali yang penting – penting saja. Pas banget ada kartupos dari Agnes yang kata – katanya benar menyentuh sampai saya menangis membacanya.

Suasana hati yang mendung, Natal yang sepi, cuaca yang super dingin dan agak hujan, baca tulisan Agnes, langsung ambrol pertahanan. Nangis. Untungnya (Jawa banget ya, untungnya haha) sehari sebelum hard lockdown, masih bisa ketemuan sama Agnes, Ajeng dan Crystal. Jadi senang kalau mengingat obrolan kami siang itu. Bayangkan, dari jam 12 siang sampai rumah Agnes, mulut ga berhenti mengunyah sambil ngobrol sampai jam 7 malam. Itu saja seperti masih merasa kurang aja yang perlu diobrolkan masih banyak stoknya. Terakhir kami ketemu, 2 tahun lalu pas di rumah saya.

Bagian dari tulisan Agnes di kartupos

Tanggal 24 Desember siang, saya jalan – jalan di pusat pertokoan di kampung sini. Melewati satu persatu toko yang buka hanya untuk pelanggan yang ambil barang, melihat restoran tutup untuk makan ditempat, semua tempat jadi sepi. Sudahlah kampung ini sepi, eh ketambahan lockdown jadinya makin sepi.

Natal hari pertama, ya kami di rumah saja, mau ke mana. Tidak ada kumpul keluarga besar, Mama mertua juga tidak mau didatangi (Mama agak was – was karena ada varian baru), jadinya ya kami bikin acara sendiri di rumah. Sebenarnya jauh hari sudah mempersiapkan kondisi ini. Makanya kami juga tidak mengundang siapa – siapa untuk makan malam Natal. Belajar dari tahun lalu yang tiba – tiba juga akhir tahun lockdown.

Taart dengan isian buttercream dan selai Rhubarb

Jadi saya akan bercerita seputar makanan saja Natal hari pertama

Pagi hari, kerstonbijt alias sarapan Natal kami adalah Feestbrood atau roti pesta. Ini semacam stollen tapi tidak ditabur gula. Rasanya jelas manis dari kismisnya dan gelondongan almond campur gula. Saya tidak pernah bisa makan gelondongan putih itu.

Feestbrood

Lalu setelah sarapan, saya membuat siomay dan isian pangsit. Saya ingin makan siomay, sekalian bikin pangsit basah untuk makan siang dan makan malam.

Makan siang kami, mie bakso pakai pangsit basah. Ini menu paling gampang karena tinggal mengeluarkan stok dari freezer.

Makan malam, saya sudah mempersiapkan menu pembuka, utama, dan penutup. Ada sedikit tragedi sewaktu proses memasaknya. Jadi saya mengeluarkan box dari dalam kulkas isinya beberapa jenis jamur. Nah setelah saya potong – potong, saya taruh lagi di box tapi dekat wastafel. Suami lagi beres2 sampah apel. Lalu saya mengerjakan hal lainnya. Sekitar jam 4 sore, saya mulai masak – masak supaya jam 5 sudah siap semua. Pas saya cari jamur di mana, langsung saya berpikir buruk. Suami baru saja masuk rumah dari buang sampah

Saya : Hon, kamu buang box isinya jamur ya?

Suami : Lho, itu bukannya sampah ya. Kok kayak jamur sisa – sisa gitu

Saya : Itu buat makan malam kita. Aku kan ga suka Asparagus, makanya aku mau bikin oseng jamur.

…………………. langsung gondok kesel banget. Ya lagian bukannya nanya dulu, langsung aja dibuang. Jelas – jelas boxnya saya taruh atas meja dapur. Pakai inisiatif tinggi dibereskan trus dibuang. Pas kejadian sih gondok banget ya. Pas nulis ini, jadinya ngikik kok yaaa suamiku niatnya baik tapi berakhir tragedi jamur kebuang. Tapi ya sudahlah, setelah gondok ya saya akhirnya meneruskan masak lagi.

Meja makan yang beda dari biasanya

Meskipun kami tidak ada tamu, tapi karena spesial makan malam saat Natal, saya mengkondisikan ruangan yang spesial juga. Meja makan saya hias, sewaktu makan juga kami memakai baju yang rapi. Beda dengan makan malam seperti biasanya.

Makanan pembuka : Wonton dengan kuah kaldu ayam dan jahe

Makanan utama : Potatoes au gratin, steak rusa, dijon mustard sauce, asparagus, wortel warna warni, jamur (sisa bikin saus), kentang goreng, nugget ayam, mini burger, potongan kecil bebek panggang.

Senang karena warna steak rusanya merah muda

Penutupnya : Taart & Buttercream vanilla

Minumnya : cukup air kran, Kombucha, dan jus jeruk. haha tidak nyambung ya. Wes tak mengapa. Yang penting malam itu kami benar – benar menikmati makan malam spesial. Semua suka, semua gembira.

Setelah makan, acara penutup yang ditunggu – tunggu adalah buka kado.

Kartu Natal untuk Suami

Meskipun terselip rasa sedih kami masih belum bisa kumpul keluarga, tapi kami penuh rasa syukur masih diberikan kebersamaan, komplit sekeluarga tidak kurang apapun, umur dan kesehatan yang baik, juga masih bisa menikmati makan Malam Natal penuh suka cita. Tahun inipun kami menerima banyak sekali kartu ucapan Natal dan tahun baru. Lebih banyak dari tahun lalu. Ini juga yang membuat saya senang bulan Desember. Mengirim dan dikirimi kartu.

Semoga yang merayakan Natal juga merasakan kehangatan dan kebersamaan bersama keluarga dan orang – orang tersayang. Semoga tahun depan keadaan lebih baik.

Prettige Kerstdagen! Selamat Natal

-27 Desember 2021-

Vaksin Corona Ketiga (Booster)

Vaksin Ketiga (booster)

Mumpung masih hangat, jadi mari dituliskan (sebelum terbit madingnya *kriikk). Jadi, saya sudah suntik booster. Ini benar – benar dadakan, tanpa persiapan, tanpa pemberitahuan beberapa hari sebelumnya. Pun, saya tidak mendaftar.

Jadi begini ceritanya.

Saya ini tidak terlalu menyimak tentang vaksin ketiga. Setiap sore beritanya ada di TV, tapi ya sekilas saja saya memperhatikan, karena di Belanda baru dimulai. Setahu saya, kira – kira Januari pertengahan baru giliran saya bisa dapat (berdasarkan tahun kelahiran, itupun kalau lancar). Dan yang kedua, kalau tidak suntik booster, QR Code vaksin pertama dan kedua tidak bisa dipakai lagi. Saya sejak awal memang sudah berencana akan suntik booster. Satu – satunya alasan adalah supaya QR Code masih tetap bisa dipakai demi untuk kedepannya bisa liburan tanpa terkendala masalah pervaksin-an. Bisa sih tanpa bukti vaksin ya tapi harus tes dulu sebelumnya, atau malah ada negara yang mewajibkan vaksin dulu sebelum masuk ke sana. Intinya, saya tidak mau dibuat pusing kedepannya tentang vaksin ini. Tujuan utama saya ya mudik. Jadi saya tidak terlalu berpikir tentang proteksi badan terhadap Corona setelah vaksin ketiga. Yang penting nanti pas mudik, tidak terhadang tentang bukti vaksin. Itu saja. Meskipun kata menteri kesehatan Belanda setelah vaksin ketiga akan ada vaksin – vaksin selanjutnya, ya sudah itu dipikirkan nanti saja. Sekarang ya sekarang.

Beberapa waktu lalu, sekitar jam makan malam, ada dua surat yang diantarkan langsung ke rumah. Suami yang mengambil dan membaca, bilang kalau itu surat undangan untuk vaksin ketiga (booster) corona yang dilakukan di klinik huisarts (dokter keluarga). Jadi itu surat undangan langsung dari klinik tersebut. Membaca surat cuma selembar tersebut, saya awalnya Suudzon (berburuk sangka) karena kok nampak tidak formal. Tidak ada cap atau tanda tangannya atau apa gitu yang meyakinkan. Tapi disitu disebutkan jenis Vaksin apa yang akan kami dapatkan.

Nah, di surat undangan, disebutkan kalau cara penjadwalan suntiknya berdasarkan huruf pertama nama terakhir. Kami berdua, dapat hari pertama. Jadi cuma dua hari saja jadwal suntik booster di klinik. Selama dua hari dipakai vaksin, klinik ditutup untuk pemeriksaan lainnya. Hanya untuk mengambil atau membeli obat di apotek dalam klinik masih bisa. Suami keesokan hari setelah saya vaksin, menelepon klinik ingin membuat janji diperiksa. Ditolak oleh mesin penjawab, disuruh telpon besok paginya lagi.

Ok, kembali lagi ke bahasan vaksin. Disebutkan juga, kalau tidak datang sesuai jadwal, tidak akan bisa suntik di klinik pada waktu lainnya. Artinya harus lewat jalur GGD (Municipal Health Service). Yang vaksin pertama dan kedua memang jalurnya lewat GGD (atau ada yang lewat huisarts ya, saya juga tidak terlalu paham). Makanya kami kaget tiba – tiba dapat undangan dari klinik untuk suntik di sana. Saya masih ragu apa mau di GGD atau di klinik. Kalau di GGD, kok lokasinya yang terdekat di Delft dan kemungkinan besar dapat Moderna (Mama mertua sudah suntik 2 minggu lalu di GGD dan dapat Moderna. Vaksin 1 dan 2 Beliau adalah Pfizer). Jadi, malam itu saya belum memutuskan besok paginya mau suntik apa tidak. Sementara suami sudah memutuskan, dia cukup dua kali vaksin saja. Dia tidak mau suntik apa – apa lagi yang berhubungan dengan vaksin. Sudah males nuruti pemerintah katanya. Wes mbuh karepmu.

Besok paginya, saya ke kota mengantar pesanan. Sempat lupa perkara vaksin. Setelah sampai rumah kembali dan setelah makan siang, saya mencoba untuk menelepon GGD, ingin menanyakan apa benar undangan yang dari klinik ini. Masih dalam rangka Suudzon, ini jebakan batman apa bukan. Lahir dan besar di negara yang banyak marabahaya, jadinya terbawa sampai di sini, apa – apa musti waspada. Dari pihak GGD Den Haag menjelaskan, kalau sudah dapat surat undangan dari klinik huisarts dan jika memang saya ingin vaksin, bisa langsung ke sana karena memang bisa dilakukan di klinik juga. Wah jadi lega mendapatkan pencerahan seperti itu. Lalu hilang Suudzonnya.

Oh ya, syarat untuk bisa suntik booster di klinik tersebut berdasarkan surat undangan adalah usia 18+, vaksin yang kedua minimal 3 bulan lalu, dan dalam 2 bulan terakhir tidak positif Corona. Itu syarat utamanya. Ada juga syarat – syarat lainnya yang berhubungan dengan kondisi kesehatan. Saya lalu berangkat ke klinik sepedahan hanya 5 menit saja. Surat harus dibawa karena tidak bisa suntik tanpa membawa surat. Sesampainya di sana, saya lihat antrian di luar tidak terlalu panjang.

Vaksin ketiga

Saya menuju barisan, antri, lalu antrian mulai maju perlahan. Setelahnya macet sampai 45 menit. benar – benar tidak maju sama sekali. Suhu -2 derajat celcius plus agak berangin. Dinginnya menampar -nampar pipi. Pas saya lihat ke belakang, antrian sudah mengular kira – kira 40-50 meter. Orang – orang yang antri sudah kasak kusuk, tapi jelas saya tidak paham karena suaranya tidak terlalu keras. Tiba – tiba ada mobil berhenti, turun seorang perempuan membawa beberapa box warna putih. Ohhh ternyata antrian stuck karena stok vaksin di klinik habis. Pantes.

Antrian mulai maju cepat, lalu masuk pendataan, mengecek surat dan ID dan penulisan bukti di kertas. Setelahnya diarahkan masuk ruangan mana. Kalau di GGD dulu, Saat vaksin harus duduk. Sementara booster ini, nyuntiknya sambil berdiri. Cepet sekali prosesnya. Di surat undangan dibilang, kalau mau menunggu 15 menit setelah suntik, bisa saja tapi menunggunya tidak di dalam gedung melainkan di parkiran (kliniknya sungguh mungil, jadi ga cukup tempat menunggu). Juga dibilang kalau vaksin 1 & 2 tidak ada keluhan yang berat atau efek yang parah ke badan, kemungkinan besar vaksin ketiga juga akan biasa saja. Karena Vaksin pertama (Pfizer) dan Vaksin kedua (Pfizer) saya tidak ada keluhan apapun setelahnya (hanya jadwal mens yang berantakan 3 bulan pertama, setelahnya kembali normal), jadi saya memutuskan langsung pulang.

SETELAH VAKSIN

Beberapa jam setelah vaksin, keadaan masih aman terkendali. Saya tidak merasa ada yang berbeda dengan badan. Lengan pun tidak sakit. Tidak mengantuk parah. Tidak gampang lapar. Sampai malam menjelang tidur pun masih ok. Keesokan harinya, juga baik – baik saja. Tidak merasa sakit apapun. Lalu saya beraktifitas seperti biasa, bahkan saya tetap ber Chloe Ting 30 menit. Semua lancar – lancar. Setelah lewat 24 jam setelah vaksin, badan tidak ada rasa sakit sedikitpun, lengan tidak, semua baik dan aman terkendali. Jadi saya simpulkan, efek vaksin ketiga (Pfizer – booster) di badan saya tidak ada efek sakitnya. Entah nanti apakah jadwal mens akan terganggu lagi apa tidak. Mudah – mudahan tidak. Mama mertua yang mendapatkan Moderna divaksin ketiga ini (setelah yang pertama dan kedua adalah Pfizer), juga tidak ada keluhan apapun setelahnya. Sama seperti sebelumnya.

Begitulah cerita saya vaksin ketiga (booster) lewat jalur undangan dari klinik dokter keluarga. Kalau lewat jalur GGD, saat ini masih untuk mereka yang kelahiran tahun 1965 dan sebelumnya. Jadi, saya lumayan beruntung dapat jalur express. Tidak semua klinik huisarts di Belanda bisa sebagai tempat suntik vaksin ketiga ini. Entah kriteria kliniknya seperti apa. Dalam waktu dua minggu setelah vaksin, buktinya otomatis sudah ada di QR Code.

Sehat – sehat semua buat kita.

-23 Desember 2021-