Sebelas Tahun Pernikahan

Landskrona

Pagi ini saya bangun tidur dengan perasaan membuncah. Bahagia. Hari ini, tepat 11 tahun lalu, kami melangsungkan pernikahan di rumah orang tua saya, di sebuah kota kecil, di Jawa Timur. Sebelas tahun berlalu, di sini kami sekarang dengan tiga anak sehat sangat aktif yang selalu meriah mengisi hari – hari disegala musim. Kami menjalani pernikahan ini dengan begitu banyak kompromi, saling memaafkan, saling membersamai, saling mendukung, saling memberi ruang, tak ada bosan untuk segala perbincangan, suka dan duka, tangis dan tawa, dan segala hal pahit manis yang telah kami lalui selama 11 tahun ini. Alhamdulillah, Insya Allah cinta dan sayang di antara kami tetap dan akan selalu menguat. Insya Allah kami jalani 11 tahun ini meski ada beberapa kali badai datang, meski tidak besar, bisa kami lewati, dan pada akhirnya kami jalani penuh ketenangan, banyak bersyukur, dan penuh bahagia. Sebelas tahun yang membahagiakan.

Saat ini kami sedang berada di Landskrona, Swedia. Kami sedang dalam rangkaian perjalanan darat liburan musim panas. Awalnya kami berencana merayakan 11 tahun pernikahan dengan pergi ke Copenhagen, Denmark menggunakan kereta dari Landskrona. Tapi perkiraan cuaca mengatakan kalau hari ini akan cerah seperti kemarin, jadi kami putuskan ke Copenhagen besok pagi saja. Hari ini saya ingin menghabiskan banyak waktu dengan leyeh – leyeh di pinggir pantai bersama anak – anak dan suami. Selama di Landskrona, kami tinggal persis di pinggir pantai, Jadi bisa dengan maksimal merasakan suasana pantai dari matahari terbit sampai terbenam. Anak – anak pun senang sekali seharian utuh main pasir dan berenang di laut.

Setelah kami saling mengucapkan selamat dan berdoa, saya memutuskan lari pagi sepanjang pinggir pantai. Niatnya ingin menjadikan lari perayaan ulangtahun pernikahan. Tapi kalau harus 11km, kok PR bangert. Akhirnya ya sudah 6 km saja. Eh ternyata, jam tangan saya mengatakan jarak yang saya tempuh 6.11km. Ya lumayanlah, ada unsur 11 nya hahah maksa. Suasana masih sepi. Saya bisa berlari dengan perasaan yang tenang. Sambil refleksi, memikirkan 11 tahun pernikahan saya dan suami. Senyuman tiba – tiba tersungging di bibir ketika teringat hal – hal manis dan lucu.

Sesekali saya berhenti untuk mengambil foto beberapa sudut pantai sebagai kenang – kenangan.

Saat kembali ke penginapan, anak – anak dan suami sudah bangun. Mereka mulai mempersiapkan sarapan. Rencana kami pagi ini akan ke kota Helsingborg yang letaknya tidak jauh dari Landskrona. Helsingborg adalah kota pelabuhan. Saya selalu bersemangat jika pergi ke kota pelabuhan. Melihat kapal bersandar, mencium aroma laut, dan melihat bangunan – bangunan tua di kota itu.

Setelah sarapan selesai dan semua persiapan tuntas, kami berangkat. Sesampainya di Helsingborg, masih pagi. Jadi kota masih terasa sepi. Kami mulai berjalan menyusuri pusat kota. Suami bilang, bisa melihat kota dari atas bukit. Jadi ke sanalah tujuan kami. Sebelum sampai ke bukit yang dimaksud, kami melihat taman bermain. Anak – anak minta berhenti sebentar untuk bermain di sana. Tidak berapa lama kami di sana karena sinar matahari yang cukup menyengat. Kami melanjutkan perjalanan sampai ke atas bukit yang dimaksud. Wah cantik sekali di atas. Selain melihat taman yang sangat asri, ada semacam menara tinggi sekaligus museum yang bernama Karne Museum yang bisa dinaiki sampai atas. Anak – anak dan suami masuk ke dalam, saya dan anak ragil menunggu di luar saja.

Setelah selesai, suami menunjukkan foto dari atas menara. Kota Helsingborg dari atas menara. Sangat cantik. Kami lalu melanjutkan perjalanan. Sudah mendekati waktu makan siang, jadi kami jalan sembari mencari restaurant. Anak – anak ingin kencing juga, jadi sekalian mencari toilet. Karena memang masih jam 11 pagi, jadi tidak banyak yang restaurant yang sudah buka. Akhirnya kami melihat ada satu Chinese restaurant sudah buka. Ya sudah, kami memutuskan makan di sini saja. Sayapun sudah kangen makan nasi haha karena sudah seminggu lebih perut tidak terisi nasi.

Lumayan enak rasa masakan di restaurant ini. Setelah makan, kami memutuskan menuju ke tempat parkir untuk kembali ke Landskrona, sambil saya mencari toko souvenir untuk membeli kartupos. Mungkin Helsingborg bukan kota turis, jadi di pusat kota pun saya tidak menjumpai toko souvenir. Sayang sekali, jadi tidak ada kenang – kenangan dari Helsingborg berupa kartupos.

Sesampainya kembali di penginapan Landskrona, saya dan anak – anak langsung bersiap ke pantai. Suami memutuskan akan jalan kaki ke kastil penjara yang jaraknya 7km dari tempat kami menginap. Matahari sangat gonjreng meski anginnya lebih dingin dari kemarin. Saya leyeh – leyeh saja di pasir sambil membaca buku. Anak – anak bermain pasir dan berenang. Bermain sepak bola, main lempar piring terbang, membangun kastil, dll. Kami ingin berpuas ria di sini karena perkiraan cuaca besok tidak sebagus hari ini.

Sekitar jam 5 sore, angin makin dingin. Jadi kami memutuskan untuk selesai bermain di pantai. Suami pun sudah sampai kembali dari jalan kaki sepanjang 15km. Kami kembali ke penginapan. Anak – anak mandi. Kami mulai bersiap ke restaurant di area penginapan, sekalian sebagai makan malam perayaan ulangtahun pernikahan. Awalnya, kalau sesuai rencana kami hari ini ke Copenhagen, ingin merayakan di Saji, restauran Indonesia yang terkenal di sana. Ini saya mendapatkan rekomendasi dari Rani yang tinggal di Copenhagen. Ternyata, restaurannya tutup karena mereka sedang pergi liburan. Ya sudah, memang pas waktunya jadi kami rayakan di Landskrona saja.

Restaurant yang kami tuju (cuma jalan kaki dari rumah menginap) ternyata penuh dan baru ada tempat jam 8. Kami sudah sangat lapar. Jadi kami ke restaurant sebelah. Masih ada, cuma sistemnya buffet. Kami lihat menunya ok lah, BBQ an. Anak – anak bisa makan juga. Jadi kami makan di sini. Saya bertanya pada petugas yang memanggang, apakah ada menu yang bukan babi. Kok ya, pas banget. Yang bagian memanggang ini orang Islam. Jadi dia bilang akan memanggangkan ayam buat saya tapi di pemanggangan yang berbeda, bukan barengan dengan pemanggangan untuk babi. Saya disuruh menunggu sebentar. Alhamdulillah, tanpa harus menjelaskan, dengan melihat jilbab saya dia paham. setelah menunggu beberapa saat, dia datang dari dapur dengan ayam panggang spesial yang dipanggangkan khusus untuk saya. Hal yang nampak simpel seperti ini, buat saya sangat berarti. Saya mengucapkan banyak terima kasih buat dia.

Sebelum makan, anak – anak mengucapkan kembali (karena pagi hari mereka sudah mengucapkan) selamat ulang pernikahan untuk Ibu dan Papa, lalu mereka mencium kami bergantian. Saya dan suami saling mengucapkan juga diselingi dengan doa baik semoga pernikahan ini selalu diberikan banyak berkah, bisa menjadikan jalan berkah untuk orang lain, bisa saling menopang dalan duka dan tidak berlebihan dalam suka, diberikan kesehatan yang baik untuk satu keluarga, diberikan kelimpahan rejeki material dan non material, dikelilingi cinta dari orang – orang tersayang, dijauhkan dari bala, dan langgeng sampai berlangsung lama usia pernikahan kami.

Hari ini ditutup dengan melihat matahari terbenam dari tepi pantai.

Sebelas tahun bukan waktu yang cukup lama karena kami menjalani semuanya bersama. Malah kami suka kaget sendiri, lho kok sudah sebelas tahun. Sepertinya baru kemaren ini kami melaksanakan pernikahan di depan penghulu. Sebelas tahun rasanya sangat sebentar. Memang tidak selalu ada pelangi di pernikahan ini, tapi sebelas tahun saya rasakan adalah bahagia. Alhamdulillah diberikan jodoh suami yang sabarnya seluas dunia. Mendukung sepenuhnya apa yang ingin saya jalani selama itu membuat saya bahagia. Jadi Bapak terbaik untuk anak – anak. Semua sudah cukup untuk saya. Kami jalani semua penuh rasa tenang, syukur, dan bahagia.

Semoga kami berjodoh panjang sampai berpuluh tahun kemudian.

  • 9 Agustus 2025 –

*Tahun lalu, 10 tahun pernikahan, kami rayakan di Zator, Polandia. Ceritanya bisa dibaca di sini.

Apakah Saya Bahagia?

Sunrise

Seperti biasa, kegiatan hari senin saya setelah mengantarkan anak – anak ke sekolah adalah olahraga. Kali ini saya lari dengan target 8km. Awalnya ingin jalan kaki saja, tapi akhir pekan ada race 10km jadi mau tidak mau harus latihan. Pagi hari semakin menggelap. Jam 7 pagi masih gulita. Jika beruntung, bisa melihat semburat merah matahari di langit.

Pagi ini kabut muncul. Untungnya matahari muncul. Jadi pemandangan sepanjang lari, meskipun dingin dengan suhu 10 derajat celcius, sangat indah karena kabut tertimpa cahaya matahari. Saya berlari pelan seperti biasa. Sempat berhenti beberapa detik, 2 kali untuk memfoto pemandangan. Target tercapai, 8km berlari terlampaui dengan baik tanpa keluhan kaki sakit atau nafas tersengal – sengal.

Saya masih meneruskan kebiasaan minum jus beet. Rasanya enak, jadi saya doyan. Lumayanlah kalau nanti ternyata bonus kulit tampak cemerlang bagus.

Akhir pekan lalu, ada seorang teman dari Denmark berkunjung ke rumah. Baru kali ini kami bertemu setelah kenal lama dari twitter dan IG. Diantara banyak obrolan seru yang tak putus kami bahas, dia tiba – tiba bertanya, “Mbak Deny apakah bahagia?”

Saya termenung sebentar untuk menjawab. Bahagia itu untuk saya pribadi, variabelnya tidak terukur. Seperti sesuatu yang tidak pasti karena memang banyak faktornya. Pun, bahagia itu sebuah rasa. Apa yang kita rasakan. Setelah berpikir beberapa saat, saya menjawab, “Sejauh ini dan untuk saat ini, aku bahagia. Semoga sampai kapanpun bahagia”

Sebenarnya berharap untuk selalu bahagia itu terlalu muluk ya. Namanya hidup, keadaan kadang ada di atas, kadang di bawah agak ndelosor. Kadang bisa jadi sedih, kadang bisa marah. Tapi kan, apa yang kita ucapkan dan batinkan itu adalah bagian dari doa. Jadi ya harapan saya, bahagia selamanya. Merasakan sedih pun tidak ada salahnya. Justru karena rasa sedih, saat datang keadaan bahagia, kita bisa sangat menghargainya.

Kebahagiaan sebenarnya bukan tujuan utama hidup yang selalu saya kejar. Buat saya, yang terpenting adalah selalu bersyukur. Jika selalu bersyukur, Insya Allah rasanya bahagia.

Yang saya rasakan saat ini memang bahagia. Hati saya tenang, tidak kemrusung, Insya Allah selalu penuh dengan rasa syukur, sudah berkurang overthinking dan tidak cemas berlebihan, menjalani hidup dan aktitas sehari – hari dengan pelan dan sadar, menikmati waktu dan hadir penuh setiap saat. Meskipun mungkin nampak monoton, aktifitas yang itu – itu saja sangat saya nikmati. Semua membuat saya merasa cukup dan tenang.

Untuk variabel yang bisa diukur, tentang keadaan keluarga. Saya sehat. Anak – anak dan suami sehat, kami dicukupkan rejeki untuk kehidupan sehari – hari, kami punya rumah untuk tinggal, saya punya waktu untuk diri sendiri, saya dan suami saling bekerjasama mengurus rumah dan membersamai anak – anak.

Meskipun dengan huru haranya, Alhamdulillah saya dengan suami sampai saat ini hidup rukun dan selalu saling mencintai. Anak – anakpun sayang dengan kami begitu juga sebaliknya. Saya bisa beribadah dengan tenang dan nyaman. Saya punya teman – teman yang baik (karena yang tidak baik sudah saya hempaskan). Saya dikelilingi dan merasa dicintai oleh keluarga, sahabat, dan teman – teman yang menerima saya sebagai seorang Deny.

Menjalani hidup dengan tenang.

Menjalani hidup penuh rasa syukur.

Konsep bahagia saya cukup sederhana. Merasa cukup dan melihat diri sendiri. Tidak punya keinginan dan ambisi yang berlebihan. Tidak membandingkan dengan hidup orang lain. Hidup itu kan memang sawang sinawang kalau kata orang Jawa. Kalau selalu nyawang -melihat- kehidupan orang lain, memang tidak akan ada habisnya. Selalu ada yang kurang dan merasa kurang. Padahal ya sebenarnya baik – baik saja. Hanya saja, karena orang lain memperlihatkan versi bahagianya, kita merasa hidup kita kurang. Lalu lupa bersyukur dan jadi tidak bahagia. Kunci tidak bahagia sebenarnya simple : membandingkan kehidupan kita dengan orang lain (terutama yang kondisinya dirasa di atas kita). Dijamin, ada saja kurangnya dari hidup kita.

Saya tidak mau jadi manusia yang kurang bersyukur. Jadi, saya latih hati dan pikiran aya untuk merasa cukup. Tak terkecuali tentang materi. Asal hal – hal dasar sudah terpenuhi dengan baik, itu sudah cukup. Jika diberikan rejeki lebih, ya ditabung. Sedekah dan zakat memang harus diusahakan ya, bukan menunggu rejeki yang lebih. Untuk keinginan materi lainnya misalkan barang – barang bermerek, saya memang tidak terlalu suka. Jadi Alhamdulillah saya sangat cukup dengan apa yang sudah ada saat ini. Merawat dengan sebaiknya apa yang di depan mata.

Tidak ada keinginan muluk lainnya. Hidup mengalir dan berjalan seperti semestinya. Mengusahakan apa yang bisa diusahakan. Melepaskan apa yang sudah tidak bisa dipegang lagi. Saya tidak mau ngoyo. Saya ingin menikmati hidup dengan tenang dan bahagia.

Kunci bahagia cuma satu, rasa syukur yang penuh.

Jadi jika ada yang bertanya apakah saya bahagia? Alhamdulillah, saya bahagia dengan penuh rasa syukur.

  • 29 September 2025-

Etika Menerima Kartu Ucapan

Pagi ini setelah mengantarkan anak – anak ke sekolah, saya melanjutkan aktifitas dengan berjalan kaki cepat. Lumayan, bisa sampai 7km setara dengan -hampir- 9600 langkah. Ditengah jalan kaki, saya melihat pelangi. Senang sekali karena sudah lama tidak melihat penampakannya. Memang cuaca tadi pagi sedang labil. Antara mendung dan tiba – tiba cuaca cerah. Hanya saja karena anginnya kencang, jadi hawanya lumayan dingin. Saya juga bertemu pasuka soang yang sedang berjemur. Sesampainya kembali di rumah, saya membuat jus yang isinya beet, wortel, timun, jahe, dan air lemon. Untuk makan siang, saya masak tumis kangkung, menggoreng ikan makarel, dan telur dadar.

Seperti biasa, saat berjalan kaki, tiba – tiba ada saja ide ini dan itu muncul. Salah satunya ide untuk menulis di blog. Dari sekian banyak ide yang muncul, akhirnya saya memutuskan untuk menuliskan seperti yang judul di atas, tentang Etika saat menerima kartu ucapan. Tapi ide tulisan ini bukan saat saya jalan kaki, melainkan saat menemani anak ragil bermain di taman.

Mumpung juga, sebentar lagi masuk ke musim saling berkirim kartu ucapan selamat Natal dan Tahun Baru di Belanda. Walaupun sebenarnya, secara umum tulisan saya ini bisa diaplikasikan bukan hanya saat menerima kartu ucapan, pun ketika menerima kiriman kartupos, atau kartu – kartu lainnya.

Sebenarnya ini hal yang simpel, sederhana, tapi tidak semua orang paham etikanya. Setidaknya, paham untuk sekadar memberi kabar ataupun mengucapkan terima kasih.

Saat menerima kartu ucapan, entah itu ucapan Natal, tahun baru, Idul Fitri, ulang tahun, atau kartu pemberitahuan kelahiran bayi (di Belanda disebut Geboortekaart), bahkan kartu kematian, normalnya kan langsung mengabari si pengirim, bahwa kartu yang mereka kirimkan sudah diterima dan juga mengucapkan terima kasih karena sudah dikirimi kartu. Simpel kan sebenarnya, tapi tidak semua orang paham dan bisa melakukan hal ini. Entah karena malas atau tidak peduli. Dengan alasan sibuk atau ya sudah, “ngapain musti ngabari” Padahal mengabari kalau kartunya sudah sampai itu, bisa menenangkan pengirim bahwa kartu dari mereka sudah sampai pada alamat yang benar. Kalau tidak ada kabar, bisa jadi kartunya nyasar karena salah dari petugas pos atau mungkin dari pengirim salah menuliskan alamat. Jadi bisa dikirim kartu yang baru.

Pun saat menerima kartupos. Saat sudah menerima, langsung kasih kabar kalau kartu dari mereka sudah sampai dan ucapkan terima kasih.

Hal sederhana seperti ini sudah masuk dalam etika, saya rasa. Saat ada orang yang mengirimkan kartu ucapan atau kartupos, artinya kita punya tempat yang spesial di dalam hidup mereka. Diingat saat sedang bepergian atau diingat saat ada kabar baik bahkan juga kabar duka. Kalau hubungannya tidak terlalu dekat, mana mungkin orang tersebut memberikan dan mengirimkan kartu untuk kita. Kalau tidak pernah saling ngobrol atau berinteraksi secara intens sebelumnya, tidak mungkin kan ujug – ujug dikirimi kartu. Nah karena hubungan yang dekat itu, paling tidak kita punya kontak telefon atau email atau mungkin private message di media sosial. Jadi ya, etikanya kan bisa langsung mengabari kalau kartunya sudah sampai.

Etika ini sangat gampang dilakukan tapi entah kenapa ada saja orang – orang di luar sana yang susah sekali untuk melaksanakannya. Selain tentang etika, sebenarnya memberi kabar tentang kartu yang sudah sampai itu juga bentuk menghargai. Memberikan apresiasi pada pengirim. Percayalah, bagi oarng yang mengirimkan kartu, tidak ada hal yang lebih membahagiakan selain menerima kabar bahwa kartunya sudah sampai. Itu saja. Syukur – syukur kalau diberikan ucapan terima kasih juga.

Karena itulah, saya sangat mengapresiasi kepada mereka yang saya kirimi kartu dan memberi kabar kalau kartunya sudah sampai, sebelum saya bertanya. Saya pun melakukan hal yang sama jika menerima kartu. Setelah menerima, saya langsung memberikan kabar kalau kartu dari mereka sudah sampai dan saya ucapkan terima kasih. Gampang banget lho dan tidak perlu ditunda – tunda sampai lupa. Berasa kok tidak menghargai.

Kalau saya sendiri, memang punya pengalaman dengan beberapa orang yang seperti ini. Dikirim kartu, eh tidak ada kabar apakah kartu yang saya kirimkan sudah sampai atau belum. Menunggu sampai seminggu kok juga tidak ada kabar padahal ke alamat yang lain sudah sampai. Akhirnya saya tanyakan langsung. Ternyata sudah sampai seminggu lalu tapi lupa ngabari dengan alasan sibuk. Sesibuk – sibuknya orang, masa sih dari 24 jam tidak punya waktu satu menit untuk mengirimkan pesan. Biasanya orang seperti ini langsung saya coret dari daftar yang akan saya kirimi lagi. Atau malah mengabarinya lewat akun media sosial padahal punya nomer telfon saya. Duh, kenapa tidak mengabari langsung malah lewat media sosial. Biasanya sih setelahnya, ya sudah saya tidak kirimi lagi. Cukup tau saja.

Terbaca rewel ya saya untuk perkara yang nampak sederhana ini. Memang iya. Sederhana tapi ini tentang etika dan rasa menghargai. Itu saja sebenarnya.

Jadi semoga yang membaca tulisan saya kali ini, ketika suatu ketika nanti menerima kartu ucapan atau kartu pos atau kartu yang lain – lain, jangan lupa untuk memberi kabar kepada pengirim bahwa kartunya sudah sampai dan jangan lupa untuk mengucapkan terima kasih. Jangan memberikan beban pikiran pada si pengirim padahal kita sudah diingat dan dijadikan bagian dari berita yang dikirimkan lewat kartu.

Atau kalau kemaren – kemaren tidak memberikan kabar ketika kartu sudah diterima, tolong jangan dijadikan kebiasaan ya. Ayo saatnya berubah. Jangan mbidheg kalau kata orang Jawa. Artinya jangan diam saja. Gak elok rasanya.

Kecuali, kartu tagihan dari kantor pajak, ya kalau ini ga usah diberi kabar pengirimnya. Urusannya sudah lain. Laksanakan saja kewajiban asal sesuai dengan perhitungan.

  • 22 September 2025 –

Amsterdam, Gouda 10km, Bertemu Teman Lama

Tomat hasil panen

Sejak pulang dari liburan, akhir pekan saya selalu sibuk dengan agenda bersosialisasi alias bertemu dengan beberapa teman. Sudah lama tidak menuliskan cerita akhir pekan, jadi kali ini saya akan merapel cerita 3 akhir pekan aktifitas bersama beberapa teman dan aktifitas pribadi.

  • KRAAMBEZOEK ALIAS TILIK BAYI

Sebulan sebelumnya, saya sudah memasak beberapa jenis makanan untuk dibawa ke rumah teman yang melahirkan 3 bulan lalu. Niat saya setelah pulang liburan, bisa tilik bayi alias melihat bayi dan ibunya setelah melahirkan, mumpung dia masih belum kembali bekerja. Saat liburan, saya membuat janji dan dia setuju dengan waktu yang saya tawarkan. Seminggu sebelum berangkat ke rumahnya, saya mulai mengecek kendaraan umum apa untuk menuju ke sana karena terus terang baru kali ini mendengar kota tempat dia tinggal. Sebenarnya letak rumahnya tidak jauh dari tempat tinggal saya, tapi karena akses kendaraannya tidak terlalu banyak, jadi waktu tempuh ke sana agak panjang.

Hari H ke rumahnya, saya membawakan kado untuk bayi dan Ibu juga beberapa makanan seperti ayam panggang, rendang, bakso, lodeh, mie goreng, bumbu soto, dan bumbu urap. Semuanya saya masak sendiri. Tak ketinggalan Banana Cake andalan saya. Alhamdulillah Banana cake mendapatka pujian, hari yang sama ludes karena mertuanya juga suka. Setiap menjenguk Ibu yang melahirkan, saya selalu membawakan makanan karena Ibu dan Bapak yang punya anak bayi butuh tenaga banyak dan mood yang baik untuk tetap bisa kuat dan bahagia menghadapi makhluk kecil mungil dan segala perubahan setelah melahirkan. Jadi, semoga makanan yang saya masak sendiri bisa membawa mood yang baik dan kebahagiaan tersendiri. BIsa dijadikan stok juga supaya mereka tidak sibuk masak.

Singkat cerita, setelah menempuh perjalanan dengan deg – deg ser takut nyasar, saya dan anak ragil sampai juga di rumahnya. Oh, bayinya lucu sekali. Kami mengobrol banyak hal, makan siang dengan mie goreng yang saya buat, lalu 3 jam kemudian saya pamit pulang. Selain Ibu dan bayinya butuh istirahat, saya juga harus cepat kembali karena anak mbarep sepulang sekolah sudah janjian di rumah membawa satu temannya. Jadi saya siap siaga menyedikan camilan untuk mereka.

  • PANEN TOMAT HIJAU

Cuaca mulai dingin dan daun mulai rontok, saatnya berbenah halaman depan dan belakang. Pulang dari liburan, tanaman tomat yang tiba – tiba saja muncul tanpa ditanam, buahnya sangat banyak. Untungnya, masih berwarna hijau. Jadi bisa disimpan di freezer untuk masak yang butuh rasa asam. Isi freezer saya terbatas, karenanya saya tawarkan ke teman apakah mau meminang si tomat – tomat ini, gratisan. Senangnya, dia mau. Selain tomat, saya juga panen Strawberry meski jumlahnya tidak seberapa. Daun mint juga tumbuh subur. Dedaunan seperti kucai, thyme, rosemary, dan basil juga lumayan banyak. Semuanya saya pangkas sekalian dengan bunga – bunga yang sudah mulai mengering. Siap menyambut musim gugur.

  • KULINERAN DI AMSTERDAM

Sabtu minggu berikutnya, saya dan anak tengah pergi ke Amsterdam dengan kereta. Saya dan seorang teman akan wisata kulineran meskipun belum diputuskan akan kemana. Awalnya kami sudah reservasi tempat ke satu Indonesia restoran yang baru dibuka. Tapi setelah membaca ulasan di Google, kami membatalkan reservasi dan memutuskan ke sana lain waktu saja jika mereka sudah lebih siap dan menu yang disajikan sudah lengkap.

Saat kami sudah bertemu dan berdiskusi cepat, akhirnya kami memilih makan di Satay Club. Ini juga restoran yang baru buka beberapa bulan lalu. Konsepnya mengusung berjualan sate seperti di Indonesia dengan membakar menggunakan arang. Kami tentu saja penasaran karena sepintas saya lihat penyajiannya bisa menggunakan lontong. Wah favorit saya ini, makan sate dengan lontong. Plus katanya pemilik restoran ini belajar ke Indonesia langsung untuk membuat sate dan mendatangkan orang Indonesia langsung untuk mengajari mereka cara membuat sate dan bumbunya yang enak. Sekarang si Bapak sudah kembali ke Indonesia.

Satay Club lokasinya tidak jauh dari Stasiun Amsterdam. Lokasi turis tentu saja. Sesampainya di tempat, masih sepi. Baru jam buka juga. Setelah memilih menu dan membayar (yang lumayan juga harganya) kami menunggu makanan datang dengan berbincang. Obrolan seputar liburan saya, hidup sehari – hari, dan rencana kami tentang liburan.

Makanan datang, kami mencicipi satenya. Saya pesan sate domba dan anak tengah makan sate ayam. Sate ayam dan bumbu kacangnya ok, tidak yang spesial. Sensasi bakarannya dapat, dagingnya agak kering, potongannya manusiawi tidak seperti potongan sate ayam di Belanda yang besar – besar. Sate domba yang saya pesan, rasanya enak. Bumbunya terasa jadi seperti sate Maranggi. Lontongnya yang mengecewakan karena disajikan dengan dingin. Saya minta dipanaskan katanya tidak bisa karena standar penyajian mereka ya dingin. Saya memberi masukan kalau di Indonesia kami makan sate tidak pernah dengan lontong yang dingin. Minimal suhu ruang. Apalagi setelah ini masuk musim dingin, akan tidak enak kalau makan sate dengan lontong yang dingin. Mereka menerima masukan saya dan akan mempertimbangkan untuk mengubah penyajian lontong.

Balado terong rasanya tidak masuk selera saya. Sambel bawangnya enak. Jadi secara keseluruhan, ok lah makan di sini. Tapi, cukup sekali saja untuk saya. Anak saya sih senang dan habis makan sate ayam dengan nasi. Katanya enak sekali. Pasti karena kelaparan.

Setelahnya kami ke toko oleh – oleh yang lokasinya persis di depan Satay Club. Saya membeli beberapa barang. Seperti turis saja ya. Lalu kami melanjutkan jalan kaki ke Restoran Thailand untuk bungkus bawa pulang, ke toko roti membeli kudapan, restauran Vietnam untuk membeli es kopi, dan ke toko es krim. Cuaca hari itu lumayan cerah cenderung gerah. Membuat hati juga ikutan gembira melihat matahari dan langit biru di Amsterdam. Seperti biasa ya Amsterdam, ramai sekali dan aromanya itu aduh, khas ganja. Aroma yang saya tidak suka.

Alhamdulillah, jalan – jalan ke Amsterdam selesai sudah. Perut kenyang sekali karena makan ini dan itu. Saya dan anak tengah pulang dengan hati gembira. Saya senang karena banyak ngobrol dengan teman dan makan dengan kenyang.

  • CARGILL SINGELOOP GOUDA 2025 – 10KM

Hari minggu keesokan harinya, saya mulai ragu apakah akan tetap berangkat ke Gouda untuk ikutan race 10km yang sudah saya daftar sejak bulan Januari dan nomernya pun sudah dikirim ke rumah. Yang membuat saya ragu adalah cuaca hari itu akan sangat terik dengan suhu 28 derajat celcius. Apalagi waktu berlarinya sore hari jam 3. Puncaknya panas. Suami meyakinkan saya untuk tetap berangkat saja karena sudah daftar, sayang kalau tidak datang. Apalagi Gouda cuma 20 menit saja naik kereta.

Akhirnya saya niatkan datang dengan berdoa semoga dikuatkan selama lari. Walapun tetap deg – deg an juga. Sesampainya di lokasi acara, wah peserta yang lain sudah terlihat siap sedia. Saat saya datang, yang 5km baru saja dimulai. Panasnya mulai terasa. Sangat menyengat ke muka.

Saya membeli air mineral dingin di supermarket terdekat dan berniat membawanya selama lari. Saya memakai pakaian dan jilbab tertipis. Supaya tidak terlalu panas. Niat saya pokoknya ya sudah dijalani saja, sesampainya saja. Kalaupun akan jadi yang terakhir masuk finish, ya sudah. Kalau tidak kuat ya stop saja.

Nanti akan saya ceritakan selengkapnya di tulisan yang terpisah. Singkat cerita dengan perjuangan dan keringat yang basah ke baju, hampir menyerah juga tidak melanjutkan, akhirnya saya jadi peserta terakhir yang sampai finish haha! sudah biasa. Saat saya sampai, semua langsung bersorak dan ya lumayan, dijepret foto banyak pose. Waktu saya 1 jam 35 menit. Ini lari dengan selingan jalan kaki terbanyak selama saya ikutan race. Ya lumayanlah, nambah 1 medali lagi.

  • BERTEMU TEMAN AKRAB

Sabtu minggu lalu, saya bersama anak ragil berkunjung ke rumah teman yang sudah 11 tahun ini saya kenal. Sudah lama saya tidak mengobrol panjang dengan dia. Sebelumnya sudah bertemu di acara Indonesia di Den Haag beberapa bulan lalu, tapi ya tidak terlalu lama juga. Plus berisik jadi ngobrol tidak khusyuk. Lalu kami membuat janji sebelum saya pergi liburan.

Jam 7 pagi saya sudah ada di stasiun metro. Untung anak kicik tidak terlalu susah bangunnya dan semangat sekali karena akan pergi dengan kereta. Perjalanan ke rumah teman ini, 3 jam lamanya. Jauh ya, karena memang sudah beda provinsi. Terbiasa jadi penduduk kota besar, jadi kalau mau ke provinsi lain berasa sekali jauhnya. Tapi ya tidak masalah, demi bisa bertemu teman dan ngobrol banyak, perjalanan jauh pun bukan hambatan. Makanya berangkat pagi supaya pulangnya pun tidak terlalu telat.

Jam 10 pagi pun saya sudah di rumahnya. Langsung kami heboh bercerita ke sana sini tanpa henti. Sampai suaminya yang maunya nongkrong duduk dekat kami, diusir untuk pergi saja haha karena dia tidak bisa berbahasa Indonesia. Daripada tidak paham kan, apalagi saya dan teman ini sama – sama orang Jawa Timur. Jadi obrolan kami jelasnya semuanya berbahasa Jawa Tapal Kuda. Kencang dan penuh tawa.

Lima jam tak terasa ngobrol dan makan. Kalau dengan teman yang sudah satu frekuensi, saya pikir ngobrol tujuh hari tujuh malam pun tidak akan pernah kehabisan topik. Dari topik tentang keluarga sendiri, diri sendiri, rencana ini itu, sampai menggosipkan orang *LOH!

Waktunya pulang, temu kangen sayangnya harus diakhiri di sini. Sampai berjumpa dilain waktu yang entah kapan karena rumah kami yang berjauhan dan dia pun kerja kantoran jadi waktunya tidak se fleksibel saya. Lima jam yang terasa pendek tapi cukuplah menuntaskan rasa rindu.

Butuh usaha kedua pihak untuk pertemanan yang awet. Tidak selalu ada pelangi dan kupu – kupu di dalamnya, tapi paling tidak sampai 11 tahun ini kami masih bersama. Memaafkan, menerima, dan saling memahami adalah kuncinya. Komunikasi juga tak kalah penting. Semoga kami tetap langgeng selalu.

Perjalanan 3 jam kembali ke rumah, lancar jaya. Pukul 6 malam kami sudah sampai. Anak kicik yang senang sekali dengan perjalanan kali ini, dia langsung bercerita banyak ke Papa dan kedua kakaknya. Kangen juga meninggalkan suami dan anak – anak di rumah seharian utuh.

  • MENGUNJUNGI MAMA MERTUA

Hari minggu, kami ke rumah Mama mertua. Jadwal kami setiap 2 hari minggu memang menjenguk Mama. Tidak lama di sana, berbincang seperti biasa lalu satu jam kemudian kami pulang. Mama juga tidak bisa terlalu lama karena gampang capek. Biasanya setelah dari Mama, kami muter – muter dulu di pusat kota Den Haag. Tapi kali ini kami langsung kembali ke rumah karena saya agak capek. Kali ini tidak jajan dulu di Toko Asia.

Wow, panjang juga ya rapelan cerita 3 akhir pekan. Senang sekali bisa menulis cerita akhir pekan seperti ini. Sama senangnya karena saya kembali rajin menulis di blog. Saat menulis ini, saya mulai jam 5 pagi karena sudah tidak bisa tidur lagi. Waktu yang tenang untuk berkonsentrasi. Fokus yang penuh. Satu jam menulis, sudah selesai.

Saya bersyukur sekali, masa – masa istirahat dari media sosial seperti ini, konsentrasi saya jadi panjang dan juga produktif untuk menulis kembali. Tidak sebentar – sebentar pegang Hp untuk mengecek media sosial. Entah sampai kapan rehatnya, yang pasti saya sangat menikmati waktu tanpa bermedia sosial.

  • 18 September 2025 –

Merasa Cukup

Pemandangan Jalan Kaki Pagi Hari

Senin pagi, saya awali dengan hati gembira. Akhir pekan saya bertemu dengan seorang teman yang sudah 11 tahun ini saya kenal dengan baik. Kami mengobrol panjang serta lama di rumahnya. Obrolan yang hangat karena sudah lama kami tidak berbicara dari hati ke hati. Rasa hangat itu terbawa sampai ke hari senin.

Saya bangun dengan badan yang segar dan pikiran yang jernih. Setelah membalas beberapa pesan di telefon genggam, lalu saya membangunkan satu persatu anak – anak. Hari ini dua anak akan makan siang di sekolah, jadi saya sedikit lebih sibuk di dapur karena ada bekal ekstra yang akan dibawa. Setelah menyiapkan baju mereka, saya turun untuk menyiapkan sarapan mereka. Suami seperti biasa sibuk dengan anak ragil yang hari ini juga jadwal ke sekolah.

Setelah rutinitas pagi terlewati, saya mengantarkan 2 anak pertama ke sekolah, sedangkan suami mengantarkan anak ragil. Sekolah mereka berbeda karena tingkatannya juga masih belum sama.

Setelah anak – anak sudah masuk ke kelas, saya memarkir sepeda di halaman luar sekolah lalu melanjutkan dengan jalan kaki. Seperti biasa, satu jam kedepan akan saya lalui dengan berjalan kaki cepat. Tanpa musik, banyak melamun, dan menikmati suasana sekitar. Cuaca pagi ini mendung, berangin kencang, dan sesekali gerimis. Sepanjang jalan, banyak sekali ide yang muncul di kepala. Pun kontemplasi hal – hal yang saya lewati beberapa waktu ini. Terkadang teringat ingatan yang tidak mengenakkan dimasa lalu. Semuanya saya coba rasakan. Tidak mencoba untuk menghindar. Menarik nafas panjang, mencoba memasukkan sebanyak mungkin udara segar.

Alhamdulillah, saya masih diberikan sehat dan langkah kaki yang kuat untuk berolahraga. Alhamdulillah saya masih diberikan kewarasan dalam berpikir dan bertindak.

Hidup di kampung, jadi pemandangan jalan kaki atau saat berlari ya aneka ria binatang. Salah satunya kambing (atau domba ya ini, ga terlalu paham).

Tidak terasa, langkah kaki kembali lagi di parkiran sekolah. Lumayan, 6.22km dengan hampir 8000 langkah. Saya kayuh sepeda menuju rumah. Sesampainya di rumah, saya langsung membuka beberapa jendela supaya angin segar masuk ke rumah, menyalakan lilin di beberapa sudut dengan aroma favorit yaitu vanilla dan paduan beberapa buah. Saya senang sekali jika rumah wangi. Rasanya menenangkan.

Lalu saya merebus air untuk membuat teh. Sembari menunggu air panas, saya mencuci beberapa piring dan peralatan masak. Lalu mengepel seluruh lantai bawah. Setelah semua beres dan bersih, saya menyeduh teh, menghangatkan bala – bala yang tadi malam saya goreng, dan menyiapkan laptop untuk menulis.

Di sinilah saya sekarang. Menikmati pagi sendiri di rumah dengan menulis, makan gorengan, dan minum teh hangat. Menghirup aroma wangi vanilla dari lilin dan segarnya angin yang masuk dari pintu dapur yang terbuka.

Hidup seperti ini, saya sangat merasa cukup. Tidak mengkhawatirkan banyak hal, tidak was – was dengan segala hal yang belum terjadi, dan tidak gampang ingin hidup yang berlebih. Secukupnya saja. Menjalani hidup dengan mengalir. Tentu saja ini rasa seperti ini tidak datang dengan tiba – tiba. Saya butuh latihan bertahun – tahun sampai bisa ditahap ini. Salah satu faktor yang membuat saya ada di titik ini karena apa yang saya ingin capai dan inginkan, sudah saya lakukan dan dapatkan sebelum pindah ke Belanda. Jadi setelah sampai sini, keinginan dan prioritas sudah beebeda. Sudah tidak lagi berambisi yang macam – macam. Hanya ingin menikmati hidup secara pelan. Sadar saat melangkah, tau kapan beristirahat, dan menerima dengan hati yang lapang saat memang harus dihentikan.

Termasuk saat saya memutuskan untuk menjadi Ibu Rumah Tangga sepenuhnya setelah berdiskusi panjang dengan suami. Dia yang selalu mendukung apapun keputusan yang ingin saya jalani dalam hidup. Selama saya suka, bahagia, dan menikmati, dia selalu ok saja. Di sinilah saya selama 8 tahun ini. Ibu Rumah Tangga dengan segala aktifitas harian yang kadang itu – itu saja, kadang ada selingan yang mengejutkan, kadang belajar hal – hal baru, dan seringnya melewati minggu dengan rutinitas yang pasti.

Hidup itu – itu saja seperti ini, ternyata yang saya inginkan dan sangat menikmati menjalaninya. Begini – begini saja yang dulu tidak bisa lakukan karena selalu tergesa melakukan semua hal. Rutinitas tiap hari dengan urusan rumah, anak – anak, suami, dan diri sendiri, itu yang membuat saya bahagia.

Merasa cukup untuk masa sekarang adalah hal yang mewah. Apalagi di era media sosial semakin hingar bingar. Membandingkan keadaan diri sendiri dengan kehidupan orang lain lewat foto atau video. Merasa kondisi diri tidak menarik dan membosankan. Hal paling penting yang sering dilupakan adalah : semua yang sudah ditampilkan di media sosial adalah versi yang terbaik. Sudah melalui proses editing, pilah pilih video atau foto yang terbaik, bahkan cerita yang dituliskan pun sudah melalui hapus tulis beberapa kali. Memang tidak akan pernah merasa cukup kalau terlalu banyak melihat yang dimiliki orang lain lalu ujungnya jadi tidak bersyukur.

Merasa cukup, dimulai dari diri sendiri. Cukup yang membuat hidup nyaman, tenang, tidak was – was, dan tidak membuat keonaran atau merugikan orang lain. Cukup saat menjalani. Secukupnya saja. Tidak perlu berlebih, tidak perlu mengambil hak orang lain.

Merasa cukup akan membuat hati tenang dan tidak kemrusung. Bahagia dengan segala yang dimiliki dan dilakukan saat ini. Menikmati setiap proses dan momen setiap harinya. Hadir secara nyata, sadar, dan tidak perlu mencari perbandingan dengan orang lain.

Cukup dengan diri sendiri, cukup dengan keadaan sendiri, cukup dengan yang ada saat ini.

Merasa cukup.

  • 15 September, 2025 –

Merasakan Bosan

Rute lari pagi

Pernahkan mencoba lari jarak jauh tanpa suara musik di telinga?

Pernahkah menunggu kereta datang selama 15 menit dengan memperhatikan sekitar dan melamun?

Pernahkan jalan kaki pagi atau sore hari tanpa membawa telepon?

Pernahkah duduk terdiam di taman memperhatikan air di danau kecil yang dilewati bebek – bebek hilir mudik?

Pernahkah menyetrika tanpa diselingi dengan melihat TV atau sambil menelepon?

Jika semua jawabannya adalah IYA, pernahkah merasakan bosan saat melakukan itu semua?

Saya memperhatikan dan tentu saja pernah mengalami sendiri, manusia jaman sekarang sepertinya jarang sekali merasakan bosan. Ada waktu kosong 10 menit, langsung tergesa mengambil telefon genggam dari tas atau kantong celana dan membuka media sosial. Ada waktu santai 15 menit di taman, mata tidak lepas dari scrolling Hp. Saat berjalan kaki pagi atau sore hari, jari tangan sibuk memilih lagu yang akan didengarkan lewat earphone sepanjang rute.

Otak kita tidak diberikan kesempatan untuk istirahat. Untuk berjeda dengan segala aktifitas. Kita takut merasa bosan. Merasa bahwa bosan adalah sesuatu yang tidak menyenangkan. Merasa bahwa bosan adalah perasaan yang tidak produktif. Merasa bosan adalah sebuah momok yang harus disingkirkan.

Rute lari pagi ini yang tampak membosankan karena langit abu – abu, tapi bisa memberikan ide untuk menulis di blog.

Padahal, jika kita diam saja sejenak 10 menit tanpa melakukan apapun, otak kita pun sedang beristirahat. Memberikan kesempatan badan dan pikiran untuk santai sejenak.

Sejak kecil, kami mengajari anak – anak untuk belajar berteman dengan bosan. Bagaimana caranya? dengan tidak memberikan mereka tablet, telefon genggam, tontonan TV saat umurnya belum cukup. Saat mereka sudah cukup umurpun, penggunaannya tetap kami batasi. Mereka sudah terbiasa bermain dengan apa yang ada di rumah. Justru, mereka jadi lebih kreatif mengisi waktu. Misal dengan membaca buku, berbincang, dan bergurau menciptakan sebuah cerita. Menggambar, atau bahkan bermain tebak – tebakan. Kalau sudah bosan, ya mereka diam saja duduk di sofa sambil melamun, lalu lama – lama jadi tertidur sendiri.

Hal tersebut juga terjadi saat kami sedang road trip jarak jauh. Selama perjalanan, kami tidak pernah memberikan permainan elektronik. Mereka bermain dengan segala apa yang sudah dipersiapkan sendiri. Misal boneka, buku bacaan, rubik, mobil – mobilan, dll. Jika sudah bosan, kami semua bermain tebak – tebakan. Kalau sudah bosan lagi, kami makan. Kami selingi juga dengan saling bercerita dan bergurau. Jika sudah capai, mereka akan memperhatikan jalan, melamun, dan lama – lama tertidur. Bahkan waktu kami roadtrip di Andalusia, anak kami yang pertama saat itu berusia 4 tahun, bisa menciptakan lagu dengan lirik karangan dia sendiri hahaha.

Kami sampai menjuluki mereka professor melamun dan ahli di bidang bosan :))))

Bagaimana bisa mereka terbiasa tanpa distraksi Hp atau tablet atau TV? Selain karena memang sudah kami biasakan dan mereka terbiasa, kamipun memberikan contoh. Kami tidak pernah sibuk main Hp saat bersama mereka. Tidak pernah mata cuma tertuju di tablet atau laptop saat bersama anak – anak. Tentu saja jika diberikan contoh langsung, akan lebih gampang buat mereka untuk meniru. Bukankah anak adalah peniru yang ulung. Karenanya, orang dewasa di sekitarnya seharusnya memberikan contoh yang baik.

Jika anak – anak tidak takut merasa bosan karena sudah dibiasakan, sebenarnya hal tersebut bisa diterapkan pada orang dewasa. Bisa dilatih. Jika selama ini kita bangun tidur hal pertama yang dilakukan adalah mengambil Hp dan langsung buka media sosial, bisa dicoba perlahan untuk meniadakan kebiasaan itu. Coba saat pertama membuka mata, ya sudah melamun saja. Memikirkan atau mengosongkan pikiran. Pergi ke kamar mandi lalu ke ruangan yang lain tanpa membawa Hp.

Atau misal kalau menunggu bus atau kereta yang belum datang, mulai dibiasakan tidak perlu terburu – buru mengambil Hp lalu sibuk membuka media sosial. Sambil duduk, kita bisa memperhatikan kondisi sekitar. Oh ada papan pengumuman, coba deh dibaca isinya apa. Oh ada kios kecil, coba ah masuk siapa tau ada yang menarik. Atau ya sekedar duduk saja diam melamun sampai kereta datang. Memperhatikan orang sekitar. Biasanya ada saja yang menarik untuk diperhatikan. Saya juga beberapa kali memberikan pujian jika melihat ada orang yang memakai pakaian yang kece, parfume dengan aroma yang saya suka, atau memberikan pujian ke seorang Oma yang memakai kutek warna menyala.

Tidak perlu takut bosan. Sesekali, merasakan bosan itu perlu. Tidak perlu langsung diberikan distraksi saat punya waktu kosong 10 menit. Otak juga butuh istirahat. Mata juga perlu santai sejenak.

Sesekali perlu juga dicoba berkegiatan yang Tanpa Suara Musik.

Jika sudah mulai pelan – pelan dilatih untuk berjarak dengan hal – hal yang gampang menganggu fokus dan konsentrasi, lama – lama kita akan berteman akrab dengan rasa bosan. Tidak takut lagi. Tidak harus tau semua hal tentang kehidupan orang lain di media sosial. Yang ada hanya diri sendiri.

Dari bosan yang sudah kita rasakan, justru sering muncul ide – ide ajaib yang muncul. Ide kreatif untuk masak makan siang, ide nulis di blog, teringat untuk menghubungi teman dekat, atau sesederhana tiba – tiba merasa kangen dengan suami.

Coba deh, sesekali merasakan bosan. Karena bosan tidak semenakutkan itu untuk dirasakan. Atau bosan tidak semembosankan jika memang sudah jadi bagian dari keseharian.

*Ide menuliskan tema ini, saya dapatkan pagi ini ketika lari sepanjang 6km. Lari pagi tanpa mendengarkan musik, bisa mendapatkan banyak ide buat saya. Salah satunya, ide menuliskan topik ini. Saya hanya membutuhkan waktu 1 jam untuk menyelesaikan tulisan ini, tanpa terdistraksi dengan telefon genggam, tanpa terdistraksi dengan media sosial. Tanpa musik. Hanya ditemani segelas susu coklat panas yang sesekali saya minum. Fokus dan bisa tuntas menyampaikan ide yang terpendam sejak pagi hari. Sembari menunggu suami pulang dari rapat orangtua di sekolah anak, tulisan ini sudah selesai.

  • 9 Agustus, 2025 –

Berkoneksi Kembali Dengan Diri

Saat saya menulis, suasana di rumah sangat sepi. Senyap. Hanya terdengar suara ketikan dari laptop, suara burung di luar, dan tetangga sebelah yang berbenah rumah.

Di meja, saya letakkan teh tanpa gula yang baru saja saya seduh. Masih panas. Jam tangan saya taruh di sebelah kanan karena selesai menulis di blog, saya berencana jalan kaki pagi selama 1 jam. Setelahnya saya akan kembali ke rumah dan memasak makan siang untuk saya dan anak kicik. Dua anak pertama, hari ini jadwal makan siang di sekolah. Jadi mereka kembali ke rumah sore hari. Suami, saat ini sedang olahraga jalan kaki selama 1 jam.

Sebelum menulis, saya sudah membereskan rumah, menyalakan lilin beraroma vanilla, dan membuka semua jendela di ruangan bawah dan kamar – kamar di lantai atas. Supaya udara pagi yang segar masuk dengan leluasa. Pagi ini cuaca sejuk dengan suhu 19 derajat celcius. Kamar anak – anak pun saya bereskan sedikit saja karena setelah bangun tidur mereka sudah terbiasa beberes sendiri. Saya sangat ketat untuk urusan kamar yang bersih. Saya selalu tekankan ke anak – anak bahwa sebelum tidur dan setelah bangun tidur mereka harus membereskan kamar sendiri supaya saat tidur kondisi di kamar berasa nyaman.

Hari ini, hari pertama anak kami yang bungsu masuk Peuterspeelzaal. Bahasa Inggrisnya adalah Pre School. Sejak minggu lalu kami bertemu gurunya untuk perkenalan, dia sangat antusias. Tidak sabar memakai tas barunya yang kami belikan saat di Stockholm dengan gantungan kunci Lego Minimouse yang dibeli saat di Copenhagen. Pagi ini dia bangun dengan ceria. Saya sudah menyiapkan bajunya sejak tadi malam. Dress warna merah muda dengan corak penuh bunga. Saya masukkan ke tasnya beberapa baju ganti dan popok. Dia memilih sendiri untuk memakai sandal merah muda favoritnya. Saya tawarkan untuk memakai sepatu, dia menolak. Anak ini sudah bisa memilih apa yang dia suka. Jaket yang saya pilihkan berwarna magenta. Pagi ini semua sangat bersemangat karena adik kicik pertama kali ke sekolah yang hanya 2 kali seminggu dan 4 jam sekali datang.

Setelah bersepeda bersama anak – anak dan mengantar mereka ke sekolah, saya dan suami ke sekolah anak ragil. Hari yang spesial, jadi kami ingin mengantar dia bersama. Selama di sepeda, dia bersenandung riang. Sesampainya di sekolah, dia sangat antusias. Menggantung tas dan jaketnya, masuk ke kelas dan menyapa gurunya sambil melambaikan tangan, “Goedemorgen Juff!”

Saya menemani dia sebentar supaya tidak kaget saat saya tinggal. Setelah 10 menit, saya mulai siap – siap. Saya berpamitan dan ke luar dari gedung sekolah. Dari luar terdengar jelas tangisannya. Saya menghampiri jendela untuk dadah – dadah ke dia. Dia masih menangis tapi tetap melambaikan tangan ke saya. Gurunya mencoba menenangkan dengan berbicara dan mengajak bermain.

Saya bersepeda kembali ke rumah. Ada rasa sedih dan bahagia. Anak – anak cepat sekali besarnya. Tiba – tiba anak bayi sudah masuk sekolah. Berasa baru kemarin melahirkan dia, sekarang umurnya sudah lebih dari 2 tahun. Dua yang pertama sudah punya kegiatan sendiri. Selalu ada janji bermain bersama teman mereka tiap pulang sekolah. Waktu bersama kami sudah mulai berkurang.

Salah satu yang membuat saya untuk memutuskan rehat dulu dari media sosial, selain diri sendiri, adalah anak – anak dan suami. Saya ingin menikmati waktu dengan anak – anak. Hadir secara nyata untuk mereka. Fokus tidak terbagi dengan scrolling HP tanpa henti. Ingin hidup tenang dan hati yang nyaman. Ingin menikmati kebersamaan dengan suami. Fokus pada keluarga sendiri. Tidak perlu membagi kehidupan dengan orang lain di luar sana yang saya tidak tau dan kenal dengan baik.

Cukup diri sendiri, keluarga, dan teman – teman baik terdekat.

Saya ingin menikmati hari demi hari dengan perasaan tenang dan damai. Tidak perlu berbagi pikiran dengan segala perbincangan yang ada di media sosial. Segala permasalahan dan keributan yang diada – adakan. Tidak masalah tidak banyak tau. Sedikit kalau bermakna, itu lebih baik.

Usia tidak ada yang tau. Saya ingin memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Ingin menjalani menit per menitnya dengan kegiatan yang lebih berguna. Anak – anak makin besar, saya ingin benar – benar hadir untuk mereka. Bukan hanya fisik, tapi juga seratus persen pikiran dan perhatian. Anak – anak yang menjadi prioritas utama saya saat ini. Media sosial bisa kapan – kapan lagi, tapi anak – anak akan terus tumbuh dan semakin besar. Kebersamaan bersama mereka tidak bisa terulang.

2 bulan (saat tulisan ini dibuat) rehat dari Instagram dan Threads, 5 bulan rehat dari twitter, hidup saya lebih tenang.

Disinilah saya sekarang. Sibuk mengetik apa yang ada di pikiran. Mencoba kembali ke kebiasaan dan hobi lama yang saya senangi yaitu menulis di blog dengan konsentrasi penuh, tanpa distraksi. Membaca buku karena memang suka bukan karena untuk konten. Berolahraga lari karena cinta, bukan karena butuh dipuja.

Berkoneksi kembali dengan diri sendiri. Hadir secara nyata dan kembali memperhatikan diri sendiri. Berbincang dengan pikiran dengan senyap tanpa harus berbagi fokus dengan hal – hal tidak penting lainnya. Merasa nyaman, tenang, dan damai. Otak lebih santai. Menjalani aktifitas sehari – hari dengan pelan dan sadar. Tidak tergesa dan tidak perlu harus selalu diperlihatkan untuk orang banyak.

Secukupnya saja. Tidak untuk sebuah validasi. Mungkin jika suatu hari nanti saat saya memutuskan siap untuk kembali ke media sosial, mudah – mudahan saya lebih sadar dalam penggunaannya. Tidak berlebihan dan secukupnya saja.

Saya menyesap teh yang mulai menghangat. Menikmati aromanya tanpa terburu – buru.

Saya bersyukur akan waktu istimewa yang saya miliki saat ini. Punya waktu sepenuhnya untuk diri sendiri.

Suami baru saja datang dari jalan kaki pagi. Kami berbincang sebentar, lalu dia naik ke lantai atas menuju ruang kerja. Memulai rutinitas kerjanya.

Saya harus bersiap untuk jalan kaki. Teh hangat sudah habis saya minum.

Waktunya untuk berolahraga dan berbincang dengan diri sendiri dari hati ke hati.

Menikmati segarnya udara pagi. Menikmati hidup yang tak tergesa. Pelan dan damai. Hadir secara nyata.

  • 8 September, 2025 –

Tanpa Suara Musik

Soderasen National Park, Swedia.

Saya suka mendengarkan musik. Sehari – hari, pasti musik tidak lepas dari telinga saya. Apalagi jika sedang mendengarkan pekerjaan rumah di lantai bawah, pasti saya selalu memutarkan Spotify dengan daftar lagu kesukaan atau memilih radio lokal yang memutarkan musik Belanda. Intinya hidup akan meriah jika mendengarkan musik.

Namun, ada saat -saat tertentu, saya lebih menikmati keheningan. Tanpa hingar bingar suara musik atau lembutnya alunan instrumen. Lebih menikmati suara asli dari alam / suasana sekitar.

  • LARI

Saat sedang berlari, saya lebih suka mendengarkan suara yang saya lewati. Apapun suara itu. Tergantung rute yang saya lewati. Jika sedang rute di hutan, ya saya mendengarkan suara burung mencicit bersahutan. Jika rute di jalan raya, ya saya mendengarkan suara mobil dan kendaraan yang lewat. Jika lari di pinggir pantai, saya dengarkan suara angin dan ombak. Kalau lewat persawahan, ya saya mendengarkan suara sunyi.

Dari awal suka lari sampai sekarang, saya tidak pernah memakai earphone selama lari. Pernah saya mencoba sekali, ternyata tidak menikmati. Malah yang ada rasa was – was takut dibuntuti orang :)))

Lari tanpa suara musik membuat saya lebih tenang. Semacam meditasi. Bisa berpikir banyak hal dan ngelamun – ngelamun eh ternyata sudah finish. Apa tidak bosan? Tidak sama sekali. Justru saya sangat menikmat lari tanpa suara apapun yang menempel di telinga saya. Menikmati suara – suara apapun yang saya lewati saat berlari. Sering saya mendapatkan ide cemerlang setelah berlari. Ya semacam ide mau masak apa hari itu :D.

  • MENYETRIKA

Saya memang hobi menyetrika. Seperti berlari, menyetrika itu saya ibaratkan waktu bermeditasi. Saya bisa tenang, melamun, dan bisa memikirkan banyak hal. Kalau orang lain saat menyetrika dengan mendengarkan musik, melihat YouTube, nonton TV, atau sambil telfonan, saya menyetrika tanpa mendengarkan suara atau menonton apapun. Benar – benar sunyi. Ngelamun trus tiba – tiba timbul sebuah ide, eh setrikaan sudah selesai. Menyetrika juga sebagai sarana me time. Jadi saya lebih menikmati saat menyetrika dengan suasana yang sunyi dan syahdu.

Menytrika buat banyak orang hal yang membosankan. Buat saya. saat menyetrika adalah waktunya mengisi baterai ide dan membuat batin damai.

Setelah menyetrika, saya pasti lebih rileks. Aneh tapi nyata :)))

  • SHOLAT DAN MENGAJI

Oh ya ini tidak perlu ditulis panjang lebar ya. Saat beribadah tentu saja suasana sunyi senyap buat saya lebih khusyuk. Lebih bisa berkonsentrasi kalau hening.

  • JALAN KAKI

Sama halnya dengan saat berlari, ketika saya sedang jalan kaki untuk olahraga, saya lebih senang menikmati suara – suara yang saya lewati. mendengarkan suara sepeda, burung berkicau, anak – anak yang sedang bermain di taman. Telinga saya bebas dari suara musik. Hening dan syahdu.

Ketika kami sekeluarga hiking di Soderasen National Park, Swedia. Rute lumayan jauh sampai puncak, total dengan nyasar – nyasarnya, 12km. 4 jam baru selesai diselingi istirahat 30 menit. Pengalaman yang tidak terlupakan.

  • DUDUK BENGONG DI TAMAN

Ya namanya juga duduk bengong, lebih nyaman sambil ngelamun tanpa musik nempel di telinga. BIsa berdialog dengan diri sendiri. Lebih khusyuk mengosongkan pikiran, ujung – ujungnya mengantuk. Ini pengalaman pribadi saya :))))

  • MEMBACA BUKU

Ada orang yang khusyuk membaca buku dengan mendengarkan suara musik atau instrumen. Saya lebih khusyuk membaca saat sepi atau sedang di kendaraan umum atau di taman. Intinya tidak bisa kalau membaca disambi dengan ada suara musik di sekitar. Tidak konsentrasi ke buku yang saya baca, malah fokus ke musik yang sedang diputar :))))

  • BELAJAR SAAT PERSIAPAN UJIAN

Masih ada hubungannya dengan membaca buku. Saya setiap kali belajar, dari belajar rutin sampai belajar untuk ujian, tidak pernah mendengarkan musik sama sekali. Harus sunyi senyap tanpa ada suara apapun. Sejak punya anak, saya lebih memilih waktu belajar malam hari setelah anak – anak tidur. Jam segini, waktunya saya bisa khusyuk dan semua materi belajar atau ujian dipastikan lebih menempel di kepala. Jika siang hari, meski anak – anak sedang sekolah, saya tidak bisa belajar karena masih bisa mendengarkan suara berisik dari manapun. Sedangkan malam hari, rasanya luar biasa tenang. Belajar 30 menit saja, semua materi bisa langsung masuk ke kepala (tanpa harus keluar lagi setelahnya :)))

Mungkin bagi kalian yang sudah terbiasa mendengarkan musik di manapun, kapanpun dan dalam kegiatan apapun, bisa dicoba untuk melepaskan ikatan dengan musik. Siapa tau cocok dengan beberapa kondisi yang saya sebutkan di atas, tanpa harus mendengarkan suara musik.

Atau malah merasa bosan ya hahah.

Sama dengan makanan, selera telinga orang pun bisa jadi berbeda.

Mungkin faktor umur juga. Tambah tua, telinga saya sukanya dengan sunyi, senyap, hening, dan syahdu.

– 2 September, 2025 –

Indonesia Saat Ini

Nasi box Mbak Tami

Seperti yang semuanya pasti sudah tau, kondisi di Indonesia terutama Jakarta dan beberapa kota besar sedang tidak baik – baik saja. Ada aksi demo kepada DPR dengan agenda menuntut beberapa hal yang kemudian menjadi panjang karena ada hal – hal yang di luar rencana, terjadi. Bukan salah pendemo tentu saja, yang memang murni tujuannya untuk kepentingan rakyat.

Penjarahan rumah beberapa rumah anggota DPR dan Mentri, Gedung Grahadi Surabaya yang dibakar, gejolak panas di Bandung dan beberapa kota lainnya. Entah memang murni karena rakyat sudah sangat marah dengan kondisi yang ada, atau ada penyusupan didalamnya. Semoga tidak sampai merembet ke hal – hal lainnya.

Untuk lebih lengkapnya, pasti semua sudah membaca beritanya. Bahkan kondisi di Indonesia sudah masuk ke beberapa media Nasional di Belanda. Suami sampai mempertanyakan, terjadi apalagi di Indonesia. Saya pun memantau dengan hati yang was – was. Bagaimanapun, keluarga besar saya ada di Indonesia, meski jauh dari kota besar. Tapi tetap akan terdampak dengan kondisi saat ini.

Saya yang tinggal jauh dari Indonesia, hanya bisa memantau dari kondisi terkini dan laporan pandang mata dari grup WhatsApp sahabat – sahabat yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya dan Bandung. Kondisi yang terjadi di Jakarta, Bandung, bahkan Surabaya. Selain itu, sumber berita yang saya andalkan adalah YouTube dan beberapa media online yang terpercaya.

Saya masih istirahat dari media sosial dan rasanya untuk muncul kembali, saat ini bukan waktu yang tepat. Saya lebih memilih menyelamatkan mental saya daripada stress dengan segala berita yang ada dan berlebihan. Kali ini, saya memantau dari jauh.

Meski saya tidak bisa bergabung dengan bersuara lantang lewat media sosial, seperti sebelumnya yang saya tulis di Bersuara Untuk Indonesia, kali ini saya mengambil bagian untuk berdonasi saja. Saya ikut menyumbang untuk memberikan nasi kotak kepada mereka yang berdemo di depan gedung DPR.

Saya pesan lewat Mbak Tami (akun twitternya @Bubaks___ ) yang memang sudah menjadi langganan kateringan jarak jauh. Mbak Tami juga selalu menjadi perpanjang tanganan kami para diaspora Indonesia yang ingin berbagi berkah, membantu untuk donasi, dll. Mbak Tami memasak semua sendiri dan membawa nasi – nasi kotak ini (maksimal per hari yang bisa dibawa adalah 100 kotak) ke depan gedung DPR, pusat demo berlangsung.

Nasi box isi telur dadar dan beberapa lauk lainnya. Semoga donasi saya, beberapa teman dan donatur lainnya bisa membantu mereka yang berdemo. Semoga bisa menjadi bagian perjuangan tegaknya demokrasi di Indonesia dan runtuhnya kedzoliman dari ketamakan para penguasa yang tidak amanah. Semoga apa yang sama – sama kita perjuangkan, menghasilkan yang terbaik untuk rakyat Indonesia.

Saya ikut berdoa semoga demo yang katanya akan berlangsung kembali beberapa hari ke depan, lancar dan kondisi tidak berubah jadi panas membara. Sudah ada himbauan karyawan kantor – kantor di Jakarta untuk Work From Home saja.

Stay safe kalian semua. Semoga apa yang sedang diperjuangkan, dilancarkan jalannya dan dilindungi semua oleh Allah. Kami yang jauh dari Indonesia tak lepas mendoakan dan membantu dengan cara yang kami bisa. Insya Allah perjuangan kita semua dalam bentuk apapun, sekecil apapun, akan mendapatkan hasil yang sebaik – baiknya.

Insya Allah.

  • 31 Agustus 2025-

Liburan Tanpa Media Sosial

Sudah lama ternyata saya tidak menulis di blog. Terakhir menulis di sini, Januari 2025. Padahal banyak sekali hal – hal yang terjadi dalam hidup sehari – hari selama beberapa bulan yang sudah terlewati. Memang harus saya akui, sumber kemalasan saya menulis panjang karena terlalu asyik bermain media sosial. Sebagai pemanasan sebelum kembali aktif kembali di blog, saya akan menuliskan topik yang ringan saja.

Liburan tanpa membuka sama sekali media sosial yang saya punya.

Jadi ceritanya, kami baru saja selesai liburan musim panas selama 25 hari, roadtrip dari Belanda ke Jerman – Denmark – Swedia – Denmark – Jerman – Belanda. Hampir setiap musim panas, kami sekeluarga memang senang melakukan perjalanan jauh, darat, dan dengan durasi minimal 3 minggu. Tahun lalu ke 7 negara arah bawah (kalau di peta). Sedangkan tahun ini ke negara – negara di bagian atas.

Sebelum liburan dimulai, saya sudah berniat untuk tidak membuka satupun media sosial yang saya punya : Instagram, Facebook, Twitter, dan Threads, selama liburan. Saya ingin menikmati liburan secara maksimal tanpa harus berbagi fokus dengan membuka media sosial. Saya ingin bebas sejenak dari mengamati hidup orang lain, kecanduan membuka medsos, dan tidak fokus dengan dunia nyata. Selain itu, saya merasa sudah terlalu banyak menghabiskan waktu di media sosial akhir – akhir ini. Saya ingin detox dulu dari kecanduan ini.

Malam hari sebelum berangkat, saya sudah log out dan uninstall semua media sosial yang saya punya (twitter sudah saya lakukan 2 bulan sebelumnya) tanpa woro – woro apapun. Ya kan namanya mau liburan, masa mau woro – woro. Lagian, siapalah saya ini. Artis juga bukan. Saya hanya pamitan di twitter waktu itu. Takutnya punya tanggungan yang belum saya selesaikan.

Salah satu yang saya sudah tidak pernah lakukan lagi selama 11 tahun terakhir adalah tidak update apapun selama liburan. Kalaupun saya tetap buka media sosial, saya membahas atau unggah hal yang lain. Jika liburan sudah selesai, baru saya unggah foto dan cerita selama liburan. Semacam late post. Nanti saya akan bahas pada tulisan yang lain tentang hal ini.

Yang saya masih aktifkan cuma Strava dan Goodreads. Strava karena saya masih sempat lari selama liburan (wow ambisius) dan jalan kaki jauh. Jadi lumayan lah nambah angka statistik di Strava. Itupun saya tidak buka kalau sedang tidak terhubung. Sedangkan Goodreads, ya untuk laporan ke reading challenge.

BAGAIMANA RASANYA SELAMA LIBURAN OFF DARI MEDIA SOSIAL?

WOW Surga sekali. Baru kali ini saya benar – benar tidak membuka sama sekali medsos selama liburan. Tidak merasa kangen bahkan merasa sangat damai. Saya bisa menikmati liburan secara maksimal tanpa harus berbagi fokus dengan membuka telepon secara sering atau saat malam hari sebelum tidur. Saya maksimal hadir untuk diri sendiri, anak – anak, dan suami. Saya bisa sering bengong melihat apa yang ada di depan mata. Tidur bisa lebih lama dan panjang tanpa terputus. Otak saya fokus dengan apa yang terjadi saat itu. Otak saya jadi sangat enteng dan fresh. Buka mata di pagi hari setelah bangun tidur, bukan Hp lagi yang saya ambil. Tapi bengong dan ngelamun :))) Liburan kali ini benar – benar saya nikmati sekali, hadir nyata.

Saya tetap mengambil sebanyak mungkin foto dan merekam segala yang dilewati selama liburan. Saya kan sesi dokumentasi kalau di rumah :)))

Saya jadi berjarak dengan telefon jika di rumah sewa. Tidak sedikit – sedikit membuka Hp untuk mengecek isi medsos. Saya membaca buku dengan fokus. Selama 3.5 minggu, saya bisa menyelesaikan membaca 2 buku selama liburan. Lumayanlah ya.

Saat di Ribe, Denmark. Selesai membaca 2 buku ini dengan tuntas selama 3.5 minggu.

Karena tiba – tiba libur tanpa woro – woro, ada beberapa teman yang juga mutual di IG yang tau nomer WhatsApp saya, mengirimkan pesan apakah saya sehat kok tidak tampak story harian dalam waktu yang lama. Saya bilang kalau sedang liburan. Saya sempat tertegun. ternyata saya kangen juga ditanya secara personal seperti ini. Tau kabar saya bukan dari unggahan di media sosial. Jadi terharu.

Saya sempat membahas dengan suami, ada banyak orang yang saya lihat, membuat video dan mengunggah di halaman (bukan story) twitter atau IG ketika liburan masih berlangsung. Padahal profesi mereka bukan so called influencer yang ada hubungannya dengan jalan – jalan. Lalu saya pun mengomentari sendiri pernyataan saya tersebut : ya mungkin memang hobinya membuat video kapanpun dan dimanapun.

Lalu muncul pertanyaan yang lain : Apakah mereka benar – benar menikmati liburan dengan cara masih sibuk dengan unggahan di media sosial (bukan story)? Membayangkan pasti waktu istirahat yang dikorbankam. Padahal kan liburan ya waktunya libur ya. Bukan malah sibuk.

Atau ya memang itu yang bikin mereka bahagia.

Itu hanya segala overthinking yang sempat mampir sejenak.

Kembali lagi ke bahasan awal. Saking merasa nyamannya saya tanpa media sosial selama 4 minggu ini, saya ingin melanjutkan istirahat dari media sosial sampai waktu yang tidak ditentukan. Bisa jadi 3 bulan, bisa jadi 7 bulan (Tahun 2021 saya pernah rehat 7 bulan dari media sosial, segala alasannya pernah saya tulis panjang lebar di sini), bisa setahun, bisa selamanya, entah juga. Saya tidak ada rencana pasti. Cukup dijalani saja. Yang pasti, karena rehat dari medsos, saya jadi punya waktu untuk kembali menulis di blog. Memang saat ini blog sudah tidak populer lagi ya. Kalah pamor dengan media sosial. Tapi saya tetap setia menulis di sini. Meski tidak sesering dulu.

Saya menikmati hidup saat ini yang lebih menyenangkan tanpa media sosial. Lebih banyak waktu tanpa terdistraksi fokus. Lebih hadir untuk diri sendiri, anak – anak dan suami. Lebih bisa memikirkan hal – hal yang perlu. Lebih ada untuk diri sendiri. Bisa kembali menulis di blog. Banyak waktu untuk berjeda dengan hiruk pikuk dunia luar. Bisa kembali terhubung dengan teman – teman lama dengan berbagi kabar lewat WhatsApp.

Tanpa media sosial saja saya sudah sibuk sekali. Kenapa dulu saya bisa punya waktu banyak ya dengan aktifitas media sosial? Padahal siang hari rasanya kerjaan kok tidak selesai – selesai. Jadi heran dengan diri sendiri.

Saat di Landskrona, Swedia. Menunggu anak – anak yang sedang main seharian di pantai dengan membaca buku sampai tertidur. Ini suami yang memfotokan diam – diam. Katanya takjub lihat saya tidak lengket dengan telpon lagi :))))

Jadi kalau ada siapapun mutua atau follower saya yang kebetulan mampir ke blog dan membaca tulisan kali ini, saya mengabarkan dalam keadaan yang baik – baik saja. Kalau kalian kangen dengan segala celotehan saya, silahkan sering – sering mampir ke blog ini untuk ngecek tulisan terbaru dari saya *PD jaya dikangenin haha.

Maya bilang kalau kangen dengan story saya bagian pasukan soang :)))

– 28 Agustus, 2025 –