Perjalanan Darat Dua Minggu di Andalusia dan Madrid – Spanyol

Alhambra

Kami baru saja kembali (sebulan lalu tepatnya) dari road trip a.k.a perjalanan darat di Andalusia dan Madrid, Spanyol selama 2 minggu. Seperti biasa, liburan kali ini juga tidak terencana jauh hari sebelumnya, apalagi suasana Pandemi seperti ini yang serba tak pasti mengenai peraturan di negara sendiri maupun di negara jujugan liburan. Tapi, liburan ke Andalusia sebenarnya akan kami lakukan bulan Maret 2020 saat saya berulangtahun. Wassalam keduluan Corona, jadinya batal. Akhirnya terwujud bulan November ini. Berawal saat akhir September saya bertanya ke suami : kita ada rencana ke mana gitu ga bulan November. Kan bulan spesial itu.

Maksud saya bertanya seperti itu karena kepikiran pengen ke museum. Eh sama dia dijawab : kita ke Andalusia aja. Kayaknya bisa sih ke sana (terkait peraturan tentang Covid). Akhirnya sama-sama ngebut cari informasi ini itu lalu mencocokkan jadwal karena November itu lumayan padat buat kami. Saya ada kursus kelas roti dan ada beberapa pesanan, sementara suami ada beberapa meeting yang wajib dihadiri. Setelah mendapatkan tanggal, kami cari informasih terlebih dahulu cuaca dan keadaan di Andalusia bulan November seperti apa. Lalu kami membeli tiket.

Kota – kota yang kami kunjungi adalah : Madrid – Cordoba – Seville – Ronda – Malaga – Marbella – Nerja – Granada.

Nah cerita selanjutnya, akan saya sampaikan per poin supaya lebih jelas

PERATURAN TERBANG DAN TRAVELLING KE SPANYOL

Kami terbang dengan KLM. Sebenarnya semua peraturan sudah jelas dijabarkan di website mereka dan juga surat elektronik yang dikirimkan. Jelas juga dokumen apa saja yang harus diunggah atau ditunjukkan saat check in. Jadi ada dua pilihan mengenai dokumen ini : bisa diunggah online atau ditunjukkan saat check in di Bandara. Kami memilih yang pertama karena disebutkan bisa mengurangi waktu tunggu saat check in.

Dokumen yang diunggah : paspor (dan kartu verblijsvergunning EU-langdurig ingezetene buat saya), bukti sudah vaksin 2 kali, formulir pernyataan kesehatan. Dari pihak Spanyol juga mengirimkan formulir untuk diisi dan dikirim kembali. Kalau menurut KLM dan pihak Spanyol dokumen yag kami kirimkan sudah ok, mereka akan kasih informasi lewat email. Dari pihak Spanyol sudah ok, jadi kami bisa cetak formulirnya dan akan ditunjukkan saat sampai di bandara Madrid untuk dicek ulang.

Dari pihak KLM ada sedikit drama. Setelah satu hari dokumen dikirim, mereka memberikan reaksi kalau ada dokumen yang kurang lengkap. Salah satunya, saya harus menyertakan bukti tes negatif. Lha, kan bingung ya. Jelas – jelas di website mereka tertulis jika sudah ada bukti vaksin 2 kali, tidak perlu menyertakan bukti tes negatif. Sudah dihubungi lewat twitter ga ada tanggapan. Akhirnya suami telpon ke Rijksoverheid, minta penjelasan apakah seperti itu. Mereka menjawab, kalau sudah vaksin 2 kali dan menyertakan buktinya, tidak ada kewajiban untuk tes.

Sesampainya di bandara (kami sampai 3 jam sebelum penerbangan. Jam penerbangan kami 8 pagi, jadi jam 5 pagi kami sudah di Schiphol. Karena membawa 2 koper dan satu tas juga pagi masih belum ada tram dari kampung kami ke stasiun besar, kami memutuskan naik taksi), antrian sudah lumayan panjang. Setelah dicek segala dokumen, ternyata ya dokumen kami sudah lengkap.

Senang akhirnya merasakan naik pesawat lagi meskipun ribetnya ga karuan terbang diera pandemi gini.

Penerbangan ke Madrid selama 2 jam 10 menit pesawat kecil 2 kursi 2 kursi dan penuh. Di pesawat menggunakan masker. Tidak ada ketentuan khusus harus masker apa. Jadi sembarang masker. Dicopot hanya saat makan dan snack. Jadi kami mendapatkan makan roti dan snack muffin. Selebihnya selama penerbangan aman terkendali.

Sesampainya di bandara Madrid, kami langsung disambut petugas yang akan cek dokumen dari pemerintah spanyol. Setelah ok, baru kami ke ambil bagasi dan ke tempat penyewaan mobil yang ada di Bandara. Selama 2 minggu, kami menyewa mobil.

Satu hal yang jadi perhatian saya, entah ini perasaan saya atau bagaimana, tapi pemeriksaan di Bandara terkait barang bawaan di pesawat tidak seketat saat terakhir kami terbang 2 tahun lalu. Sekarang, kami membawa air dalam wadah ukuran besar di dalam tas saja diperbolehkan. Lalu kami membawa roti dan beberapa camilan juga diperbolehkan. Tanpa ditanya terlebih dahulu untuk apa. Di tas khusus lainnya, kami membawa antibiotik cair, juga lolos saja. Pulang dan pergi seperti itu, tidak seketat penerbangan – penerbangan sebelumnya.

Selama 2 minggu tersebut, di Belanda ada dua kali pers conf terkait pengetatan aturan. Kami memantau dengan harap cemas. Takut tidak bisa pulang ke Belanda. Syukurlah begitu sampai kembali di Schiphol, membaca aturan yang tertera, kami tidak harus melakukan karantina karena Andalusia tidak termasuk dalam area yang resiko tinggi.

PERATURAN DI ANDALUSIA DAN MADRID TERKAIT CORONA

Selama di sana, sepanjang mata memandang, masih banyak orang memakai masker di ruangan terbuka. Sebenarnya yang wajib itu saat berada dalam ruangan misalkan masuk ke supermarket, restoran, museum dll. Jadi kalau di ruang publik, tidak wajib. Tapi banyak orang yang memakainya. Untuk masuk ke Restoran, Museum, Perpustakaan, tidak ada pemeriksaan QR Code. Jadi bisa langsung masuk. Berbeda dengan Belanda jika masuk ke restoran, museum, konser, disuruh menunjukkan QR Code.

Ronda

Berita terbaru beberapa hari lalu, sekarang di Spanyol peraturan sudah berubah lagi. Menunjukkan QR Code sudah wajib saat masuk ke tempat – tempat yang saya sebutkan sebelumnya.

NOVEMBER BULAN YANG TEPAT KE ANDALUSIA

Saat mencari informasi apakah November merupakan bulan yang tepat ke Andalusia terkait cuaca, hampir semua website yang kami kunjungi mengatakan kalau November adalah salah satu bulan yang sangat tepat karena suhu sekitaran 20-25 derajat celcius dan musim liburan sudah usai jadi harga – harga sudah turun. Memang benar, tiket pesawat saat bulan Oktober dan November sangat jauh beda. Yang bulan November harganya setengah dari yang bulan Oktober. Harga hotelnya pun juga jauh lebih terjangkau dibandingkan Oktober. Lalu di bulan November juga masih ada beberapa festival yang bisa dilihat. Seperti di Sevilla, secara tidak sengaja kami bisa melihat Festival yang memuliakan Bunda Maria (kalau tidak salah).

Nerja

Selama di sana, kami berlimpah dan bermandikan matahari. Dua minggu penuh puas dengan memakai kaos tanpa jaket dan bersandal ria, tanpa ada hujan sama sekali. Kata sopir taksi, di Andalusia, hujan itu datang maksimal cuma 3 bulan dalam satu tahun. Kami langsung cekikikan karena di Belanda kebalikannya. Hujan datang sepanjang tahun, cuma 3 bulan saja rasanya yang terang benderang.

Jadi, kami sangat merekomendasikan bulan November saat berkunjung di Andalusia. Perfect!

MINIM TURIS (ASIA)

Hal ini pasti berhubungan dengan Pandemi ya jadinya tempat – tempat wisata di sana minim turis, terutama turis Asia. Sangat jarang saya temui. Lumayan lah jadi tidak melihat pemandangan satu tempat yang menarik dimonopoli satu turis (Asia) untuk foto – foto tiada henti.

Bahkan tempat wisata yang kalau dalam keadaan normal harus membeli tiket dulu secara online, ini bisa membeli langsung di sana. Hanya saat saya di Seville, ketemu rombongan Mahasiswa Indonesia yang sedang melakukan program pertukaran pelajar selama 6 bulan di Granada. Awalnya saya pikir ada rombongan dari Filipina karena terdengar seperti bahasa Tagalog. Setelah saya dengarkan dengan seksama, oh ternyata aksen Jakarta dan Betawi haha lha nampak mirip logatnya.

Pun karena bukan bulan liburan, jadinya turis selain Asia pun tidak terlalu banyak. Tapi tetep ya, turis dari Belanda ada di mana – mana. Suami malah ngobrol sama sesama orang Belanda di beberapa kota. Selama di sana, saya selalu dipikir turis dari Filipina. Mereka mengira dari logat saya ngomong bahasa Inggris. Katanya mirip orang Filipina. Aksen Amerika donk ya berarti. Baru kali ini seumur hidup dipikir orang Filipina. Biasanya dipikir orang Malaysia :))).

MENGEMUDI DI ANDALUSIA

Pengalaman kami mengemudi di Andalusia, terbagi jadi dua area. Pertama mengemudi di jalan tol lintas kota, sangat sepi minim kendaraan kecil. Seringnya malah berpapasan atau menyalip truk sedang sampai yang besar. Kecepatan di jalan tol 120km/jam yang seringnya kami nyetir sampai 130km/jam. Saking sepinya. Lalu pemandangan di jalan tol, aduhai indahnya. Kiri dan kanan gunung yang konturnya beda dengan gunung biasanya. Entah apa nama bentuk seperti itu. Lalu saat melintasi laut atau pantai, kami bisa melihat dari atas. Pendek kata, selama menyetir di jalan tol Andalusia, mata dimanjakan dengan pemandangan yang super cantik. Kami yang dari negara tidak punya gunung tinggi, jadi norak sekali saat melihat gunung – gunung di sana yang menjulang dan bentuknya cantik. Rambu di jalan tol juga lebih jelas dibandingkan di Belanda. Dan yes, saya ikut serta menyetir selama di sana. Wah bangganya bukan main sama diri sendiri karena punya pengalaman menyetir di luar Belanda. Antara bangga dan norak haha ya maklum, masih hangat dapat SIM jadi masih suka menyetir ke mana – mana juga sebagai sarana latihan kan.

Salah satu pemandangan gunung dari jalan tol

Menyetir dalam kota, lain cerita. Meskipun tetap saja hitungannya penduduk sana masih taat aturan, tapi ada saat – saat tertentu yang membuat kami sampai bingung harus seperti apa. Salah satu contohnya : mobil tiba – tiba berhenti di jalan sempit, lalu penumpangnya keluar santai saja malah sambil ngobrol dengan yang di dalam mobil. Trus mobil yang dibelakangnya ya dengan santai menunggu tanpa membunyikan klakson. Walhasil, mobil – mobil yang di belakangnya juga santai saja menunggu, hasilnya adalah macet. Hal ini tidak akan terjadi di Belanda, kalau ga mau dicaci maki sama mobil belakangnya.

Lalu, tentang parkir. Lahan parkir di Andalusia sepengamatan saya selama di sana, tidak terlalu banyak. Jadi, parkirnya di dalam gedung. Nah, tanjakan naik dan turun dalam gedung parkir itu sempit sekali dan curam. Kalau mobilnya panjang, akan kesusahan untuk belok. Mobil yang kami sewa, ukurannya besar dan panjang. Walhasil, kami seringnya menghindari parkir dalam gedung karena beberapa kali mengalami kesusahan kalau harus naik atau turun.

TRANSPORTASI DALAM KOTA DAN ANTAR KOTA

Transportasi dalam dan antar kota di Andalusia sangatlah mudah. Harga tiketnya pun tergolong murah dibandingkan dengan Belanda. Selama kami di sana, tidak pernah membeli karcis harian. Jadi kalau kami mau pergi dengan bis, ya baru beli langsung di dalam bisnya. Di dalam bis juga ada layar yang menunjukkan rute perjalanannya. Di haltenya juga ada peta bis ini rutenya ke mana saja. Di dalam bisnya sendiri, sama seperti di Belanda, ada ruang khusus untuk stroller, kursi roda. Ada kursi prioritas juga. Untuk anak mulai usia 4 tahun, sudah mulai membayar karcis meskipun belum harga penuh. Untuk usia dewasa, harga karcisnya 3 euro.

Bis dalam kota di Sevilla

Sesekali juga kami naik taksi yang harganya sangat murah. Buka pintu dimulai dengan harga 1.5 euro. Dan nampaknya taksi – taksi di sana legal semua. Tidak ada taksi gelap. Ini hasil dari kami naik taksi di sana ya. Entah kalau ternyata ada taksi gelap karena meskipun kami nyegat di sembarang tempat, tetap saja mereka pakai argo resmi. Bahkan saat kami akan ke kastil (yang jadi lokasi film Game of Throne) di sebelah kota Sevilla, itu juga taksinya punya tarif berdasarkan tabel. Jadi, tidak khawatir akan dipermainkan harga. Bis antar kotanya juga bagus. Besar dan bersih. Kami ke Marbella dari Malaga, naik bis. Itupun hitungannya sangat murah karena perjalanan 1.5 jam, bisnya bagus dan ada wifinya, kalau tidak salah tiketnya 2.5 euro.

Nah sewaktu di Madrid, kami selama 1 hari naik metro ke pusat kota. Ini tiketnya beli terusan yang satu hari. Kalau tidak salah ingat, anak di bawah 6 tahun gratis.

RUANG PUBLIK DI ANDALUSIA

Ruang Publik di sini saya akan mengkhususkan pada taman kota dan taman bermain. Jadi selama di beberapa kota tersebut, saya melihat di setiap beberapa meter akan ditemui taman kota dan taman bermain. Tamannya lumayan luas dan taman bermainnya juga lumayan besar. Dibandingkan dengan Kroasia, taman bermain di Andalusia jumahnya lebih banyak dalam radius beberapa meter juga taman kotanya lebih luas dan lebih rindang. Jadi menyenangkan selama di Andalusia kami sedikit – sedikit bisa mampir ke taman bermain. Lumayan bisa sambil istirahat menyelonjorkan kaki. Trotoar di sana pun lebar.

Taman bermain di Nerja

MAKANAN DI ANDALUSIA

Sebelum ke Andalusia, saya belum pernah sama sekali makan masakan Spanyol. Jadi di Andalusia adalah pengalaman pertama kali. Oh, satu – satunya makanan Spanyol yang pernah saya makan adalah Paella waktu ada acara food truck apa gitu namanya lupa, di Den Haag. Seingat saya, rasanya enak sekali. Mungkin karena isinya adalah ikan dan kerang ya, jadi saya suka.

Bayangan saya, makanan Spanyol itu kaya akan rasa. Kuat dengan citarasa karena dari fotonya kan warnanya gonjreng gitu. Jadi saya menaruh harapan tinggi dengan rasa makaan di sana. Mungkin ingatan saya berhenti saat liburan ke Italia, Portugal, Kroasia yang makanannya enak – enak.

Setelah dua minggu di Andalusia dan Madrid, saya semacam bisa menyimpulkan dari menu – menu yang saya pesan (kebanyakan adalah makanan laut), rasanya datar alias plain. Tidak ada rasa yang menonjol dari setiap masakan. Jadi semacam nanggung, tidak ada ciri khas yang bisa saya ingat. Tidak yang asin, tidak pedas, tidak asam. Jadi benar – benar datar. Saya sampai sering minta botol garam dan merica supaya makanan yang saya pesan ada sedikit rasa. Bahkan terkadang saya menanyakan apa mereka punya bubuk cabe haha saking agak “frustasi” dengan rasanya. Bukan tidak enak ya makanan di Andalusia, hanya kekuatan rasanya tidak sesuai yang saya bayangkan. Mayoritas yang saya makan seperti itu. Bahkan saat saya pesan ikan bakar, dari fotonya sangat menjanjikan. Saya sudah ngiler – ngiler lapar. Saat datang dan saya cicipi, saya sampai mikir ini rasanya apa ya. Lalu saya minta garam dan merica karena rasa ikan bakarnya semacam tidak dikasih bumbu. Untuk beberapa makanan lainnya, enak. Terutama tapas dan makanan laut yang segar. Cabe, nampaknya agak langka dalam menu di Andalusia. Kalaupun ada, ya rasanya tidak pedas.

Paella yang saya makan di Granada, rasanya masih saya ingat sampai sekarang karena enaakk dan bercitarasa

Karena kami tidak makan babi, jadi kami tidak tahu rasa masakan yang ada babinya. Mungkin lebih bercitarasa, mungkin ya. Kami hanya menebak – nebak. Untuk meminimalisasi kesalahan pesan makanan, saya selalu tanya dulu yang bukan babi yang mana atau langsung google translate saja yang ada di menu. Selama di sana, saya seringnya pesan makanan laut atau yang vegetarian.

Ada satu hari kami sudah sangat ingin makan nasi (di sana, seringnya makanan disajikan dengan kentang goreng atau pasta. Nasi sangat jarang ada dalam daftar menu, kecuali Paella), kami pergi ke restoran Jepang pesan Sushi dan ke Restoran Turki. Saking kangennya dengan nasi, semua langsung lahap makannya haha. Saya sampai bilang suami : nanti kalau sudah sampai di Belanda, aku mau puasa kentang goreng 6 bulan saking blenger nya lihat kentang goreng terus. Untuk bahasan Kuliner di Andalusia dan Madrid, nanti akan saya buatkan tulisan khusus (mudah – mudahan tidak malas).

Untuk roti dan kue, saya cocok dengan rasa yang ada di Andalusia. Kue dan roti mereka tidak semanis yang dijual di Belanda. Jadinya hampir tiap hari kami blusukan ke bakery lokal dan makan kue – kue manis yang ada di sana, buat referensi saya juga. Makanya pulang liburan badan saya langsung membengkak lagi, meskipun di sana tiap hari jalan kaki dalam jarak yang jauh, tetap tidak bisa meluruhkan gula – gula yang bersarang di badan.

Di hotel pun, menu yang disajikan selalu ada cake nya. Ya tentu saja saya mengambil sepotong misalkan cheesecake untuk sarapan haha lalu bagaimana badan ini tidak membengkak saat kembali dari liburan. Ya sudah tidak mengapa. Namanya juga liburan, dibuat senang saja.

Jadi kalau ditanya makanan di Spanyol, saya malah lebih ingat rasa makanan selama liburan di Italia, Portugal, dan Kroasia. Rasa masakannya lebih membekas sampai sekarang.

JAM MAKAN DI ANDALUSIA

Nah ini penting untuk dibahas karena kami tidak survey dulu sebelumnya. Jadinya lumayan kecele. Sama halnya dengan jam makan di Italia, khususnya makan malam, di Andalusia dan Madrid pun jam makan malamnya sangat malam untuk ukuran kami. Di sana, restoran baru buka paling cepat antara jam 8 sampai jam setengah 9 malam. Paling banyak jam 20.30 baru buka. Kami yang terbiasa makan malam jam 5 sore di Belanda, jadinya lumayan “tersiksa” malam – malam keluyuran ke luar hotel cari makan. Biasanya jam 19.30 semua sudah selesai dengan aktifitas dan sudah rapi di tempat tidur, selama 2 minggu di Andalusia paling cepat jam 22.00 baru mulai tidur.

Metro Parasol di Seville

Jadi antara jam 15.00/16.00 sampai jam 20.00/20.30 itu semua restoran tutup. Namanya ini Siesta. Jadi semacam jam istirahat. Makanya tidak heran jam 20.00 masih banyak anak – anak kecil yang bermain di taman. Rupanya menunggu jam makan malam mereka. Di Belanda, jam 19.00 malam saja sudah tidak ada anak yang keluyuran di luar. Kalau sudah lapar, bisa ke restoran cepat saji yang buka sepanjang hari. Kami ada satu malam yang sudah capek, akhirnya masuk ke salah satu restoran burger cepat saji. Sudah tak sanggup kalau harus menunggu malam untuk makan.

BAHASA

Tentu saja bahasanya Spanyol kan ya. Selama di sana, kami mengandalkan bantuan google translate dan bahasa tubuh juga bahasa tulisan. Ini secara spesifik saat kami di restoran atau di bakery atau di supermarket. Saat mencari sesuatu atau akan menanyakan sesuatu, mayoritas yang kami temui bahasa Inggrisnya tidak terlalu lancar atau bahkan tidak bisa. Jadilah kami sibuk mencari terjemahannya dalam bahasa Spanyol atau menuliskan pakai gambar apa bahkan kalau sudah lumayan putus asa menjelaskan, dua belah pihak pakai bahasa tubuh haha. Sewaktu di Cordoba, hampir setiap hari kami pergi ke bakery dekat apartemen. Hari pertama, penjualnya lumayan bisa bahasa Inggris. Hari kedua dan ketiga, penjualnya berbeda dan tidak bisa berbicara bahasa Inggris tapi paham kalau kami ngomong bahasa Inggris. Saat saya bertanya pakai bahasa Inggris yang artinya : Ini rotinya isi daging sapi atau babi? Dia jawab : moooo mooo menirukan suara sapi hahaha kocak sekali. Dia sambil tertawa kami ya ikutan tertawa.

Sebenarnya Suami bisa sedikit – sedikit bahasa Spanyol. Hanya saja, kadang dia juga ragu sama pemahamannya sendiri. Sering dia pesan makanan atau berkomunikasi di tempat wisata dengan menggunakan bahasa Spanyol. Cuma untuk hal – hal tertentu yang dia sendiri tidak yakin, google translate adalah solusinya.

Sewaktu di Sevilla, di sebuah restoran yang isinya penduduk lokal, saya mau bertanya menunya yang bukan babi yang mana. Karena di daftar menunya itu namanya panjang – panjang. Mau menterjemahkan satu persatu kok ya makan waktu. Lalu penjualnya menyodorkan kertas dan dengan bahasa tubuh, dia menyuruh saya menggambarkan apa yang saya maksudkan. Jadi saya menggambar babi trus saya silang dan menggambarkan ikan. Baru dia paham dan menunjukkan, mana menu yang bisa saya makan.

El Albaicin dilihat dari Nasrid Palace – Granada

Lain lagi sewaktu di Alhambra. Karena ada satu kampung yang isinya orang Islam, jadi penduduk di Granada mungkin mereka sudah tau apa dan bagaimana tentang Islam. Sewaktu saya dengan sok tahunya menunjuk satu menu yang akan dipesan, yang mencatat menu memberitahukan kalau itu babi. Dia bilang : Anda pakai jilbab berarti tidak makan babi kan. Wah saya jadi terharu, terselamatkan oleh Jilbab.

Sekalian membicarakan tentang Jilbab yang masuk dalam bahasan bahasa, anggap saja sebagai bahasa busana (mekso). Ada beberapa kesempatan selama di sana, karena secara tampak mata saya memakai Jilbab, jadi semacam ada sisi positifnya. Selain cerita tentang makanan di atas, juga saat di Alhambra. Jadi saat mau masuk ke Nasrid Palace, ada salah pemahaman tentang jam masuk tiket. Intinya kami sudah tidak bisa masuk dan harus membeli tiket yang baru. Kalau dari website nya, untuk hari itu tiket sudah terjual habis. Lalu, tiba – tiba ada yang menyapa saya : Assalamualaikum, Sister. Saya menjawab Waalaikumsalam, lalu bingung Sister apaan yak. Ternyata Bapak yang menyapa ini adalah petugas di Alhambra. Saya ceritakan lah apa yang terjadi. Lalu dia menyuruh saya ke sebuah kantor di pojokan yang katanya ada petugas yang bisa membantu di sana. Lalu dia menghubungi koleganya tersebut. Sebelum saya pergi, dia bilang : Saya tolong kamu karena kita bersaudara. Baru saya ngeh maksudnya dia panggil saya Sister haha loading agak lama. Ya akhirnya kami bisa masuk Nasrid Palace hari itu juga karena ada unsur KKN sesama “saudara” haha.

Madrid

Segitu saja cerita panjang kami selama liburan di Andalusia dan Madrid. Nanti kalau tidak malas, saya akan ceritakan secara terpisah kota – kota yang kami datangi dan juga pengalaman kulineran selama 2 minggu di sana.

-20 Desember 2021-

Kembali Belajar : Kelas Dasar Membuat Roti

Mejeng di kelas roti

Pertengahan tahun 2020, saat mulai tertarik menekuni dunia bikin kue dan roti, saya mencari informasi sekolah baking yang ada di Belanda. Saat itu, setelah berdiskusi dengan suami, saya ingin lebih serius terjun di bidang ini. Alih – alih ingin meneruskan ke S3 di Institut teknik (yang sudah saya rencanakan sejak dulu kala tapi nyatanya maju mundur ga jelas dengan berbagai alasan dan kesibukan), saya berpikir lebih baik saya jadikan serius saja dunia oven mengoven ini. Setelah mencari dan mengumpulkan informasi, dari berbagai macam sekolah baking, pilihan saya jatuh pada satu institut. Ga jadi ke Institut teknik, beloknya ke institut bakery haha. Saya diskusikan secara mendalam dengan suami, dia sangat mendukung rencana saya kembali sekolah meskipun bidangnya sangat berbeda dengan latar belakang pendidikan juga pengalaman kerja. Dia bilang : tekuni kalau memang ini yang kamu yakini, inginkan dan bisa membuat kamu berkembang secara ilmu dan pengalaman. Tekuni kalau memang ini bidang kerja yang kamu ingin jalani dan juga kamu senang mengerjakannya. Dapat dukungan gini, saya tentu saja jadi ringan melangkah.

Ruang kelas

Institut ini punya program khusus berdiploma yaitu kelas 9 minggu untuk Pattiserie dan 9 minggu Boulangerie. Waktu itu, saya memutuskan untuk ikut gabungan keduanya. Jadi minimal 20 minggu, setiap hari masuk dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore. Saya dan suami juga mulai cari cara bagaimana supaya berjalan seimbang antara yang di rumah dan saat saya sekolah. Ada beberapa hal yang menyulitkan sebenarnya, tapi kami mencoba jalan tengahnya. Ini program yang sangat intensif dan musti punya komitmen tinggi. Tidak bisa berhenti di tengah karena biayanya sangat mahal. Pun ujian akhirnya juga belum tentu lulus. Tergantung kemampuan peserta selama mengikuti sekolah.

Hasil roti hari pertama kursus

Singkat cerita, setelah berpikir lama mempertimbangkan segala hal dan mencoba mencari celah kesulitan yang kami hadapi kalau saya kembali sekolah secara intensif, akhirnya diputuskan saya akan mendaftar 1 jurusan dulu yaitu Boulangerie. Saya mendaftar sekitar Maret 2021, lalu dipanggil interview sekitar bulan Mei. Saat interview, semua bisa saya jawab dengan baik, dengan bahasa Belanda tentunya. Saat interview itulah saya mendapatkan gambaran kira – kira bagaimana nanti suasana selama 10 minggu sekolah. Akhirnya keesokan harinya, saya mendapatkan kabar kalau saya lulus interview dan bisa meneruskan proses pendaftaran yang berikutnya.

Hasil roti hari kedua kursus

Lalu saya mulai gamang. Saya mulai mempertanyakan diri sendiri, apa iya saya sanggup meninggalkan rumah seharian, 5 hari dalam seminggu, selama minimal 10 minggu (karena akan ada masa magang juga). Apa iya saya akan kuat secara mental meninggalkan yang ada di rumah. Pertanyaan – pertanyaan itu mulai saya pikirkan secara serius. Kalau menuruti ambisi, saya bisa saja berkeras hati tetap berjalan sesuai rencana. Tapi saya kembali berpikir, sebenarnya prioritas saya sekarang apa.

Salah satu materi kursus

Singkat cerita, saya akhirnya memutuskan mengundurkan diri, tidak melanjutkan untuk ikut kelas pendidikan 9 minggu Boulangerie. Tapi hasrat saya untuk masuk kelas tetap membara. Akhirnya saya memutuskan untuk mengambil kelas kursus pengenalan pembuatan roti. Sebenarnya kursus yang saya incar adalah kelas Croissant. Namun kelas ini mensyaratkan untuk ambil kursus dasar dulu. Meskipun secara praktek saya sudah bisa membuat roti bahkan menjualnya (bisa ditengok akun jualan dan prakarya baked goods IG : @SophieBreadnSweets) khusus sourdough bread, tapi secara teori saya butuh banyak belajar. Akhirnya saya mendaftar kursus di Institut ini dengan dosen yang sama mengajar di kelas pendidikan 9 minggu. Saya pikir, dengan jalan tengah seperti ini, semua hal bisa terakomodasi. Saya bisa tetap belajar di kelas yang berhubungan dengan baking, pun yang di rumah tidak keteteran saya tinggal karena waktunya tidak terlalu intensif. Toh dosennya sama dengan kelas pendidikan dan diakhir kursus saya mendapatkan sertifikat. Win Win Solution.

Mejeng dulu

Awal November, saya masuk kursus kelas dasar pembuatan roti. Kursus ini berlangsung 2 hari, yang tempatnya lumayan jauh dari tempat tinggal saya. Sekitar 4 jam perjalanan menggunakan kereta total pergi dan pulang. Waktu kursus, hari minggu dan senin dari jam 8 pagi sampai 4 sore . Peserta total 8 orang. Setelah perkenalan, diantara 8 orang ini, hanya 2 orang yang punya usaha baked goods. Saya dan satu orang dari Zeeland. Selebihnya, mereka baru mengenal dasar – dasar roti ya dari kursus ini.

Selama 2 hari kursus, banyak teori baru yang saya dapatkan berkaitan dengan cara membuat formula resep roti, proses kimianya, bahkan praktek cara melipat dan membentuknya pun saya mendapatkan insight baru. Wah antusias sekali saya selama 2 hari ini. Beberapa kali dipuji peserta kursus lainnya katanya cara saya membuat roti pakai tangan sudah terlihat professional. Lalu dosennya menjawab : ya dia jualan roti, kalau sampai tidak bagus kan bawa reputasi usahanya. Bwuahaha Pak Dosen, beraatt Pak! Namanya belajar otodidak dan belajar di kelas pasti banyak bedanya. Intinya, yang namanya belajar, pasti akan banyak hal baru yang didapat.

Hasil karya punya Pak Dosen. Memang beda kalau ahlinya yang bikin

Setiap hari selama 2 hari ini, para peserta membawa pulang hasil karya membuat roti. Dalam 1 hari, kami membuat 4 macam roti, dan per satu varian, kami membuat 3. Jadi jumlah roti yang kami bawa sebanyak 12 haha mabok roti dalam dua hari. 12 roti itu dalam satu hari saja ya. Besoknya membawa jumlah yag sama dengan varian yang berbeda. Karena kami sekeluarga akan pergi liburan, jadi roti yang saya bawa pulang, saya bagikan ke tetangga – tetangga. Dan dihari kedua, rotinya saya bagikan ke peserta kursus lainnya.

Roti yang dibawa pulang hari pertama

Yang membuat saya bangga dengan diri sendiri adalah, selama kursus dua hari ini saya paham apa yang dijelaskan dosen dalam bahasa Belanda. Bahkan saya ikut bertanya dan menjawab beberapa pertanyaan dari dosen dan peserta kursus lainnya. Dosen hari kedua, sudahlah ngomong Belandanya cepet, aksennya perancis. Duh puyeng. Saya sampai musti benar – benar konsentrasi penuh dengan apa yang dijelaskan. Jangan sampai meleng sedikit. Dan selama kursus 2 hari ini saya bersyukur memutuskan tidak jadi meneruskan mendaftar ke pendidikan 9 minggu. Lha dua hari saja terasa sekali capeknya. Berangkat sebelum jam 6 pagi, sampai rumah paling cepet jam 6 malam. Selama di kelas, tidak duduk sama sekali. Beda dengan kelas Patisserie di sebelah yang disediakan tempat duduk. Jadi selama 8 jam, duduk cuma 1/2 jam waktu makan siang dan waktu di toilet. Selebihnya berdiri. Tidak duduk karena memang sistem kerjanya berdiri wira wiri ngurusin resep, mencatat di papan, ngecek oven, sampai membuat adonan pakai tangan dan diajari pakai mesin.

Para peserta kursus. Foto sudah disepakati bersama boleh diunggah di media sosial (termasuk blog)

Akhir dari kursus, peserta mendapatkan sertifikat dan berfoto bersama. Pengalaman dan banyak ilmu yang saya dapatkan selama 2 hari kursus di Bakery Insitute. Juga mengenal peserta kursus dari bidang pekerjaan yang lain. Mereka baik sekali, kalau saya tidak paham, dijelaskan secara sabar pelan – pelan. Yang sekelas, cuma saya yang pendatang. Bahasa Belanda pun pas – pasan mentok yang lumayan bisa paham penjelasan dosen. Waktu sesi perkenalan, masing – masing menyebutkan umur dan bidang kerja saat ini. Karena saya mendapatkan urutan awal, saya PD sekali kalau saya akan masuk umur yang lumayan masih muda. Lha ternyata saat semua sudah memperkenalkan diri, ternyata saya masuk 3 besar paling atas umur yang tua hahaha. Terlalu PD dengan wajah sendiri.

Me time yang saya sukai ya salah satunya seperti ini. Belajar hal baru yang mudah – mudahan jadi jalan karier saya dimasa depan, yang dengan perasaan senang jadi pekerjaan yang saya serius geluti. Untuk tahun depan, saya sudah mendaftar 2 kursus, satu di Pattiserie dan satu Boulangerie di tempat yang sama. Tidak sabar ingin belajar di kelas lagi, menambah banyak ilmu baru lagi, dan bertemu dosen juga peserta kursus yang baru. Jadi, sampai dicerita kursus baking selanjutnya.

-9 Desember 2021-

Pakjesavond 2021

Pakjesavond 2021

Pakjesavond atau malam saat Sinterklaas bagi – bagi kado, tahun ini lumayan meriah karena kami mendapatkan sumbangan kado yang banyak. Tahun kemaren penyumbangnya juga sama, tapi tahun ini jumlahnya lebih banyak. Selain itu, yang membuat meriah karena yang diberi kado lebih paham apa Pakjesavond itu.

Tahun ini kami mulai belanja kado sejak pertengahan oktober karena minggu kedua November kami pergi liburan selama 2 minggu. Pun karena minggu – minggu sebelumnya ada beberapa acara termasuk saya yang masuk kelas baking. Takutnya kalau tidak dicicil, tidak akan sempat dan terlalu pendek waktunya. Juga saat November, ada beberapa anak teman yang ulangtahun, jadi sekalian belanja untuk kado ulangtahun. Walhasil awal November semua kebutuhan kado ulangtahun dan untuk Pakjesavond sudah selesai. Kami pergi liburan dengan perasaan tenang.

Seluruh kado yang selesai dibungkus akhir Oktober

Menjelang tanggal 5 Desember, sumbangan kado dari tetangga dan Oma datang. Makin banyak kado yang kami terima. Karena menurut kami terlalu banyak jika diberikan saat Pakjesavond, jadinya dibagi 2. Nanti akan dibagikan saat Natal juga. Jadi terasa hawa Natalnya dengan bagi – bagi kado.

Cerita selingan, tentang pohon Natal. Kalau tahun – tahun sebelumnya termasuk tahun lalu akhir November sudah terpasang Pohon Natal, tahun ini kami baru sempat menyelesaikan tepat tanggal 1 Desember. Sebenarnya ini juga hitungannya terlalu awal karena tradisi di Belanda, Pohon Natal baru didirikan setelah Sinterklaas meninggalkan Belanda yaitu tanggal 6 Desember. Di komplek rumah kami, sepertinya hanya saya dan rumah Oma dekat sini yang sudah ada pohon Natal sebelum Sinterklaas.

Selama 6 tahun berturut, kami selalu menggunakan pohon Natal yang sama dari bahan plastik. Tahun ini kami memutuskan memasang pohon Natal asli dari pohon. Jadi kami membeli pohonnya di dekat rumah tanggal 30 November dan langsung dihias. Lumayan juga wangi pinus, segar. Meskipun tidak semerbak seperti yang saya bayangkan. Mungkin aroma pinusnya ketutup dengan aroma sate ayam haha.

Pohon Natal tahun ini dari pohon asli

Hiasan yang kami pakai tetap sama hanya ada tambahan sedikit. Semua ikut menghias makanya agak amburadul konsepnya. Saya juga tidak terlalu banyak ikut campur cuma membetulkan sedikit kalau ada yang jatuh. Yang penting semua senang dan ruang tamu jadi lebih meriah lampu kelap kelip di tengah cuaca yang abu – abu setiap hari dan dingin tidak karuan.

Rangkaian acara Sintreklaas juga dimeriahkan di sekolah – sekolah dan pusat perbelanjaan. Pesta di sekolah selain bagi – bagi kado, juga mendatangkan Sinterklaas dan Zwarte Piet yang jam 8 pagi sudah heboh nari – nari di atas genteng sekolah sambil pasang musik kenceng lagu Sinterklaas. Saya sampai ngikik membayangkan jangan sampai nyangsang aja di cerobong asap. Tapi seru sih, saya saja menikmatinya. Apalagi para bocah – bocah sekolah ya. Di beberapa supermarket menyediakan rak yang bisa ditaruh sepatu lalu bisa diambil lagi sebelum tanggal 5 Desember. Di dalam sepatu sudah ada coklat atau kruidnoten (biskuit kecil – kecil rasa kayu manis). Saya juga mengirimkan kado ke beberapa anak teman, menyemarakkan suasana Pakjesavond di rumah mereka.

Saat Pakjesavond, sama seperti tahun sebelumnya. Suami pura – pura menggedor pintu trus teriak – teriak ada siapa di depan pintu. Saya sampai ngakak saking ga tahan sama sandiwaranya. Sukses sih, dipikir beneran Sinterklaas yang mengantar kado – kado yang ditaruh dalam kantung depan rumah.

Lalu kami bareng – bareng membuka kadonya. Semua senang, semua riang. Kenangan seperti ini bukan hanya anak – anak se Belanda saja yang menikmati keseruannya, juga orang dewasanya. Seru dan penuh suka cita.

Pakjesavond 2021
Pakjesavond 2021

Sekarang saatnya mulai mencicil menulis kartu Natal dan mulai mengirimkan ke wilayah Belanda. Yang wilayah Internasional sudah saya kirimkan sejak minggu ketiga dan keempat November. Mudah – mudahkan sampai tepat waktu paling tidak sebelum tahun baru. Saya juga mulai memikirkan menu malam Natal nanti, meskipun tidak mengundang siapapun terkait peraturan hanya 4 tamu dewasa dalam satu hari (kalau peraturannya tetap sama sampai akhir Desember). Tahun ini sepi lagi Natalnya, tidak ada kumpul keluarga besar. Semoga tetap penuh suka cita. Dipatuhi saja, namanya juga peraturan kan.

Tot volgende jaar Sinterklaas!

-7 Desember 2021-

Resah dan Ingin Mudik

Danau di kampung sini

Beberapa hari ini perasaan saya gundah tidak menentu. Rasanya resah dan tidak tenang. Hal ini terkait dengan rencana kami yang akan mudik ke Indonesia tahun depan. Awalnya, kami optimis akan mudik karena peraturan karantina masih bisa kami penuhi dan persyaratan visa untuk suami, terpaksa kami ikuti alurnya. Itu saat kondisi masih dalam jangkauan aman – aman saja ditengah situasi yang belum sepenuhnya aman. Sampai minggu lalu yang peraturan cepat sekali berubah. Bahkan hanya dalam hitungan hari. Kemaren ada berita erupsi di Lumajang, Jawa Timur. Lumajang ini dekat dengan kota tempat Ibu dan adik – adik saya tinggal. Hati saya makin sedih karena makin sadar bahwa jarak yang terbentang antara Belanda dan Jawa Timur itu sangat jauh. Artinya, saya memang harus mengikhlaskan kalau ada segala hal terburuk terjadi dengan keluarga, saya tidak bisa segera ke sana. Sebenarnya saat pindah ke Belanda pun saya sudah tau konsekuensi tersebut. Hanya saat ini, makin nyesek di hati. Keluarga saya baik – baik saja, tidak terdampak erupsi kemaren.

Sebelum kami liburan ke Andalusia (cerita tentang ini, menyusul), suami sudah bertanya dan “mendesak” saya untuk menjadikan saja mudik tahun depan saat lebaran. Toh “hanya” karantina 5 hari (saat itu) dan syarat visa (atau KITAS) pun masih bisa diusahakan. Saya sebenarnya berat hati karena masih tidak rela men”sedekah” kan uang untuk karantina hotel 5 hari. Lalu suami bilang : yang penting bisa ketemu keluarga, kamu kan sejak pindah sini belum mudik sama sekali. Uang bisa dicari lagi, ga usah mikir terlalu panjang. Apalagi Ibuk beberapa kali bilang kangen ingin ketemu kita semua. Saya tertegun saat dia bilang begitu. Lalu saya berpikir, iya juga. Apalagi selama ini memang saya ingin sekali mudik saat lebaran. Saya berlebaran terakhir dengan keluarga di Indonesia, tahun 2014. Jadi saya memang benar – benar rindu merasakan lagi suasana lebaran berkumpul dengan keluarga besar di sana. Juga saya ingin memperkenalkan keluarga saya di sini, lebaran itu seperti apa dan bagaimana. Biar mereka tahu dan ada kenangannya. Ada alasan lain juga kenapa lebaran tahun depan satu – satunya kesempatan saya bisa mudik, tapi tidak bisa saya tuliskan di sini alasannya apa. Lalu aturan karantina dipersempit lagi jadi 3 hari. Saya semakin optimis. Saya sampai bilang ke Ibuk : Insya Allah mudik jadi Bu tahun depan pas lebaran. Saya akan urus semuanya setelah pulang liburan.

Akhirnya saya sanggupi saran suami : Ok, setelah pulang liburan dari Andalusia, kita akan urus semuanya. Kita mulai dengan reschedule tiket Garuda (yang memang sudah kami beli sejak sebelum pandemi masuk Belanda, awal 2020), lalu urus – urus semuanya. Kami sudah menetapkan tanggal kapan berangkat, sudah memilih jam berapa akan berangkat, dan tanggal berapa akan pulang ke Indonesia. Lalu kami pergi liburan lah selama 2 minggu. Selama di Andalusia pun saya masih sempatkan cari informasi apa saja rentetan persyaratan yang harus kami penuhi sebelum dan sesampainya di sana.

Sesampainya di Belanda kembali, kami teler beberapa hari, kecapean. Jadi baru ada tenaga untuk mikir mudik ya minggu lalu. Lalu terdengar kabar, karantina yang awalnya 3 hari, karena ada varian baru yang sudah masuk ke beberapa negara (termasuk Belanda), diperpanjang jadi 7 hari. Mencegah masuk ke Indonesia tentu saja. Saya masih punya harapan : ok, tidak apa – apa masih 7 hari. Begitu saya membesarkan hati. Suamipun ikut membesarkan hati (nya sendiri lol), 7 hari masih ok katanya. Lalu beberapa hari kemudian, sebelum subuh saya dapat kabar kalau karantina jadi 10 hari. Saya langsung sedih. Gila, 10 hari ngapain di dalam kamar ga bisa ke mana – mana. Untuk pembayaran hotel, meskipun dengan berat hati bisa kami sanggupi dan untuk waktu pun kami bisa (karena rencana liburan di Indonesia selama 6 minggu), tapi membayangkan 10 hari di dalam kamar itu ngapain saja. Sehobi – hobinya saya rebahan, tapi kalau 10 hari dalam ruangan sekeluarga, kan ya jadi gila rasanya kalau dibayangkan. Tidak bisa ke luar kamar sama sekali kan. Bisa saling bunuh kami di dalam ruangan.

Sampai kami membuat beberapa skenario yang pada akhirnya semuanya sulit diwujudkan (skenario ini dengan aturan karantina 10 hari) :

  1. Saya pulang sendiri ke Indonesia. Ini jelas tidak bisa saya lakukan. Keberadaan saya masih dibutuhkan secara fisik di Belanda dan juga saya tidak akan tenang meninggalkan keluarga saya di rumah dalam waktu yang tidak sebentar. Bukan saya tidak percaya dengan suami atau dia tidak bisa diandalkan, tapi memang saya masih harus hadir dalam keseharian. Tidak bisa tidak. Suami jelas bisa diandalkan, tapi untuk hal – hal tertentu, untuk saat ini, saya yang harus ada.
  2. Saya pulang membawa satu anak kami. Ini juga sulit diwujudkan karena dia sudah tak terpisahkan dengan saudaranya. Sehari ga ketemu saja sudah saling mencari nangis ga karuan. Memisahkan mereka, sama saja membuat mereka sakit yang nantinya kami juga yang kerepotan
  3. Kami mudik sekeluarga. Ini kemungkinannya juga kecil walaupun kalau bisa diusahakan kalau kepepet, karena anak – anak tidak pernah tidak ke luar rumah satu haripun kecuali sedang badai. Mereka setiap hari selalu beraktifitas di luar rumah, bermain di udara terbuka meskipun cuma 2-3 jam (di luar jam sekolah). Jadi membayangkan dikurung dalam ruangan selama 10 hari walaupun disediakan mainan dan bahan hiburan yang cukup, rasanya tidak bagus buat perkembangan mental mereka. Mereka ini sedang di usia yang aktif – aktifnya bergerak (kalau saya kan sudah masuk usia sedang aktif – aktifnya ingin rebahan tapi inginnya tetap bergelimang uang *yang mana ya jelas ndabrus.). Suami saya saja tidak bisa membayangkan apa dia sanggup selama 10 hari tidak beraktifitas di luar ruangan sama sekali.
  4. Saya sudah mencari informasi tempat karantina berupa apartemen, sudah dapat tapi dia hanya ada 1 kamar tidur. Bentuk apartemen ini rasanya lebih manusiawi buat kami karena ada sekat – sekat dengan ruangan yang lain. Punya dapur juga, dan jelas ada ruang tamunya. Juga ada balkonnya, jadi bisa cari udara segar di balkon. Tapi kalau cuma 1 kamar tidur, ya tetap sulit. Bisa dipaksakan kalau kepepet. Tapi males juga kalau dipepet – pepet tidur karena memang tidak pernah selama ini. Sudahlah tidak bisa ke mana – mana 10 hari, masa tidur juga musti merana.
  5. Saya pulang membawa anak – anak sendiri tanpa suami. Lah ini sama juga dengan skenario sebelumnya tapi dengan kondisi yang lebih merepotkan karena saya harus mengurus semuanya sendiri. Encok buukkk kalau ga ada suami siaga di samping saya. Hari pertama mungkin sudah dadah – dadah ke kamera.
  6. Skenario terakhir, terpikir untuk mendatangkan kembali Ibuk ke Belanda. Tapi rencana ini langsung gugur mengingat Ibuk sudah sepuh dan perjalanan panjang ke sini terlalu melelahkan untuk usia Beliau. Saya juga tidak tega membayangkan prosedur yang harus dijalani Ibuk nanti jika kembali ke Indonesia harus menunggu berjam – jam sebelum bisa ke hotel karantina.

Baru itu saja skenario yang terpikirkan karena belum ada pembicaraan lebih lanjut dengan suami (juga sahabat – sahabat saya). Suami dan sahabat – sahabat saya juga lelah hati memikirkan skenario apa lagi. Hal yang paling mungkin kami lakukan ya tetap mudik. Saya menuliskan semuanya di blog ini untuk menguraikan keruwetan yang ada di otak dan keresahan yang ada di hati perkara rencana mudik dan peraturan yang berubah dan juga varian baru yang mak bedundug muncul lagi. Supaya saya berasa lebih lega sedikit. Tidak usah banyak, sedikit saja bisa membuat saya lebih legowo menjalani esok hari. Seminggu ini saya mengerjakan sesuatunya seperti ngawang tidak menginjak tanah. Bahkan mengerjakan pesanan juga dengan perasaan yang tidak tenang. Untungnya ya saya bisa menyelesaikan pesanan minggu lalu dengan baik. Minggu depan dan depannya lagi juga masih banyak pesanan. Alhamdulillah bulan Desember ini saya banyak pesanan.

Sepupu saya di Jakarta mengingatkan : kalau mau mudik menjelang momen besar misalkan akhir tahun atau lebaran, pasti aturan akan diperketat. Polanya selama ini seperti itu. Sahabat – sahabat saya di sana pun berpendapat yang sama. Kenapa saya “ngotot” ingin mudik tahun depan. Selain alasan yang sudah saya sebutkan di atas, juga karena ada beberapa hal yang harus saya urus di sana. Saya harus hadir sendiri secara fisik, tidak bisa diwakilkan. Juga alasan ada perasaan khusus kalau saya memang harus mudik tahun depan. Seperti perasaan yang sangat kuat, tidak bisa ditunda lagi, memang harus mudik.

Selain itu, alasan utama ya karena saya sudah rindu sekali ingin bertemu dengan Ibuk, adik – adik saya dan keluarga besar di sana. Tidak ada yang saya rindukan lainnya selain keluarga dan para sahabat. Saya memang dekat dengan keluarga di Indonesia apapun dinamika yang terjadi selama ini. Mereka tetap dan akan selalu jadi alasan utama saya untuk liburan lama di Indonesia. Bahkan waktu 3 bulan saja buat saya masih kurang, apalagi 6 minggu, rasanya tidak cukup untuk melepas kangen dan saling bercerita. Makanan tentu saja rindu tapi masih bisa ditunda. Januari tahun depan, tepat 7 tahun saya tidak bertemu dengan mereka (kecuali adik dan Ibu saya yang pernah ke Belanda tahun 2017. Sedangkan adik saya yang satunya, terakhir bertemu tahun 2014). Rasanya sesak sekali setiap memikirkan betapa sulitnya mudik di situasi saat ini. Saya tahu, akan ada banyak (dan sudah banyak) yang menyarankan : ditunda saja sampai keadaan lebih aman dan memungkinkan. Jika saya pernah mudik ke Indonesia selama 7 tahun sejak pindah ke sini, saran tersebut akan bisa saya dengarkan dengan perasaan lebih nerimo. Tapi karena saya belum pernah mudik sama sekali, jadi susah buat saya untuk menunda sampai keadaan aman. Parameter aman yang bagaimana, sampai kapan benar – benar aman, apakah memang akan bisa benar – benar aman? Saya sedang menata hati mencoba berdamai dengan keadaan ini.

Saat mengabarkan pada Ibuk kalau karantina saat ini jadi 10 hari, hati ini rasanya retak. Sedih sekali. Membayangkan Ibuk dengan susah payah mencoba mengerti situasi yang memang sulit saat ini. Saya tahu, Ibu memang tidak akan pernah menampakkan kekecewaannya. Bisa merasakan bagaimana Ibuk bersusah payah menyiapkan mental jika kami mungkin akan batal mudik lagi. Membayangkan begitu saja, saya sudah tak sanggup untuk tidak keluar air mata. Meskipun Ibuk selalu menjawab : tidak apa -apa Den, yang penting semua sehat. Tapi saya tahu dengan pasti, sebenarnya Beliau menata perih hatinya supaya tidak nampak oleh saya.

Sekarang yang bisa saya harapkan dan doakan ya keadaan lebih baik kedepannya dan peraturan karantina lebih diperpendek dan dalam waktu dekat tidak muncul lagi varian baru. Suami meyakinkan sambil memeluk saya untuk menenangkan : apapun yang terjadi, selama kita bisa mudik, lebaran tahun depan kita akan mudik sekeluarga ke Indonesia.

Saya ingin mudik. Saya ingin bertemu Ibuk, adik – adik dan keluarga besar di sana. Ingin mempertemukan keluarga saya dengan mereka semua. Ingin ziarah ke makam Bapak yang terakhir saya kunjungi akhir tahun 2014. Itu saja, tidak muluk – muluk.

-5 Desember 2021-

Saat ini sebenarnya ada perayaan yang menggembirakan di rumah karena sedang Pakjesavond (Sinterklaas bagi – bagi kado), tapi hati saya tetap digelayuti rasa sedih. Jadi mencoba professional nampak baik – baik saja, padahal tidak. Hanya suami yang tahu, dan dia bertanya ada apa. Ya sebenarnya dia tahu kenapa saya begini. Dia hanya memastikan saja.

Delapan Tahun Lalu

Hummingbird Cake

Tadi pagi, sewaktu suami turun dari ruang kerjanya, saya nyelutuk

Saya : Kamu masih ingat ga tanggal bersejarah apa hari ini?

Dia : ………….. *lama banget tengak tengok berpikir keras berusaha mengingat. Trus dengan muka menyerah dia melihat ke arah saya.

Saya : Delapan tahun lalu kita kan pertama kali kenalan, ngobrol

Dia : Ohh iyaaa. Kamu kan yang pertama kali ngajak ngobrol

Hahaha bagian siapa yang memulai, dia langsung ingat. Yap, saya yang mempunyai inisiatif duluan untuk membuka obrolan sampai akhirnya di sinilah kami delapan tahun kemudian. Kami tidak ada tanggal jadian, karena dia langsung melamar yang berujung ditolak sama Ibuk haha tapi ya tetep 6 bulan setelah dilamar dan ditolak, kami menikah, dihadiri ibuk juga. Lha wong nikahnya di rumah Ibuk.

Hummingbird Cake

Delapan tahun kemudian, kami bernostalgia mengingat hari itu, apa saja yang kami obrolkan. Delapan tahun kemudian, dia sudah lupa tanggal bersejarah tersebut, yang juga angka yang kami putuskan digunakan sebagai mahar mas kawin. Delapan tahun kemudian, saya masih saja gampang marah kalau rumah berantakan. Delapan tahun kemudian, kami tersenyum dan tertawa bersama mengingat hal – hal yang terjadi setelah tanggal ini, sambil saya menyiapkan pesanan cookies dan macarons dan dia bersiap pergi ke gym. Delapan tahun kemudian kami tetap bersama di sini, saling memahami kekurangan masing – masing dan tetap belajar untuk mengelola rasa cinta yang sama saat kami berjumpa. Bahkan mungkin rasa cinta yang semakin besar porsinya. Delapan tahun berlalu, saya dan dia tumbuh saling dukung satu sama lain, menjadi manusia yang lebih baik versi kami masing – masing. Semoga tahun – tahun akan datang kami masih saling ingat tanggal ini meskipun mungkin salah satunya lupa atau bahkan dua – duanya lupa. Semoga akan banyak tahun di depan untuk perjalanan hubungan kami.

Semoga kami panjang jodohnya.

-30 November 2021-

*penasaran, yang baca tulisan ini dan yang sudah (atau pernah) berpasangan, apakah masih ingat tanggal pertama kali berkomunikasi dengan pasangannya?

TETAP SEMANGAT NGEBLOG

Autumn

SELAMAT HARI BLOGGER NASIONAL!

Dunia blog sekarang sudah berbeda dengan jaman saya masih ngeblog di Multiply, Blogspot, Friendster, Tumblr. Apalagi MP, setiap masuk kerja, pertama yang dibuka ya multiply. Membaca ada postingan apa hari itu karena yang saya ikuti postingannya pasti bagus – bagus. Ya seputaran dunia percintaan, puisi, cerpen. Masa itu, saya memang lebih produktif menulis cerpen dan puisi dibandingkan cerita ringan sehari – hari. Total perjalanan saya ngeblog ya 15 tahun an dari awal sampai sekarang.

Mulai ngeblog di WP tahun 2014 karena awalnya memang saya dan suami yang akan menulis bersama di blog ini. Karena itu nama blog ini Deny and Ewald. Seiring berjalan waktu, saya yang lebih banyak menulis di sini sedang suami fokus pada blognya sendiri. Meskipun alamat blog ini masih nunut blog dia dan dia juga yang bayar iurannya. Blog ini juga sarana saya belajar menuliskan cerita yang santai, kehidupan sehari – hari, cerita liburan, beberapa informasi yang mudah – mudahan berguna bagi yang baca, sarana mendokumentasikan apapun bahkan juga tulisan rasan – rasan. Ya lumayan lengkap luas lah cakupan blog ini. Mau yang positif ada, yang negatif juga ada. Balance. Blog suka – sukalah isinya.

Autumn
Autumn

Tahun 2014, masih banyak yang rajin ngeblog. Yang saya ikuti, hampir ada saja tulisannya tiap minggu. Semakin bertambah tahun, makin berkurang yang aktif. Tiga tahun terakhir makin terasa sepinya. Syukurlah yang saya kenal lumayan baik dari tulisannya, mereka masih tetap menulis. Yang penting tetap menulis jadi saya tahu dan tetap bisa baca apa kabar terbaru dari mereka. Beberapa ada yang saya ikuti ceritanya di media sosial dan yang lainnya tidak. Jadi, ya andalan saya tetap blog.

Meskipun saya tidak selalu berkomentar di setiap tulisan, tapi saya usahakan untuk tetap baca. Selalu ada hal menarik di setiap tulisan. Beda dengan media sosial, blog itu “arwah” nya berbeda. Lebih terasa ke hati jika membaca tulisan yang lengkap, menceritakan hal yang baru, atau apapun itu.

Jaman memang sudah berubah. Banyak yang memindahkan tulisannya ke media sosial sehingga tidak aktif lagi di dunia blog. Banyak yang lebih nyaman berbagi di dunia video. Saya pun akhir – akhir ini ada saja alasan untuk malas menulis padahal banyak sekali bahan dan cerita sehari – hari yang bisa didokumentasikan di sini. Bahkan membalas komentar pun belum saya lakukan. Maaf ya yang sudah komen di tulisan – tulisan sebelumnya, pasti nanti akan saya balas. Saya sadar, interaksi yang kita bangun lewat tulisan bisa semakin intensif lewat kolom komentar. Jadi tahu sudut pandang yang membaca seperti apa. Selain waktu, menulis di blog memang butuh mood khusus. Saya sudah punya waktu lebih longgar. Hanya mood yang seringnya malas. Memang harus diberantas sikap malas menulis. Supaya tujuan awal punya blog di WP tetap terlaksanakan, yaitu sarana mendokumentasikan apapun.

Saya tetap semangat ngeblog meskipun dunia blog semakin sepi. Saya tetap semangat ngeblog meskipun yang membaca semakin sedikit. Saya tetap dan akan selalu ngeblog selama platform ini tidak gulung tikar. Saya pasti akan terus menulis sampai kondisi tidak memungkinkan lagi. Selama jiwa dan raga masih sehat, semangat saya untuk menulis di blog tak akan pernah surut. Buat saya, media blog tidak akan tergantikan dengan media yang lainnya. Seaktif aktifnya saya di media sosial, blog tetaplah media yang tepat buat saya untuk menulis.

Saya tetap semangat ngeblog!

-27 Oktober 2021-

Sambal dan Makanan Pedas

Aneka Macam Sambal Buatan Sendiri

Tumbuh besar di wilayah Jawa Timur bagian timur dan lingkungan tempat tinggal mayoritas adalah orang Madura, sejak kecil saya sudah terbiasa mengkonsumsi makanan pedas. Jika diingat kembali, hanya ada dua rasa makanan yang saya kenal sejak kecil yaitu asin dan pedas. Saya ingat sekali, mungkin sekitar umur TK, saya makan lodeh yang dibuatkan Mbah, sampai telinga berdenging. Saking pedasnya. Rasanya semua makanan bersantan dari desa Bapak, tidak ada yang tidak pedas. Masak sayur asem pun, ya pasti ada sandingan nya sambal. Malah, meskipun sayurnya sudah pedas, tetep saja sambal tidak absen untuk dihadirkan. Karena itulah kenapa pengetahuan saya akan rasa, tidak terlalu luas. Karena ya hanya mengenal asin dan pedas, lidah saya tidak terlalu terpapar rasa makanan lainnya. Itulah mengapa sampai sekarang, saya lebih menyukai rasa makanan yang asin dibanding yang manis. Ironis sebenarnya karena saya saat ini berjualan camilan manis, tapi saya sendiri tidak terlalu doyan rasa manis.

Makanan Jawa Timur wilayah timur itu didominasi dengan rasa asin, pedas, petis, dan terasi. Merantau ke Surabaya dan Jakarta pun, tidak terlalu banyak bedanya. Tetap saja buat saya makanan enak itu kalau ada rasa pedasnya dan asin. Meskipun sewaktu kerja di Jakarta, saya sering tugas ke seluruh pulau di Indonesia, tetap saja yang saya cari ya makanan pedasnya. Intinya, level pedas lidah saya sudah tidak terhingga. Kata teman – teman yang mengenal saya, lidah saya sudah mati rasa saking semua rasa pedas ga ngefek. Mungkin kalau dulu sudah ada vlogger yang mukbang makanan pedas, saya mengajukan diri untuk diadu. PD akan menang.

Sebelum pindah ke Belanda, dua kali saya jalan – jalan ke LN, tepatnya ke Malaysia dan Vietnam. Kalau ke Malaysia, ya secara melayu, makanan masih bisa lah diterima lidah. Tapi, untuk mengantisipasi kalau misalkan masakannya tidak pedas, saya sampai belain bawa cabe bubuk. Kalau tidak salah ingat, saat itu belum ada cabe bubuk dengan merek ternama yang punya level sampai 30. Jadi saya bawa merek entah apa, yang sebenarnya bubuk cabenya pun tidak terlalu pedas. Tapi lebih baik daripada tidak ada sama sekali ya kan. Liburan ke Vietnam pun barang yang tidak boleh ketinggalan ya kalau tidak bubuk cabe, saus cabe. Pokoknya permasalahan makanan tidak cocok di lidah saat itu, akan terselesaikan kalau dua barang ini ada di depan mata.

Aneka Macam Sambal Buatan Sendiri
Aneka Macam Sambal Buatan Sendiri

MERANTAU LEBIH JAUH

Sebelum pindah ke Belanda, saya kan beberapa bulan sebelumnya pernah datang sebagai turis. Jadi sudah tau nih kira – kira makanan Indonesia di Belanda tuh tipenya yang seperti apa. Sudah ada bayanganlah. Tidak perlu takut kekurangan bahan makanan dan masakan Indonesia. Banyak yang jual dan kalau bikin sendiri juga gampang. Apalagi waktu itu kami tinggal di Den Haag yang jadi surganya makanan Indonesia.

Saat packing barang – barang untuk pindahan, tentu saja saya tidak melupakan untuk bawa cobek. Karena cobek batu, tidak bisa ditemukan di Den Haag, kecuali pesan pada perorangan baru ada. Nyambel kan paling enak kalau dicobek batu, apalagi saya sudah terbiasa ngulek. Jadi, dunia persambalan aman. Awal di sini, saya masih belum terpisahkan dengan sambal dan makanan pedas. Inginnya segala jenis makanan dipedesin pake sambal atau saus sambal. Sudah pindah negara, beda benua, masih saja lidah tidak diberi kesempatan untuk mengenal rasa yang lainnya.

Sampai saat kami road trip ke Perancis Utara, selama perjalanan itulah saya dapat hidayah. Awalnya saya lupa kenapa, tapi sepertinya saya tidak ingat untuk membawa saus sambal. Lalu selama perjalanan 8 hari, tentu saja tidak ada yang namanya makanan saya taburi dengan bubuk cabe atau dicocol ke saus cabe. Selama itulah pertama kalinya saya merasakan masakan negara lain dengan rasa aslinya. Tanpa tambahan apapun yang membuat pedas. Ternyata hey! saya tidak ada masalah kalau makan tidak pedas. Saya tidak jadi ngamuk karena makanannya, misalkan level asinnya tidak sesuai lidah saya. Di sanalah saya belajar mengenal rasa lainnya yang takjubnya membuat saya suka. Saya sangat menikmati apapun jenis makanan yang kami pesan. Dan selama itu juga tidak makan nasi, saya baik – baik saja, tidak emosi karena tidak bertemu makanan Indonesia. Disitulah saya disadarkan kalau ya tidak semua makanan butuh rasa pedas.

TOBAT

Sepulangnya dari Perancis Utara, saya seperti tobat dengan rasa pedas. Perlahan mulai mengurangi dan merubah cara berpikir ya ga perlu sampai nenteng sachet saus sambel ke mana – mana. Tidak perlu panik kalau makanannya tidak pedas. Saya beruntung bisa travelling ke beberapa negara selama di sini. Jadi makin tahu makanan lokal di negara tersebut bagaimana rasanya. Saya mulai memberi kesempatan pada lidah untuk mengenal rasa sebanyak – banyaknya. Makin banyak rasa yang saya kenal, makin gampang saya beradaptasi dengan rasa makanan yang baru. Asal makanannya masih masuk kriteria yang bisa saya makan, bablass akan saya santap tidak peduli lagi kalau rasanya tidak pedas. Justru salah satu manfaat jalan – jalan ke berbagai negara itu ya mengenal makanan lokalnya kan. Sayang kalau sampai makanan lokal dinodai dengan campuran saus sambal atau ditaburi dengan cabe bubuk, jika memang penyajiannya dan rasa aslinya tidak pedas. Sayang kalau menyiakan kesempatan untuk merasakan makanan lokal dengan citarasa aslinya. Ada sih beberapa kali pikiran : wah ini enak sih kalau dimakan sama sambel terasi, wah ini bakal lebih oke nih kalau disajikan pedas, dsb. Pikiran tersebut tentu ada. Tapi ya tentu saja hanya pikiran saja, tidak lalu diwujudkan. Toh saat makan, tetap saja nikmat, meskipun tidak pedas.

Beda lagi kalau memang saat liburan sengaja singgah ke restoran Indonesia ya. Itu kan bukan makanan lokal negara yang disinggahi. Saya saat di Berlin pun makan di dua restoran Indonesia. Tapi sebisa mungkin kalau sedang liburan ke LN, saya tidak makan di restoran Indonesia atau Asia. Konsekuensinya adalah saat pulang liburan dan kembali ke Belanda, jujugan pertama kami adalah restoran Indonesia atau Chinese Restaurant. Kami berdua pasti sudah kangen banget dengan makanan Asia. Berapapun lamanya liburan, entah di dalam Belanda atau luar Belanda, pasti sebelum sampai di rumah, kami belok dulu untuk beli makanan Asia atau Indonesia untuk dibawa pulang. Kembali ke zona nyaman. Di rumah pun, sekarang saya santai saja kalau misalkan tidak ada sambal. Kalau malas nyambel, ya sudah makan aja seadanya. Tidak dibuat repot.

Saya bersyukur sekarang lidah dan pengetahuan saya akan rasa semakin luas. Dulu saya mendefinisikan makanan enak itu kalau ada rasa pedasnya, asin, dan dimakan dengan sambal. Sekarang pandangan saya akan makanan enak sudah berbeda. Makanan enak buat saya, jika saya bisa merasakan dengan citarasa aslinya. Saya suka agak gimana gitu kalau melihat foto orang Indonesia yang sedang liburan di sebuah negara lalu makanan lokalnya ditaburi cabe bubuk atau dicocol saus sambel. Dulu kan saya pelaku seperti itu. Tapi karena sudah tobat, jadi saat melihat ada yang melakukan sama seperti yang saya lakukan dulu, ternyata ga elok ya. Balik ke selera sih ya.

Saya semakin paham dan yakin, bahwa tidak semua makanan perlu dimakan pakai sambal, punya rasa pedas, dan tidak semua makanan butuh saus sambal.

-27 September 2021-

Kembali Aktif Menggunakan Media Sosial

Suatu senja di danau

Setelah hibernasi sama sekali tidak menggunakan media sosial yang saya punya (twitter dan FB) selama nyaris 7 bulan, akhirnya pada bulan Juli saya memutuskan kembali ke pelukan twitter dan FB. Cerita kenapa saya memutuskan tidak bermedia sosial sejenak, pernah saya tuliskan panjang lebar di sini. Awalnya masih ragu dan menimbang banyak hal, apa memang sebutuh itu dengan media sosial, mau ngapain lagi sih wong ga bermedia sosial toh saya baik – baik saja. Banyak manfaatnya, bahkan saya buat tulisan khusus manfaat saya tidak menggunakan media sosial. Asal masih bisa nulis di blog, sudah cukup. Bahkan saat saya memutuskan untuk punya usaha dari rumah, sempat malas – malasan untuk punya akun IG walaupun hanya untuk kepentingan bisnis. Malas harus ngurus akun, tapi kan ya saya butuh promosi juga. Akhirnya selama masa hibernasi media sosial, saya malah nambah akun IG buat jualan. IG atas nama Sophie Bread and Sweets *promosi sekalian di sini. Jadi ini satu – satunya akun IG yang saya punya, isinya ya selain buat jualan, promosi, juga berisi aktiftas per-baking-an. Saya tidak follow akun pribadi kecuali beberapa gelintir orang saja. Kalaupun saya follow, karena tahu yang bersangkutan adalah pembeli potensial atau punya hobi baking juga. Selebihnya, saya hanya follow akun jualan dan akun pribadi yang berhubungan dengan roti, sourdough, atau baking yang manis lainnya. Mungkin dari yang baca blog saya lalu follow akunnya Sophie, terima kasih. Kalau saya tidak follow balik, sudah tahu ya alasannya. Akun IG khusus untuk jualan dan berbagi cerita di IGS tentang kegiatan per-baking-an saya. Jadi, saya tidak follow akun pribadi yang isinya cerita keseharian.

Nah, saat kembali ke twitter, saya sempat kagok. Mau menulis apa nih, lihat tampilan twitter kok nampak beda. Trus pas buka FB, kagok juga. Mau ngapain di FB. Lalu saya buat Page untuk jualan. Setelahnya saya buat status pamer cerita berat badan yang turun 25kg *teteup ya, pertama muncul langsung pamer. Ya gimana, saya kan mau promosi Sophie, nah kalau ujug – ujug muncul langsung ngomong Sophie kan kurang smooth. Jadi ya, basa basi dulu. Begitu juga di twitter, saya bikin cuitan receh dulu awalnya. Lalu saat sudah mood, baru saya promosi Sophie.

Sudah 2.5 bulan kembali berkutat dengan media sosial, bahkan nambah IG, ada beberapa hal yang saya amati perbedaan sebelum dan setelah hibernasi :

  • LEBIH TERKONTROL. Jadi, sekarang sayalah yang mengontrol media sosial, bukan sebaliknya. Tahun lalu kan parah sekali diri ini dalam bermedia sosial. Merasa saya yang dikontrol dan tidak bisa mengendalikan diri mainan twitter. Setelah kembali lagi, saya bisa merasakan bedanya dan sekarang lebih santai dengan twitter. Kalau lagi malas, ya bisa sampai beberapa hari tidak menengok twitter. Bahkan FB pun bisa sampai 1-2 minggu terlupakan tidak dibuka sama sekali. Kalau IG, sampai saat ini saya masih belum klik. Jadi masih on off gitu mood dengan IG. Makanya kalau saya sedang tidak ingin posting apapun di IG, bisa berhari – hari tidak menengok IG sama sekali. Kalau ada DM pesanan, baru saya buka. Kalaupun sudah posting foto atau story, setelahnya ya saya lupa mau nengok lagi. Ingatnya keesokan harinya : lho kemaren kayaknya bikin IGS, halusinasi apa gimana ya. Setelah saya tengok lagi, IGS nya sudah masuk arsip. Sampai lupa. Senang sih, sekarang sudah tidak punya keterikatan kuat dengan media sosial.
  • TIDAK TAHU BANYAK HAL, TAK MENGAPA. Karena sekarang sudah tidak terlalu ngotot lagi dengan media sosial, jadi kalau sedang berjauhan lalu kembali lagi, membaca TL rasanya kok ada yang ketinggalan ya tentang suatu berita. Saya santai saja. Tidak berusaha keras mencari tahu. Jadi tidak terlalu mikir kalau ternyata saya tidak tahu banyak hal di media sosial. Itu normal dan wajar.
  • TETAP FOKUS DAN PRODUKTIF DENGAN DUNIA NYATA. Sekarang media sosial aktif yang saya punya, ada 3. Tapi, dengan tiga akun tersebut, proporsi fokus malah tetap pada dunia nyata. Saya membuka media sosial sesempatnya saja. Kalau sedang sibuk seharian, ya tidak sempat buka sampai keesokan harinya. Pikiran pun tetap menapak di dunia nyata. Kalau sedang di luar rumah atau jalan – jalan, tidak ngotot menjepret sana sini dengan niat ingin diunggah di twitter atau FB. Dulu kan begitu. Sekarang, kalau sempat ya difoto, kalau tidak ya tidak apa. Itupun seringnya berakhir di file HP saja. Tidak diunggah. Makan, ya fokus pada makanan, bukan sambil memelototi HP. Liburan, ya fokus pada liburan Jadi intinya, otak saya sudah terbiasa untuk tidak berpikir tentang media sosial. Melihat apa yang ada di depan mata. Bukan mata memandangi layar HP. Merasa juga lebih produktif. Bisa menyelesaikan banyak hal dan melakukan yang saya suka tanpa terdistraksi media sosial. Lumayanlah, sudah bisa baca 27 buku dari target 50 buku tahun ini. Lumayan bisa mengurusi jualan, menerima pesanan.
  • MENGGUNAKAN WEBSITE, BUKAN APLIKASI. Saat bersih – bersih aplikasi di Hp waktu hibernasi, saya buanglah beberapa aplikasi tidak penting, salah duanya twitter dan FB. Nah, sampai sekarang, saya belum install lagi dua aplikasi tersebut. Sudah cukup puas membuka dari website saja. Hanya IG saya buka lewat aplikasi.
Suatu senja di danau
Suatu senja di danau

HAL – HAL YANG TETAP SAMA SEBELUM DAN SESUDAH HIBERNASI MEDIA SOSIAL

Ada beberapa hal yang tidak berubah sebelum dan sesudah saya vakum dari media sosial :

  • KELUARGA. Saya tetap meminimkan bercerita tentang keluarga di media sosial. Minim sekali. Mengunggah foto keluarga, sampai sekarang, tidak pernah. Seringnya ya cerita makanan, unggah foto makanan, jalan – jalan, unggah foto sendiri *narsis. Lebih nyamannya memang seperti itu. Seperlunya saja.
  • LIBURAN. Selama liburan, sejak mulai pindah Belanda sampai sekarang, saya usahakan dengan amat sangat untuk tidak unggah apapun yang menyiratkan saya sedang berlibur, walaupun saya masih mengunggah foto atau membuat status, tapi yang umum saja. Saya simpan dulu ceritanya sampai saya kembali lagi ke rumah baru unggah atau membuat status bahwa kami baru saja pulang liburan. Alasan kenapa saya melakukan itu ada dua : satu, takut rumah dimasuki maling. Jaman sekarang kan maling canggih – canggih. Mengintainya lewat status di media sosial. Alasan kedua : takut ada apa – apa di tempat liburan. Ya takut diikuti atau apa gitu. Saya memang kebanyakan menonton acara Investigation Discovery. Jadi saya lebih waspada saja. Lebih baik mencegah kan. Untuk alasan pertama, saya tahu sendiri kejadian nyatanya. Salah satu kenalan di sini, kalau sedang tidak ada di rumah (liburan atau sedang belanja misalnya) selalu update status dia sedang di sini sedang di sana. Nah, saat liburan ke negara lain, setiap waktu dia update status. Suatu hari (dia masih belum kembali) aplikasi alarm di Hp suaminya bunyi. Polisi langsung datang ke rumah dia. Ternyata, ada beberapa orang tak dikenal yang mendobrak pintu rumahnya. Diketahui dari CCTV. Setelah ditelaah, kemungkinan mereka tahu rumah tersebut tidak ada penghuninya. Salah satu faktornya, ya mungkin tahu dari status – status yang dia update di media sosial. Ngeri kan maling jaman sekarang. Kejadian seperti inipun banyak diangkat di Investigation Discovery. Kami kalau liburan, update langsung ke Mama mertua. Jadi Beliau tahu kami sedang ada di mana. Kalau saya, biasanya pamitan ke Ibu. Itu saja sudah cukup.
  • DOKUMENTASI. Saya memang suka mendokumentasikan kejadian sehari – hari, entah itu foto atau video. Untuk kepentingan pribadi bukan Vlog. Hal tersebut masih saya lakukan tapi saat ini lebih ke dokumentasi pribadi. Banyak foto dan cerita sehari – hari yang tidak saya unggah di media sosial. Kalau ingin mengunggah, mikir dulu penting apa tidak. Dokumentasi tetap jalan, hanya sekarang lebih irit dan makin selektif dalam berbagi di media sosial
  • NO HP. Tidak mengeluarkan atau memegang Hp saat bersama keluarga atau saat bertemu teman. Hp diletakkan di tas atau tempat yang jauh dari jangkauan. Jadi benar-benar menikmati waktu bersama, waktu ngobrol, berbicara melihat mata ke mata, tidak sibuk sendiri dengan Hp. Kalaupun harus mengeluarkan Hp untuk berkirim pesan atau menerima panggilan, atau untuk memfoto makanan, setelahnya diletakkan lagi jauh dari mata. Fokus yang ada di depan.
  • TETAP LAMA MEMBALAS PESAN. Ya ini sudah bawaan orok. Saya kalau membalas pesan memang lama. Dikarenakan Saya tidak selalu memegang Hp dan seringnya dalam kondisi silent. Juga perkara prioritas. Kalaupun ada yang langsung saya balas, berarti pas saya sedang pegang Hp. Memang saya terkenal kalau membalas pesan, luamaaa haha. Kecuali pesan dari suami, pasti langsung dibalas.

FUNGSI FB, IG, DAN TWITTER YANG BERBEDA

Sejauh ini, saya cukup nyaman punya tiga akun tersebut karena memang fungsinya berbeda. Ketiganya tidak bergembok alias bisa diikuti oleh umum

  • Instagram. Seperti yang sudah saya tuliskan di awal, satu – satunya akun IG yang saya punya hanya untuk kepentingan jualan dan berbagi cerita kegiatan per-baking-an. Bahkan kegiatan memasak tidak saya cantumkan di sini. Jadi, saya tidak follow akun pribadi yang mengunggah kegiatan sehari – hari. 95% yang saya follow isinya kalau tidak roti, ya jualan seputaran roti dan kue, dan mereka yang punya hobi baking. Lumayan dapat banyak ilmu dan inspirasi.
  • FACEBOOK. Dari dulu ya masih sama fungsi FB buat saya. Melihat kabar terkini dari teman – teman lama, kenalan, maupun saudara yang ada di Indonesia maupun di Belanda. Jadi yang mutualan di FB, paling tidak sudah pernah ketemu dalam dunia nyata. Setelah vakum, sekarang jadi malas mau unggah apapun. Status dan foto pun ya jarang. Belum tentu seminggu sekali. Secukupnya saja. Kalau lagi mood pamer, baru mengunggah sesuatu. Sesekali di FB juga promosi jualan.
  • Twitter. Nah kalau twitter cakupannya lebih luas lagi. Pengikut dan yang saya ikuti kebanyakan ya orang yang tidak saya kenal dalam dunia nyata. Ya, stranger. Namun begitu, interaksinya biasa – biasa saja. Karena sayapun males cari ribut dan males terkenal, pun tidak mencari pengikut yang banyak, jadi sekarang saya santai saja di twitter. Apalagi sekarang ada topik yang seru yaitu orang – orang yang antusias dengan baking, bisa setor hasil karya dan resepnya, setiap waktu tanpa tema. Bebas. TL lebih indah dipandang karena isinya ya sliwar sliwer kalau tidak roti, taart dan segala hasil karya kece – kece lainnya dalam per-baking-an. Sampai saya sering tidak tahu keributan apa hari itu di twitter. Tertutup hawa positif mereka yang unggah karya baking-nya. Banyak belajar hal baru juga. Saya tetap tidak memakai fitur mute dan block. Pun, saya sekarang lebih berhati – hati dalam menulis apapun. Follower lebih banyak , jadi waspada harus lebih ditingkatkan. Jangan sampai mengunggah hal – hal yang terlalu privasi. Saya tidak tahu demografi diantara para follower seperti apa. Jadi, lebih baik waspada, bukan curiga. Cuitan sesekali diselipi prmosi Sophie.

Cara pandang saya terhadap media sosial setelah kembali dari vakum 7 bulan, sekarang berbeda. Lebih bijak, santai, dan berhati – hati. Lebih bisa mengontrol diri dan tidak ada keterikatan batin dengan dunia maya. Tidak tahu banyak hal, tidak jadi masalah untuk saya. Lebih baik tahu sedikit tapi sangat bermanfaat, daripada tahu banyak tapi lebih banyak mudarat (KBBI : rugi, sesuatu yang tidak menguntungkan). Saya sekarang lebih sadar dalam bermedia sosial. Menggunakan seperlunya, sesuai fungsinya.

Kalian pernah detox media sosial? Berapa lama?

-19 September 2021-

Ngobrol Dengan Tetangga

Danau besar di kampung kami

Saya bukan tipe yang gampang ngobrol ketika bertemu orang baru. Seringnya, saya akan menghindari percakapan atau mempercepat jalan ketika berpapasan dengan orang yang sering saya lihat di sekitar rumah. Tujuannya ya supaya tidak diajak ngobrol. Sejak di Indonesia saya sudah seperti itu. Dibanding adik – adik yang akrab dengan tetangga kanan kiri, saya lebih memilih leyeh – leyeh di rumah daripada ngobrol di rumah tetangga. Saya bergaul dengan tetangga di sana, sekedarnya saja. Bahkan boleh dibilang, kalau sedang butuh saja atau kalau tetangga sedang ada acara, saya baru muncul untuk membantu (memasak biasanya). Tapi para tetangga tidak pernah mempermasalahkan kenapa saya jarang ngobrol dengan mereka. Sudah terwakilkan dengan adik – adik, Ibu, dan Bapak. Mereka lebih bersosialisasi dibanding saya. Hubungan kami dengan para tetangga sangat baik, sudah seperti saudara sendiri. Mereka pun bukan tipe tetangga yang ikut campur urusan pribadi, termasuk saat saya belum menikah, mereka tidak pernah bertanya kenapa saya belum menikah. Intinya, tetangga saya di sana, bukan tipe yang suka mencampuri urusan orang.

Kesan orang ketika pertama kali melihat raut muka saya, sebagian besar mengatakan kalau saya ini nampak judes, congkak, angkuh. Kalau saya sedang berkaca, ya ternyata memang benar apa yang dikatakan mereka. Raut muka saya judes, jika sedang tidak tersenyum. Bertolak belakang dengan raut muka, saya ini gampang tersenyum kalau bertemu orang. Gampang memberikan salam. Hal ini yang akhirnya sedikit melunturkan kesan judes di muka. Ya lumayanlah, akhirnya ga judes – judes banget. Seingat saya, saat di Indonesia, kebiasaan orang saling menyapa itu diantara mereka yang saling kenal. Minimal menanyakan apa kabar. Kalau random orang bertemu di jalan dan tidak saling kenal, sepertinya mereka tidak akan saling sapa. Apalagi hanya saling sapa hallo, selamat pagi/siang/malam.

Berbeda dengan di Indonesia, di Belanda orang gampang sekali saling melontarkan sapaan. Saat bertemu di manapun, kalau berpapasan entah di jalan, taman bermain, danau, atau di manapun mereka paling tidak akan saling bertukar salam : hai, hallo, morgen, dag sambil tersenyum. Ini benar – benar random yang papasan tidak mengenal satu sama lain. Kebanyakan di kota kecil ya, kalau kota besar seperti Amsterdam sepertinya sudah tidak terlalu apalagi di pusat kotanya. Kalau di Den Haag (asal bukan di pusat kotanya), sepertinya masih meskipun tidak banyak (karena kami dulu tinggal di Den Haag pinggiran). Sekarang kami tinggal di kampung, ketemu siapa saja akan saling menyapa. Apalagi ini kampung kecil sekali yang kalau ketemu di pusat perbelanjaan atau danau atau taman sepertinya sudah hapal karena ya mukanya itu – itu saja.

Danau besar di kampung kami
Danau besar di kampung kami

Awalnya saya agak canggung dengan budaya menyapa ini. Belum terbiasa dan berasa agak aneh. Lama – lama akhirnya terbiasa juga lalu jadi spontan kalau berpapasan akan memberikan salam sambil tersenyum. Tidak semua orang Belanda akan gampang menyapa tentu saja. Ada juga kalau berpapasan ya jalan aja dia seperti tidak ada orang lain disekitarnya. Contohnya suami saya haha. Dia sangat jarang sekali menyapa orang kalau tidak disapa duluan. Itupun kalau disapa, dia ya jawabnya datar jarang ada senyumnya. Beda dengan saya yang selalu melemparkan senyum penuh suka cita dan sumringah sekali kalau memberikan salam pada orang. Itulah akhirnya di sini saya gampang tersenyum dan memberikan salam saat berpapasan, termasuk dengan tetangga. Jiwa gampang tersenyum saya jadi makin terasah. Pun ngobrol dengan tetangga saat berpapasan.

Lingkungan rumah kami kalau digamparkan semacam kompleks kecil. Penghuninya 90% orang Belanda, selebihnya imigran termasuk saya. Semacam kluster perumahan yang di dalamnya ada komplek rumah khusus untuk Oma Opa. Jadi tetangga kami kebanyakan ya para Oma dan Opa. Nah mereka ini punya kebiasaan kalau pagi pasti jalan kaki sekitaran rumah dengan anjing atau sendirian. Saya akhirnya mengenal beberapa diantara mereka karena sering berpapasan setelah aktifitas mengantar ke sekolah, lalu kami saling melemparkan salam. Karena sering bertemu, akhirnya kami mulai percakapan. Bukan percakapan yang serius, hanya saling bertanya kabar. Lama kelamaan, mulai melebarkan obrolan tentang makanan, anjing mereka, rencana akhir pekan apa, liburan mau ke mana, bahkan saya jadi tahu misalkan ada tetangga lain yang baru melahirkan, ada yang sedang masuk RS, atau punya cucu ya dari mereka ini. Lumayan ya jadi update informasi dari para Oma Opa. Obrolan yang kami lakukan ya sambil berdiri tentu saja karena memang sedang berpapasan. Bukan lantas mengundang duduk minum kopi di rumah lalu dilanjutkan dengan sesi rasan – rasan. Orang sini meskipun ramah, tapi mereka sangat menjaga jarak. Tidak akan gampang menjadikan seseorang itu temannya atau dengan gampang mengundang ke rumah. Tidak ada istilah nonggo atau nenangga atau duduk manis santai – santai nggosip di rumah tetangga. Saya beberapa kali memberi mereka camilan seperti lumpia, pukis, martabak. Hanya saya antarkan depan rumah mereka saja, tidak sampai masuk ke rumah. Bersyukurnya, para tetangga ini tidak ada yang berkelakuan aneh – aneh. Tidak pernah ada kejadian khusus di sekitar sini. Hanya memang karena lingkungan para orangtua dan depan kompleks adalah rumah jompo, jadi sering ada ambulans yang datang.

Pernah suatu malam, ada ambulans datang ke tetangga persis depan rumah kami. Lalu disusul dengan mobil pemadam kebakaran. Saya ingat sekali saat itu sekitar jam 9 malam karena kami sedang seru menonton film. Dua mobil ambulans datang, disusul 3 mobil pemadam kebakaran. Wah rasanya sangat serius. Lalu suami memutuskan ke luar rumah untuk mengecek apa yang sebenarnya terjadi. Eh ternyata para tetangga juga keluar rumah ingin tahu ada apa sebenarnya. Lalu saya mbatin : ternyata sama saja di sini pun orang – orang masih punya rasa penasaran. Bedanya, di sini tidak sampai ada kerumunan. Hanya melihat dari kejauhan saja, sangat jauh malah.

Diantara banyak tetangga, kami hanya akrab dengan dua tetangga, keluarga Belanda. Ya bukan akrab yang bagaimana, hanya memang sering mengobrol dan pasti diundang dan saling mengundang jika ada acara. Juga saling berkirim makanan. Hanya sebatas itu. Dengan mereka, kami juga saling membantu. Jika sedang pergi liburan, kami akan menitipkan rumah pada mereka untuk sesekali ditengok atau minta tolong untuk menaruh surat – surat yang datang ke atas meja. Jadi mereka pegang kunci rumah kami. Begitu juga sebaliknya mereka berlaku yang sama. Kami beruntung sekali punya tetangga seperti mereka, setidaknya masih berasa hidup bertetangga, tidak terlalu individualis. Obrolan diantara kami juga lumayan sering, jadi tahu tentang keluarga masing – masing. Mereka sangat perhatian, bahkan saat saya lulus ujian apapun (termasuk ujian praktek dan teori menyetir mobil), pasti dikirimi bunga dan ucapan selamat. Saya sungguh merasa terharu mereka seperhatian itu.

Ngobrol saat papasan dengan tetangga, ternyata sangat menyenangkan untuk saya. Memang tidak lama, hanya 5-10 menit tapi setelahnya bisa memberikan efek yang membuat bahagia. Entah kenapa seperti itu. Mungkin karena topik obrolannya tidak ada ucapan yang menghakimi atau pertanyaan basa basi atau pertanyaan sangat ingin tahu. Menanyakan kabar, kesehatan, saling berucap semoga harinya menyenangkan, bahkan ada satu Oma yang dengan ucapan tulus bilang kalau warna jilbab saya bagus, rok yang saya kenakan cantik motifnya dsb. Ucapan singkat yang bisa membuat hari saya ceria. Obrolan ringan seperti itu membuat saya merasa ternyata saya masih butuh hidup bertetangga. Saling ngobrol meskipun sebentar, saling melemparkan salam, saling mengundang, saling menanyakan kabar. Kehidupan bertetangga yang saling menjaga batasan dan privasi. Kehidupan bertetangga yang secukupnya tidak berlebihan. Menjaga hubungan baik dengan tetangga, buat saya sangat penting. Apalagi kami jauh dari saudara.

Jadi ingat ucapan Ibu sewaktu di Indonesia : berbuat baiklah dengan tetangga, jaga hubungan baik dengan mereka, karena jika kita butuh pertolongan, mereka yang pertama membantu.

-10 September 2021-

*Bagaimana hubungan kalian dengan tetangga? *Sayangnya kalau pas cabe atau beras habis, tidak bisa minta tetangga karena pasti mereka tidak punya cabe.

Tujuh Tahun Perkawinan

Sourdough Bread

Agustus jadi bulan bahagia buat kami karena merupakan bulan ulangtahun perkawinan. Tahun ini, sudah memasuki usia ke tujuh tahun perkawinan. Kadang kami berpikir, wow cepat sekali ya sudah tujuh tahun menikah dan hampir delapan tahun sejak awal perkenalan. Setiap tahun yang terlewati adalah kerja keras dan kerja sama kami berdua dalam rumah tangga ini. Kami menyadari, semakin bertambahnya umur perkawinan, semakin tidak penting dan tidak bermutu sumber pertengkaran yang lewat. Ada saja hal – hal yang sebenarnya tak penting untuk diperdebatkan, eh ini malah jadi bahan pertengkaran. Seringnya bersumber dari saya. Berasa butuh tantangan kalau sekian lama tidak ada huru hara, trus cari gara – gara trus kesel sendiri. Kapokmu kapan. Suami sih lempeng – lempeng saja. Sudah hapal tabiat istrinya.

Bahagianya, Alhamdulillah semakin bertambah. Bahagia yang datangnya dari dalam, bukan material. Kalau di atas saya tuliskan hal receh yang jadi sumber pertengkaran, maka hal receh yang jadi sumber becandaan pun lebih banyak lagi. Bahkan kadang kalau sedang duduk – duduk di taman, lalu kami melihat satu objek yang sama, trus kami saling pandang, setelahnya bisa tertawa ngakak bersama. Padahal ya ga paham apa sebenarnya sumber tertawaan kami. Cuma pengen tertawa aja. Memang seretjeh itu. Jadi bahan tertawa kami setiap hari juga tidak terlalu penting. Tapi dari hal – hal receh yang kami sebutkan di atas, makin menguatkan hubungan kami.

Sekarang kalau bertengkar, baikannya juga cepet. Sudah males berlama – lama, tak ada tenaga. Sudah tak ada drama kumbara lagi. Diselesaikan secepatnya, saling minta maaf, ngobrol kedepannya seperti apa. Sudah sama – sama berumur, jadi ga ada tenaga lebih untuk tak saling sapa. Mending tenaganya dialihkan ke hal – hal berguna lainnya. Pernikahan kan proses belajar seumur hidup. Setiap hari ada saja hal baru dari pasangan yang membuat kita terkejut dan jadi bahan pembelajaran. Tidak setiap hari hidup kami dihiasi hal – hal yang romantis. Tapi dari sanalah justru kami belajar untuk lebih mengenal satu sama lain.

Kartu ucapan dari suami

Ulangtahun perkawinan tahun ini, kami rayakan di restoran All you can eat dekat rumah. Sebulan sebelumnya suami sudah reservasi tempat dan saya tidak sabar hari H karena sudah lama kami tidak ke tempat ini. Sebelum pandemi, beberapa kali kami ke sini dan jadi tempat favorit karena menunya yang supeerr banyak dan enak. Saya berdandan maksimal sebelum berangkat dan suami pun berpakaian rapi. Kami sama – sama memakai cincin perkawinan yang selama 7 tahun ini cuma dipakai 3 kali, selebihnya tergeletak di kotak. Kami memang tidak suka memakai cincin. Tapi entah kenapa tahun ini ingin memakai. Berasa kencan, gitu.

Kalau orang lain merayakan hari bahagia dengan potong taart, kami melakukan dengan cara yang berbeda. Potong sourdough bread. Hari itu, jadwal saya membuat sourdough bread, jadinya ya kami potong roti saja.

Sourdough Bread

Dua minggu sebelumnya, saya bertanya ke suami, “tahun ini ada kado – kadoan gitu ga sih? aku lupa tahun kemaren apa saling ngasih kado apa nggak ya?” pasangan lanjut usia, lupa tahun lalu ngado apa nggak. Eh pas hari H, seperti biasa suami kasih kartu ucapan dalam tiga bahasa. Begitu membaca yang bahasa Indonesia, saya yakin dia pasti pakai google translate. Namanya usaha ya. Saya senang sekali diberi kartu ucapan, mama mertua memberikan bunga dan mentraktir kami makan malam 2 hari setelahnya. Ucapan dan doa juga kami dapatkan dari keluarga suami, Ibu dan adik – adik saya di Indonesia, para sahabat yang datang ke perkawinan kami 7 tahun lalu. Bahagia kami rasakan karena mereka ingat dan ikut mendoakan hal – hal baik pada perjalanan perkawinan kami.

Sama seperti tahun – tahun sebelumnya, tahun inipun kami bersedekah lewat makanan untuk merayakan ulangtahun pernikahan kami. Saya memilih satu akun jual makanan di twitter @berhijabmerah sebagai perantara sedekah kami. Jadi saya memesan makanan pada beliau dan meminta tolong untuk mendistribusikan pada orang – orang yang memang butuh. Saya mempercayakan semuanya pada beliau. Saya senang dengan cara komunikasinya. Cepat dan bisa diajak diskusi. Saya orangnya kan detail ya, jadi saat memesan, sayapun akan bertanya sangat detail. Makanya saya puas pesan di @berhijabmerah.

Isi paket ricebowl : nasi putih, chicken teriyaki, beef rolade, tumis buncis wortel, saus sambal, buah, brownies potong, sendok, garpu dan tissue. Paketnya saya tambahi dengan 2 masker dan 1 handsanitizer. Saya pesan 50 paket yang dibagikan ke petugas kebersihan, pekerja jalanan, petugas puskesmas dan dokter yang sedang melakukan pemberian vaksin di lingkungan beliau tinggal, petugas keamanan, penjual kerupuk, dan beberapa orang lainnya.

Setiap hari bahagia di keluarga kami, selalu tidak lupa kami siapkan untuk bersedekah. Kami berpikir, setiap rejeki yang kami dapatkan, ada hak orang yang membutuhkan di situ. Saat di sini kami bahagia merayakan, maka kami ingin berbagi kebahagiaan juga buat orang lain yang berhak dan membutuhkan. Semoga berkah buat semua.

Tumpeng nasi kuning

Akhir pekan saya membuat tumpeng nasi kuning dan pie susu. Pengennya membuat taart tapi karena tetangga sedang liburan dua minggu, jadi tidak ada yang membantu menghabiskan taart yang saya buat. Akhirnya saya buat pie susu yang hasil akhirnya berantakan. Wes ga masalah sing penting rasane josss! *dipuji dewe dan memang habis di hari yang sama.

Ricebowl

Banyak syukur selalu kami ucapkan karena berkah yang selalu datang di kehidupan perkawinan kami. Pasang surut, naik turun, sedih bahagia selalu kami hadapi bersama. Tidak pernah sekalipun diantara kami yang meninggalkan satu sama lain. Sampai detik ini, bahu kami satu sama lain bisa dijadikan sandaran dan tangan kami masih tetap saling bergandengan. Semoga seperti ini, seterusnya, sampai nanti ujung waktu. Sehat dan menua bersama dalam suka dan duka. Dalam tangis dan tawa. Tetap saling cinta dan mencintai. Saling menopang dan menegakkan. Saling memeluk dan menghangatkan. Saling tersenyum dan menggembirakan.

Ricebowl

-29 Agustus 2021-